"Aku nggak nyangka, Mas. Kamu bisa semarah itu sama Indah," ucap Maya.
"Biar saja, May. Biar dia tahu diri. Memang wanita tak pandai bersyukur. Sudah dikasih hidup enak malah bertingkah. Apa susahnya sih membiarkanku menikah lagi? Toh aku bisa memberikannya nafkah. Aku memiliki uang yang bisa menjamin hidupnya. Cuma tinggal jadi istri saja kok banyak mau."
"Masa Mas setega itu sih. Sampai rumah yang ditempati orang tua Indah harus diambil kasian mereka, Mas."
"Tidak sudi dan tidak ikhlas hartaku dibagi untuknya. Kalau sudah cerai, ya mereka tidak punya hak apapun. Yang kerja aku, semua yang ada milikku. Mending punya anak, bisa untuk anak. Nggak ada anak ya nggak punya hak lah!"
"Masih mending biaya untuk kuliahnya dia aku tidak minta ganti rugi. Biaya kuliahnya dia dulu aku yang menanggung hingga wisuda. Emang dasar perempuan tidak tahu diri. Kamu kenapa?" tanyaku penasaran. Tapi ngomong-ngomong soal biaya kuliah, aku akan meminta ganti. Enak saja. Dia kan bukan istriku lagi. Rugilah ya kalau aku sampai tak memintanya kembali.
"Em, gak apa-apa, Mas," jawabnya. Gawat, jangan-jangan Maya mikir aku pelit banget. Bukan seperti itu, kalau masih jadi istri apa pun akan kuberikan. Hanya saja jika bertingkah seperti Indah ya jangan harap. Tidak sudi aku kalau harus membagi hartaku untuknya. Aku harus berkilah ini di depan Maya. Nanti Maya mikir aku yang gimana-gimana lagi.
"Aku terlalu sakit hati, May, Indah minta cerai. Aku hanya tersulut emosi saja. Entah, aku pun bingung kenapa bisa sekasar itu. Sakit sekali aku melakukan itu pada Indah. Aku tersinggung ketika dia bilang sudah tidak ada rasa untukku."
"Nggak apa-apa, Mas. Wajar. Namanya juga emosi. Tapi kamu nggak kasihan sama dia? Kamu usir ujan-ujan gini. Kalau aku di posisi dia, sakit hati banget. Dan aku nggak akan melupakan perlakuan kamu seumur hidup. Kalau aku di posisi Indah, pasti aku balas kamu, Mas. Aku buat kamu hancur, sehancur-hancurnya," ucapnya greget.
"Iya kalau kamu. Kamu kan cerdas. Kalau Indah? Mana ada pikiran begitu. Paling juga nangis aja bisanya."
"Dah ah, ayo tidur, Mas. Ujan-ujan gini enak loh. Cepet jadi," ujarnya membuatku terkekeh. "Nggak usah mikirin Indah lagi. Kan ada aku, Mas. Aku bisa jadi istri yang kamu inginkan."
"Mas, tapi aku nggak suka pekerjaan rumah. Mas harus cari Inem yah? Untuk membantu mengurus rumah dan masak. Aku nggak suka masak, cuci baju, cuci piring beres-beres rumah, ngepel, nyetrika pakaian, aku nggak suka Mas. Lagian kita orang kaya, masa nggak punya pembantu," rajuknya manja.
Karena gemas, aku pun mencubit hidungnya. Nanti Mas akan telpon Somad. Biar dia yang Carikan pembantu. Pokoknya tugas kamu cuma melayani aku, dan selalu ada di sampingku. Ingat, kamu juga nggak boleh capek."
"Hum, iya Mas. Besok kita masuk kantor saja ya? Aku jenuh di rumah."
"Nggak mau bulan madu?"
"Setiap hari juga kita akan bulan madu, Mas. Kan di rumah yang cukup besar ini kita hanya tinggal berdua," ujarnya sembari bermanja di pundakku. Wanita seperti ini memang yang aku inginkan. Mengerti apa yang suami inginkan.
*****
POV INDAH…..
Hujan masih sangat lebat. Angin juga bertiup kencang. Jalanan begitu Sepi. Bahkan di sepanjang jalanan komplek juga tidak ada kendaraan yang melaju. Sepi sekali.
Entah, kemana aku harus melangkahkan kaki. Uang sedikitpun tidak ada. Ponsel juga tidak ada untuk menghubungi temanku. Pulang ke rumah Ayah dan Ibu, tidak mungkin bisa ditempuh lewat jalan kaki. Mereka juga harus segera keluar dari rumah itu. Sebelum Mas Danang menyuruh orang suruhannya untuk mengusir mereka.
"Ya Allah, Ayah … Ibu … maafkan Indah harus menyusahkan kalian." Aku tak menyangka dengan sikap Mas Danang. Ternyata dia sampai hati berbuat seperti itu. Aku benar-benar tak menyangka dan ini seperti mimpi. Ia perlakukan aku seperti binatang. Diusir, diseret, hingga dahiku terbentur tiang. Sedikitpun tidak ada rasa iba darinya meskipun aku tak mengharapkannya.
Tiada kata lain yang mampu terlontar dari mulutku selain kata jahat! "Mulutmu sangat jahat, Mas. Bukan hanya sikapmu saja. Bulshit kata cinta yang terlontar dari mulut manismu itu. Ternyata kenyataannya seperti itu. Benar-benar jahat, Mas! Demi Tuhan aku tidak akan pernah melupakan semua perbuatanmu! Aku akan mengingatnya! Akan kubalas semua perbuatanmu, Mas. Mari lihat siapa yang akan menyesal. Aku … atau kamu!"
Aneh! Aku telah diperlakukan seperti itu oleh suamiku. Dicampakkan begitu saja. Tapi tidak ada sedikitpun rasa sedih dibuang oleh dia. Air mata pun tak ada menetes. Mungkin karena hatiku sudah terlampau sakit dan berpikiran, ah ya sudahlah! Tidak pantas juga laki-laki seperti itu ditangisi. Sayang air matanya. Sekarang waktunya membuktikan diri kalau aku bisa menjadi lebih baik dan sukses tentunya. Aku tidak akan menyesal seperti yang dia katakan. Dia pikir aku gila akan hartanya.
Tapi ngomong-ngomong aku harus kemana sekarang ini? Sudah hujan juga tidak berhenti. Ya Allah ya Robby, tolonglah hambamu ini.
Mau mengumpat Mas Danang tapi percuma. Sakit banget hati aku. Rasanya aku sangat benci sama dia dan ingin membuatnya menyesali atas sikapnya. Aku masih belum bisa melupakan perlakuannya. Semua itu terus teringat sepanjang jalan. Membuat rasa benci itu terasa begitu hebat dan ada rasa ingin segera menghancurkannya.
Tin …! Tin ….!
Aku segera menepi tatkala suara klakson mobil mampu menyadarkan lamunanku.
"Kalau mau bunuh diri, jangan di jalan sepi! Coba solusi terbaru saja. Terjun langsung ke sungai depan. Kebetulan aliran sungainya juga sedang deras!" ucap si pengendara mobil.
Aku menoleh ke arah sumber suara itu dengan hati yang sedikit kesal. Memang siapa yang mau bunuh diri. Hujan-hujan begini jalanan sepi. Aku pikir tidak ada mobil berkendara, ya sudah coba sesuatu menantang dengan cara berjalan di tengah jalan. Rasanya itu memang beda.
Rugi sekali kalau sampai bunuh diri hanya untuk seorang Danang. Seperti tidak punya iman dalam diri saja. Bagiku, dengan sikap Danang seperti itu memang dia bukan imam yang baik. Memang pantas untuk dilepaskan. Di ikhlaskan kalau perlu diikhlaskan untuk pergi ke alam barzah.
"Indah! Ngapain kamu malam-malam begini ujan-ujanan?" tanya pengendara mobil itu saat mata kami bertemu.
Aku sedikit lega karena mendapati Reyhan yang tak lain adalah Kakak dari Haris. Laki-laki dingin seperti es batu yang terkenal tidak pernah berbicara pada siswa perempuan saat kuliah dulu. Dan untuk berbicara padaku pun baru kali ini. Jarak usia Reyhan dan Haris cukup dekat, hanya satu tahun. Makanya mereka pun kuliah mengambil jurusan yang sama dan mempunyai kelas yang sama pula. Lulus juga bareng.
Meski keduanya bersaudara, tapi sikapnya sangat berbeda. Haris sangat ramah dan baik. Sementara Reyhan, angkuh, jutek, dingin, kasar dan galak mungkin. Entah sih, mungkin itu hanya asumsiku saja. Karena yang kutahu saat kuliah dulu dia memang seperti itu. Bahkan kami pun merasa kalau Reyhan tidak suka terhadap wanita sangking dingin dan cueknya.
"Ngapain malam-malam di jalan sendirian? Hujan-hujanan lagi?" tanyanya lagi. Aku masih diam mematung dan tak menjawab pertanyaannya.
"Mau kemana? Ayok naik ke mobil saya," pintanya. Pemuda itu, dari dulu masih saja menggunakan bahasa yang formal. Tidak ada yang berubah masih sama. Apa dia juga masih sendiri? Entahlah setelah sekian lama aku baru bertemu dengannya lagi.
"Naik! Malah bengong," ucapnya lagi.
"Tapi baju saya basah," singkatku karena merasa segan. Meskipun aku sangat berharap tumpangan itu. Terpaksa aku pun menggunakan sebutan saya karena merasa segan padanya.
"Naik saja!" ujarnya. Aku pun mengangguk kemudian berjalan menuju jok belakang. Belum sempat aku membuka pintunya, Reyhan mencegahku. Aku bingung memanggilnya apa. Ini kali pertama laki-laki itu berbicara denganku.
"Jangan duduk di belakang! Duduk di depan saja. Saya bukan supir pribadimu," ujarnya. Aku kembali mengangguk. Kirain Saya bukan supir pribadi anda.
"Terimakasih," ucapku saat aku sudah duduk di sampingnya. Dia tidak menjawab ucapan terimakasih-ku dan kembali mengemudikan mobilnya.
"Kamu mau kemana?" tanyanya sambil fokus mengemudi.
"Mau ketemu, Haris," singkatku.
"Jangan bercanda. Mau ngapain ketemu adik saya malam-malam? Suamimu bagaimana? Kau kan wanita bersuami. Malam-malam begini menemui laki-laki lain, tidak pantas sama sekali."
Aku tak kuasa menjawab ucapannya. Air mata ini tiba-tiba saja mengalir dengan derasnya. Membuat laki-laki yang berada di sampingku saat ini merasa heran. Terbukti dari cara dia menatapku meskipun terlihat kaku.
"Loh, saya nanya kamu malah nangis. Memang suamimu kemana?" tanyanya lagi. Aku menarik nafas berat kemudian dengan terpaksa memberitahu Reyhan. Aku juga tidak mau dicap sebagai perempuan yang tidak baik di matanya. Wanita bersuami keluyuran malam-malam. Mau ngapain? Sampai rela hujan-hujanan. Mungkin saja pikiran dia saat ini seperti itu.
"Saya ditalak dan diusir oleh Danang," jawabku singkat.
"Jangan bercanda. Danang sepertinya sangat mencintaimu sewaktu kuliah dulu."
"Cinta itu bisa luntur seiring bergulirnya waktu. Namanya juga laki-laki. Mudah berubah dan berpaling jika keinginan mereka tidak terpenuhi."
"Jangan sebut laki-laki. Karena tidak semua laki-laki seperti suamimu itu. Kecewa sama laki-laki boleh. Tapi jangan salahkan semua laki-laki," ujarnya seperti merasa tersinggung.
"Mungkin ada yang tidak. Itupun hanya beberapa dari sekian banyaknya."
"Em, Reyhan, Pak Reyhan ss---" Arggh… bingung aku memanggilnya dengan sebutan apa.
"Panggil Reyhan saja," pungkasnya seperti mengerti pemikiranku.
"Saya minta tolong antar saya menemui Haris. Saya tidak tahu lagi akan minta tolong pada siapa kalau bukan padanya," ujarku.
"Tapi kamu tidak bohong 'kan dengan apa yang kamu ceritakan pada saya barusan?" Aku mengangguk mantap untuk menjawab pertanyaannya.
****
Dua puluh menit berlalu, kami pun tiba dikawasan perekomplekan elit di daerah bukit Mas. Hujan juga sudah reda. Reyhan membawaku masuk ke rumahnya kemudian memanggil adiknya.
"Ris! Haris! Ada yang nyari!" teriaknya setelah kami sudah berada di dalam rumah.
"Saya tinggal ke kamar saya dulu ya," ujarnya. Aku mengangguk. Rumahnya terasa sepi sepertinya orang tua mereka sedang tidak ada. Wajar saja, ini kan rumah keluarga pembisnis. Sudah pasti rutinitasnya kalau tidak ke luar kota ya keluar negri.
"Indah," sapa Haris. "Silahkan duduk. Kenapa pakaianmu basah kuyup?" tanyanya.
"Bajuku basah, Ris. Kalau aku duduk nanti sofa kamu basah," ucapku.
"Tidak masalah, Indah … jangan berlebihan begitu. Ada apa menemuiku malam-malam? Suamimu bagaimana nanti kalau tahu," ucapnya.
Aku duduk, kemudian mengulas senyum.
"Aku diceraikan, ditalak, dan diusir oleh Mas Danang Ris. Bukan hanya itu, Mas Danang juga meminta orang tuaku untuk segera meninggalkan rumah yang kini ditempati mereka. Karena rumah itu dibeli menggunakan uang Mas Danang," kujelaskan semua pada Haris. Aku menceritakan semuanya. Sedetail mungkin. Bukan niat membuka aib, tapi saat ini aku Memang butuh bantuannya juga solusi.
Tak terasa, aku bercerita sambil merintikkan air mata. Kenapa aku jadi lemah di hadapan pria ini. Ah, payah.
Setelah aku selesai bercerita, Haris menyunggingkan senyum sinis ya sembari menggelengkan kepala.
"Busuk mulut suamimu itu tahu kamu?" tanggapnya.
"Maksud kamu apa, Ris?"
"Sering aku lihat, suamimu itu makan bersama sekretarisnya. Gaya mereka itu bukan seperti bos dan sekretaris. Tapi, seperti sepasang kekasih. Maaf aku harus kasih tahu kebenarannya."
"Jadi maksud kamu mereka sudah berhubungan saat masih bersamaku?"
"Aku tidak tahu, tapi mereka terlihat mesra. Meskipun hanya berteman bagi mereka mungkin, tidak seharusnya terlalu dekat. Kenapa? Karena ada hati yang harus dijaga. Hati yang setia menunggu saat pulang bekerja," ujarnya.
"Aku yakin, Danang akan menyesal telah memperlakukanmu seperti itu. Sekarang kamu fokus saja menata masa depan. Buktikan pada mantan suamimu itu, bahwa kamu tidak akan pernah menyesal telah meminta cerai. Kamu juga tidak akan pernah mengemis untuk kembali. Jadilah wanita mandiri yang kuat. Semoga suatu saat nanti, kamu juga bisa mendapatkan laki-laki yang baik, dan benar-benar menerima setiap kekuranganmu. Hakikatnya, pasangan adalah saling menyempurnakan kekurangan masing-masing. Karena tidak ada manusia yang sempurna," ujar Haris.
"Jangan pernah berkecil hati. Hakikatnya, hak mendapat keturunan, adalah mutlak kehendak Allah. Jangankan kamu yang tidak divonis mandul, yang mandul saja bisa punya anak jika Allah berkehendak. Asal, kita pasrah. Ikhlas pada Allah. Kita jangan menjadi manusia yang seperti tidak punya Tuhan," ujarnya.
"Kamu benar, Ris. Terimakasih suportnya. Ris, aku mau minta tolong boleh?" tanyaku lagi.
"Apa? Katakan saja," jawabnya singkat.
Bagaimana ini? Aku katakan saja kali ya, kalau aku ingin bekerja di tempat dia. Aku ingin membuat perusahaannya menjadi maju dengan ide-ide yang kumiliki selama ini untuk melawan perusahaan Mas Danang. Tapi aku segan untuk mengatakannya. Aku benar-benar butuh pertolongan Haris. Terutama untuk mencari tempat tinggal baru bagi kedua orangtuaku.
Uang aku sama sekali tidak punya. Selama ini aku menabung di ATM. Tapi ATM pun sudah diambil oleh Mas Danang. Aku benar-benar tidak punya uang. Dan yang menjatah uang bulanan bagi orang tuaku juga Mas Danang. Mas Danang rajin mengirim uang untuk mereka sebesar 1 juta rupiah untuk kehidupan di kampung. Sedangkan aku? Aku mendapat uang jajan 1 juta 500 perbulan. Kata Mas Danang, untuk jajanku sendiri. Karena aku belum mempunyai anak. Itu di luar uang belanja. Semua kebutuhan sehari-hari, pakaian, hingga perhiasan yang aku kenakan semua Mas Danang yang mengatur. Aku hanya cukup menjadi istri yang penurut dan diam di rumah. Tidak boleh pergi kemanapun tanpa seizinnya dan bersamanya.
Untuk menutupi kekurangan kebutuhan orang tuaku di kampung, aku selalu menyisihkan untuk mereka dari hasil uang yang diberi Mas Danang. Maklum, usia mereka sudah menua. Dari uang itu pula, aku bisa membantu setiap orang susah yang membutuhkan. Kadang aku melakukannya pun seizin Mas Danang. Tidak diam-diam.
Aku tidak pernah menyangka kalau ternyata hidupku berakhir seperti ini. Aku seperti orang yang biasa hidup bergantung dengan suami, tapi tiba-tiba harus dituntut menjadi mandiri. Itu pun karena aku enggan untuk dimadu. Meskipun aku mandul, aku enggan untuk berbagai suami. Mungkin aku egois, tapi aku sungguh tidak mampu membohongi perasaanku sendiri.
"Ndah, mau minta tolong apa? Katakan saja," ucap Haris.
"Em,,, anu…."
Ya Allah, aku bingung. Bagaimana ini? Katakan saja atau? Urungkan? Aku benar-benar merasa segan dan tidak enak. Tapi aku benar-benar butuh pertolongannya. Aku juga memikirkan bagaimana keadaan Ibu dan Bapak di kampung saat ini. Apa Mas Danang sudah mengusir mereka sama sepertiku?
POV INDAH"Katanya mau minta tolong?" ujar Haris lagi."Kok kaya kebanyakan mikir?" lanjutnya."Katakan, Ndah. Jangan malu-malu. Kalau kami bisa bantu, akan kami bantu." Tiba-tiba saja Reyhan datang dan langsung menimpali. Pemuda dingin itu langsung duduk di sampingku membuat mata Haris nyaris membulat sempurna."Kenapa lo liatin gue segitunya?" tanya Reyhan."Nggak ada si, Rey. Cuma bingung aja. Tumben gitu," jawab Haris."Kamu katakan apa yang bisa kami bantu?" Kali ini Reyhan yang bertanya."Mau minta tolong aja ribet banget kamu, Ndah. Ngomong aja. Nggak usah nggak enak-enakan!" lanjutnya lagi. Ya Allah, jutek banget Reyha
POV DANANGPagi ini aku sangat senang sekali hatinya. Buru-buru aku meminta Maya bersiap. Mengajaknya untuk segera pergi ke kampung mantan mertuaku itu. Tahukah kalian untuk apa? Jelas untuk mempermalukan keluarga Indah di sana."Bangun dong, Sayang. Mandi cepat," ujarku mencubit hidungnya yang mungil dan mancung itu. Malam ini Maya benar-benar luar biasa. Perempuan itu memang sangat berbeda sekali."Aku masih ngantuk, Mas," ucapnya sembari memanyunkan bibir. Persis sekali seperti anak kecil."Mas mau pergi ke kempung orang tua Indah. Mas mau usir mereka. Memang kamu tidak ingin lagi melihat kampung itu?""Kamu serius mau usir mereka? Kasihan, Mas. Lagi pula itu kan tanah orang tua Indah yang aku tahu. Tak la
POV DANANGKenapa rumah ini terasa begitu sunyi. Sangat sunyi dan tidak seperti biasanya. Kemana penghuninya berada."Bu! Ibu!" Aku terus memanggil mantan mertuaku itu. Tapi tak kunjung dibuka pintunya. Dari menekan bel hingga gedoran pintu cukup keras tidak ada yang membukanya. "Sial!" gumamku. Karena sangking kesalnya, akhirnya pintu rumah itu kutendang sekencang mungkin."Buka! Woy! Pada mati nggak ketahuan kali ya!" teriakku lagi. Entah kenapa, setelah mentalak Indah, hilang juga rasa hormatku pada mereka."Assalamualaikum," terdengar suara mengucap salam. Aku dan Maya menoleh ke sumber suara itu. Berat rasanya menjawab salamnya. Lagian moodku juga sedang tidak bagus. "Walaikumsalam," jawab Maya lirih."Eh Bu Endah," s
POV MAYASebenarnya aku senang Mas Danang berbuat sedemikian itu pada Indah. Aku juga senang pada akhirnya Indah Pergi. Aku jadi tidak memiliki saingan lagi. Karena jelas aku menjadi istri satu-satunya. Istri Mas Danang. Sudah kaya, tampan pula. Tapi …..Tapi yang aku takutkan Mas Danang akan memperlakukan aku seperti Indah. Wajah tampan yang terlihat kalem ternyata hatinya seperti itu. Mengerikan juga. Aku tidak boleh bodoh seperti Indah harus selangkah lebih maju.Jujur aku mencintai Mas Danang. Aku bahagia dia bisa menjadi suamiku. Meskipun aku jadi yang kedua, toh aku yakin bisa sepenuhnya mendapat kasih sayang dari Mas Danang. Sebab, istri pertamanya itu kan tidak bisa memberikan keturunan. Sedangkan Mas Danang sangat menginginkan seorang anak. Hanya saja, baru sehari aku menjadi istri Mas Danang,
POV INDAH"Gue jalan dulu, Bos," ucap Haris dengan raut wajah meledek. Entah apa maksudnya. Reyhan tak menjawab dan memilih untuk menghabiskan roti bakarnya."Si Reyhan kenapa, Ris. Aneh ya? Kadang baik, kadang judes. Kayak orang angot-angotan gitu," lirihku setengah berbisik. Haris terlihat cekikikan."Jangan begitu, Ndah. Kayak baru kenal Reyhan aja," ujarnya. Aku hanya menganggukan kepala."Kalau mau berangkat kerja, berangkat aja! Nggak usah ghibahin saya!" sungutnya sembari berjalan cepat. Padahal tadi dia masih makan roti bakar. Cepet banget tiba-tiba sudah ada di belakang. Aku sedikit merasa tak enak. Sementara Haris hanya menertawakannya.Saat kami sampai di mobil, Reyhan yang sudah berada di da
POV DANANGSeperti rencana, selepas makan siang, kami pergi menemui Pak Andalas di kantorku. Sejak dua hari ini mulai ada yang mengganggu pikiran. Rasanya aku tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Entahlah, tiba-tiba saja pikiranku terbesit akan bayangan seorang Indah, senyum manisnya, dan sambutannya saat aku pulang dari kantor.Lepas bayangan manis, tiba-tiba singgah juga bayangan saat dirinya berdiam diri. Saat aku mengusirnya hingga jidatnya terpentok tiang dan meninggalkan bekas memar. Hujan-hujan aku tega mengusirnya. Tak menyangka aku bahkan bisa sampai berbuat demikian karena rasa sakit hati. Aneh memang, kenapa seperti ada rasa merindukanya. Tapi jika kuingat hal yang membuat kesal, rasa marah itu kembali lagi. Sebisa mungkin aku menolak rasa kalau aku merindukannya.Sampai di
Tok … tok … tok ….!Suara pintu itu kembali terdengar. Aku segera bergegas membuka pintunya. Mungkin saja itu Reyhan yang akan memberikan obat untukku."Mana obatnya?" tanyaku."Lah, memang belum dikasih sama Reyhan?" tanyanya. Aku menggeleng.Ternyata Haris yang datang."Sudah kuduga," lirihnya."Apa?" tanyaku tak mengerti. Haris hanya diam saja. Tapi wajahnya terlihat sangat kesal. "Keterlaluan," ujarnya lagi semakin membuatku tak mengerti. Aku melirik jam di dinding sudah pukul 18.45 menit. Itu artinya lima belas menit lagi dari sekarang."Kayaknya aku nggak bisa ikut, Ris. Maaf ya? Kamu pergi sendiri aja. Perutku masih sakit,"
"Ingat Adit Tiagautama?" tanyanya sambil mengajakku duduk di meja yang sedikit jauh dari kebisingan."Aditya Tiagutama? Aku ingat. Mahasiswa yang paling gendut di kelas? Korban bully anak satu kelas. Terutama Mas Danang? Tiada hari tanpa dikerjai Mas Danang. Dijauhi oleh hampir semua siswa karena bau badan? Dianggap jorok dan ….""Dan hanya kamu kan yang mau berteman sama dia? Kamu selalu belain dia. Pasang badan di depan dia. Sering berantem sama Danang gara-gara belain dia. Terakhir kamu bertengkar hebat sama Danang, gara-gara Danang minta dibeliin kopi panas di kantin, tapi dia bawain es cofe, dan Danang marah terus ngeguyur minumannya ke kepala dia. Danang juga sering banget minta dia buat joget di depan kelas. Buat hiburan mereka. Kalau Adit berjoget, karena badannya yang besar bagaikan gajah itu, meliuk-liuk, anak satu kelas akan tertawa terbahak
Hari yang ditunggu telah tiba, Nadira sudah berdandan cantik, dirias oleh MUA profesional. Tak lama lagi pihak keluarga Melvin akan datang untuk melamarnya secara resmi. Jantung Nadira amaih terus berdebar-debar karena hari ini adalah momentum penentuan tanggal pernikahan mereka juga.Gebby masuk ke kamar Nadira setelah mendapat izin. Ia juga sudah berdandan cantik untuk menyambut kedatangan pihak keluarga Melvin. Semua keluarga Nadira sudah berkumpul di rumah itu."Kamu cantik banget, Nad! Pasti lagi deg-degan banget, ya?""Makasih, Geb. Iya, aku beneran deg-degan banget.""Udah, bawa rileks aja. Aku ikut bahagia, aku udah bawakan kado untuk kamu. Ini," ucao Gebby seraya menyerahkan sebuah goodie bag pada Nadira."Ya ampun, Gebby ... kamu kenapa repot-repot, sih?""Enggak, lah, Nad. Kamu kan saudaraku, kalau kamu bahagia, aku juga ikut bahagia.""Makasih, ya ... sampai kapanpun kita memang saudara, Geb. Semoga kamu juga bisa segera mendapatkan lelaki baik hati yang akan jadi suami ka
Malam itu, Gebby tidur di pangkuan Ana. Ia merasa tubuhnya begitu lelah dan lemas. Ana mengusap rambut Gebby sambil bercerita dan memberikan nasihat."Nenek senang kamu sudah mau minta maaf pada mereka, Geb. Itu artinya kamu sudah berdamai dengan masa lalu. Nenek juga yakin mamamu di alam sana tak menginginkan jika kamu terus-terusan dikuasai dendam.""Iya, Nek. Sekarang aku merasa sudah jauh lebih tenang. Lelah juga ternyata selama ini berkejaran dengan nafsuku sendiri. Hati selalu panas dikuasai kebencian," jawab Gebby."Badanmu hangat, Geb! Hari ini kamu nggak lupa untuk minum obat, kan?""Aku nggak pernah lupa untuk minum obat setiap hari, karena dulu aku selalu bertekad untuk hidup lebih lama demi bisa membalaskan dendam mengenal pada keluarga Mama Indah. Tapi rasanya semakin keras aku berjuang, semakin aku merasa tak pernah tenang. Aku lelah, Nek.""Sayang ... Dulu juga nenek pernah berada di posisi seperti kamu yang selalu merasa bahwa diri nenek adalah orang yang paling benar
Gebby merenung dalam pelukan Indah, bahkan setelah ia bertindak sejahat itu pada mereka, Indah masih saja menyebutnya sebagai anak yang baik? Ya, Gebby memang baik pada mamanya, tapi tidak pada yang lain.Rumah sudah semakin ramai dengan orang-orang yang diundang di acara takziah itu. Nadira, Rashi, mereka sibuk menata makanan di atas meja yang nantinya akan disuguhkan. Sementara itu, Indah dan Maya sibuk menata bingkisan sedekah."Lihat, Geb, mereka begitu sibuk membantu kita meskipun kita tak pernah memintanya," bisik Ana pada Gebby. Gebby mengusap matanya lagi ia mengangguk dan mengakui semua itu.Acara pun dimulai. Semua orang melantunkan ayat suci Al-Qur'an lalu berdoa dengan khusyuk. Harusnya Gebby bersyukur karena masih ada orang yang bersedia mendoakan mamanya itu. Gebby juga melihat Reyhan sesekali mengusap matanya yang basah.Setelah acara selesai dan sedekah dibagikan, Indah beserta yang lain langsung berpamitan pada Ana dan Gebby."Sudah, jangan sedih terus, kasihan nanti
Gebby berjalan gontai meninggalkan area rumah sakit. Kata-kata mamanya maafin barusan benar-benar membuat hatinya hancur. Meskipun terasa begitu menyakitkan tapi Gebby tak menyangkal semua yang dikatakan oleh mamanya Melvin itu.Selama ini dirinya memang terlalu terobsesi untuk menjadi orang yang paling mendapatkan perhatian. Gebby selalu akan melakukan segala cara untuk bisa mencapai kemauannya. Bahkan seringkali ia tak memikirkan dampak buruk yang akan terjadi akibat dari perbuatannya itu. Kata-kata sang nenek kembali terngiang di telinganya. Apa mungkin hidupnya sampai se menderita ini karena memang dirinya terlalu sulit untuk melupakan dendam itu?Gebby sampai ke rumahnya dan langsung memeluk sang nenek. Ia menangis sejadi-jadinya karena hatinya benar-benar sangat terluka kali ini. Cinta yang ingin ia raih harus kandas seketika itu juga. Melvin menolaknya, dan kini mamanya juga."Geb ... kamu tenangkan diri kamu, baru nanti cerita sama Nenek, ya!" ucap Ana sambil mengusap kepala c
Gebby, tunggu! Kamu mau kemana? Jangan nekat, Geb! Panggil Melvin untuk kesekian kalinya. Ana juga jadi kalut dan ikut mengejar cucunya itu,.ia takut Gebby akan melakukan hal nekat seperti yang dilakukan oleh Luna."Gebby!" Ana memanggil Gebby meski napasnya mulai terengah. Ia sudah tua, tenanganya sudah tak sekuat dulu, berlari sebentar saja ia sudah ngos-ngosan.Gebby sudah keluar dari gerbang portal kompleks dan terus berjalan di trotoar pinggir jalan raya. Melvin masih tak putus asa, ia mencoba terus mengejar. Genby sesekali menoleh ke belakang sambil terisak. Ia pun turun dari trotoar itu dan terlihat pasrah sembari merentangkan kedua tangannya dan berjalan perlahan ke arah tengah jalanan."Gebby! Jangan nekat kamu?" seru Melvin yang melihat Gebby senekat itu, ingin mencelakai dirinya sendiri dengan berdiri di tengah jalanan.Klakson kendaraan bermotor bersahutan dan sebagian ada yang marah karena ulah Gebby itu."Mau mati, Lu?" maki pengendara yang lewat."Gila, lu, woy?""Hey!
Gebby melamun di teras belakang rumah itu. Sudah dua hari Luna pergi mengahadap Yang Maha Kuasa. Rumah sudah mulai sepi, hanya ada Ana dan Reyhan serta mamanya Melvin di rumah itu yang masih berbincang dan ada juga beberapa anggota kepolisian di bagian depan bersama papanya Melvin.Tak ada indikasi kekerasan dalam kematian Luna, semua orang meyakini itu merupakan murni sebagai kasus bunuh diri. Ditemukan foto Indah yang tertancap pena di dalam kamar. Polisi dan dokter menduga halusinasi Luna sempat kambuh ketika malam kejadian itu.Luna selalu bersikap impulsif dan tak peduli pada keadaan sekitar, jika sosok dalam halusinasinya muncul, ia bahkan tak tahu jika posisinya sedang di atas jurang sekalipun."Geb, kamu makan dulu, Sayang," bujuk Ana pada Gebby. Sejak kemarin tampaknya Gebby sama sekali belum makan. Ana khawatir karena Gebby tak boleh sampai melewatkan jadwal minum obatnya."Nanti saja, Nek. Belum ada selera.""Jangan begitu, dong, Geb. Kamu boleh bersedih tapi kamu juga haru
Suasana kompleks pagi itu dibuat heboh atas penemuan tubuh Luna yang menyedihkan itu. Warga langsung mencari bantuan untuk segera membawa Luna pergi ke rumah sakit karena setelah diperiksa ternyata denyut nadinya masih ada.Gebby dan Ana hanya bisa pasrah, serasa tubuh mereka lemas tak berdaya menghadapi kenyataan itu. Luna kehilangan banyak darah akibat luka di bagian kepalanya. Bahkan mereka berdua tidak tahu kapan kejadian itu terjadi karena malam itu mereka tidur sangat nyenyak. Sebenarnya Gebby sempat terbangun beberapa kali untuk mengecek keadaan mamanya itu namun tidak terjadi apa-apa. Akhirnya setelah larut malam kantuk pengendara dan ia tertidur dengan sangat pulas. Gebby pin menyesal karena membiarkan mamanya itu tidur di lantai dua. Bukan tanpa sebab, mamanya dulu pernah menempati kamar itu, Gebby berharap ingatannya bisa kembali secara perlahan dengan merasakan suasana kamar itu setiap hari.Luna akhirnya tiba di rumah sakit dan langsung ditangani oleh tim medis. Gebby da
"Pa, mana uangnya yang aku minta? Transfer sekarang juga, lusa aku akan terbang bawa Mama," ucap Gebby pada Reyhan hari itu."Papa cuma bisa kasih kamu lima ratus juta dulu, Geb. Nanti kurangnya beberapa hari lagi, ya!""Log, kok gitu, sih, Pa?" seru Gebby tak senang."Bukannya kamu ya yang maksa untuk segera mencairkan dana investasi ke perusahaan Melvin? Kamu pikir uang di perusahaan kita bisa kamu atur seenaknya?""Ya ampun, Pa, aku tih cuma minta sedikit, apa susahnya sih tinggal transfer?""Semua uang pribadi papa sudah papa masukkan ke deposit berjangka. Hanya bisa diambil pada waktu yang tepat.""Papa sengaja, ya, biar aku gak bisa mintabuang sama Papa? Papa bener-bener tega, ya? Aku itu sedang berusaha supaya mama sembuh, tapi papa malah menghalang-halangi!""Kamu salah, uang papa sudah papa depositokan jauh sebelum kamu berencana mengambil mama kamu dari yayasan itu.""Papa sepertimya emang gak pernah sayang sama aku! Papa selalu aja bikin aku kecewa!""Geb, papa gak ada bila
"Hai, Vin!" sapa Gebby pada Melvin. Melvin agak terkejut saat ia melihat Gebby ada di lobby kantornya terlihat sedang menunggu."Oh, hai, Geb!""Aku dari tadi nunggu kamu, loh.""Oh, ya? Bukannya kita belum ada janji untuk bertemu sebelumnya?""Sorry, emang belum. Tapi boleh, dong, kalau aku sesekali datang ke sini untuk sekedar melihat progres kerjasama kita? Lagian aku belum pernah ke sini, aku juga ingin tahu bagaimana sistem kerja di sini.""Ooh ... Oke, boleh aja, kok. Ayo, aku ajak berkeliling," sahut Melvin."Oke," ucap Gebby senang. Ia dan Melvin pun akhirnya mengitari sekitaran kantor dan Melvin menunjukkan bagian demi bagian di kantornya itu. Padahal Gebby tidak terlalu ingin tahu tentang itu tujuan utamanya datang ke kantor Melvin adalah supaya ia dan Melvin bisa punya pertemuan yang intens sehingga Gebby punya peluang untuk bisa semakin dekat dengannya."Padahal kamu ini bisa dikatakan pemula, tapi keren, loh. Kantor kamu bagus, sistem kerja juga bagus. Aku saranin kamu bu