Part 2 (Sandiwara)
Setelah melewati perjalanan kurang dari 25 menit, kini mobilku sudah berhenti diparkiran cafe, tempat dimana Mas Hanzel dan Mega berada. Sebelum turun dari mobil aku sempatkan memperbaiki penampilan ku yang nampak berantakan. Rambut yang biasanya kukepang kini kubiarkan tergerai indah, dan aku melepaskan kacamata yang biasanya kupakai. Tak lupa aku juga memoles sedikit lipstik pada bibirku agar tak nampak pucat. Mulai hari ini dan seterusnya Kinan akan tampil beda. Dengan tergesa-gesa aku turun dari mobil, langkah kakiku mulai memasuki cafe. Mencoba menguatkan diriku, menahan ribuan amarah yang meronta untuk di ledakan. Mas Hanzel pasti lebih memilih Mega ketimbang diriku yang hanya batu loncatan. Meski kami sudah hidup dalam satu atap selama kurung waktu yang lama. Bukan kah lama sebuah hubungan tidak menentukan pasanganmu setia atau justru sebaliknya. Itulah yang kini ku alami. Kamu sanggup, Kinan. Kamu bisa, kamu kuat. Kalimat itu yang pada akhirnya ku persembahkan untuk diriku. Pengkhianatan yang tak pernah terlintas dalam benakku, malah terkuak. Mau tak mau aku harus ambil tindakan. Melepaskan diri lebih cepat dari pada terus terjebak dalam kebohongan yang Mas Hanzel ciptakan. Entah sudah berapa juta kebohongan yang Mas Hanzel utarakan padaku. Tak ada kebahagiaan, melainkan rasa sakit. Dan apa lagi yang harus ku pertahankan?****Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling cafe, mencari dua makhluk yang tak tahu diri itu. Dan benar saja mereka ada di meja paling ujung, tangan Mas Hanzel bahkan terus membelai pipi Mega. Aku mengigit bibir, bagaimana dengan leluasanya wanita yang kuanggap sahabatku itu bermanja dengan pria yang tak lain suamiku sendiri. Selama menjadi istrinya aku tak pernah diperlakukan semanis itu. Mengobrol saja jarang apalagi diperlakukan istimewa layaknya pasangan suami-istri pada umumnya.Ya Tuhan sesakit ini. Kumohon, kuatkan diriku, ayolah Kinan kau datang ke mari bukan untuk meratapi nasibmu yang malang.Aku menghela napas panjang untuk kesekian kalinya, meremas dadaku yang teramat nyeri. Dalam sesak tak terkendali aku masih mampu menyebut namanya. Dua tahun? Dua tahun aku menjadi orang bodoh yang terus percaya pada kata orang akan berubah. Lihatlah sekarang, ia tak berubah Kinan, kau lah yang terjatuh lebih dalam. Semua yang ku bayangkan terasa indah, kini menamparku dua kali lebih keras. Aku pikir ia hanya belum bisa menerima kehadiranku, dan lagi aku salah. Ada sosok lain yang menjadi tempatnya berlabuh dan lebih berarti dariku.Aku menoleh kebelakang, menyembunyikan rintihan pilu yang hanya mampu kupendam. Entah sejak kapan Stev sudah berdiri di belakangku, pria itu tersenyum dan mengisyaratkan supaya aku tetap kuat.“Ini kamu Kinan, Astaga saya hampir tak mengenalimu,” sapanya. Aku mengulas senyum sebagai balasan. Tak berniat mengucapkan sepatah katapun. Hati ini masih nyilu tak terkira. Aku berutang banyak pada Stev. Jika saja ia tak memberitahu ku, aku tak bisa bayangkan sehancur apa aku nantinya.Aku mengabaikan keberadaan Stev, tanpa kusadari rasa sakit ini mengiringku menuju Mas Hanzel. Aku meletakkan tasku di kursi yang tak jauh dari meja Mas Hanzel. Mengambil gelas yang masih berisi jus. Aku memutari gelas itu di tanganku, memandang jus ini dan mereka bergantian.“Apa yang ingin kamu lakukan, Kinan? Jangan membuat keributan, kamu lupa siapa suamimu?” tanya Stev beruntun. Siapa suamiku? Tentu saja aku tak akan lupa siapa Hanzel, pria yang dengan mudahnya membuatku mencintainya, setelah itu. Yah seperti ini keadaannya.Aku tersenyum tipis, Mas Hanzel punya kekuasaan. Ia berasal dari kalangan atas, keluarganya disegani dan di hormati banyak orang. Satu kesalahan yang tercipta maka akan menjadi santapan empuk para media. Aku tak ingin menjadi deretan orang yang digosipkan miring. Setelah melabrak abis jalang murahan suamiku. Toh belum tentu juga Mas Hanzel akan membelaku. Baginya aku ini parasit.“Stev menurutmu, apa saya terlihat seperti Kinan?” tanyaku, Stev menaikkan sebelah alisnya, tak memahami arah bicaraku. Pria ini tampan tampan tapi telmi (telat mikir).“Oh ayolah Stev jangan membuang waktu saya. Kamu benar-benar tak paham. Apa saya ini terlihat berbeda?” lanjutku, Stev mengangguk. Pria itu menatapku tanpa kedip dari atas sampai bawah membuatku terpaksa memalingkan wajah. Aku gugup jika diperhatikan.“Kau terlihat sempurna, Kinan. Dan kurasa tak ada orang yang akan mengenalimu sebagai Kinan, jika mereka tak menatap matamu yang indah itu. Penampilan mu kali ini memang berbeda. Aku hampir tak mengenalimu tadi,” aku meninggalkan Stev begitu saja usai mendengar jawabannya. Aku juga meminta batuan padanya, itupun jika ia mau membantuku. Perubahan penampilan ku ini sekiranya cukup untuk kujadikan modal, tandanya Mas Hanzel tak akan mengenaliku. Yang ia tahu Kinan—Istrinya itu cupu, lugu dan mudah di bohongi.Dengan pelan aku berjalan melewati meja Mas Hanzel saat pria itu hendak menggandeng tangan Mega, mengajaknya keluar dari cafe, dengan sengaja aku pura-pura terjatuh hingga jus yang berada di tanganku menyiram wajah Mega. Aku langsung syock, dan merasa bersalah. Padalah aslinya kurang puas. “Elo yah kalau jalan itu pakai mata dong, ga lihat wajah gue sekarang. Sayang, wanita ini!” bentak Mega, seketika kami menjadi pusat perhatian. “Maaf Mbak, saya benar-benar minta maaf,” jawabku sambil mengeluarkan tissue dari saku dressku, tissue tadi aku campuri dengan obat penumbuh jerawat. Aku mengusap wajah Mega menggunakan tissue itu. Mega menepis tanganku, ia membuang tissue itu sambil ia injak-injak. Tak apa, yang penting obatnya pasti sudah bereaksi. “Lo itu ya wanita ga tahu diri. Beraninya elo usap wajah gue pakai tissue murahan elo itu,” jujur aku langsung syock melihat sifat asli Mega. Ternyata seperti ini gambaran aslinya. Wanita begini kamu puja-puja Mas?Aku mendongak menatap langsung sorot matanya. Kilatan amarah masih terpancar jelas di sana. Aku bergeming, dan Mega masih tak mengenaliku.“Sudahlah Yang, dia juga udah minta maaf.” tengah Mas Hanzel, sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dengannya. Meski kaget dengan perilaku Mega, Mas Hanzel terus berupaya menenangkannya.“Ga bisa gitu dong wanita ini harus di beri pelajaran,” apa katanya? Pelajaran? Untuk kesalahan apa? Harusnya yang di beri pelajaran itu kamu Mega. “Cukup Mega! Kenapa kamu jadi kasar seperti ini. Dia sudah katakan tak sengaja bukan. Sudahlah ayo aku antar pulang, aku harus segera kembali ke kantor sebelum Kinan tiba di sana.” tutur Mas Hanzel. Mega langsung bungkam. Ia baru saja memperlihatkan kelakuan aslinya. Bagaimana mungkin selama belasan tahun aku tak mengenalinya. Selama yang ku tahu Mega itu sopan, baik dan ternyata—ah sudahlah.Dengan kesal Mega langsung pergi meninggalkan Mas Hanzel. Pria itu memandangku sekilas sebelum akhirnya aku menunduk, takut ketahuan.“Maafkan kekasih saya, oh ya ini nomor saya. Kamu bisa minta ganti rugi, kalau begitu saya permisi.” aku menelan ludah getir? Kekasih saya? Ia mengakui Mega sebagai selingkuhannya di depan Istrinya sendiri. Sungguh, bodoh kau Kinan!Aku meremas kertas pemberiannya, ini baru permulaan Mas akan kalian rasakan apa yang kurasakan sekarang. Mulai hari ini aku akan menjadi Kinan yang menusukmu dari belakang. Dan lihatlah, bagaimana Kinan yang kau bodohi selama ini akan berbalik menyerangmu. Dan untukmu Mega, ini belum usai. Aku belum merasa kalah darimu. Next?Part 3 (Pemberian Stev)Aku menarik kursi, lantas duduk di sana. Menyatukan kedua tanganku sambil menelungkupkan wajahku di meja, menahan isak tangis agar tak terdengar. Siapa yang akan memelukku di masa sulit seperti ini?Keluarga?Aku tak seberuntung orang diluar sana. Kedua orang tuaku sudah lama meninggal, waktu itu aku baru berusia sepuluh tahun. Hanya selang tiga bulan selepas kepergian Ayah dan Ibu, kakak lelakiku merenggut nyawa akibat motor yang dibawanya menabrak sebuah truk. Aku tak menyangka akan sendirian, hal yang paling ku takuti sejak aku kecil.Kinan kecil tak mengerti apapun, ia hanya berusaha untuk tetap bertahan. Menangis saat kesepihan, dan membenci keramaian.Aku bersyukur kala itu, bisa bertemu dengan seseorang yang membawaku tinggal di panti, selama itu pula aku tak kesepian, dan mengantungkan hidupku di sana. Kinan hanya lah sosok yang mencoba menghibur diri di tenang ke sendirian. Dan parahnya suamiku sendiri tak dapat mengenaliku.Kapan terakhir Mas Hanzel
Part 4 (Mega Meminta Berlian)Menjelang sore aku baru tiba di kantor Mas Hanzel. Perlu waktu tiga puluh menit dari caffe menuju Mas Hanzel. Dan beruntung Mas Hanzel masih di sini. Tadi aku meluangkan waktu sebentar membeli kue kering kesukaannya. Walaupun aku tak yakin ia mau menyentuh kue ini.Saat memasuki koridor, aku langsung di sambut ramah oleh beberapa karyawan, ada yang menyapa, tersenyum dan ada pula yang sinis. Aku membalas dengan senyuman. Memang bisa apalagi aku ini.Aku memasuki lift khusus menuju ruangan Mas Hanzel. Semenjak menikah kantor ini di pegang penuh oleh Mas Hanzel. Entah lah apa yang terjadi dengan keluarganya, yang jelas Mas Hanzel tak akan mendapatkan bagian sepeserpun pun jika ia masih lajang.Sekeluarnya dari lift, aku hanya perlu berjalan beberapa langkah. Membuka pintu perlahan, kemudian masuk.Ruangannya kosong?Dimana penghuninya, eh maksudku Mas Hanzel?Aku berderap mendekati meja kerjanya, menaruh bingkisan. Kulihat ponsel Mas Hanzel tergelatak di me
Part 5 (Menukarnya Dengan Yang Palsu)Aku berhenti disebuah toko perhiasan. Tekadku sudah bulat, tak akan kubiarkan dua orang itu bahagia. Apapun akan kulakukan agar mereka merasakan apa yang kurasakan sekarang. Mungkin tidak saat ini, tapi nanti. Nanti jika waktunya sudah tepat.Buru-buru aku keluar dari mobil, mengayun langkah memasuki toko tersebut. Aku harus mendapatkan duplikat berlian itu, minimal berlian yang asli akan kujual dan kujadikan modal untuk memenuhi segala keperluanku.“Ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu pegawai toko, aku mengangguk lalu mengeluarkan gawaiku dalam tas. Segera aku menyalakan benda pipih milikku, dan menunjukkan gambar cincin berlian yang ditaburi permata disekelilingnya pada pegawai toko.Wanita itu nampak berpikir, ia menatap teliti foto tersebut. “Boleh saya pinjam sebentar ponselnya, Mbak?” tanyanya, aku tersenyum tipis sembari memberikan ponselku padanya.Wanita berambut gelombang itu langsung mengeluarkan satu persatu cincin berlian dari
Part 6 (Awal Mula Rencana Kinan)Setibanya di dapur aku dibuat terkejut oleh Mama. Saking tak percayanya aku masih melongo. Apa ini hanya mimpi atau benar-benar nyata? Tiba-tiba saja Mama memberi ku sebuah cincin dihiasi berlian solitaire dengan sisi glamor dan klasik dipadukan 23 butir berlian di sekitarnya.Aku hampir tak percaya, hari ini aku benar-benar beruntung. Baru saja aku menukar berlian milik Mas Hanzel. Dan kini Mama justru memberiku sesuatu yang tak pernah kuduga. Ibarat pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.“Hal penting yang Mama maksud itu ini, Kinan. Gimana kamu suka atau ga? Kemarin Mama ke toko perhiasan dan lihat ini, cocok kayaknya kalau dipasang di jari kamu.” cerocos Mama, aku mengambil kotak tersebut. Mataku berbinar-binar menatap isinya. Kalau dibiarkan seperti ini, rencanaku bisa-bisa berjalan mulus.“Makasih ya Ma,” ucapku lalu berhambur memeluk Mama, dengan senang hati aku menerima pemberian Mama. Lagipula aku membutuhkannya besok untu
Part 7 (Mega Dipermalukan!)***“Mari kita buktikan, biar kita semua di sini tahu, punya kamu ini asli atau bukan, Mega.” tantang Mama, Mega tercengang. Namun, tak urung jua ia mengangguk setuju. Bibirnya membentuk lengkungan angkuh, seolah-olah cincin yang ia gunakan itu memang terbuat dari butiran berlian.Tak ingin membuang waktu, Lena beranjak menuju dapur, sedangkan Weni mencari informasi di internet mengenai cara membedakan berlian asli dan palsu.Aku terdiam mematung, menonton mereka yang sibuk mempermalukan Mega. Sesekali dengkusan kasar terdengar dari Mega. ini sudah saatnya aku membalaskan rasa sakitku padanya. Bagaimana ia yang dengan tanpa hati mengkhianati ku. Padahal jelas-jelas aku sudah menganggapnya seperti saudaraku sendiri.Aku melirik Mama Ratna yang kini memegang dua cincin berlian dengan merek berbeda, diruang tamu kami menunggu Lena. Sementara itu Rosalina mengambil koran yang tergeletak di meja. Entah untuk apa koran itu.Selang beberapa menit kemudian, Lena da
Part 8 (Pura-Pura Jadi Jasmin)Langkah kakiku terasa ringan seiring beban yang menumpuk di pundak kian menghilang. Dengan semangat menggebu aku memasuki kantor Mas Hanzel. Tangan kiriku menjinjing tas, sedangkan tangan kanan membawa bingkisan sebagai ucapan maaf. Aku tersenyum lebar, lengkungan tipis di sudut bibirku tak pudar. Ingatkan padaku, aku ke sini sebagai Jasmin bukan Kinan. Dan tujuanku bukan membawakan suamiku makan siang, melainkan mencari huru-hara. Aku memasuki lift, lalu berdiri di dalam. Menekan tombol yang membawaku menuju lantai paling atas, di mana ruang Mas Hanzel berada. Dua tahun aku menikah dengan pria yang tak sama sekali mencintaiku, dan selama itu pula aku menjadi orang bodoh karenanya, tanpa mencari tahu, ternyata suamiku memiliki pelabuhan jiwa lain. Ting! Suara dentingan lift membuyarkan lamunanku, segera aku keluar saat lift terbuka secara otomatis. Ini bukan pertama kalinya seorang Kinan datang ke sini, selama dua tahun hampir setiap hari kakiku men
Part 9 (Darah Mega Mendidih)***“Apa yang kalian berdua lakukan? Dan kamu Mas, kenapa wanita tak tahu malu ini bisa ada di sini?” tanya Mega seraya menghampiri kami, suaranya melengking tinggi. Ia menunjuk-nunjukan tangannya padaku. Binar kekesalan itu terpancar jelas. Terlebih Mega baru saja ku permalukan. Sekilas ekor mataku melirik Mas Hanzel, pria berwajah tampan itu nampak begitu tenang, deru napasnya terdengar teratur, ia sama sekali tak menaruh rasa gugup dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Berbeda denganku. “Ini tidak seperti yang kamu lihat, Mbak,” bantahku, Mas Hanzel perlahan bangkit, ia berdiri di sampingku, memperbaiki jasnya. Sepertinya aku sudah berhasil mendidihkan darah, Mega. Tidak lama lagi, kerentanan hubungan mereka akan terjadi. Pelan-pelan, peranku sebagai Jasmin mulai terlihat, saat Jasmin datang masalah akan terus menimpa mu, Mas. Jasmin menghampiri mu bukan perihal cinta, melainkan rasa sakit yang menjadi parasit. “Kamu pikir aku ini buta! Jelas-jela
Part 10 (Perjanjian Konyol)Aku membersihkan tubuh usai melakukan aktivitas yang melelahkan, bagaimana tidak sepanjang hari aku menjalankan peran ganda, menjadi Kinan lalu Jasmin, setelah itu kembali menjadi diriku sendiri. Aku merasa peran ini tak terlalu buruk, hanya perlu sedikit beradaptasi untuk beberapa saat ke depan. Aku duduk di tepi ranjang, melepas handuk yang melilit rambutku, aku melirik jam yang berdenting di dinding, pukul 7 malam. Aku dan Mas Hanzel sepakat untuk tinggal di sebuah apartemen elite. Salah satu apartemen milik keluarga Mas Hanzel. Dengan sebuah alasan klasik, karena jaraknya dekat dengan kantornya. Padahal sangat luar biasa jauh. Aku mengulurkan tangan, mengambil kacamata, lalu mengenakannya, selama ini aku dan Mas Hanzel memang tidak tidur seranjang. Kami akan berbagi ranjang jika menginap di rumah Mama, itu pun ia rela tidur di lantai. Namun, malam ini aku akan membuat sejarah yang berbeda. Kinan yang dulu akan berubah, ya setidaknya satu bulan ke depa
Part 31 (Tegang!) Aku menarik napas dalam-dalam, tatkala Mas Hanzel membawaku masuk ke dalam bilik kamar yang ada di ruangannya. “Ngapain kamu tarik aku ke sini, kita kedatangan tamu loh Mas,” ucapku memarahinya. Makin lama, sikap Mas Hanzel makin menyebalkan. Kutepis tangannya kasar, sambil terus melototinya. Sampai segitunya dia cemburu? istrinya sendiri di sembunyikan seperti ini, di larang pergi ke mana-mana, kebebasan istrinya serasa direnggut paksa oleh egonya sendiri. “Tunggu di sini, biar saya yang temui stev,” katanya, keningku langsung mengernyit. Apa aku tak salah dengar? “Lah, bukannya Stev mau ketemu aku yah Mas. Bukan kamu, ngapain jadi kamu yang temui dia.” Mas Hanzel berdecak kesal, sorot matanya kian tajam. Ia mengayun langkah mendekatiku, sejurus kemudian aku mundur. “Memangnya kenapa? Tidak ada salahnya bukan. Kamu istri saya Kinan, suka-suka saya dong melarang kamu dekat dengan siapa. Jadi kamu enggak usah pecicilan,” omelnya, perlu aku tandai lagi, ini su
Part 30 (Kedatangan Stev?) POV Kinan. “Mas, pulang yuk.” Aku berusaha merayu Mas Hanzel, berbagai macam rayuan pun telah aku keluarkan. Namun, nihil, tidak ada satu pun rayuan yang berhasil meluluhkan hati Mas Hanzel, suamiku tetap pada pendiriannya. Jangankan pulang, diijinkan keluar dari ruangnya pun tidak. Aku bangkit dari sofa, setelah berjam-jam duduk membuat pantatku panas. Kutepuk dress yang kukenakan, kemudian kembali memandangi suamiku yang dinginnya setara dengan es. Dengan gontai aku berjalan mendekati Mas Hanzel, memeluknya dari belakang. Bisa kurasakan suamiku sedikit menegang, namun, hanya beberapa detik ia kembali tenang. “Mas, aku bosan cuman duduk dan perhatiin kamu kerja. Boleh ya kalau pulang,” kataku memanyunkan bibir. Pria yang berstatus suamiku tersebut hanya bergeming, seolah menulikan pendengaran mengenai keluhan istrinya ini. Kuhentakan kaki, rasa kesal sudah membuncah dada. Tidak di tanggapi membuatku ingin memakan orang. Aku heran, demit mana yang su
Part 29 (Putus & Posesif) “Rekayasa kamu bilang! Hanya orang bod*h yang percaya omong kosongmu, Mega! Siapa pria ini! katakan, C'k!” tanya Hanzel, raut wajahnya sudah menunjukan betapa murkanya pria itu sekarang. Ia tidak tahu pasti, dengan siapa Mega masuk ke dalam kamar hotel, dan apa yang wanita itu lakukan di sana. Yang jelas, foto yang ia dapatkan sudah membuat kepercayaan seorang Hanzel goyah terhadap kekasihnya. “Katakan Mega! Atau-” “Atau apa Mas!”potong Mega, napas wanita itu ikutan memburu, dadanya naik turun. Seisi kepalanya ingin meledak, lantaran pria berstatus kekasihnya itu terus memojokkannya. “Kita usai sampai di sini, ya kita akhiri hubungan ini,” ujar Hanzel menekan setiap kata yang ia lontarkan. Bagai dilempar granat tetap mengenai jantungnya, bagian itu mencelos tanpa ampun. Mega tertegun, ia tidak bisa berbohong, kalau dirinya sungguh terkejut. Seorang Hanzel, memilih mengakhiri hubungan dengannya. Yang benar saja, ini tidak boleh terjadi. Dulu Hanzel yan
Part 28 (Pertengkaran?) Hanzel mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah Mega. Pikirannya berkecamuk kemana-mana. Tak bisa pria itu elak, sebagian besar didominasi rasa penasaran. Setibanya di depan rumah Mega, yang tak lain adalah kekasih gelapnya itu. Gegas Hanzel turun dari mobilnya, pandangan matanya tak sengaja melihat mobil berwarna hitam itu terparkir disebelah mobil Mega. Dari lat mobilnya saja, seperti tidak asing baginya. Tapi mobil siapa? Tak mau ambil pusing, Hanzel meraih gagang pintu, dan memutarnya. Di kunci? Pikirnya. Apa Mega sedang tidak ada di rumah, atau kekasihnya itu masih di hotel tadi. Sialan! Hanzel mendadak teringat omongan Kinan yang mengatakan, jika Mega pergi bersama pria lain. Menolak percaya, tapi istrinya tak mungkin berbohong. Hanzel berinisiatif mengintip dari celah jendela, nampak sofa ruang tamu bergoyang-goyang, tidak jelas, karena hanya terlihat sedikit. Hanzel semakin emosi, ia lantas merogoh ponselnya, berjalan mondar-ma
Part 27 (Kenyataan Macam Apa Ini?)*** “Jawab Pa, kenapa kalian berdua malah diam? Pasti ada sesuatu yang kalian sembunyikan selama ini? siapa Kinan, sebenarnya?” tanyaku penuh penekanan, aku menatap mereka berdua lekat. Udara malam kian terasa menusuk tulang, Papa mengecilkan AC, bukan berarti suasana diruangan ini ikut kembali tenang. “Kinan Istrimu, Hanzel,” jawaban Papa membuatku tidak puas. Selalu kalimat itu yang menjadi andalan mereka. Siapa yang bertanya kalau Kinan bukan istriku, kami menikah lebih dari dua tahun. “Kalian ini sampai kapan berbohong, aku bukan lagi anak kecil yang percaya omong kosong.” Tarikan napas panjang Papa hembuskan, sedangkan Mama terus menatap suaminya dengan perasaan yang entah, aku sendiri tak tahu. “Gimana Pa, kita jujur aja, dari pada nanti terjadi sesuatu dengan Kinan,” ungkap Mama, sesaat Papa bergeming, lalu akhirnya mengangguk setuju. Baiklah, obrolan serius akan di mulai, aku menyimak baik-baik apa yang hendak mereka ucapkan. “Papa ju
Part 26 (Penyelidikan Hanzel)**** Dahiku mengerut, nomor ini? Bukannya ini nomor Mega? Aku segera menyalin nomor tersebut, untuk memastikan ini benar nomor Mega atau hanya dugaanku saja. Kalau memang benar ini nomor Mega, ada hubungan apa ia dengan pria misterius itu, jangan bilang, kalau dua pria tadi itu suruhan Mega? Tapi untuk apa?Apa karena Mega cemburu dengan Kinan? Pikirku. Aku mengetik nomor tersebut di log panggilan, dan seketika mataku melebar kala nama Mega muncul di sana, tidak salah, ini memang nomor Mega. Aku mengingat betul angka terakhir nomor tersebut. Shit, apa maksud dari semua ini? Siapa Mega sebenarnya? Berbagai pertanyaan pun akhirnya timbun di benakku. Aku merasa seperti tengah dipermainkan takdir, dua tahun aku menikah dengan Kinan, dan satu tahun menjalin hubungan dengan Mega. Tapi kenapa baru sekarang, aku merasakan keganjalan diantara keduanya, terlebih Papa memberiku pilihan yang tak masuk akal. Intinya, aku harus memilih diantara, Kinan? atau Meg
Part 25 (Teka-Teki)POV Hanzel.Buru-buru aku melajukan mobilku meninggalkan gedung apartemen. Seisi kepalaku, rasanya mau meledak, bagaimana tidak, Kinan menghubungiku jika mobilnya ada yang mengikuti dari belakang. Jelas aku mengkhawatirkan kondisi Kinan sekarang, siapa sangka dulu ia begitu menjijikan dimataku, tapi harus kuakui, aku mulai tertarik dengannya. Mengetahui ia bertemu dengan Stev saja sudah membuat aliran darahku mendidih tanpa ampun. Entah apa yang mereka lakukan, persetan, aku tak ingin memikirkan hal itu. “Sialan!” Aku memukul stir, lalu berbelok ke kiri, tidak henti-hentinya mulut laknatku ini mengumpat. Tepat dipinggir jalan, aku melihat mobil Kinan ada di sana. Tanpa pikir dua kali, aku segera turun, dan berlari menghampiri mobil tersebut. Kedua netraku membulat kala melihat kaca mobil pecah, dan satu peluru tertinggal di sana. Napas seolah berhenti berhembus, jantung ini serasa tak berdetak, tulang persendianku ikutan lemas. “Kinan!”“Kinan! Di mana kam
Part 24 (Bahaya!)“Kinan, semua bukti sudah kita dapatkan, kapan semuanya akan terbongkar?” tanya Stev memecahkan keheningan di antara kami berdua, aku lalu menatapnya sekilas, sebelum melempar pandangan ke arah lain.“Sabar dulu Stev, biar aku selesaikan dulu hubunganku dengan Mas Hanzel, aku tak mau lagi terlibat apa pun dengan pria itu, baru lah kita bongkar semuanya di acara pesta yang akan digelar minggu depan.” kataku pada Stev, menyelesaikan hubungan yang kumaksud tak lain dan tak bukan adalah mengurus gugatan perceraian tanpa sepengetahuan Mas Hanzel atau pun keluarganya.Lagi pula kami juga belum punya anak, jadi tak ada alasan mengapa aku harus bertahan.“Aku tahu kekhawatiran mu Kinan, apa perlu aku sewa kan pengacara hebat agar semuanya cepat selesai. Bukan kah kamu ingin terlepas dari Hanzel.” tutur Stev, aku mengulas senyum, sambil menyelami matanya yang teduh.Aku beralih mendongak ke atas, lalu menggelengkan kepala, sudah cukup aku merepotkan Stev selama ini, Lagian in
Part 23 (Manjanya Hanzel)***POV Kinan.“Kinan ... dingin,” lirih Mas Hanzel, suara beratnya itu terdengar menggelitik di telingaku, ia terus saja menarik selimut sampai aku tidak kebagian.Ada apa sih dengan pria ini? Sungutku sambil berdecak kesal.“Kinan, peluk.” racauannya, aku pura-pura tak mendengarnya, dan kembali menyelami mimpi.“Kinan.” panggilnya lagi, karena jengkel aku spontan membalikan badan menghadap Mas Hanzel, nampak suamiku menggigil hebat.Entah dorongan dari mana, punggung tanganku bergerak menyentuh keningnya, seketika hawa panas bercampur dingin menyapa permukaan kulitku.Dia demam?“Mas, kamu sakit?” tanyaku serius, alih-alih menjawab, Mas Hanzel malah merapatkan tubuhnya padaku, tiba-tiba saja ia sudah membenamkan wajahnya di celuk leherku, aku sampai menahan napas karena perbuatannya ini.“Mas .. lepas, aku mau ambil air hangat dulu buat kompres kamu.” kataku, pria dingin ini tetap bergeming, tidak ada suara selain deru napasnya yang terdengar teratur.Aku s