Share

Sandiwara

Part 2 (Sandiwara)

Setelah melewati perjalanan kurang dari 25 menit, kini mobilku sudah berhenti diparkiran cafe, tempat dimana Mas Hanzel dan Mega berada. Sebelum turun dari mobil aku sempatkan memperbaiki penampilan ku yang nampak berantakan. Rambut yang biasanya kukepang kini kubiarkan tergerai indah, dan aku melepaskan kacamata yang biasanya kupakai. Tak lupa aku juga memoles sedikit lipstik pada bibirku agar tak nampak pucat. Mulai hari ini dan seterusnya Kinan akan tampil beda. 

Dengan tergesa-gesa aku turun dari mobil, langkah kakiku mulai memasuki cafe. Mencoba menguatkan diriku, menahan ribuan amarah yang meronta untuk di ledakan. Mas Hanzel pasti lebih memilih Mega ketimbang diriku yang hanya batu loncatan. Meski kami sudah hidup dalam satu atap selama kurung waktu yang lama. Bukan kah lama sebuah hubungan tidak menentukan pasanganmu setia atau justru sebaliknya. Itulah yang kini ku alami. 

Kamu sanggup, Kinan. Kamu bisa, kamu kuat. Kalimat itu yang pada akhirnya ku persembahkan untuk diriku. Pengkhianatan yang tak pernah terlintas dalam benakku, malah terkuak. Mau tak mau aku harus ambil tindakan. Melepaskan diri lebih cepat dari pada terus terjebak dalam kebohongan yang Mas Hanzel ciptakan. Entah sudah berapa juta kebohongan yang Mas Hanzel utarakan padaku. Tak ada kebahagiaan, melainkan rasa sakit. Dan apa lagi yang harus ku pertahankan?

****

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling cafe, mencari dua makhluk yang tak tahu diri itu. Dan benar saja mereka ada di meja paling ujung, tangan Mas Hanzel bahkan terus membelai pipi Mega. Aku mengigit bibir, bagaimana dengan leluasanya wanita yang kuanggap sahabatku itu bermanja dengan pria yang tak lain suamiku sendiri. 

Selama menjadi istrinya aku tak pernah diperlakukan semanis itu. Mengobrol saja jarang apalagi diperlakukan istimewa layaknya pasangan suami-istri pada umumnya.

Ya Tuhan sesakit ini. Kumohon, kuatkan diriku, ayolah Kinan kau datang ke mari bukan untuk meratapi nasibmu yang malang.

Aku menghela napas panjang untuk kesekian kalinya, meremas dadaku yang teramat nyeri. Dalam sesak tak terkendali aku masih mampu menyebut namanya. 

Dua tahun? Dua tahun aku menjadi orang bodoh yang terus percaya pada kata orang akan berubah. Lihatlah sekarang, ia tak berubah Kinan, kau lah yang terjatuh lebih dalam. 

Semua yang ku bayangkan terasa indah, kini menamparku dua kali lebih keras. Aku pikir ia hanya belum bisa menerima kehadiranku, dan lagi aku salah. Ada sosok lain yang menjadi tempatnya berlabuh dan lebih berarti dariku.

Aku menoleh kebelakang, menyembunyikan rintihan pilu yang hanya mampu kupendam. Entah sejak kapan Stev sudah berdiri di belakangku, pria itu tersenyum dan mengisyaratkan supaya aku tetap kuat.

“Ini kamu Kinan, Astaga saya hampir tak mengenalimu,” sapanya. Aku mengulas senyum sebagai balasan. Tak berniat mengucapkan sepatah katapun. Hati ini masih nyilu tak terkira. Aku berutang banyak pada Stev. Jika saja ia tak memberitahu ku, aku tak bisa bayangkan sehancur apa aku nantinya.

Aku mengabaikan keberadaan Stev, tanpa kusadari rasa sakit ini mengiringku menuju Mas Hanzel. Aku meletakkan tasku di kursi yang tak jauh dari meja Mas Hanzel. Mengambil gelas yang masih berisi jus. Aku memutari gelas itu di tanganku, memandang jus ini dan mereka bergantian.

“Apa yang ingin kamu lakukan, Kinan? Jangan membuat keributan, kamu lupa siapa suamimu?” tanya Stev beruntun. Siapa suamiku? Tentu saja aku tak akan lupa siapa Hanzel, pria yang dengan mudahnya membuatku mencintainya, setelah itu. Yah seperti ini keadaannya.

Aku tersenyum tipis, Mas Hanzel punya kekuasaan. Ia berasal dari kalangan atas, keluarganya disegani dan di hormati banyak orang. Satu kesalahan yang tercipta maka akan menjadi santapan empuk para media. Aku tak ingin menjadi deretan orang yang digosipkan miring. Setelah melabrak abis jalang murahan suamiku. Toh belum tentu juga Mas Hanzel akan membelaku. Baginya aku ini parasit.

“Stev menurutmu, apa saya terlihat seperti Kinan?” tanyaku, Stev menaikkan sebelah alisnya, tak memahami arah bicaraku. Pria ini tampan tampan tapi telmi (telat mikir).

“Oh ayolah Stev jangan membuang waktu saya. Kamu benar-benar tak paham. Apa saya ini terlihat berbeda?” lanjutku, Stev mengangguk. Pria itu menatapku tanpa kedip dari atas sampai bawah membuatku terpaksa memalingkan wajah. Aku gugup jika diperhatikan.

“Kau terlihat sempurna, Kinan. Dan kurasa tak ada orang yang akan mengenalimu sebagai Kinan, jika mereka tak menatap matamu yang indah itu. Penampilan mu kali ini memang berbeda. Aku hampir tak mengenalimu tadi,” aku meninggalkan Stev begitu saja usai mendengar jawabannya. Aku juga meminta batuan padanya, itupun jika ia mau membantuku. Perubahan penampilan ku ini sekiranya cukup untuk kujadikan modal, tandanya Mas Hanzel tak akan mengenaliku. Yang ia tahu Kinan—Istrinya itu cupu, lugu dan mudah di bohongi.

Dengan pelan aku berjalan melewati meja Mas Hanzel saat pria itu hendak menggandeng tangan Mega, mengajaknya keluar dari cafe, dengan sengaja aku pura-pura terjatuh hingga jus yang berada di tanganku menyiram wajah Mega. Aku langsung syock, dan merasa bersalah. Padalah aslinya kurang puas. 

“Elo yah kalau jalan itu pakai mata dong, ga lihat wajah gue sekarang. Sayang, wanita ini!” bentak Mega, seketika kami menjadi pusat perhatian. 

“Maaf Mbak, saya benar-benar minta maaf,” jawabku sambil mengeluarkan tissue dari saku dressku, tissue tadi aku campuri dengan obat penumbuh jerawat. Aku mengusap wajah Mega menggunakan tissue itu. 

Mega menepis tanganku, ia membuang tissue itu sambil ia injak-injak. Tak apa, yang penting obatnya pasti sudah bereaksi. “Lo itu ya wanita ga tahu diri. Beraninya elo usap wajah gue pakai tissue murahan elo itu,” jujur aku langsung syock melihat sifat asli Mega. Ternyata seperti ini gambaran aslinya. Wanita begini kamu puja-puja Mas?

Aku mendongak menatap langsung sorot matanya. Kilatan amarah masih terpancar jelas di sana. Aku bergeming, dan Mega masih tak mengenaliku.

“Sudahlah Yang, dia juga udah minta maaf.” tengah Mas Hanzel, sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dengannya. Meski kaget dengan perilaku Mega, Mas Hanzel terus berupaya menenangkannya.

“Ga bisa gitu dong wanita ini harus di beri pelajaran,” apa katanya? Pelajaran? Untuk kesalahan apa? Harusnya yang di beri pelajaran itu kamu Mega. 

“Cukup Mega! Kenapa kamu jadi kasar seperti ini. Dia sudah katakan tak sengaja bukan. Sudahlah ayo aku antar pulang, aku harus segera kembali ke kantor sebelum Kinan tiba di sana.” tutur Mas Hanzel. Mega langsung bungkam. Ia baru saja memperlihatkan kelakuan aslinya. Bagaimana mungkin selama belasan tahun aku tak mengenalinya. Selama yang ku tahu Mega itu sopan, baik dan ternyata—ah sudahlah.

Dengan kesal Mega langsung pergi meninggalkan Mas Hanzel. Pria itu memandangku sekilas sebelum akhirnya aku menunduk, takut ketahuan.

“Maafkan kekasih saya, oh ya ini nomor saya. Kamu bisa minta ganti rugi, kalau begitu saya permisi.” aku menelan ludah getir? Kekasih saya? Ia mengakui Mega sebagai selingkuhannya di depan Istrinya sendiri. Sungguh, bodoh kau Kinan!

Aku meremas kertas pemberiannya, ini baru permulaan Mas akan kalian rasakan apa yang kurasakan sekarang. Mulai hari ini aku akan menjadi Kinan yang menusukmu dari belakang. Dan lihatlah, bagaimana Kinan yang kau bodohi selama ini akan berbalik menyerangmu. Dan untukmu Mega, ini belum usai. Aku belum merasa kalah darimu. 

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status