BAB 3
"Mas gimana masih nggak mau buka pintu istri pertamamu? Ya sudahlah biarkan saja. Kan masih ada aku," ucap Maya yang tiba-tiba saja membuatku dongkol.
"Kalau dia mau buka pintu, aku tidak mungkin masih di sini! Kalau bertanya itu yang pakai logika kenapa!" bentakku membuat Maya terdiam. Tak peduli apa yang dia pikirkan.
"Minggir kamu! Aku mau dobrak pintunya!" pintaku dengan nada suara yang meninggi. Tampak mata Maya berkaca-kaca. Tapi, aku tak memperdulikannya karena fokusku saat ini ada pada Indah.
Maya menyingkir, aku pun mulai mengambil ancang-ancang. Satu, dua, dan…
Brak!
Brak!
Brak!
Akhirnya setelah mencoba tiga kali hingga badanku terasa sakit, pintu itu terbuka juga.
"Ma! Mama!" panggilku. Aku mencari saklar lampu karena suasana di dalam kamar seperti kosong.
Tek!
Betul saja. Saat lampu menyala Indah tidak ada di dalam kamarnya. Jelas saja membuatku semakin panik.
"Ma! Kamu kemana? Ini sudah larut malam. Kenapa pergi tidak memberi kabar?" Jujur saja aku merasa panik. Ada-ada saja Indah itu. Kenapa egois sekali. Pakai acara pergi dari rumah tanpa pamit pula. Seperti anak kecil saja. Apa salahnya menerima pernikahan ini. Toh aku menikah lagi semata-mata juga agar bisa mendapatkan anak dan bisa menjaga kita kelak jika sudah tua nanti.
"Mas sudahlah! Mbak Indah itu sudah dewasa. Mungkin dia sedang mencari ketenangan agar pikirannya tenang. Pergi ke tempat orang tuanya mungkin? Karena jika mengadu ke mertua tidak mungkin! Orang tuamu kan sudah meninggal Mas!" ucap Maya.
"Sudah kamu diam saja! Masuk kamar sana. Jangan buat aku tambah pusing. Keluar cepat dan masuk ke kamarmu!" ujarku daripada Maya menjadi sasaran kemarahanku nantinya.
"Dimana-mana, malam pengantin itu lagi seneng-senengnya. Ini malah kaya gini!" protesnya seraya berlalu.
Seperginya Maya, sejenak aku duduk di depan cermin. Memikirkan kemana Indah pergi. Mungkinkah dia pulang ke rumah mertuaku? Tapi sepertinya tidak mungkin karena rumah mertuaku bahkan sangatlah jauh. Aku tahu betul tentang Indah, dia tidak mungkin pergi jauh tanpa pamit padaku. Selama 10 tahun menjadi istriku, baru kali ini dia meninggalkan rumah tanpa pamit.
Netraku menangkap sebuah buku catatan miliknya. Iseng aku Membuka buku itu. Siapa tahu dapat kutemukan petunjuk. Biasanya, perempuan suka menggoreskan tintanya di sana.
[AKU SAKIT] Ku baca judul dalam tulisan di atas. Dengan seksama. Namun, sebelum itu aku beranjak untuk menutup pintu kamar kemudian mengganjalnya dari dalam menggunakan sofa. Karena pintunya rusak dan tidak bisa terkunci. Jelas saja agar Maya tidak masuk tiba-tiba saat aku tengah serius membaca goresan Tinta dari tangan Indah.
[Hari ini adalah hari pernikahan suami dan temanku. Teman yang bekerja sebagai sekretaris suamiku di kantor. Ini seperti mimpi dalam hidupku. Semua ucapan Mas Danang yang akan setia semua hanya ucapan semata. Tidak ada buktinya. Apakah begitu ucapan laki-laki? Tidak bisa dipegang? "Aku akan menerima Indah apa adanya, Pak. Bahkan sekalipun Indah Mandul, aku akan tetap setia dan menjaganya," ucapnya kala itu sebelum menjadikanku seorang istri. Namun, ucapan hanya tinggalah ucapan. Faktanya dia menikah lagi.]
[Aku hanyalah wanita biasa yang juga lemah. Saat suamiku mengutarakan keinginannya untuk menikah lagi, jelas saja hatiku terasa sangat sakit. Sakit sekali. Duniaku seakan runtuh. Aku seperti tidak punya kaki supaya kuat untuk berdiri. Wajar aku merasa seperti itu karena aku mencintai suamiku.]
[Hal yang paling menyakitkan adalah saat dia memintaku untuk menghadiri acara pernikahannya. Sungguh, hati suamiku itu seakan sudah tertutup kabut. Apa dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku? Bagaimana sakitnya aku menyaksikan pernikahan itu? Saat mendengar kabar dia ingin menikah, dan melihatnya bermesraan dengan calon istri barunya saja sudah sangat menyiksa dan membuat dada ini terasa sesak, sakit untuk bernafas. Apalagi menyaksikan pernikahan itu? Aku tidak cukup kuat untuk melakukannya. Hingga aku pun memilih untuk tidak menghadirinya. Bahkan melihat pakaian yang diberikan calon maduku saja sudah mampu membuat air mataku mengalir deras.]
[Sekarang aku tidak tahu lagi kedepannya akan seperti apa? Ikhlaskah aku dimadu? Meskipun aku tahu, aku tidak sempurna dan suamiku memang punya hak untuk menikah lagi. Aku sadar itu, tapi hatiku pun tidak siap. Rasanya sangat-sangat menyakitkan. Aku tak kuasa jika harus melihatnya keluar kamar bersama perempuan lain. Aku tak sanggup. Entahlah, mungkinkah aku akan bertahan? Atau memilih untuk meninggalkan Mas Danang. Yang jelas saat ini aku sakit ….]
"Kamu tidak boleh meninggalkan aku, Indah. Kamu harus bertahan. Aku akan memberimu sebuah pemahaman dan nasihat betapa pentingnya seorang anak untuk masa tua kita nanti. Rasa sakitmu akan hilang seiring berjalannya waktu."
"Maafkan aku yang tidak bisa menepati janjiku. Karena bagiku keturunan itu sangat penting. Ndah. Tapi aku janji aku akan terus menyayangimu. Kamu hanya perlu waktu untuk menerima semua ini dan menghilangkan rasa sakitmu. Aku yakin kamu akan bisa menerimanya karena aku tahu kamu mencintaiku dan tidak bisa hidup tanpaku. Aku yakin itu. Kamu hanya harus mengesampingkan egomu, Ndah."
Tok ...tok … tok ….!
"Mas aku ngantuk! Cepat buka pintunya. Ngapain sih pake acara ditutup segala?" teriak Maya dari luar.
Aku pun segera beranjak. Kembali menarik sofa dan membuka pintunya.
"Kamu ngapain sih, Mas?" protes Maya.
"Nggak apa-apa, Sayang. Maaf ya, Mas tadi ngebentak kamu," ujarku sembari mengelus rambutnya. Maya nampak sangat cantik dengan lingerie berwarna putih tipis yang ia kenakan.
"Aku ngerti kok, aku paham perasaan kamu, Mas," ujarnya seraya bermanja. "Kamu sudah merasa tenang? Apa sudah tahu dimana keberadaan Mbak Indah?" tanyanya.
"Sudah. Benar kata kamu, mungkin Indah sedang menenangkan pikiran. Jadi biarkan saja dulu. Nanti juga dia pulang. Dia sudah bukan anak kecil lagi dan pasti punya pikiran. Aku dan Maya pun melanjutkan langkah kami menuju kamar pengantin yang mungkin sudah disiapkan oleh Maya meskipun tak seindah kamar pengantin lainnya. Tapi, yang terpenting kamarnya luas dan cukup nyaman untuk kami menghabiskan malam bersama.
Krek!
Langkahku terhenti seiring bunyi pintu terbuka. "Panjang umur, Mas. Itu Mbak Indah pulang," ucap Maya. Indah melirik penampilan Maya dari atas hingga bawah. Mungkin dari ujung kepala hingga ujung rambut. Segera aku pun menghampirinya.
"Dari mana kamu?" tanyaku.
"Dari tempat teman," singkatnya terlihat malas menjawab.
"Kenapa tidak meminta izin padaku? Ingat, Ndah! Aku ini suamimu! Hormati dan hargai keberadaanku," ujarku mengingatkan.
"Aku sudah meminta izinmu, aku sudah mengirim pesan untukmu. Tapi mungkin kamu terlalu sibuk hingga tak sempat membaca pesan dariku," ujarnya seraya berlalu.
"Sudah Mas, tak usah berdebat. Aku lelah dan ingin segera beristirahat. Mau punya anak gak?" bisik Maya mesra.
Belum sempat kami masuk ke kamar, Indah kembali keluar sambil menggelengkan kepala.
"Mau kemana kamu?" tanyaku lagi.
"Pindah kamar! Sepertinya ada yang sudah lancang masuk ke kamarku dan merusak pintunya. Entah kenapa orang itu suka sekali mengusik ketenanganku!" singkatnya.
"Oh, Mbak Indah mau pindah kamar ya? Bagus deh. Biar aku saja kalau begitu yang menempati kamar Mbak Indah ya?" ucap Maya. "Mas, kita pindah ke kamar Mbak Indah saja," ujar Maya.
"Tapi, May?"
"Pakailah kalau kalian ingin. Dan aku akan tidur di kamar atas," ujar Indah seraya bergegas menyusuri anak tangga.
"Sebaiknya kita memakai kamar lain saja, May. Apalagi disitu masih terisi pakaian Indah," ujarku karena ada perasaan tidak enak.
"Nggak apa-apa, Mas. Orang Mbak Indahnya juga yang mengizinkan kok."
"Tapi, May…."
"Nggak ada tapi-tapian. Ayo cepat." Maya pun menarik tanganku dan membawaku masuk ke kamar Indah.
Sampai di dalam, bau parfum Indah begitu menyengat. Membuatku merindukan akan kehangatan tubuhnya.
"Mas," Rajuk Maya setelah menutup pintu.
"Hum."
"Tolong matikan lampunya ya," ucapnya. Aku pun mengangguk…..
******
POV Indah….
Demi Tuhan ini sangat menyakitkan. Kalau sampai mereka pindah ke kamar kami, sementara pakaianku masih ada di kamar itu. Kalau seperti itu, mereka benar-benar tidak berperasaan dan berpikiran. Aku tidak boleh lemah dan aku harus kuat. Semua sudah terjadi, kini aku hanya bisa pasrah. Mencoba bertahan dan bersabar sampai batas mana. Melihat dulu bagaimana sikap mereka kedepannya.
Baiknya aku diam terlebih dulu sambil memperhatikan bagaimana sikap mereka. Untuk mencari kesibukan pun, mungkin aku akan kembali bekerja. Aku akan mencari pekerjaan di kantor Haris yang tak lain adalah saingan dari perusahaan Mas Danang. Aku juga akan meminta menjadi sekretarisnya. Aku tahu betul bahkan Mas Danang sangat membenci Haris. Dia mengira kalau Haris yang tak lain adalah teman kuliahku dulu itu, memiliki rasa untukku. Padahal itu hanyalah pemikiran Mas Danang saja. Permusuhan mereka bukan hanya dari bangku kuliah karena kebetulan kami kuliah di tempat yang sama. Tapi hingga ke perusahaan kami yang juga bersaing dengannya. Terutama produk yang dijual oleh perusahaan kami juga produk yang bersaing di pasaran. Ideku terlalu banyak tertimbun selama ini. Kini waktunya aku keluarkan semua kemampuan yang aku punya untuk bersaing dengan suamiku sendiri.
Begini caraku mengobati luka hati yang telah kau torehkan, Mas. Caramu meminta izin menikahi temanku sangat menyakitiku. Kau terus ingatkan aku sebagai wanita yang tak sempurna.
Kau bilang mencintaiku dan mau menerima kekuranganku. Bahkan saat aku mandul sekalipun. Tapi kenyataannya? Ucapanmu, janjimu, hanyalah pemanis yang kau gunakan untuk mendapatkanku dulu. Aku bukanlah wanita mandul karena dokter pun tidak mengatakan aku mandul. Hanya saja, memang aku belum dipercaya untuk memiliki keturunan. Tapi kau sudah menjudgeku seperti itu.
Caraku membalas sakit hatiku dengan bekerja di perusahaan musuhmu. Kau bekerja bersama istri barumu, lantas aku menjadi babu di rumah ini karena aku wanita rumahan? Oh tidak mungkin. Jika esok kau memberiku tugas seperti itu, maka aku akan dengan tegas menolaknya…..
Mari kita mulai permainan kita Mas. Aku pun ingin melihat seberapa adilnya dirimu.
Bab 4"Mas! Bangun, Sayang. Udah siang. Kamu hebat banget. Aku makin cinta sama kamu," puji Maya. Seumur-umur, Indah tidak pernah memuji kehebatanku seperti ini."Hem… udah jam berapa ini?" tanyaku. Hari ini sengaja bangun siang karena kami tidak berniat untuk pergi ke kantor. Maklum, pengantin baru."Jam sepuluh, Sayang. Perut aku krutuk-krutuk. Kayaknya lapar. Hehheeh," tawa Maya sambil memegangi perutnya."Mau mandi dulu apa sarapan dulu?" tanyaku."Mandi dulu lah, Mas. Keramas dulu. Oh iya, memang ada makanan?" tanyanya."Jangan khawatir kalau soal itu. Indah pasti sudah menyiapkan seperti biasanya. Dia pasti memaklumi kita
"Aku nggak nyangka, Mas. Kamu bisa semarah itu sama Indah," ucap Maya."Biar saja, May. Biar dia tahu diri. Memang wanita tak pandai bersyukur. Sudah dikasih hidup enak malah bertingkah. Apa susahnya sih membiarkanku menikah lagi? Toh aku bisa memberikannya nafkah. Aku memiliki uang yang bisa menjamin hidupnya. Cuma tinggal jadi istri saja kok banyak mau.""Masa Mas setega itu sih. Sampai rumah yang ditempati orang tua Indah harus diambil kasian mereka, Mas.""Tidak sudi dan tidak ikhlas hartaku dibagi untuknya. Kalau sudah cerai, ya mereka tidak punya hak apapun. Yang kerja aku, semua yang ada milikku. Mending punya anak, bisa untuk anak. Nggak ada anak ya nggak punya hak lah!""Masih mending biaya untuk kuliahnya dia aku tidak minta ganti rugi. Biaya ku
POV INDAH"Katanya mau minta tolong?" ujar Haris lagi."Kok kaya kebanyakan mikir?" lanjutnya."Katakan, Ndah. Jangan malu-malu. Kalau kami bisa bantu, akan kami bantu." Tiba-tiba saja Reyhan datang dan langsung menimpali. Pemuda dingin itu langsung duduk di sampingku membuat mata Haris nyaris membulat sempurna."Kenapa lo liatin gue segitunya?" tanya Reyhan."Nggak ada si, Rey. Cuma bingung aja. Tumben gitu," jawab Haris."Kamu katakan apa yang bisa kami bantu?" Kali ini Reyhan yang bertanya."Mau minta tolong aja ribet banget kamu, Ndah. Ngomong aja. Nggak usah nggak enak-enakan!" lanjutnya lagi. Ya Allah, jutek banget Reyha
POV DANANGPagi ini aku sangat senang sekali hatinya. Buru-buru aku meminta Maya bersiap. Mengajaknya untuk segera pergi ke kampung mantan mertuaku itu. Tahukah kalian untuk apa? Jelas untuk mempermalukan keluarga Indah di sana."Bangun dong, Sayang. Mandi cepat," ujarku mencubit hidungnya yang mungil dan mancung itu. Malam ini Maya benar-benar luar biasa. Perempuan itu memang sangat berbeda sekali."Aku masih ngantuk, Mas," ucapnya sembari memanyunkan bibir. Persis sekali seperti anak kecil."Mas mau pergi ke kempung orang tua Indah. Mas mau usir mereka. Memang kamu tidak ingin lagi melihat kampung itu?""Kamu serius mau usir mereka? Kasihan, Mas. Lagi pula itu kan tanah orang tua Indah yang aku tahu. Tak la
POV DANANGKenapa rumah ini terasa begitu sunyi. Sangat sunyi dan tidak seperti biasanya. Kemana penghuninya berada."Bu! Ibu!" Aku terus memanggil mantan mertuaku itu. Tapi tak kunjung dibuka pintunya. Dari menekan bel hingga gedoran pintu cukup keras tidak ada yang membukanya. "Sial!" gumamku. Karena sangking kesalnya, akhirnya pintu rumah itu kutendang sekencang mungkin."Buka! Woy! Pada mati nggak ketahuan kali ya!" teriakku lagi. Entah kenapa, setelah mentalak Indah, hilang juga rasa hormatku pada mereka."Assalamualaikum," terdengar suara mengucap salam. Aku dan Maya menoleh ke sumber suara itu. Berat rasanya menjawab salamnya. Lagian moodku juga sedang tidak bagus. "Walaikumsalam," jawab Maya lirih."Eh Bu Endah," s
POV MAYASebenarnya aku senang Mas Danang berbuat sedemikian itu pada Indah. Aku juga senang pada akhirnya Indah Pergi. Aku jadi tidak memiliki saingan lagi. Karena jelas aku menjadi istri satu-satunya. Istri Mas Danang. Sudah kaya, tampan pula. Tapi …..Tapi yang aku takutkan Mas Danang akan memperlakukan aku seperti Indah. Wajah tampan yang terlihat kalem ternyata hatinya seperti itu. Mengerikan juga. Aku tidak boleh bodoh seperti Indah harus selangkah lebih maju.Jujur aku mencintai Mas Danang. Aku bahagia dia bisa menjadi suamiku. Meskipun aku jadi yang kedua, toh aku yakin bisa sepenuhnya mendapat kasih sayang dari Mas Danang. Sebab, istri pertamanya itu kan tidak bisa memberikan keturunan. Sedangkan Mas Danang sangat menginginkan seorang anak. Hanya saja, baru sehari aku menjadi istri Mas Danang,
POV INDAH"Gue jalan dulu, Bos," ucap Haris dengan raut wajah meledek. Entah apa maksudnya. Reyhan tak menjawab dan memilih untuk menghabiskan roti bakarnya."Si Reyhan kenapa, Ris. Aneh ya? Kadang baik, kadang judes. Kayak orang angot-angotan gitu," lirihku setengah berbisik. Haris terlihat cekikikan."Jangan begitu, Ndah. Kayak baru kenal Reyhan aja," ujarnya. Aku hanya menganggukan kepala."Kalau mau berangkat kerja, berangkat aja! Nggak usah ghibahin saya!" sungutnya sembari berjalan cepat. Padahal tadi dia masih makan roti bakar. Cepet banget tiba-tiba sudah ada di belakang. Aku sedikit merasa tak enak. Sementara Haris hanya menertawakannya.Saat kami sampai di mobil, Reyhan yang sudah berada di da
POV DANANGSeperti rencana, selepas makan siang, kami pergi menemui Pak Andalas di kantorku. Sejak dua hari ini mulai ada yang mengganggu pikiran. Rasanya aku tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Entahlah, tiba-tiba saja pikiranku terbesit akan bayangan seorang Indah, senyum manisnya, dan sambutannya saat aku pulang dari kantor.Lepas bayangan manis, tiba-tiba singgah juga bayangan saat dirinya berdiam diri. Saat aku mengusirnya hingga jidatnya terpentok tiang dan meninggalkan bekas memar. Hujan-hujan aku tega mengusirnya. Tak menyangka aku bahkan bisa sampai berbuat demikian karena rasa sakit hati. Aneh memang, kenapa seperti ada rasa merindukanya. Tapi jika kuingat hal yang membuat kesal, rasa marah itu kembali lagi. Sebisa mungkin aku menolak rasa kalau aku merindukannya.Sampai di
Hari yang ditunggu telah tiba, Nadira sudah berdandan cantik, dirias oleh MUA profesional. Tak lama lagi pihak keluarga Melvin akan datang untuk melamarnya secara resmi. Jantung Nadira amaih terus berdebar-debar karena hari ini adalah momentum penentuan tanggal pernikahan mereka juga.Gebby masuk ke kamar Nadira setelah mendapat izin. Ia juga sudah berdandan cantik untuk menyambut kedatangan pihak keluarga Melvin. Semua keluarga Nadira sudah berkumpul di rumah itu."Kamu cantik banget, Nad! Pasti lagi deg-degan banget, ya?""Makasih, Geb. Iya, aku beneran deg-degan banget.""Udah, bawa rileks aja. Aku ikut bahagia, aku udah bawakan kado untuk kamu. Ini," ucao Gebby seraya menyerahkan sebuah goodie bag pada Nadira."Ya ampun, Gebby ... kamu kenapa repot-repot, sih?""Enggak, lah, Nad. Kamu kan saudaraku, kalau kamu bahagia, aku juga ikut bahagia.""Makasih, ya ... sampai kapanpun kita memang saudara, Geb. Semoga kamu juga bisa segera mendapatkan lelaki baik hati yang akan jadi suami ka
Malam itu, Gebby tidur di pangkuan Ana. Ia merasa tubuhnya begitu lelah dan lemas. Ana mengusap rambut Gebby sambil bercerita dan memberikan nasihat."Nenek senang kamu sudah mau minta maaf pada mereka, Geb. Itu artinya kamu sudah berdamai dengan masa lalu. Nenek juga yakin mamamu di alam sana tak menginginkan jika kamu terus-terusan dikuasai dendam.""Iya, Nek. Sekarang aku merasa sudah jauh lebih tenang. Lelah juga ternyata selama ini berkejaran dengan nafsuku sendiri. Hati selalu panas dikuasai kebencian," jawab Gebby."Badanmu hangat, Geb! Hari ini kamu nggak lupa untuk minum obat, kan?""Aku nggak pernah lupa untuk minum obat setiap hari, karena dulu aku selalu bertekad untuk hidup lebih lama demi bisa membalaskan dendam mengenal pada keluarga Mama Indah. Tapi rasanya semakin keras aku berjuang, semakin aku merasa tak pernah tenang. Aku lelah, Nek.""Sayang ... Dulu juga nenek pernah berada di posisi seperti kamu yang selalu merasa bahwa diri nenek adalah orang yang paling benar
Gebby merenung dalam pelukan Indah, bahkan setelah ia bertindak sejahat itu pada mereka, Indah masih saja menyebutnya sebagai anak yang baik? Ya, Gebby memang baik pada mamanya, tapi tidak pada yang lain.Rumah sudah semakin ramai dengan orang-orang yang diundang di acara takziah itu. Nadira, Rashi, mereka sibuk menata makanan di atas meja yang nantinya akan disuguhkan. Sementara itu, Indah dan Maya sibuk menata bingkisan sedekah."Lihat, Geb, mereka begitu sibuk membantu kita meskipun kita tak pernah memintanya," bisik Ana pada Gebby. Gebby mengusap matanya lagi ia mengangguk dan mengakui semua itu.Acara pun dimulai. Semua orang melantunkan ayat suci Al-Qur'an lalu berdoa dengan khusyuk. Harusnya Gebby bersyukur karena masih ada orang yang bersedia mendoakan mamanya itu. Gebby juga melihat Reyhan sesekali mengusap matanya yang basah.Setelah acara selesai dan sedekah dibagikan, Indah beserta yang lain langsung berpamitan pada Ana dan Gebby."Sudah, jangan sedih terus, kasihan nanti
Gebby berjalan gontai meninggalkan area rumah sakit. Kata-kata mamanya maafin barusan benar-benar membuat hatinya hancur. Meskipun terasa begitu menyakitkan tapi Gebby tak menyangkal semua yang dikatakan oleh mamanya Melvin itu.Selama ini dirinya memang terlalu terobsesi untuk menjadi orang yang paling mendapatkan perhatian. Gebby selalu akan melakukan segala cara untuk bisa mencapai kemauannya. Bahkan seringkali ia tak memikirkan dampak buruk yang akan terjadi akibat dari perbuatannya itu. Kata-kata sang nenek kembali terngiang di telinganya. Apa mungkin hidupnya sampai se menderita ini karena memang dirinya terlalu sulit untuk melupakan dendam itu?Gebby sampai ke rumahnya dan langsung memeluk sang nenek. Ia menangis sejadi-jadinya karena hatinya benar-benar sangat terluka kali ini. Cinta yang ingin ia raih harus kandas seketika itu juga. Melvin menolaknya, dan kini mamanya juga."Geb ... kamu tenangkan diri kamu, baru nanti cerita sama Nenek, ya!" ucap Ana sambil mengusap kepala c
Gebby, tunggu! Kamu mau kemana? Jangan nekat, Geb! Panggil Melvin untuk kesekian kalinya. Ana juga jadi kalut dan ikut mengejar cucunya itu,.ia takut Gebby akan melakukan hal nekat seperti yang dilakukan oleh Luna."Gebby!" Ana memanggil Gebby meski napasnya mulai terengah. Ia sudah tua, tenanganya sudah tak sekuat dulu, berlari sebentar saja ia sudah ngos-ngosan.Gebby sudah keluar dari gerbang portal kompleks dan terus berjalan di trotoar pinggir jalan raya. Melvin masih tak putus asa, ia mencoba terus mengejar. Genby sesekali menoleh ke belakang sambil terisak. Ia pun turun dari trotoar itu dan terlihat pasrah sembari merentangkan kedua tangannya dan berjalan perlahan ke arah tengah jalanan."Gebby! Jangan nekat kamu?" seru Melvin yang melihat Gebby senekat itu, ingin mencelakai dirinya sendiri dengan berdiri di tengah jalanan.Klakson kendaraan bermotor bersahutan dan sebagian ada yang marah karena ulah Gebby itu."Mau mati, Lu?" maki pengendara yang lewat."Gila, lu, woy?""Hey!
Gebby melamun di teras belakang rumah itu. Sudah dua hari Luna pergi mengahadap Yang Maha Kuasa. Rumah sudah mulai sepi, hanya ada Ana dan Reyhan serta mamanya Melvin di rumah itu yang masih berbincang dan ada juga beberapa anggota kepolisian di bagian depan bersama papanya Melvin.Tak ada indikasi kekerasan dalam kematian Luna, semua orang meyakini itu merupakan murni sebagai kasus bunuh diri. Ditemukan foto Indah yang tertancap pena di dalam kamar. Polisi dan dokter menduga halusinasi Luna sempat kambuh ketika malam kejadian itu.Luna selalu bersikap impulsif dan tak peduli pada keadaan sekitar, jika sosok dalam halusinasinya muncul, ia bahkan tak tahu jika posisinya sedang di atas jurang sekalipun."Geb, kamu makan dulu, Sayang," bujuk Ana pada Gebby. Sejak kemarin tampaknya Gebby sama sekali belum makan. Ana khawatir karena Gebby tak boleh sampai melewatkan jadwal minum obatnya."Nanti saja, Nek. Belum ada selera.""Jangan begitu, dong, Geb. Kamu boleh bersedih tapi kamu juga haru
Suasana kompleks pagi itu dibuat heboh atas penemuan tubuh Luna yang menyedihkan itu. Warga langsung mencari bantuan untuk segera membawa Luna pergi ke rumah sakit karena setelah diperiksa ternyata denyut nadinya masih ada.Gebby dan Ana hanya bisa pasrah, serasa tubuh mereka lemas tak berdaya menghadapi kenyataan itu. Luna kehilangan banyak darah akibat luka di bagian kepalanya. Bahkan mereka berdua tidak tahu kapan kejadian itu terjadi karena malam itu mereka tidur sangat nyenyak. Sebenarnya Gebby sempat terbangun beberapa kali untuk mengecek keadaan mamanya itu namun tidak terjadi apa-apa. Akhirnya setelah larut malam kantuk pengendara dan ia tertidur dengan sangat pulas. Gebby pin menyesal karena membiarkan mamanya itu tidur di lantai dua. Bukan tanpa sebab, mamanya dulu pernah menempati kamar itu, Gebby berharap ingatannya bisa kembali secara perlahan dengan merasakan suasana kamar itu setiap hari.Luna akhirnya tiba di rumah sakit dan langsung ditangani oleh tim medis. Gebby da
"Pa, mana uangnya yang aku minta? Transfer sekarang juga, lusa aku akan terbang bawa Mama," ucap Gebby pada Reyhan hari itu."Papa cuma bisa kasih kamu lima ratus juta dulu, Geb. Nanti kurangnya beberapa hari lagi, ya!""Log, kok gitu, sih, Pa?" seru Gebby tak senang."Bukannya kamu ya yang maksa untuk segera mencairkan dana investasi ke perusahaan Melvin? Kamu pikir uang di perusahaan kita bisa kamu atur seenaknya?""Ya ampun, Pa, aku tih cuma minta sedikit, apa susahnya sih tinggal transfer?""Semua uang pribadi papa sudah papa masukkan ke deposit berjangka. Hanya bisa diambil pada waktu yang tepat.""Papa sengaja, ya, biar aku gak bisa mintabuang sama Papa? Papa bener-bener tega, ya? Aku itu sedang berusaha supaya mama sembuh, tapi papa malah menghalang-halangi!""Kamu salah, uang papa sudah papa depositokan jauh sebelum kamu berencana mengambil mama kamu dari yayasan itu.""Papa sepertimya emang gak pernah sayang sama aku! Papa selalu aja bikin aku kecewa!""Geb, papa gak ada bila
"Hai, Vin!" sapa Gebby pada Melvin. Melvin agak terkejut saat ia melihat Gebby ada di lobby kantornya terlihat sedang menunggu."Oh, hai, Geb!""Aku dari tadi nunggu kamu, loh.""Oh, ya? Bukannya kita belum ada janji untuk bertemu sebelumnya?""Sorry, emang belum. Tapi boleh, dong, kalau aku sesekali datang ke sini untuk sekedar melihat progres kerjasama kita? Lagian aku belum pernah ke sini, aku juga ingin tahu bagaimana sistem kerja di sini.""Ooh ... Oke, boleh aja, kok. Ayo, aku ajak berkeliling," sahut Melvin."Oke," ucap Gebby senang. Ia dan Melvin pun akhirnya mengitari sekitaran kantor dan Melvin menunjukkan bagian demi bagian di kantornya itu. Padahal Gebby tidak terlalu ingin tahu tentang itu tujuan utamanya datang ke kantor Melvin adalah supaya ia dan Melvin bisa punya pertemuan yang intens sehingga Gebby punya peluang untuk bisa semakin dekat dengannya."Padahal kamu ini bisa dikatakan pemula, tapi keren, loh. Kantor kamu bagus, sistem kerja juga bagus. Aku saranin kamu bu