Briana benar-benar mengusir Gian, tidak mau menjelaskan apa pun pada Gian meski laki-laki itu melibatkan Daffa. Briana bahkan mengancam akan menghubungi Dirga kalau Gian terus mengganggunya di jam kerja.
Gian akhirnya kembali ke kantor dan menunggu waktu pulang untuk kembali menemui Briana. Saat perjalanan ke kantor, tanpa sengaja ia bertemu Davira dan Ethan yang sedang menyeberang di lampu merah, tepat di depan mobil Gian.
Tentu saja Gian sangat syok melihat wajah Ethan yang sangat mirip dengannya waktu kecil. Akan tetapi, saat melihat Davira, ia jadi ragu karena ia tidak pernah mengenal Davira. Gian menepikan mobilnya, lalu mengejar Davira yang masih menunggu taksi.
"Maaf, permisi," Gian berusaha menetralkan napasnya yang tersengal-sengal.
Davira melihat wajah Gian dan langsung menyembunyikan wajah Ethan yang ada dalam gendongannya.
"Ya, ada apa?" tanya Davira dengan tenang, ia sudah sangat pandai berakting. Apalagi, sekarang ia mendapat tawaran main film yang mengharuskannya mengasah kemampuan itu, meski ia hanya menjadi figuran.
"Apa saya boleh lihat wajah anaknya, tadi sekilas saya kayak kenal," jawab Gian dengan ekspresi memohon.
"Maaf, ini anak saya. Kami sedang liburan di sini, tidak mungkin Anda kenal saya atau anak saya," balas Davira dengan tegas.
"Maaf, hanya lihat sebentar," mohon Gian.
"Maaf ya, Mas, saya bisa lapor polisi, loh. Jangan-jangan Mas mau berbuat jahat, orang bilang Jakarta itu lebih kejam dari ibu tiri." Kata Davira.
"Saya cuma mau pastikan..."
"Pastikan apa? Itu mobil Mas bukan, menghalangi jalan tuh, awas nanti kena razia satpol pp." ucap Davira yang langsung memotong ucapan Gian.
"Mas pindahkan mobilnya, kalau ngobrol jangan di jalan," teriak seseorang.
Gian langsung kembali ke mobil, dan Davira langsung kabur naik taksi yang kebetulan lewat.
"Huft, selamat," Davira mengelus dadanya. "Untung aja nggak ketahuan. Gila sih, muka Gian mirip banget sama Ethan."
Gian yang kehilangan jejak Davira semakin dibuat pusing. Ia meminta Faris untuk bergerak cepat menyelidiki Briana. Bisa-bisa dia gila karena menunggu kepastian.
Malam harinya, Faris menemui Gian. Ia menyerahkan hasil penyelidikan anak buahnya.
"Jadi, anaknya Briana itu anak kamu?" tanya Faris saat Gian memeriksa cetakan foto yang diberikan Faris barusan.
"Ini Ethan? Jadi, Ethan anak aku? Aku sama Briana punya anak?" Gian terkejut sekaligus bahagia memandangi foto-foto Ethan yang sangat mirip dengannya.
"Gian, jawab dulu. Kamu pernah nikah siri sama Briana?" tanya Faris dengan suara yang lebih tinggi.
"Aku pernah memaksa dia untuk melakukan itu dengan aku," jawab Gian sambil menatap mata Faris.
"Maksudnya, kamu memaksa dia seperti itu?" tanya Faris yang tidak mengerti dengan perkataan sepupunya tersebut.
Gian mengangguk. "Hanya sekali saya melakukannya. Saya tidak pernah berpikir bahwa dia akan hamil dan..."
"Briana pasti sangat membenci kamu, Gi." Ucap Faris memotong perkataan Gian.
"Aku tidak tahu bahwa akibatnya akan seburuk ini, Faris." Balas Gian.
"Memiliki anak tanpa diakui, diusir oleh orang tua, Briana menderita sangat karena perbuatanmu." Gian menunduk, apa yang dikatakan Faris memang benar. Semua ini adalah kesalahan dia.
Gian berdiri hendak pergi dari kafe, tapi Faris mencegahnya.
"Kemana kamu akan pergi? Mau menemui Briana pada malam seperti ini, menciptakan keributan, dan membuatnya malu? Gi, kesalahanmu sangat serius. Meminta maaf saja tidak akan cukup untuk mengganti semuanya." Kata Faris mencegah Gian pergi menemui Briana.
"Harus bagaimana, Ris? Aku memiliki anak, dan Aku tidak ingin melihat mereka menderita seperti ini, Aku akan menikahi Briana." Kata Gian dengan mantap.
"Briana memberitahu Ethan bahwa kamu bekerja jauh. Lebih baik kamu memenangkan hati Ethan terlebih dahulu, lama kelamaan Briana akan melihat ketulusanmu." Faris menepuk pundak Gian memberikan semangat.
***
Keesokan harinya, Gian menemui Ethan dan Briana di rumah mereka, membawa banyak mainan anak laki-laki. Dengan penuh keberanian, Gian mengetuk pintu.
"Ethan, tolong buka pintu, Mommy masih memasak dan takut terlalu gosong," teriak Briana yang mendengar suara ketukan pintu.
"Iya, Mommy." Sahut Ethan.
Ethan menuruti dan membuka pintu.
Gian yang melihat Ethan membuka pintu langsung berjongkok dan menatap putranya.
"Ethan, apa kabar?" tanya Gian sembari menyentuh wajah putranya.
"Om siapa?" tanya Ethan dengan polosnya.
Gian sangat ingin memeluk putranya, tapi dia tahu bahwa itu akan membuat Ethan merasa tidak nyaman dan bahkan mungkin ketakutan.
"Mama ada?" tanya Gian.
"Mommy? Mommy masih memasak, Om siapa ini?" tanya Ethan lagi.
"Om ini..."
"Siapa, Ethan?" teriak Briana yang sekarang keluar setelah mematikan kompor. Briana masih mengenakan apron untuk menutupi pakaian kerjanya.
"Ini Daddy, Ethan. Daddy sangat merindukan Ethan," kata Gian, membuat Ethan menatap ibunya.
Briana masih sangat terkejut dengan kedatangan Gian, terutama setelah Gian mengatakan pada Ethan bahwa dia adalah ayahnya.
"Mommy, dia benar-benar Daddy, kan?" tanya Ethan sambil menarik tangan Briana.
"Bri, Ethan."
"Kamu sudah tahu, bukan? Baiklah, apa lagi yang kamu inginkan?" tanya Briana.
"Jadi, benar, ini Daddy, Mom?" tanya Ethan, wajahnya sudah memerah menahan air mata.
Briana mengangguk, dan Ethan memeluk Gian.
"Daddy pergi ke mana, kenapa Daddy tidak pulang? Ethan sangat merindukan Daddy." Tangis Ethan mulai pecah.
"Masuk saja, tidak baik jika kita dilihat oleh tetangga." Briana meninggalkan Ethan dan Gian yang berpelukan.
"Maaf, ya, Ethan. Daddy sudah bekerja sangat lama, Sayang," kata Gian sambil menggendong Ethan dan membawanya masuk.
"Daddy, jangan pergi lagi, ya. Ethan ingin punya Daddy seperti teman-teman Ethan." Pinta Ethan.
"Tentu, Sayang. Daddy akan di sini, menjaga Ethan dan Mommy," jawab Gian sambil melirik Briana.
"Janji, Daddy, jangan tinggalkan Ethan dan Mommy lagi." Ucap Ethan.
"Baiklah, Sayang. Anak Daddy sangat tampan, persis seperti Daddy. Oh ya, Daddy membawa banyak mainan di mobil, kita ambil, ya." Kata Gian.
"Hore!" Ethan bersorak girang, dan Gian juga tersenyum bahagia mendengar tawanya Ethan. Hati Gian terasa hangat mendengar suara tawa putranya.
Gian membuka pintu mobil sambil tetap menggendong Ethan. Beberapa tetangga melihat adegan ayah dan anak yang sangat mirip itu. Gian mengeluarkan semua mainan yang dibelinya untuk Ethan. Dia tidak tahu pasti mainan mana yang disukai Ethan, itulah sebabnya Gian membelikan berbagai jenis mainan anak laki-laki.
Gian kesulitan membawa mainan Ethan sambil tetap menggendong putranya.
"Mommy, Ethan mendapat banyak mainan dari Daddy," kata Ethan, memamerkan mainannya pada Briana.
Briana melihat kesal ke arah Gian yang dengan seenaknya membawa banyak mainan untuk Ethan. Briana selalu mendidik Ethan untuk tidak boros, tetapi Gian justru melakukan sebaliknya.
"Ethan, masuk ke dalam kamar dulu. Mommy ingin berbicara sebentar dengan Daddy!" kata Briana, tetapi Ethan tidak langsung menurutinya.
"Tapi, Mom. Ethan ingin bermain dengan Daddy," jawab Ethan.
Briana mulai memandang tajam ke arah Ethan, dan akhirnya Gian menyuruh Ethan untuk menuruti ibunya.
"Masuk sebentar ya, Ethan. Nanti Daddy akan menemani Ethan bermain." Gian mencium pipi Ethan dan mengusap lembut rambut cokelatnya yang mirip dengan miliknya.
Ethan mengangguk, lalu mengambil beberapa mainan dan membawanya ke dalam kamar.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Briana setelah yakin Ethan tidak mendengarkan percakapan mereka.
"Aku minta maaf, Bri. Aku hanya berusaha..."
"Kamu pikir dengan banyak mainan, kamu bisa menebus semua kesalahan kamu?" tanya Briana langsung memotong penjelasan Gian.
"Bri, kenapa kamu tidak bilang kalau kamu hamil?" tanya Gian.
"Jadi ini salahku? Harusnya kamu yang memikirkannya, Gi. Harusnya kamu yang mencari aku untuk meminta maaf, untuk menanyakan keadaanku. Apakah kamu melakukannya?" maki Briana.
"Iya, aku salah. Aku tahu aku pengecut. Aku tidak berpikir bahwa kamu mungkin hamil. Aku tidak memikirkannya sejauh itu, Bri. Maaf." Gian menundukkan kepalanya.
Briana menarik napas berkali-kali untuk menahan amarahnya. Dia tidak ingin Ethan mendengar mereka bertengkar.
"Pergi, Gi! Aku dan Ethan tidak butuh kamu." Pinta Briana.
"Tapi Ethan juga adalah anakku, Bri. Aku juga ingin memberikan kebahagiaan dan kasih sayangku kepada Ethan. Jangan halangi aku, Bri. Kali ini, meskipun kamu marah, meskipun kamu memukuli aku, aku tidak akan meninggalkan kalian lagi." Ucap Gian.
Briana menatap Gian dengan pandangan benci saat ia dengan seenaknya mengakui Ethan sebagai putranya. Meskipun dia adalah ayah biologisnya, selama ini dia telah absen dari hidup mereka. Tiba-tiba saja, Gian muncul dan mengklaim dirinya sebagai ayah biologis Ethan."Empat tahun ini, kamu kemana, Gi? Di mana kamu saat aku hamil? Di mana kamu saat aku dan Ethan harus menjalani hidup tanpamu?" Briana melepaskan amarahnya dengan banyak pertanyaan yang selama ini hanya terpendam di dalam hatinya.Gian meraih tangan Briana, tetapi ia langsung menepisnya dengan kasar."Aku minta maaf, Bri. Saat itu aku sempat datang ke rumahmu, tapi kamu tidak ada. Lalu, aku pergi kuliah dan bekerja di LA. Ketika aku kembali, kamu sudah tidak tinggal di rumah itu, dan aku tidak sempat mencarimu karena aku..." jelas Gian."Semua itu hanyalah alasan, Gi. Aku tahu kamu sangat membenciku, tapi tindakanmu sangat keji. Apa yang telah kulakukan sehingga kamu bersedia menghancurkan hidup
Setelah Briana memberi tahu Dirga bahwa Gian sudah kembali, Dirga merasa semakin bingung. Dia belum mendapatkan restu dari neneknya, dan sekarang harus menerima perjodohan dengan wanita yang tidak dia cintai."Bri, ada yang ingin aku bicarakan," kata Dirga dengan ragu."Nanti saja, Pak. Saya memiliki banyak pekerjaan, dan saya sudah terlambat," jawab Briana sambil menyalakan komputernya, mengabaikan Dirga yang ingin berbicara serius dengannya."Silakan nanti siang, datanglah ke ruangan saya. Ini sangat penting!" Dirga memohon.Briana mengangguk, dan Dirga segera meninggalkan ruangannya.Sebenarnya, Briana memiliki perasaan terhadap atasannya itu, tapi dia lebih memprioritaskan hubungannya dengan Ethan di atas segalanya. Terutama jika keluarga Dirga menentang adanya Ethan, maka dia harus bersikap hati-hati.***Di kantor, Gian tampak sangat bahagia. Ia beberapa kali tersenyum bahagia.Faris, yang melihat sepupunya yang juga atas
Akhirnya, Briana menuruti permintaan Ethan untuk mengizinkan Gian ke rumah mereka. Ethan merengek, meminta Briana duduk di depan memangkunya. Ethan terus bertanya pada Briana, apa pun yang Ethan belum pernah lihat sebelumnya."Anak Daddy ternyata pintar banget ya," kata Gian saat mereka berhenti di lampu merah. Briana menatapnya dengan tidak senang."Seperti Mommy," tambah Gian dengan lirih."Mommy tadi di taman ada yang bilang Ethan ganteng, mirip Daddy. Ethan ganteng nggak, Mom?" tanya Ethan yang kini menatap ke belakang ke arah Briana.Briana menjawab, "Em, iya mungkin. Tapi buat Mommy, Ethan yang paling ganteng, di antara semua laki-laki di dunia ini.""Nomor satu?" tanya Ethan."Iya, nomor satu Ethan." Jawab Briana."Berarti nomor dua Daddy 'kan Mom?" tanya kembali Ethan."Daddy nomor seribu," Briana menatap sinis pada Gian yang kini meliriknya."Berarti Daddy jelek? Ethan juga jelek dong?" Ethan memasang raut muka
Gian masih mengakui dosa-dosanya pada mama dan neneknya. Meski sang mama sudah sangat geram ingin menghajar putranya itu, tapi masih berusaha ditahannya.“Kamu nggak berusaha cari dia?” tanya nenek.Gian menggeleng.“Jadi perempuan itu benar-benar wanita malam?” Mama kembali bertanya.“Dia masih suci saat aku ngelakuinnya, tapi sumpah Ma, aku nggak tau bedanya gadis suci sama nggak. Aku baru tau pas temenku di LA cerita, beneran aku nggak tau.” Jelas Gian.“Dasar anak nakal.” Mama memukul Gian dengan bantal, Gian menahannya, tapi nenek langsung mencubit pinggang dan menjewer telinga Gian bersamaan.“Ampun Ma, ampun Nek. Aku nggak sengaja, beneran nggak sengaja. Ampun.” Gian berusaha menghindar tapi mama dan neneknya terus menghajar Gian.Sampai akhirnya mereka lelah, dan mulai penasaran dengan Ethan, cucu mereka.“Jadi perempuan itu menikah dengan laki-laki lain?
Gian sangat ingin menyampaikan pendapatnya dan menjelaskan perspektifnya mengenai situasi ini. Namun, tangan neneknya menghalanginya untuk berbicara, sehingga ia terpaksa diam dan mendengarkan apa yang Briana katakan.Gian menggeser kotak tisu yang terletak di depannya, karena Briana tengah menunduk, sehingga wanita itu tidak dapat melihatnya dengan jelas. Neneknya bertanya, “Apa yang terjadi setelah dia menodaimu?” sambil meraih tisu untuk membantu Briana menghapus air mata.Briana menjawab dengan suara yang parau karena menangis, “Saya sengaja tidak pergi segera karena saya tahu dia dalam keadaan mabuk, dan saya berharap dia akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi, keesokan paginya, dia malah menawarkan untuk mengganti pakaian yang telah dirusaknya. Padahal, harga diri saya juga telah rusak, tetapi dia sama sekali tidak merasa bersalah. Saya tahu, dia sangat membenci saya. Tetapi, apakah pantas dia menghancurkan hidup saya hanya karena saya
Briana tertawa sinis mendengar penawaran Gian. Menikah? Semudah itu sakit hatinya diselesaikan dengan menikah?"Tidak, Gi. Aku tidak bisa, bahkan demi Ethan. Suatu hari nanti, Ethan juga akan mengerti mengapa orang tuanya seperti ini," tolak Briana."Kamu bisa melaporkan aku ke polisi, Bri. Asalkan kamu mau memaafkanku, sungguh, aku tidak tahu bahwa semuanya akan berakhir seperti ini," mohon Gian."Aku tidak sekejam itu, Gi. Itu hanya akan menyakiti hati Ethan. Penyesalan selalu datang di akhir." Ucap Briana dengan bijak."Apa yang harus aku lakukan lagi, Bri? Bagaimana aku bisa menebus kesalahanku padamu?" tanya Gian yang sudah prustasi."Jangan tanyakan padaku, pikirkan sendiri!" Briana meletakkan kotak berisi kenangan masa lalu di meja di samping Gian. Lalu, Briana berjalan masuk untuk melihat Ethan.Ketika sampai di kamar Gian, Briana melihat mama dan nenek Gian berada di sana."Tadi mama melihat kamu sedang berbicara dengan Gian,
Davira merasa bingung harus memberikan jawaban yang tepat. Dia memberikan isyarat kepada Briana untuk menjelaskan situasinya sendiri. Namun, Briana juga merasa kebingungan dalam menanggapi pertanyaan Ethan."Tante, kenapa Tante diam saja? Apakah Tante tahu kenapa Daddy tidak tinggal di rumah Ethan?" tanya Ethan lagi."Ethan, makan dulu!" perintah Briana, yang langsung mendapat tatapan protes dari anaknya."Mommy, Ethan masih ingin ngobrol sama Tante," rengek bocah itu."Ethan, tidak melihat bahwa Tante juga bingung. Sekarang, makanlah, Mommy akan memberimu makan. Jangan pikirkan itu lagi, yang penting Ethan sudah bertemu Daddy, bukan?" kata Briana."Iya, Mommy," jawab Ethan sambil turun dari pangkuan Davira."Maaf ya, Ethan Sayang. Tante tidak tahu," kata Davira sembari mengusap pipi Ethan. Ethan membalasnya dengan anggukan lemah, padahal ia sangat penasaran.Setelah Ethan selesai makan, ia bermain game di ponsel Briana. Sementara itu
Ethan menikmati saat-saatnya bersama Gian dan Briana. Gian telah memenuhi satu permintaan kecil dari anak kecil yang polos itu. Tangan kecil yang tidak bersalah itu menggenggam erat tangan Briana dan Gian, bergerak serasi mengikuti langkah-langkah kecilnya di dalam pusat perbelanjaan."Daddy, Ethan ingin naik itu!" Ethan menunjuk ke arah eskalator yang sedang beroperasi. Keberuntungan datang ketika mereka melihat seorang anak kecil yang dipegang oleh ayahnya saat naik eskalator."Baiklah. Ayo kita ke sana," kata Gian sambil menggendong putranya. Nampaknya Gian sangat bahagia memiliki Ethan. Dia mencium pipi Ethan dengan penuh kasih sayang, lalu melirik Briana yang memperhatikannya. "Ada yang ingin kamu beli, Bri?" tanya Gian.Tanggapan Briana adalah, "Tidak, aku hanya senang menikmati waktu bersama Ethan.""Baik. Jika ada yang ingin kamu beli, beritahu saja, Bri. Jangan ragu-ragu." Kata Gian.Briana hanya mengangguk. Mereka pun mengikuti keinginan
Briana menatap laki-laki yang kini memegang botol di tangannya. Botol itulah yang tadi ditendang Ethan sampai akhirnya mengenai kepala laki-laki itu.“Kenapa dia ada di tempat ini?” batin Briana."Saga, bagaimana kamu bisa berada di sini?" tanya Briana.Saat mereka masih bersekolah di SMA, hubungan Briana dan Saga berlangsung cukup lama. Mereka berpisah saat Saga kuliah di luar negeri, dan akhirnya mereka bertemu kembali sebelum Briana menjalin hubungan dengan Gian. Sayangnya, Briana menjauhi Saga tanpa memberikan alasan yang jelas. Saat itu, Briana merasa sangat kotor dan tidak pantas bagi Saga."Aku tinggal di sini, Bri. Hai, Zee," sapa Saga bayi kecil yang ada di kereta dorong, yaitu bayi Mutia yang sudah lama mengenal Saga. "Briana, apakah dia temanmu, Mut?" tanya Saga kepada Mutia."Dia tetangga baru, Mon. Bagaimana mungkin kamu belum tahu? Rumah di ujung sana, sekarang dimiliki oleh Mbak Briana," jawab Mutia. "Aku duluan ya, seper
"Mommy, puasa itu apa?" Ethan selalu penasaran dengan kata-kata baru yang dia dengar. Apalagi jika kata-kata itu tampak menarik baginya."Em, puasa itu, menahan diri, Sayang. Menahan diri dari makan, minum, marah-marah. Intinya, puasa adalah tentang menahan diri. Apakah Ethan mengerti?" tanya Briana."Iya, Mommy. Ethan mengerti kok. Berarti Daddy tidak akan makan Mommy, bukan?" tanya Ethan, yang tampaknya masih ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut."Buayanya yang puasa, Ethan. Kamu memang seperti Kancil," kata Gian."Biarkan, Kancil itu cerdik. Tidak seperti Daddy, Buaya. Lebih baik jadi Kancil daripada Buaya. Saling menjilat adalah tindakan Buaya." Ethan sepertinya tidak lagi berpihak pada ayahnya setelah insiden 'dimakan Buaya' yang membuat leher Briana merah. Ethan masih waspada, takut kejadian itu terulang."Kita akan lihat saja nanti. Pasti Buaya bisa mengalahkan Kancil. Buaya adalah hewan buas, sedangkan Kancil kecil, pasti kalah." Gian
Gian, Briana, dan Ethan sudah mengenakan pakaian rapi saat mereka turun ke lantai bawah. Di meja makan, Mama, Papa, dan nenek Gian sudah menunggu. Briana merasa bersalah karena tidak membantu membuat sarapan."Maaf, Tante. Ehm, maksudku Mama. Maaf, ya Bri tidak membantu bikin sarapan," ucap Briana dengan perasaan bersalah.Gian memberikan tatapan pengertian pada Briana. Dia tahu bahwa Briana masih merasa canggung tinggal bersama keluarganya. Mungkin nanti dia akan membawa Briana dan Ethan pulang ke rumah mereka sendiri agar Briana merasa lebih bebas dan tidak kaku."Tidak apa-apa, Sayang. Bibi sudah masak kok. Ayo kita sarapan!" ajak Mama Dona.Briana menarik kursi dan duduk bersama keluarga Gian."Kami mengerti kok. Ini wajar untuk pengantin baru. Tidak usah sungkan, ini juga adalah rumahmu," sahut nenek Gian.Gian tersenyum dan menggenggam tangan Briana. Mereka saling menatap, menyiratkan bahwa Gian memahami perasaan Briana."Mengap
Gian sudah sangat dongkol saat ini. Ia hanya bisa merebahkan tubuhnya sambil memijat kepalanya yang terasa sangat pusing. Berkali-kali ia menggaruk kepala, bingung harus berbuat apa. Ethan masih menangis karena melihat tanda merah di leher mommynya.Sampai akhirnya, Gian membelakangi Ethan dan Briana, lalu ia menggigit guling yang dipeluknya."Udah dong, Ethan, nggak usah nangis terus. Mommy aja nggak kenapa-napa. Kok kamu yang nangis." Briana menghapus air mata putranya yang berjatuhan."Ethan sayang Mommy. Kenapa Daddy gigit, Mommy?" Ethan masih terisak."Ethan, mommy bilang digigit nyamuk ya, digigit nyamuk. Ethan nggak percaya sama Mommy?" Briana bertanya dengan nada yang tegas.Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar Gian. Dengan malas, Gian membuka pintunya dan melihat mamanya di balik pintu."Ethan kenapa? Kayaknya kencang banget nangisnya." Mama Dona mencoba mengintip ke dalam kamar Gian. Ada Briana yang sedang memangku Ethan yang me
"Papa, jangan pergi! Jangan tinggalkan aku. Aku sangat menyayangi Papa," Briana terus menangis sambil memeluk erat tubuh papanya yang terbaring. Wanita yang baru saja menjadi seorang istri itu terus tersedu. Ia memang marah, tapi bukan berarti ia siap kehilangan papanya. Gian terkejut dengan apa yang sedang dilakukan Briana. Laki-laki yang baru saja menikahi pujaan hatinya itu langsung memencet tombol bel untuk memanggil dokter. Semua orang tentu saja panik. Begitu pun dengan Davira dan ibunya. Papa Gian meminta segelintir orang yang menjadi saksi pernikahan Gian dan Briana untuk pulang. Tidak lama, dokter datang untuk memeriksa keadaan Pak Leo. Gian mengajak Briana untuk menunggu di luar. Ia memeluk Briana yang masih sangat syok. "Gi, Papa." Ucap Briana sambil terus menangis. "Papa pasti baik-baik saja, Bri. Kita doakan semoga dokter bisa menyelamatkan Papa." Kata Gian menenangkan Briana. Briana menangis dalam pelukan Gian yang kini m
Briana menolak saat Davira memintanya untuk pergi ke rumah sakit. Bagi Briana, apa pun keadaan papanya saat ini, itu tidak akan mengurangi rasa sakit hatinya terhadap sang papa. Dia sudah terlanjur kecewa, dan kecewanya itu sudah sangat mendalam.Briana baru saja selesai memandikan Ethan. Dia sebenarnya ingin pulang, tapi Gian melarangnya dengan alasan pekerjaan. Sebagai asisten pribadi Gian, Briana harus mendampingi Gian saat jam kerja, terutama saat Gian sedang sakit."Jadi aku tidak perlu pulang? Tidak perlu mandi? Tidak perlu ganti baju?" keluh Briana sambil mengganti pakaian Ethan. Tentu saja Ethan memiliki pakaian yang cukup, karena oma dan opa-nya baru-baru ini membeli banyak pakaian dan mainan untuknya."Itu mudah, Bri. Nanti aku minta Faris untuk mengurus semuanya. Dia akan datang ke sini dan menyelesaikan pekerjaanku," jawab Gian.Briana menyelesaikan mengenakan pakaian untuk Ethan. Dia mengambil piring makanan yang ada di lemari, lalu mulai men
Briana bergerak untuk melindungi Gian. Air mata mulai mengalir melewati pipinya saat melihat wajah Gian yang penuh luka. Briana merasa semakin tersentuh saat Gian mencoba tersenyum dengan bibir yang terluka."Ini tidak sebanding dengan empat tahun yang telah aku lewati, Bri. Jangan menangis!" Gian mengusap air mata yang menggenang di wajah Briana yang cantik."Bnagunlah, Gi!" Briana mencoba membantu Gian."Dia mengatakan bahwa ini tidak sebanding, bukan? Seharusnya kamu dihajar dan membusuk di penjara!" hardik papa yang saat itu dipegangi oleh Davira dan ibunya.Briana bangkit setelah membantu Gian duduk. Dia berdiri sejajar dengan ayahnya yang masih sangat emosional. "Papa pikir apa yang Papa lakukan itu benar?" tanya Briana sambil menghapus air matanya. " Papa tidak berhak memukuli Gian seperti itu.""Dia sudah mencemarkan namamu, dan kamu membela dia?" tanya Papa dengan nada kesal."Aku tidak membela siapa pun. Yang aku sesalkan adalah me
Setelah mengembalikan ikan gurami berukuran besar ke dalam kolam, Ethan dan kakeknya duduk berjongkok, mengawasi ikan-ikan yang berenang dengan bebas. Kakek itu memandang cucunya yang sangat mirip dengan Gian. Satu-satunya perbedaan adalah, Ethan lebih tertarik pada ikan, sama seperti ayahnya, sementara Gian sama sekali tidak tertarik pada binatang itu."Pa, Ethan sungguh lucu, ya," kata Mama Dona yang kini duduk di samping suaminya.Papa Gian hanya diam, enggan menanggapi perkataan istrinya. Dia lebih suka mengamati Ethan dengan diam-diam. Bocah tampan berkulit putih itu memang sangat lucu dan menggemaskan. Papa merasa seperti melihat masa kecil Gian.Mama Dona tersenyum bahagia karena melihat papanya Gian tersenyum sambil memandang cucunya. Meskipun papa Gibran tidak mengungkapkannya dengan kata-kata, mama tahu bahwa papa sudah menerima Ethan.Nenek Gian baru saja pulang dari rumah senam dan tiba-tiba muncul, langsung girang saat melihat Ethan. "Cicit n
Gian merasa kaget saat Briana mengatakan bahwa ia bukan tipe pria yang disukai Briana. Sementara itu, papa Gibran mulai tertarik dan penasaran dengan kepribadian yang dimiliki Briana."Kalau misalnya tidak ada Ethan, apakah kamu mau menikah dengan anak saya?" tanya papa Gibran kepada Briana.Briana tersenyum canggung. Dia ingin menjawab jujur, namun takut melukai perasaan Gian dan orang tuanya. Jika dia tidak jujur, bisa saja dia melukai dirinya sendiri."Em....""Jawab jujur saja, Bri!" ucap Gian dengan percaya diri. "Aku kan, tampan, kaya, pekerja keras, dan pastinya bisa membuatmu bahagia." Gian sangat yakin bahwa dia bisa memenangkan hati Briana dengan kelebihannya.Briana menggelengkan kepala dengan kesal. Dia sampai menghela nafas dalam-dalam. "Kalau boleh jujur." Briana tidak melanjutkan kalimatnya karena Ethan masih ada di dekatnya."Tidak masalah, biar Ethan bersama Mama saja. Ayo Ethan, kita lihat ikan di belakang sana." Mama Dona