Briana menangisi nasibnya, harus mengandung pada saat dia baru saja menikmati masa-masa mudanya. Dia baru saja lulus dengan nilai sempurna dan mendapatkan pekerjaan di perusahaan impiannya. Semua yang baru saja dia alami kini terasa hancur karena kehamilannya.
"Bri, lo udah bangun? Gue masuk ya." Teriakan suara dari luar kamar mandi mengagetkan Briana sampai-sampai alat tes yang ada di tangannya terjatuh. Briana buru-buru mengambil alat tes itu dan menyembunyikannya di tangan.
Setelah mencuci muka, Briana keluar dari kamar mandi dan menemui saudara tirinya, Davira, yang sedari tadi teriak-teriak heboh, tampaknya mencari sesuatu.
"Bri, gue boleh minjem uang lo nggak? Uang gue udah habis," kata gadis itu sambil mengangkat tangannya di depan Briana.
"Gue nggak punya uang lebih, Vir. Gajian masih lama," balas Bri, yang sudah merasa cukup muak dengan permintaan uang yang terus-menerus datang dari Davira, saudara tirinya. Davira selalu meminta uang dengan alasan meminjam, tapi uang tersebut tidak pernah dikembalikan seperti yang dijanjikan.
"Ya ampun, Bri, lo pelit banget. Nanti kalau gue sudah menjadi artis terkenal, lo juga akan mendapatkan manfaatnya." Davira mulai menggeledah tas Briana yang terletak di meja.
"Vir, gue bilang gue nggak punya uang," kata Briana sambil berusaha merebut kembali tasnya. Tanpa disadari oleh Bri, di tangannya masih ada alat tes kehamilan, dan Davira berhasil melihatnya.
"Apa itu yang lo pegang di tangan lo?" Davira memaksakan diri merebut alat itu dari tangan Briana dan berhasil.
"Vir, kembalikan. Tolong!" Briana berusaha merebutnya kembali, tetapi sudah terlambat.
"Lo hamil!" Davira berteriak, membuat Briana merasa lemas dan menunduk. Bahkan jika dia mencoba untuk membantah, Davira sudah mengetahuinya. "Gue akan kasih tahu mama," kata Davira, lalu membawa alat tes milik Briana.
Mengapa semua ini harus terjadi begitu cepat? Ayah pasti akan sangat marah. Semua ini adalah kesalahan bayi ini dan laki-laki brengsek itu.
Setelah Davira pergi, tidak butuh waktu lama sebelum gadis itu kembali ke kamar Briana dengan membawa kedua orang tua mereka. Ayah Briana tampak sangat marah dengan wajah yang memerah.
"Apa ini, Briana?" tanya ayah Briana dengan kasar, sambil melemparkan alat tes kehamilan ke arah putrinya.
"Maafkan aku, Yah. Tapi ini bukan salahku," Briana mencoba membela diri.
"Bukan salahmu? Kamu berani berkata begitu?" Ayah Briana berteriak dan melemparkan tamparan ke wajah Briana. "Anak yang tidak tahu malu!" Tamparan kedua mengenai pipinya.
Ayahnya pergi, sementara ibu tirinya tersenyum, dan Davira hanya diam, menatap Briana yang menangis. Meskipun ada rasa kasihan di hati kecil Davira, dia juga takut akan amarah sang ayah.
"Kita diam saja, biar Ayah yang mengurusnya," bisik ibu tiri Briana pada Davira.
Setelah itu, ayah Briana masuk dengan membawa sapu, masih dengan wajah marah, dan bertanya dengan keras, "Siapa ayahnya? Ayah tidak akan mentolerir keberadaan anak haram di rumah ini!" Ayah Briana mengangkat gagang sapu ke udara, membuat Briana ketakutan dan semakin menangis.
"Jawab!" bentak sang Ayah.
"Teman SMA, Yah. Aku tidak tahu di mana dia sekarang," jawab Briana dengan lirih.
"Apa? Jadi dia juga tidak mau bertanggung jawab?" Suara papa semakin meninggi, hampir saja Ayahnya memukul Briana dengan sapu, tapi tiba-tiba....
"Ayah, jangan! Kasihan anaknya Bri," teriak Davira yang merasa tidak tega dengan bayi dalam kandungan saudara tirinya itu.
"Davira, jangan ikut campur," sahut ibu tiri hasna.
"Kasihan anaknya, Ma. Dia tidak bersalah," balas Davira.
Gadis itu ternyata masih punya hati nurani. Walau bagaimanapun, ia dan Briana dari kecil sudah bersama-sama. Apalagi ia juga sangat menyukai anak kecil.
"Pergilah kamu dari sini, Briana! Ayah tidak mau kamu ada di rumah ini!"
"Ayah, maafkan aku." Briana bersimpuh di kaki papanya, tapi sang ayah malah menarik kakinya menjauhi Briana.
"Ayah bilang pergi! Davira, bantu Briana mengemas barang-barangnya dan kosongkan kamar ini!" Ayah Briana kemudian meninggalkan kamar Bri, diikuti ibu tirinya yang berjalan di belakang suaminya.
"Gue benci anak ini, Vir!" ujar Briana.
Davira membantu Briana mengemas pakaian dan barang-barang milik Briana sesuai perintah Ayahnya. Keluarga Briana memang keluarga terpandang, terutama keluarga dari Ayahnya itu. Bagi mereka, hamil di luar nikah adalah aib, apapun alasannya, dan Ayah Briana termasuk orang yang sangat tunduk dengan aturan keluarga besarnya.
Briana berpamitan dengan Ayah dan Ibunya yang tengah duduk di ruang keluarga. Ayah Briana melengos saat Briana hendak mencium tangan laki-laki itu.
"Ayah, maafin aku. Aku diperkosa, Yah, dan aku nggak bisa ngelawan dia," kata Briana yang masih berusaha mendapatkan maaf Ayahnya.
"Kamu pikir Ayah percaya sama kamu. Kalau kamu diperkosa, kenapa nggak langsung lapor polisi? Apa pun alasan kamu, kamu tetap harus keluar dari rumah ini," ucap Ayah Briana tanpa mau menatap putrinya.
"Baiklah, Briana pergi, Yah. Jaga kesehatan, Ayah," ujar Briana.
Ayahnya segera berdiri dan meninggalkan ruang keluarga.
***
Sekarang Briana berada di sebuah rumah kontrakan kecil yang ditempatinya dengan harga yang cukup terjangkau. Bersama Davira, Briana membersihkan kamar barunya dan merapikan barang-barangnya.
"Gue sebenarnya pengen pergi sama Ezra, tapi ngelihat lo kaya gini, gue jadi merasa bersalah," ucap Davira, membuka percakapan setelah beberapa saat mereka berdua terdiam.
"Nggak apa-apa, Vir. Terima kasih udah mau membantu pindahan gue," balas Briana.
"Jujur deh sama gue, siapa yang hamilin lo?" tanya Davira dengan serius.
"Kalau temen SMA lo, sedikit banyak gue pasti kenal." Lanjutnya.
"Gian," jawab Briana dengan singkat.
"Gian yang suka ngejek lo, buli lo itu? Setega itu dia sampe perkosa lo?" Briana hanya mengangguk. Ia juga tidak menyangka jika Gian tega melakukan hal rendah itu padanya.
"Udah. Lo nggak usah mikir aneh-aneh. Lo jaga anak lo baik-baik, dia nggak salah apa-apa. Dia juga ponakan gue, darah daging lo sendiri. Soal ibu kos lo, gue bilang kalau lo nikah siri dan ditinggal selingkuh sama laki lo." Ucap Davira menenangkan saudara tirinya itu.
"Percaya?"
"Lo ngeraguin kemampuan akting gue? Gue ini calon artis terkenal," jawab Davira dengan bangga.
"lya deh, percaya."
"Bri, gue nggak akan minta duit ke lo lagi, kali ini gue pengen bantuin lo. Kita rawat anak lo bareng-bareng ya. Meskipun gue suka jahat ke lo, ngambil duit lo, tapi lihat lo dipukul Ayah, gue juga nggak tega, Briana." Ujar Davira dengan jujur.
"Thanks Vir. Lo bener-bener saudara gue, satu-satunya yang bisa ngertiin gue." Mereka pun berpelukan, Davira mengusap punggung Briana dengan sayang. Meski mereka tidak memiliki hubungan darah, tapi Briana sangat menyayangi Davira, seperti Davira menyayanginya.
Kehamilan Briana semakin lama semakin membesar. Tetangga-tetangga mulai mencibir dan menjadikan Briana sebagai bahan gosip mereka. Meski Davira bisa mengatasi masalah Briana itu dengan mudah, tetap saja Briana memiliki rasa benci pada anak yang dikandungnya itu.
Saat di kantor pun, tidak sedikit yang menggosipkannya sebagai simpanan bos. Briana masih tidak memedulikannya, baginya yang terpenting adalah ia masih bisa bekerja dan menghasilkan uang.
Bos di tempatnya bekerja juga tidak mempermasalahkan status Briana. Selagi Briana bekerja dengan baik dan tidak merugikan perusahaan, maka Briana masih diizinkan bekerja.
"Bri, kamu nggak apa-apa?" tanya Dirga, atasan Briana sekaligus wakil direktur di perusahaan itu.
"Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma merasa mules dari tadi," jawab Briana sembari memegangi perutnya yang semakin membesar.
Sebenarnya Dirga sudah menyuruh Briana untuk mengambil cuti, tapi Briana menolak karena ia masih merasa kuat untuk bekerja.
"Kamu udah periksa ke dokter? Jangan-jangan kamu mau melahirkan?" tanya Dirga yang mulai terdengar panik.
"Belum, Pak. Nanti istirahat makan aja saya izin," jawab Briana menahan sakit. Tangan kanannya berulang kali meremas ujung kursi yang menjadi pegangannya, sedangkan tangan kirinya memegang perutnya yang semakin sakit.
"Saya antar kamu ke dokter, ya!." Dirga berdiri dari kursinya, lalu menuntun Briana yang tidak bisa lagi menolak karena perutnya memang sangat-sangat sakit.
Ketika tiba di rumah sakit, ternyata Briana sudah dalam keadaan pembukaan lima. Dirga tidak ingin meninggalkan Briana sendirian dan bahkan bersikeras menunggu sampai bayinya lahir, meskipun Davira sudah datang dan berterima kasih padanya karena telah mengantar Briana.Davira masuk ke ruangan bersalin untuk menemani Bri, sementara Dirga menunggu di luar dengan perasaan cemas. Beberapa jam kemudian, Briana berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat secara normal. Setelah dipindahkan ke ruang perawatan, Dirga menemui Briana dan bayi kecil yang tertidur pulas di pangkuan Davira."Bri, selamat ya. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu," kata Dirga sambil mengusap rambut Briana."Terima kasih, Pak." Briana hanya tersenyum dengan paksa, lalu terdiam.Air matanya tiba-tiba mengalir begitu saja. Perasaan sesak yang selama ini berusaha dia lupakan, kini kembali menghampiri dirinya.Anak itu memiliki mata coklat seperti dia, rambutnya sedikit bergelombang, dan warnanya tidak hitam s
Briana menghela napas panjang setelah mendengar apa yang diungkapkan oleh Dirga. Sebagai seorang wanita, tentu saja dia ingin segera menikah dengan Dirga, yang telah menyukainya selama empat tahun ini.Namun, banyak hal yang membebani pikiran Briana, salah satunya adalah Ethan. Bagaimana jika keluarga Dirga tidak menerima Ethan, seperti ayah kandungnya dulu yang mengusirnya setelah mengetahui bahwa ia hamil di luar nikah."Kita bicarakan nanti, Pak." Ucap Briana."Sekarang sudah waktunya makan siang, Bri," kata Dirga sambil menatap arlojinya. "Jika kamu tidak ingin membicarakannya di sini, kita bisa melanjutkan di restoran," usul Dirga, lalu mematikan laptopnya dan mengajak Briana keluar dari ruangannya.Ketika mereka tiba di lobi, Dirga dan Briana bertemu dengan Daffa. Daffa memperhatikan wajah Briana dengan rasa penasaran tentang hubungannya dengan Gian."Kenapa kamu melihat Briana begitu, huh?" tanya Dirga dengan kesal melihat adiknya menatap Briana."Tidak apa-apa, dia memang cant
Gian masih enggan membuka pintu mobil, meskipun Briana sudah sangat khawatir tentang keadaan anaknya."Kamu mau ke mana? Aku akan mengantarmu," ucap Gian, menahan tangan Briana saat wanita itu mencoba membuka pintu dengan paksa."Bukan urusanmu. Dan jangan pegang-pegang aku. Aku jijik padamu!" protes Briana, membuat Gian mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat perdamaian."Maaf, maaf. Sekarang, tolong beri tahu aku, kamu mau ke mana? Ingin bertemu dengan Ethan?" tanya Gian.Briana mengerutkan kening saat Gian menyebut nama Ethan. Apakah Gian sudah mengetahui tentang Ethan? Apakah dia tahu tentang anak mereka? Apakah Gian datang untuk mengambil Ethan darinya?"Kamu tahu tentang Ethan?" tanya Briana, suaranya kini pelan dan tidak marah seperti sebelumnya."Aku tidak tahu pasti, tapi karena kamu menyebut nama Ethan tadi, aku akan mencari tahu. Sepertinya kamu sangat khawatir tentang dia," ujar Gian dengan senyuman sinis, hatinya masih terasa sakit melihat Briana bersama Dirga, dan sek
Setelah bertemu Briana, Gian datang ke kantor karena panggilan dari ayahnya. Hari ini, ayahnya akan mengumumkan kepada seluruh karyawan bahwa Gian akan menjadi direktur utama menggantikan ayahnya.Setelah acara selesai, Gian langsung menduduki posisinya. Ia mulai dihadapkan dengan pekerjaan dan tanggung jawab yang tidak main-main. Namun, yang pertama kali Gian lakukan malah memasang foto Briana saat SMA yang berhasil ia dapatkan dari teman kelas Briana."Kamu masih cantik, Bri, dan aku masih jadi pengecut yang tidak bisa mengungkapkan perasaan aku," ucap Gian yang berbicara dengan potret lama Briana."Kalau saja dulu kamu tidak pacaran dengan Saga, aku pasti tidak akan mengganggumu dan membuatmu kesal padaku. Aku memang bodoh, Bri, semua yang kulakukan malah membuatmu membenci aku. Malam itu juga, kalau saja aku tidak mabuk, dan tidak melihat kamu bersama laki-laki tua itu, aku pasti tidak akan melakukan hal bodoh itu, Bri. Maafkan aku."Gian memejamkan mata sambil mengepalkan tangan.
Briana benar-benar mengusir Gian, tidak mau menjelaskan apa pun pada Gian meski laki-laki itu melibatkan Daffa. Briana bahkan mengancam akan menghubungi Dirga kalau Gian terus mengganggunya di jam kerja.Gian akhirnya kembali ke kantor dan menunggu waktu pulang untuk kembali menemui Briana. Saat perjalanan ke kantor, tanpa sengaja ia bertemu Davira dan Ethan yang sedang menyeberang di lampu merah, tepat di depan mobil Gian.Tentu saja Gian sangat syok melihat wajah Ethan yang sangat mirip dengannya waktu kecil. Akan tetapi, saat melihat Davira, ia jadi ragu karena ia tidak pernah mengenal Davira. Gian menepikan mobilnya, lalu mengejar Davira yang masih menunggu taksi."Maaf, permisi," Gian berusaha menetralkan napasnya yang tersengal-sengal.Davira melihat wajah Gian dan langsung menyembunyikan wajah Ethan yang ada dalam gendongannya."Ya, ada apa?" tanya Davira dengan tenang, ia sudah sangat pandai berakting. Apalagi, sekarang ia mendapat tawaran
Briana menatap Gian dengan pandangan benci saat ia dengan seenaknya mengakui Ethan sebagai putranya. Meskipun dia adalah ayah biologisnya, selama ini dia telah absen dari hidup mereka. Tiba-tiba saja, Gian muncul dan mengklaim dirinya sebagai ayah biologis Ethan."Empat tahun ini, kamu kemana, Gi? Di mana kamu saat aku hamil? Di mana kamu saat aku dan Ethan harus menjalani hidup tanpamu?" Briana melepaskan amarahnya dengan banyak pertanyaan yang selama ini hanya terpendam di dalam hatinya.Gian meraih tangan Briana, tetapi ia langsung menepisnya dengan kasar."Aku minta maaf, Bri. Saat itu aku sempat datang ke rumahmu, tapi kamu tidak ada. Lalu, aku pergi kuliah dan bekerja di LA. Ketika aku kembali, kamu sudah tidak tinggal di rumah itu, dan aku tidak sempat mencarimu karena aku..." jelas Gian."Semua itu hanyalah alasan, Gi. Aku tahu kamu sangat membenciku, tapi tindakanmu sangat keji. Apa yang telah kulakukan sehingga kamu bersedia menghancurkan hidup
Setelah Briana memberi tahu Dirga bahwa Gian sudah kembali, Dirga merasa semakin bingung. Dia belum mendapatkan restu dari neneknya, dan sekarang harus menerima perjodohan dengan wanita yang tidak dia cintai."Bri, ada yang ingin aku bicarakan," kata Dirga dengan ragu."Nanti saja, Pak. Saya memiliki banyak pekerjaan, dan saya sudah terlambat," jawab Briana sambil menyalakan komputernya, mengabaikan Dirga yang ingin berbicara serius dengannya."Silakan nanti siang, datanglah ke ruangan saya. Ini sangat penting!" Dirga memohon.Briana mengangguk, dan Dirga segera meninggalkan ruangannya.Sebenarnya, Briana memiliki perasaan terhadap atasannya itu, tapi dia lebih memprioritaskan hubungannya dengan Ethan di atas segalanya. Terutama jika keluarga Dirga menentang adanya Ethan, maka dia harus bersikap hati-hati.***Di kantor, Gian tampak sangat bahagia. Ia beberapa kali tersenyum bahagia.Faris, yang melihat sepupunya yang juga atas
Akhirnya, Briana menuruti permintaan Ethan untuk mengizinkan Gian ke rumah mereka. Ethan merengek, meminta Briana duduk di depan memangkunya. Ethan terus bertanya pada Briana, apa pun yang Ethan belum pernah lihat sebelumnya."Anak Daddy ternyata pintar banget ya," kata Gian saat mereka berhenti di lampu merah. Briana menatapnya dengan tidak senang."Seperti Mommy," tambah Gian dengan lirih."Mommy tadi di taman ada yang bilang Ethan ganteng, mirip Daddy. Ethan ganteng nggak, Mom?" tanya Ethan yang kini menatap ke belakang ke arah Briana.Briana menjawab, "Em, iya mungkin. Tapi buat Mommy, Ethan yang paling ganteng, di antara semua laki-laki di dunia ini.""Nomor satu?" tanya Ethan."Iya, nomor satu Ethan." Jawab Briana."Berarti nomor dua Daddy 'kan Mom?" tanya kembali Ethan."Daddy nomor seribu," Briana menatap sinis pada Gian yang kini meliriknya."Berarti Daddy jelek? Ethan juga jelek dong?" Ethan memasang raut muka
Briana menatap laki-laki yang kini memegang botol di tangannya. Botol itulah yang tadi ditendang Ethan sampai akhirnya mengenai kepala laki-laki itu.“Kenapa dia ada di tempat ini?” batin Briana."Saga, bagaimana kamu bisa berada di sini?" tanya Briana.Saat mereka masih bersekolah di SMA, hubungan Briana dan Saga berlangsung cukup lama. Mereka berpisah saat Saga kuliah di luar negeri, dan akhirnya mereka bertemu kembali sebelum Briana menjalin hubungan dengan Gian. Sayangnya, Briana menjauhi Saga tanpa memberikan alasan yang jelas. Saat itu, Briana merasa sangat kotor dan tidak pantas bagi Saga."Aku tinggal di sini, Bri. Hai, Zee," sapa Saga bayi kecil yang ada di kereta dorong, yaitu bayi Mutia yang sudah lama mengenal Saga. "Briana, apakah dia temanmu, Mut?" tanya Saga kepada Mutia."Dia tetangga baru, Mon. Bagaimana mungkin kamu belum tahu? Rumah di ujung sana, sekarang dimiliki oleh Mbak Briana," jawab Mutia. "Aku duluan ya, seper
"Mommy, puasa itu apa?" Ethan selalu penasaran dengan kata-kata baru yang dia dengar. Apalagi jika kata-kata itu tampak menarik baginya."Em, puasa itu, menahan diri, Sayang. Menahan diri dari makan, minum, marah-marah. Intinya, puasa adalah tentang menahan diri. Apakah Ethan mengerti?" tanya Briana."Iya, Mommy. Ethan mengerti kok. Berarti Daddy tidak akan makan Mommy, bukan?" tanya Ethan, yang tampaknya masih ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut."Buayanya yang puasa, Ethan. Kamu memang seperti Kancil," kata Gian."Biarkan, Kancil itu cerdik. Tidak seperti Daddy, Buaya. Lebih baik jadi Kancil daripada Buaya. Saling menjilat adalah tindakan Buaya." Ethan sepertinya tidak lagi berpihak pada ayahnya setelah insiden 'dimakan Buaya' yang membuat leher Briana merah. Ethan masih waspada, takut kejadian itu terulang."Kita akan lihat saja nanti. Pasti Buaya bisa mengalahkan Kancil. Buaya adalah hewan buas, sedangkan Kancil kecil, pasti kalah." Gian
Gian, Briana, dan Ethan sudah mengenakan pakaian rapi saat mereka turun ke lantai bawah. Di meja makan, Mama, Papa, dan nenek Gian sudah menunggu. Briana merasa bersalah karena tidak membantu membuat sarapan."Maaf, Tante. Ehm, maksudku Mama. Maaf, ya Bri tidak membantu bikin sarapan," ucap Briana dengan perasaan bersalah.Gian memberikan tatapan pengertian pada Briana. Dia tahu bahwa Briana masih merasa canggung tinggal bersama keluarganya. Mungkin nanti dia akan membawa Briana dan Ethan pulang ke rumah mereka sendiri agar Briana merasa lebih bebas dan tidak kaku."Tidak apa-apa, Sayang. Bibi sudah masak kok. Ayo kita sarapan!" ajak Mama Dona.Briana menarik kursi dan duduk bersama keluarga Gian."Kami mengerti kok. Ini wajar untuk pengantin baru. Tidak usah sungkan, ini juga adalah rumahmu," sahut nenek Gian.Gian tersenyum dan menggenggam tangan Briana. Mereka saling menatap, menyiratkan bahwa Gian memahami perasaan Briana."Mengap
Gian sudah sangat dongkol saat ini. Ia hanya bisa merebahkan tubuhnya sambil memijat kepalanya yang terasa sangat pusing. Berkali-kali ia menggaruk kepala, bingung harus berbuat apa. Ethan masih menangis karena melihat tanda merah di leher mommynya.Sampai akhirnya, Gian membelakangi Ethan dan Briana, lalu ia menggigit guling yang dipeluknya."Udah dong, Ethan, nggak usah nangis terus. Mommy aja nggak kenapa-napa. Kok kamu yang nangis." Briana menghapus air mata putranya yang berjatuhan."Ethan sayang Mommy. Kenapa Daddy gigit, Mommy?" Ethan masih terisak."Ethan, mommy bilang digigit nyamuk ya, digigit nyamuk. Ethan nggak percaya sama Mommy?" Briana bertanya dengan nada yang tegas.Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar Gian. Dengan malas, Gian membuka pintunya dan melihat mamanya di balik pintu."Ethan kenapa? Kayaknya kencang banget nangisnya." Mama Dona mencoba mengintip ke dalam kamar Gian. Ada Briana yang sedang memangku Ethan yang me
"Papa, jangan pergi! Jangan tinggalkan aku. Aku sangat menyayangi Papa," Briana terus menangis sambil memeluk erat tubuh papanya yang terbaring. Wanita yang baru saja menjadi seorang istri itu terus tersedu. Ia memang marah, tapi bukan berarti ia siap kehilangan papanya. Gian terkejut dengan apa yang sedang dilakukan Briana. Laki-laki yang baru saja menikahi pujaan hatinya itu langsung memencet tombol bel untuk memanggil dokter. Semua orang tentu saja panik. Begitu pun dengan Davira dan ibunya. Papa Gian meminta segelintir orang yang menjadi saksi pernikahan Gian dan Briana untuk pulang. Tidak lama, dokter datang untuk memeriksa keadaan Pak Leo. Gian mengajak Briana untuk menunggu di luar. Ia memeluk Briana yang masih sangat syok. "Gi, Papa." Ucap Briana sambil terus menangis. "Papa pasti baik-baik saja, Bri. Kita doakan semoga dokter bisa menyelamatkan Papa." Kata Gian menenangkan Briana. Briana menangis dalam pelukan Gian yang kini m
Briana menolak saat Davira memintanya untuk pergi ke rumah sakit. Bagi Briana, apa pun keadaan papanya saat ini, itu tidak akan mengurangi rasa sakit hatinya terhadap sang papa. Dia sudah terlanjur kecewa, dan kecewanya itu sudah sangat mendalam.Briana baru saja selesai memandikan Ethan. Dia sebenarnya ingin pulang, tapi Gian melarangnya dengan alasan pekerjaan. Sebagai asisten pribadi Gian, Briana harus mendampingi Gian saat jam kerja, terutama saat Gian sedang sakit."Jadi aku tidak perlu pulang? Tidak perlu mandi? Tidak perlu ganti baju?" keluh Briana sambil mengganti pakaian Ethan. Tentu saja Ethan memiliki pakaian yang cukup, karena oma dan opa-nya baru-baru ini membeli banyak pakaian dan mainan untuknya."Itu mudah, Bri. Nanti aku minta Faris untuk mengurus semuanya. Dia akan datang ke sini dan menyelesaikan pekerjaanku," jawab Gian.Briana menyelesaikan mengenakan pakaian untuk Ethan. Dia mengambil piring makanan yang ada di lemari, lalu mulai men
Briana bergerak untuk melindungi Gian. Air mata mulai mengalir melewati pipinya saat melihat wajah Gian yang penuh luka. Briana merasa semakin tersentuh saat Gian mencoba tersenyum dengan bibir yang terluka."Ini tidak sebanding dengan empat tahun yang telah aku lewati, Bri. Jangan menangis!" Gian mengusap air mata yang menggenang di wajah Briana yang cantik."Bnagunlah, Gi!" Briana mencoba membantu Gian."Dia mengatakan bahwa ini tidak sebanding, bukan? Seharusnya kamu dihajar dan membusuk di penjara!" hardik papa yang saat itu dipegangi oleh Davira dan ibunya.Briana bangkit setelah membantu Gian duduk. Dia berdiri sejajar dengan ayahnya yang masih sangat emosional. "Papa pikir apa yang Papa lakukan itu benar?" tanya Briana sambil menghapus air matanya. " Papa tidak berhak memukuli Gian seperti itu.""Dia sudah mencemarkan namamu, dan kamu membela dia?" tanya Papa dengan nada kesal."Aku tidak membela siapa pun. Yang aku sesalkan adalah me
Setelah mengembalikan ikan gurami berukuran besar ke dalam kolam, Ethan dan kakeknya duduk berjongkok, mengawasi ikan-ikan yang berenang dengan bebas. Kakek itu memandang cucunya yang sangat mirip dengan Gian. Satu-satunya perbedaan adalah, Ethan lebih tertarik pada ikan, sama seperti ayahnya, sementara Gian sama sekali tidak tertarik pada binatang itu."Pa, Ethan sungguh lucu, ya," kata Mama Dona yang kini duduk di samping suaminya.Papa Gian hanya diam, enggan menanggapi perkataan istrinya. Dia lebih suka mengamati Ethan dengan diam-diam. Bocah tampan berkulit putih itu memang sangat lucu dan menggemaskan. Papa merasa seperti melihat masa kecil Gian.Mama Dona tersenyum bahagia karena melihat papanya Gian tersenyum sambil memandang cucunya. Meskipun papa Gibran tidak mengungkapkannya dengan kata-kata, mama tahu bahwa papa sudah menerima Ethan.Nenek Gian baru saja pulang dari rumah senam dan tiba-tiba muncul, langsung girang saat melihat Ethan. "Cicit n
Gian merasa kaget saat Briana mengatakan bahwa ia bukan tipe pria yang disukai Briana. Sementara itu, papa Gibran mulai tertarik dan penasaran dengan kepribadian yang dimiliki Briana."Kalau misalnya tidak ada Ethan, apakah kamu mau menikah dengan anak saya?" tanya papa Gibran kepada Briana.Briana tersenyum canggung. Dia ingin menjawab jujur, namun takut melukai perasaan Gian dan orang tuanya. Jika dia tidak jujur, bisa saja dia melukai dirinya sendiri."Em....""Jawab jujur saja, Bri!" ucap Gian dengan percaya diri. "Aku kan, tampan, kaya, pekerja keras, dan pastinya bisa membuatmu bahagia." Gian sangat yakin bahwa dia bisa memenangkan hati Briana dengan kelebihannya.Briana menggelengkan kepala dengan kesal. Dia sampai menghela nafas dalam-dalam. "Kalau boleh jujur." Briana tidak melanjutkan kalimatnya karena Ethan masih ada di dekatnya."Tidak masalah, biar Ethan bersama Mama saja. Ayo Ethan, kita lihat ikan di belakang sana." Mama Dona