Briana tertawa sinis mendengar penawaran Gian. Menikah? Semudah itu sakit hatinya diselesaikan dengan menikah?
"Tidak, Gi. Aku tidak bisa, bahkan demi Ethan. Suatu hari nanti, Ethan juga akan mengerti mengapa orang tuanya seperti ini," tolak Briana.
"Kamu bisa melaporkan aku ke polisi, Bri. Asalkan kamu mau memaafkanku, sungguh, aku tidak tahu bahwa semuanya akan berakhir seperti ini," mohon Gian.
"Aku tidak sekejam itu, Gi. Itu hanya akan menyakiti hati Ethan. Penyesalan selalu datang di akhir." Ucap Briana dengan bijak.
"Apa yang harus aku lakukan lagi, Bri? Bagaimana aku bisa menebus kesalahanku padamu?" tanya Gian yang sudah prustasi.
"Jangan tanyakan padaku, pikirkan sendiri!" Briana meletakkan kotak berisi kenangan masa lalu di meja di samping Gian. Lalu, Briana berjalan masuk untuk melihat Ethan.
Ketika sampai di kamar Gian, Briana melihat mama dan nenek Gian berada di sana.
"Tadi mama melihat kamu sedang berbicara dengan Gian,
Davira merasa bingung harus memberikan jawaban yang tepat. Dia memberikan isyarat kepada Briana untuk menjelaskan situasinya sendiri. Namun, Briana juga merasa kebingungan dalam menanggapi pertanyaan Ethan."Tante, kenapa Tante diam saja? Apakah Tante tahu kenapa Daddy tidak tinggal di rumah Ethan?" tanya Ethan lagi."Ethan, makan dulu!" perintah Briana, yang langsung mendapat tatapan protes dari anaknya."Mommy, Ethan masih ingin ngobrol sama Tante," rengek bocah itu."Ethan, tidak melihat bahwa Tante juga bingung. Sekarang, makanlah, Mommy akan memberimu makan. Jangan pikirkan itu lagi, yang penting Ethan sudah bertemu Daddy, bukan?" kata Briana."Iya, Mommy," jawab Ethan sambil turun dari pangkuan Davira."Maaf ya, Ethan Sayang. Tante tidak tahu," kata Davira sembari mengusap pipi Ethan. Ethan membalasnya dengan anggukan lemah, padahal ia sangat penasaran.Setelah Ethan selesai makan, ia bermain game di ponsel Briana. Sementara itu
Ethan menikmati saat-saatnya bersama Gian dan Briana. Gian telah memenuhi satu permintaan kecil dari anak kecil yang polos itu. Tangan kecil yang tidak bersalah itu menggenggam erat tangan Briana dan Gian, bergerak serasi mengikuti langkah-langkah kecilnya di dalam pusat perbelanjaan."Daddy, Ethan ingin naik itu!" Ethan menunjuk ke arah eskalator yang sedang beroperasi. Keberuntungan datang ketika mereka melihat seorang anak kecil yang dipegang oleh ayahnya saat naik eskalator."Baiklah. Ayo kita ke sana," kata Gian sambil menggendong putranya. Nampaknya Gian sangat bahagia memiliki Ethan. Dia mencium pipi Ethan dengan penuh kasih sayang, lalu melirik Briana yang memperhatikannya. "Ada yang ingin kamu beli, Bri?" tanya Gian.Tanggapan Briana adalah, "Tidak, aku hanya senang menikmati waktu bersama Ethan.""Baik. Jika ada yang ingin kamu beli, beritahu saja, Bri. Jangan ragu-ragu." Kata Gian.Briana hanya mengangguk. Mereka pun mengikuti keinginan
Sesuai janji yang diberikan kepada Ethan, Gian pulang ke rumah baru mereka. Ethan yang melihat ayahnya datang langsung berlari mendekat dan memeluknya. Gian tersenyum dan menggendong putranya, rasa lelah dan kesalnya seketika hilang saat melihat wajah Ethan yang sedang bahagia."Daddy, udah pulang kerja?" tanya Ethan."Udah, Sayang. Ethan lagi apa tadi?" tanya Gian."Lagi mewarnai, tadi Mommy beliin Ethan buku sama pensil warna, Daddy." Jawab Ethan."Emang Ethan udah bisa mewarnai?" tanya Gian kembali."Bisa, Daddy, tapi kata Mommy nggak boleh warnai di tembok." Jawab Ethan."Kalau berani warnai di tembok, nanti Mommy suruh Daddy buat hapus gambar laba-laba itu," sahut Briana yang sedang menyiapkan makan malam.Gian sangat bahagia dengan pemandangan di depan matanya. Pulang kerja disambut oleh anaknya, dan Briana yang menyiapkan makanan untuknya. Ia merasa seperti memiliki keluarga yang bahagia."Ethan, jangan dong. Itu daddy p
Gian merasa kaget saat Briana mengatakan bahwa ia bukan tipe pria yang disukai Briana. Sementara itu, papa Gibran mulai tertarik dan penasaran dengan kepribadian yang dimiliki Briana."Kalau misalnya tidak ada Ethan, apakah kamu mau menikah dengan anak saya?" tanya papa Gibran kepada Briana.Briana tersenyum canggung. Dia ingin menjawab jujur, namun takut melukai perasaan Gian dan orang tuanya. Jika dia tidak jujur, bisa saja dia melukai dirinya sendiri."Em....""Jawab jujur saja, Bri!" ucap Gian dengan percaya diri. "Aku kan, tampan, kaya, pekerja keras, dan pastinya bisa membuatmu bahagia." Gian sangat yakin bahwa dia bisa memenangkan hati Briana dengan kelebihannya.Briana menggelengkan kepala dengan kesal. Dia sampai menghela nafas dalam-dalam. "Kalau boleh jujur." Briana tidak melanjutkan kalimatnya karena Ethan masih ada di dekatnya."Tidak masalah, biar Ethan bersama Mama saja. Ayo Ethan, kita lihat ikan di belakang sana." Mama Dona
Setelah mengembalikan ikan gurami berukuran besar ke dalam kolam, Ethan dan kakeknya duduk berjongkok, mengawasi ikan-ikan yang berenang dengan bebas. Kakek itu memandang cucunya yang sangat mirip dengan Gian. Satu-satunya perbedaan adalah, Ethan lebih tertarik pada ikan, sama seperti ayahnya, sementara Gian sama sekali tidak tertarik pada binatang itu."Pa, Ethan sungguh lucu, ya," kata Mama Dona yang kini duduk di samping suaminya.Papa Gian hanya diam, enggan menanggapi perkataan istrinya. Dia lebih suka mengamati Ethan dengan diam-diam. Bocah tampan berkulit putih itu memang sangat lucu dan menggemaskan. Papa merasa seperti melihat masa kecil Gian.Mama Dona tersenyum bahagia karena melihat papanya Gian tersenyum sambil memandang cucunya. Meskipun papa Gibran tidak mengungkapkannya dengan kata-kata, mama tahu bahwa papa sudah menerima Ethan.Nenek Gian baru saja pulang dari rumah senam dan tiba-tiba muncul, langsung girang saat melihat Ethan. "Cicit n
Briana bergerak untuk melindungi Gian. Air mata mulai mengalir melewati pipinya saat melihat wajah Gian yang penuh luka. Briana merasa semakin tersentuh saat Gian mencoba tersenyum dengan bibir yang terluka."Ini tidak sebanding dengan empat tahun yang telah aku lewati, Bri. Jangan menangis!" Gian mengusap air mata yang menggenang di wajah Briana yang cantik."Bnagunlah, Gi!" Briana mencoba membantu Gian."Dia mengatakan bahwa ini tidak sebanding, bukan? Seharusnya kamu dihajar dan membusuk di penjara!" hardik papa yang saat itu dipegangi oleh Davira dan ibunya.Briana bangkit setelah membantu Gian duduk. Dia berdiri sejajar dengan ayahnya yang masih sangat emosional. "Papa pikir apa yang Papa lakukan itu benar?" tanya Briana sambil menghapus air matanya. " Papa tidak berhak memukuli Gian seperti itu.""Dia sudah mencemarkan namamu, dan kamu membela dia?" tanya Papa dengan nada kesal."Aku tidak membela siapa pun. Yang aku sesalkan adalah me
Briana menolak saat Davira memintanya untuk pergi ke rumah sakit. Bagi Briana, apa pun keadaan papanya saat ini, itu tidak akan mengurangi rasa sakit hatinya terhadap sang papa. Dia sudah terlanjur kecewa, dan kecewanya itu sudah sangat mendalam.Briana baru saja selesai memandikan Ethan. Dia sebenarnya ingin pulang, tapi Gian melarangnya dengan alasan pekerjaan. Sebagai asisten pribadi Gian, Briana harus mendampingi Gian saat jam kerja, terutama saat Gian sedang sakit."Jadi aku tidak perlu pulang? Tidak perlu mandi? Tidak perlu ganti baju?" keluh Briana sambil mengganti pakaian Ethan. Tentu saja Ethan memiliki pakaian yang cukup, karena oma dan opa-nya baru-baru ini membeli banyak pakaian dan mainan untuknya."Itu mudah, Bri. Nanti aku minta Faris untuk mengurus semuanya. Dia akan datang ke sini dan menyelesaikan pekerjaanku," jawab Gian.Briana menyelesaikan mengenakan pakaian untuk Ethan. Dia mengambil piring makanan yang ada di lemari, lalu mulai men
"Papa, jangan pergi! Jangan tinggalkan aku. Aku sangat menyayangi Papa," Briana terus menangis sambil memeluk erat tubuh papanya yang terbaring. Wanita yang baru saja menjadi seorang istri itu terus tersedu. Ia memang marah, tapi bukan berarti ia siap kehilangan papanya. Gian terkejut dengan apa yang sedang dilakukan Briana. Laki-laki yang baru saja menikahi pujaan hatinya itu langsung memencet tombol bel untuk memanggil dokter. Semua orang tentu saja panik. Begitu pun dengan Davira dan ibunya. Papa Gian meminta segelintir orang yang menjadi saksi pernikahan Gian dan Briana untuk pulang. Tidak lama, dokter datang untuk memeriksa keadaan Pak Leo. Gian mengajak Briana untuk menunggu di luar. Ia memeluk Briana yang masih sangat syok. "Gi, Papa." Ucap Briana sambil terus menangis. "Papa pasti baik-baik saja, Bri. Kita doakan semoga dokter bisa menyelamatkan Papa." Kata Gian menenangkan Briana. Briana menangis dalam pelukan Gian yang kini m
Briana menatap laki-laki yang kini memegang botol di tangannya. Botol itulah yang tadi ditendang Ethan sampai akhirnya mengenai kepala laki-laki itu.“Kenapa dia ada di tempat ini?” batin Briana."Saga, bagaimana kamu bisa berada di sini?" tanya Briana.Saat mereka masih bersekolah di SMA, hubungan Briana dan Saga berlangsung cukup lama. Mereka berpisah saat Saga kuliah di luar negeri, dan akhirnya mereka bertemu kembali sebelum Briana menjalin hubungan dengan Gian. Sayangnya, Briana menjauhi Saga tanpa memberikan alasan yang jelas. Saat itu, Briana merasa sangat kotor dan tidak pantas bagi Saga."Aku tinggal di sini, Bri. Hai, Zee," sapa Saga bayi kecil yang ada di kereta dorong, yaitu bayi Mutia yang sudah lama mengenal Saga. "Briana, apakah dia temanmu, Mut?" tanya Saga kepada Mutia."Dia tetangga baru, Mon. Bagaimana mungkin kamu belum tahu? Rumah di ujung sana, sekarang dimiliki oleh Mbak Briana," jawab Mutia. "Aku duluan ya, seper
"Mommy, puasa itu apa?" Ethan selalu penasaran dengan kata-kata baru yang dia dengar. Apalagi jika kata-kata itu tampak menarik baginya."Em, puasa itu, menahan diri, Sayang. Menahan diri dari makan, minum, marah-marah. Intinya, puasa adalah tentang menahan diri. Apakah Ethan mengerti?" tanya Briana."Iya, Mommy. Ethan mengerti kok. Berarti Daddy tidak akan makan Mommy, bukan?" tanya Ethan, yang tampaknya masih ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut."Buayanya yang puasa, Ethan. Kamu memang seperti Kancil," kata Gian."Biarkan, Kancil itu cerdik. Tidak seperti Daddy, Buaya. Lebih baik jadi Kancil daripada Buaya. Saling menjilat adalah tindakan Buaya." Ethan sepertinya tidak lagi berpihak pada ayahnya setelah insiden 'dimakan Buaya' yang membuat leher Briana merah. Ethan masih waspada, takut kejadian itu terulang."Kita akan lihat saja nanti. Pasti Buaya bisa mengalahkan Kancil. Buaya adalah hewan buas, sedangkan Kancil kecil, pasti kalah." Gian
Gian, Briana, dan Ethan sudah mengenakan pakaian rapi saat mereka turun ke lantai bawah. Di meja makan, Mama, Papa, dan nenek Gian sudah menunggu. Briana merasa bersalah karena tidak membantu membuat sarapan."Maaf, Tante. Ehm, maksudku Mama. Maaf, ya Bri tidak membantu bikin sarapan," ucap Briana dengan perasaan bersalah.Gian memberikan tatapan pengertian pada Briana. Dia tahu bahwa Briana masih merasa canggung tinggal bersama keluarganya. Mungkin nanti dia akan membawa Briana dan Ethan pulang ke rumah mereka sendiri agar Briana merasa lebih bebas dan tidak kaku."Tidak apa-apa, Sayang. Bibi sudah masak kok. Ayo kita sarapan!" ajak Mama Dona.Briana menarik kursi dan duduk bersama keluarga Gian."Kami mengerti kok. Ini wajar untuk pengantin baru. Tidak usah sungkan, ini juga adalah rumahmu," sahut nenek Gian.Gian tersenyum dan menggenggam tangan Briana. Mereka saling menatap, menyiratkan bahwa Gian memahami perasaan Briana."Mengap
Gian sudah sangat dongkol saat ini. Ia hanya bisa merebahkan tubuhnya sambil memijat kepalanya yang terasa sangat pusing. Berkali-kali ia menggaruk kepala, bingung harus berbuat apa. Ethan masih menangis karena melihat tanda merah di leher mommynya.Sampai akhirnya, Gian membelakangi Ethan dan Briana, lalu ia menggigit guling yang dipeluknya."Udah dong, Ethan, nggak usah nangis terus. Mommy aja nggak kenapa-napa. Kok kamu yang nangis." Briana menghapus air mata putranya yang berjatuhan."Ethan sayang Mommy. Kenapa Daddy gigit, Mommy?" Ethan masih terisak."Ethan, mommy bilang digigit nyamuk ya, digigit nyamuk. Ethan nggak percaya sama Mommy?" Briana bertanya dengan nada yang tegas.Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar Gian. Dengan malas, Gian membuka pintunya dan melihat mamanya di balik pintu."Ethan kenapa? Kayaknya kencang banget nangisnya." Mama Dona mencoba mengintip ke dalam kamar Gian. Ada Briana yang sedang memangku Ethan yang me
"Papa, jangan pergi! Jangan tinggalkan aku. Aku sangat menyayangi Papa," Briana terus menangis sambil memeluk erat tubuh papanya yang terbaring. Wanita yang baru saja menjadi seorang istri itu terus tersedu. Ia memang marah, tapi bukan berarti ia siap kehilangan papanya. Gian terkejut dengan apa yang sedang dilakukan Briana. Laki-laki yang baru saja menikahi pujaan hatinya itu langsung memencet tombol bel untuk memanggil dokter. Semua orang tentu saja panik. Begitu pun dengan Davira dan ibunya. Papa Gian meminta segelintir orang yang menjadi saksi pernikahan Gian dan Briana untuk pulang. Tidak lama, dokter datang untuk memeriksa keadaan Pak Leo. Gian mengajak Briana untuk menunggu di luar. Ia memeluk Briana yang masih sangat syok. "Gi, Papa." Ucap Briana sambil terus menangis. "Papa pasti baik-baik saja, Bri. Kita doakan semoga dokter bisa menyelamatkan Papa." Kata Gian menenangkan Briana. Briana menangis dalam pelukan Gian yang kini m
Briana menolak saat Davira memintanya untuk pergi ke rumah sakit. Bagi Briana, apa pun keadaan papanya saat ini, itu tidak akan mengurangi rasa sakit hatinya terhadap sang papa. Dia sudah terlanjur kecewa, dan kecewanya itu sudah sangat mendalam.Briana baru saja selesai memandikan Ethan. Dia sebenarnya ingin pulang, tapi Gian melarangnya dengan alasan pekerjaan. Sebagai asisten pribadi Gian, Briana harus mendampingi Gian saat jam kerja, terutama saat Gian sedang sakit."Jadi aku tidak perlu pulang? Tidak perlu mandi? Tidak perlu ganti baju?" keluh Briana sambil mengganti pakaian Ethan. Tentu saja Ethan memiliki pakaian yang cukup, karena oma dan opa-nya baru-baru ini membeli banyak pakaian dan mainan untuknya."Itu mudah, Bri. Nanti aku minta Faris untuk mengurus semuanya. Dia akan datang ke sini dan menyelesaikan pekerjaanku," jawab Gian.Briana menyelesaikan mengenakan pakaian untuk Ethan. Dia mengambil piring makanan yang ada di lemari, lalu mulai men
Briana bergerak untuk melindungi Gian. Air mata mulai mengalir melewati pipinya saat melihat wajah Gian yang penuh luka. Briana merasa semakin tersentuh saat Gian mencoba tersenyum dengan bibir yang terluka."Ini tidak sebanding dengan empat tahun yang telah aku lewati, Bri. Jangan menangis!" Gian mengusap air mata yang menggenang di wajah Briana yang cantik."Bnagunlah, Gi!" Briana mencoba membantu Gian."Dia mengatakan bahwa ini tidak sebanding, bukan? Seharusnya kamu dihajar dan membusuk di penjara!" hardik papa yang saat itu dipegangi oleh Davira dan ibunya.Briana bangkit setelah membantu Gian duduk. Dia berdiri sejajar dengan ayahnya yang masih sangat emosional. "Papa pikir apa yang Papa lakukan itu benar?" tanya Briana sambil menghapus air matanya. " Papa tidak berhak memukuli Gian seperti itu.""Dia sudah mencemarkan namamu, dan kamu membela dia?" tanya Papa dengan nada kesal."Aku tidak membela siapa pun. Yang aku sesalkan adalah me
Setelah mengembalikan ikan gurami berukuran besar ke dalam kolam, Ethan dan kakeknya duduk berjongkok, mengawasi ikan-ikan yang berenang dengan bebas. Kakek itu memandang cucunya yang sangat mirip dengan Gian. Satu-satunya perbedaan adalah, Ethan lebih tertarik pada ikan, sama seperti ayahnya, sementara Gian sama sekali tidak tertarik pada binatang itu."Pa, Ethan sungguh lucu, ya," kata Mama Dona yang kini duduk di samping suaminya.Papa Gian hanya diam, enggan menanggapi perkataan istrinya. Dia lebih suka mengamati Ethan dengan diam-diam. Bocah tampan berkulit putih itu memang sangat lucu dan menggemaskan. Papa merasa seperti melihat masa kecil Gian.Mama Dona tersenyum bahagia karena melihat papanya Gian tersenyum sambil memandang cucunya. Meskipun papa Gibran tidak mengungkapkannya dengan kata-kata, mama tahu bahwa papa sudah menerima Ethan.Nenek Gian baru saja pulang dari rumah senam dan tiba-tiba muncul, langsung girang saat melihat Ethan. "Cicit n
Gian merasa kaget saat Briana mengatakan bahwa ia bukan tipe pria yang disukai Briana. Sementara itu, papa Gibran mulai tertarik dan penasaran dengan kepribadian yang dimiliki Briana."Kalau misalnya tidak ada Ethan, apakah kamu mau menikah dengan anak saya?" tanya papa Gibran kepada Briana.Briana tersenyum canggung. Dia ingin menjawab jujur, namun takut melukai perasaan Gian dan orang tuanya. Jika dia tidak jujur, bisa saja dia melukai dirinya sendiri."Em....""Jawab jujur saja, Bri!" ucap Gian dengan percaya diri. "Aku kan, tampan, kaya, pekerja keras, dan pastinya bisa membuatmu bahagia." Gian sangat yakin bahwa dia bisa memenangkan hati Briana dengan kelebihannya.Briana menggelengkan kepala dengan kesal. Dia sampai menghela nafas dalam-dalam. "Kalau boleh jujur." Briana tidak melanjutkan kalimatnya karena Ethan masih ada di dekatnya."Tidak masalah, biar Ethan bersama Mama saja. Ayo Ethan, kita lihat ikan di belakang sana." Mama Dona