Part 7 (Mega Dipermalukan!)
***“Mari kita buktikan, biar kita semua di sini tahu, punya kamu ini asli atau bukan, Mega.” tantang Mama, Mega tercengang. Namun, tak urung jua ia mengangguk setuju. Bibirnya membentuk lengkungan angkuh, seolah-olah cincin yang ia gunakan itu memang terbuat dari butiran berlian.Tak ingin membuang waktu, Lena beranjak menuju dapur, sedangkan Weni mencari informasi di internet mengenai cara membedakan berlian asli dan palsu.Aku terdiam mematung, menonton mereka yang sibuk mempermalukan Mega. Sesekali dengkusan kasar terdengar dari Mega. ini sudah saatnya aku membalaskan rasa sakitku padanya. Bagaimana ia yang dengan tanpa hati mengkhianati ku. Padahal jelas-jelas aku sudah menganggapnya seperti saudaraku sendiri.Aku melirik Mama Ratna yang kini memegang dua cincin berlian dengan merek berbeda, diruang tamu kami menunggu Lena. Sementara itu Rosalina mengambil koran yang tergeletak di meja. Entah untuk apa koran itu.Selang beberapa menit kemudian, Lena datang dengan membawa dua gelas air. Wanita berambut gelombang itu menaruh gelas tersebut di meja, lantas kembali duduk bergabung dengan yang lain. Saat semuanya sudah siap, kami segerra membentuk lingkaran memutari meja, barulah Weni menjelaskan informasi yang ia dapatkan.“Coba deh Ros, elo masukin cincin milik Mega dan Kinan ke gelas. Dan mari kita lihat mana berlian yang asli,” titah Weni yang terdengar sebuah perintah.Mama nampak Ratna langsung mengulurkan dua buah cincin itu pada Rosalina. Yang langsung di masukan kedalam gelas yang berbeda oleh Ros.Aku masih mengamati gestur tubuh Mega, ia dengan penuh percaya diri menyalakan kamera dan merekam percobaan ini.'Ayolah Mega, tanpa sadar kamu telah mempermalukan dirimu sendiri.' bisikku dalam hati.“Lihat ya punya gue itu asli, mana mungkin gue pakai cincin Kw, secara gue itu anti dengan barang-barang murahan, bisa-bisa jari gue iritasi,” sindir Mega, kami berlima bergeming, fokus pada gelas tersebut. Beberapa detik kemudian Indi menimpali.“Kalau berlian milik Mega asli, udah pasti tenggelam, secara dia punya kepadatan yang tinggi. Sedangkan berlian palsu bakalan mengapung. Coba kalian perhatikan baik-baik dua cincin berlian ini. Dari sini aja udah kelihatan mana yang imitasi,”Mega langsung syok, lengkungan angkuh itu memudar terganti gutaran kebingungan. Ia mendekati dua gelas tersebut dan mengamatinya. Aku dan Mama tetap diam, melihat cincin milik Mega perlahan mengapung ke atas permukaan.“Gila! Ga nyangka, punya elo ini jelas-jelas palsu Mega. Bisa-bisanya elo tipu kita semua di sini,” sela Indi geleng-geleng kepala. Mega tak tinggal diam, ia berusaha membela dirinya.“Ck, punya gue beneran cincin berlian asli, ini salah kali. Udah gue bilang, gue ga cocok pakai barang murahan,”“Ngeles aja elo Mega, jelas-jelas ini ada buktinya. Elo lihat punya Kinan, cincinnya tenggelam coy.” sahut Weni, suasana di selimuti ketegangan. Arisan yang seharusnya menjadi ajang untuk Mega pamer justru berbalik menyerangnya.Ini belum apa-apa Mega, masih ada kejutan lain yang belum kamu coba. Pikirku.“Sudah-sudah jangan bertengkar, kita buktikan dengan cara ke dua, gimana? Biar makin yakin?” usul Mama, aku menganggukkan kepala setuju, sekalian panggil pakarnya juga. Biar Mega tak bisa lagi mengelak.“Gue setuju sih saran Tante Ratna,”“Ya udah kita coba, Kinan ambil koran itu, kita pakai cara ke dua.” buru-buru aku mengambil koran yang berada di sampingku, memberikannya pada Nela. Mega nampak menatapku sinis, sorot matanya tergambar kebencian di sana.Harusnya aku yang membencinya, bukannya ia menjalin kasih dengan suamiku.Lantas mengapa dirinya yang seolah-olah merasa tersakiti.“Awas ya kalau berlian gue ini beneran asli, gue bakal minta ganti rugi ke kalian. Apalagi ke elo Kinan, ini semua gara-gara elo dan cincin murahan elo itu,” aku melongo mendengar sergahan Mega. Tidak sadar ia menghina cincin memberian mertuaku. Cincin seharga langit ia bilang murahan?“Ya elah Mega elo sensi banget sama, Kinan. Elo iri sama hidup dia? Ya wajar dong kalau dia pakai barang-barang branded secara suaminya sultan. Lah elo?” cibir Indi, seketika bola mata Mega membulat, ia melongos dan duduk di sofa.“Silahkan buktikan, punya gue itu asli,” imbuh Mega.Rosalina menaruh kedua cincin berlian itu di atas koran. Kami kembali memperhatikan dengan teliti. Sesuai informasi yang Weni dapatkan.“Kalau dia berlian asli, tulisan di koran pasti ga kelihatan. Tapi kalau berlian kW beda ceritanya, udah pasti kelihatan. Sini deh elo Mega, lihat pakai mata, cincin elo ini aneh. Ga berkilau sama sekali, gue yakin 100% ini palsu,” ujar Weni penuh keyakinan, dibalas anggukan setuju oleh Lena. Tanpa perlu kuperjelaskan yang lain pasti sudah tahu.Mega yang mendengar hal itu bangkit dari sofa, ia menghempaskan tubuhnya di sebelah Weni.“Mau bukti apa lagi kamu Mega, perhatikan itu cincimu,” ucap Mama, Mega kalang kabut, kupastikan setelah ini ia akan mendatangi Mas Hanzel dan memarahinya.Baguslah, bertengkar lah kalian, hingga tiba saatnya dendamku terbalas.“Ga mungkin, gue yakin ini salah, cincin gue itu asli!” tegas Mega, tubuhnya sedikit bergetar menahan emosi yang memuncak. Ia memegang cincin itu dan memukulnya ke tepi meja. Diluar dugaan, kami dibuat lebih tercengang, cincin berlian milik Mega tergores, bahkan yang lebih parah hampir terbelah menjadi dua.“Kebangetan elo Mega, cincin palsu bilang asli,” cibir Indi.“Masih mau minta ganti rugi kalau itu asli?” tanyaku membuat Mega menoleh, kami berlima bangkit dan kembali duduk di sofa. Aku mengambil cincin milikku dan lekas memakainya.Ekor mataku melihat tangan Mega yang mengepal, ia bangun dan menyambar tas jinjingnya. Kemudian melangkah pergi. Mungkin tak kuat menahan huru hara yang ia ciptakan sendiri. Mengadulah pada suamiku, aduan mu akan menjadi senjata untukku.“Ga waras ini Mega, kok elo mau sih sahabatan sama dia. Amit-amit gue lihat kelakuannya model begitu,” aku menggelengkan kepala menanggapi ucapan Lena. Sampai detik ini pun aku masih belum percaya, Mega yang kukenal selama ini ternyata pengkhianat.Setelah kepergian Mega, kami kembali melanjutkan arisan, mengobrol dan bertukar cerita. Mama Ratna nampak senang, ia menceritakan banyak hal, termaksud awal mula hubungannya dengan Papa.***Menjelang siang arisan baru selesai, Mama sudah pergi lebih dulu di jemput supir Papa, katanya ada urusan penting. Dan mengharuskannya hadir di sana. Aku tak masalah akan hal itu, lagian aku sedang ada misi tak kalah penting.Segera aku meninggalkan pekarangan rumah Nela, melajukan mobilku mengarungi jalan raya yang selalu padat. Tujuanku saat ini menemui Mas Hanzel.Aku menepikan mobilku sebentar, meraih gawaiku dan menyalakannya. Mengetik pesan untuk seseorang. Ya seseorang yang selalu mencampakkan ku.[Ini saya Jasmin, masih ingat kan? Waktu itu saya sempat tak sengaja menyiram pacar anda dengan jus.] Begitu lah kira-kira pesan yang kuketik, lalu aku mengirimnya pada Mas Hanzel.“Menyedihkan! Aku harus menjadi orang lain untuk di lirik suamiku sendiri,” gumamku frustasi. Tanganku bergerak melepas kacamata, lalu mengerjap beberapa kali.Tak perlu waktu lama, benda pipih milikku akhirnya berdering. Saat kucek ternyata pesan dari Mas Hanzel, cepat sekali. Jika Kinan yang mengirimnya pasti butuh waktu berjam-jam hanya untuk mendapatkan balasan. Itu pun jika ia mau, jika tidak, ya seperti itulah.[Ya, ada apa?] Nadanya berkesan bertanya, aku menggunakan mode ganda pada gawaiku.[Apa hari ini anda ada waktu, saya ingin bertemu sebentar?] Aku tersenyum geli membacanya, menyertakan emoticon berpikir setelah tanda tanya.[Boleh, datang saja langsung ke kantor saya. Nanti saya kirim alamatnya.]Aku memasukan kembali ponselku dalam tas, usai mendapatkan lampu hijau. Bagaimana pun caranya, aku harus datang lebih dulu dari Mega, sepertinya Mega memang belum menemui Mas Hanzel. Tapi aku tak mungkin ke sana dengan identitas Kinan, sial! Aku harus merubah penampilan ku dulu.Aku kembali melajukan mobil, mencari butik terdekat. Setelah menemukannya, aku segera turun dari mobil dan masuk ke dalam butik.“Mari lah kita bermain-main, Mas. Ini sudah waktunya kamu merasakan apa yang kurasakan.”Part 8 (Pura-Pura Jadi Jasmin)Langkah kakiku terasa ringan seiring beban yang menumpuk di pundak kian menghilang. Dengan semangat menggebu aku memasuki kantor Mas Hanzel. Tangan kiriku menjinjing tas, sedangkan tangan kanan membawa bingkisan sebagai ucapan maaf. Aku tersenyum lebar, lengkungan tipis di sudut bibirku tak pudar. Ingatkan padaku, aku ke sini sebagai Jasmin bukan Kinan. Dan tujuanku bukan membawakan suamiku makan siang, melainkan mencari huru-hara. Aku memasuki lift, lalu berdiri di dalam. Menekan tombol yang membawaku menuju lantai paling atas, di mana ruang Mas Hanzel berada. Dua tahun aku menikah dengan pria yang tak sama sekali mencintaiku, dan selama itu pula aku menjadi orang bodoh karenanya, tanpa mencari tahu, ternyata suamiku memiliki pelabuhan jiwa lain. Ting! Suara dentingan lift membuyarkan lamunanku, segera aku keluar saat lift terbuka secara otomatis. Ini bukan pertama kalinya seorang Kinan datang ke sini, selama dua tahun hampir setiap hari kakiku men
Part 9 (Darah Mega Mendidih)***“Apa yang kalian berdua lakukan? Dan kamu Mas, kenapa wanita tak tahu malu ini bisa ada di sini?” tanya Mega seraya menghampiri kami, suaranya melengking tinggi. Ia menunjuk-nunjukan tangannya padaku. Binar kekesalan itu terpancar jelas. Terlebih Mega baru saja ku permalukan. Sekilas ekor mataku melirik Mas Hanzel, pria berwajah tampan itu nampak begitu tenang, deru napasnya terdengar teratur, ia sama sekali tak menaruh rasa gugup dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Berbeda denganku. “Ini tidak seperti yang kamu lihat, Mbak,” bantahku, Mas Hanzel perlahan bangkit, ia berdiri di sampingku, memperbaiki jasnya. Sepertinya aku sudah berhasil mendidihkan darah, Mega. Tidak lama lagi, kerentanan hubungan mereka akan terjadi. Pelan-pelan, peranku sebagai Jasmin mulai terlihat, saat Jasmin datang masalah akan terus menimpa mu, Mas. Jasmin menghampiri mu bukan perihal cinta, melainkan rasa sakit yang menjadi parasit. “Kamu pikir aku ini buta! Jelas-jela
Part 10 (Perjanjian Konyol)Aku membersihkan tubuh usai melakukan aktivitas yang melelahkan, bagaimana tidak sepanjang hari aku menjalankan peran ganda, menjadi Kinan lalu Jasmin, setelah itu kembali menjadi diriku sendiri. Aku merasa peran ini tak terlalu buruk, hanya perlu sedikit beradaptasi untuk beberapa saat ke depan. Aku duduk di tepi ranjang, melepas handuk yang melilit rambutku, aku melirik jam yang berdenting di dinding, pukul 7 malam. Aku dan Mas Hanzel sepakat untuk tinggal di sebuah apartemen elite. Salah satu apartemen milik keluarga Mas Hanzel. Dengan sebuah alasan klasik, karena jaraknya dekat dengan kantornya. Padahal sangat luar biasa jauh. Aku mengulurkan tangan, mengambil kacamata, lalu mengenakannya, selama ini aku dan Mas Hanzel memang tidak tidur seranjang. Kami akan berbagi ranjang jika menginap di rumah Mama, itu pun ia rela tidur di lantai. Namun, malam ini aku akan membuat sejarah yang berbeda. Kinan yang dulu akan berubah, ya setidaknya satu bulan ke depa
Part 11 (Ucapan Selamat Pagi!)POV HanzelAku melempar jasku ke ranjang, mengacak-acak rambutku frustasi. Hari ini sangat melelahkan, pasalnya Mega datang ke kantor marah-marah, belum lagi berkas di kantor yang menumpuk, dan Minggu depan aku ada perjalanan bisnis keluar kota. Aku tak bisa berpikir jernih sekarang, bagaimana mungkin berlian dengan harga miliyaran yang kubeli, ternyata palsu. Jelas-jelas berlian itu aku pesan dari toko perhiasan langganan keluargaku, pasti ada yang menukarnya. Aku yakin ini, tapi siapa? Atau jangan-jangan Kinan, ah tidak mungkin. Ia saja tak tahu jika aku memiliki hubungan dengan Mega—Sahabatnya.Aku menunduk, satu persatu masalah mulai datang, aku merogoh gawaiku, melihat fotoku dengan Mega yang di kirim seseorang. Apa tujuan orang itu, dan dari mana ia mendapatkan foto ini? Padahal ketika aku dengan Mega keluar, sebisa mungkin pergi mencari tempat yang aman. Atau kami bertemu di hotel bintang lima.Ah, sialan, bisa kacau hidupku nanti, jika Mama sampa
Part 12 (Mendadak Bertemu?) Aku keluar dari kamar sembari merapikan rambut, sebelum ke kantor aku berencana singgah dulu ke rumah Mega. Rasanya rinduku sudah menumpuk, tak apa lah menjalin hubungan seperti ini, asal aku tetap bersama dengannya. Lagi pula perjanjianku dengan Kinan tersisa 24 hari lagi, dan setelah itu aku akan menceraikan Kinan, dan lekas menikahi Mega. Aku melewati kamar Kinan, biasanya ia sudah berisik dan menyuruhku untuk sarapan, tapi hari ini ia seolah menghilang. Ah, sudahlah itu bukan urusanku. Lagi pula sejak kapan aku perduli padanya, ia hanya batu loncatan yang tak bisa kuhindari. Aku menggulung lengan kemeja sampai sikut, lalu berjalan ke dapur, aku melihat sepiring nasi goreng lengkap dengan segelas susu sudah tersaji di meja. Ada sepucuk surat yang Kinan tinggalkan di sana. [[Tolong sarapannya di makan, Mas. Ingat perjanjian kita bagaimana, awas saja jika tidak di makan.]] Aku tersenyum kecut membaca isi surat itu, kemudian meletakkannya kembali, lanta
Part 13 (Kinan Bikin Hanzel Kesan!) Aku membuka pintu dan di kejutkan dengan Mega yang tidur tanpa sehelai benangpun. Tubuhnya di lilit dengan selimut, pemandangan seperti ini memang sudah biasa kulihat sejak menjalin hubungan dengannya. Namun, aku merasakan sensasi yang berbeda di kamar ini. Aku masuk ke dalam, menelisik ke penjuru tempat, ekor mataku menangkap jendela kamar Mega yang terbuka. Dengan gontai aku mendekat, tidak ada siapa pun. Atau jangan-jangan Mega—ah, itu hanya pikiranku saja. Mega tak mungkin seperti itu, dia wanita yang setia. Aku percaya padanya. “Mas.” panggil Mega, suaranya khas orang baru bangun tidur. Aku menghampirinya, lalu duduk di tepi ranjang, seketika dahiku membentuk sebuah kerutan. Aku menemukan pakaian pria yang bergeletak di kolong ranjang. Ah, sial*n. Pekiku, pikiran kotor tak dapat terelakkan. Rasa yang tak pernah timbul, kini malah muncul, mendadak aku mencurigai Mega. “Mas.” lanjut Mega kesal, aku segera menoleh padanya. “Ini baju sia
Part 14 (Sandiwara)***POV Kinan.Aku berbisik pelan di telinga Mas Hanzel, sontak tubuhnya menegang.Perlahan tanganku bergerak menyentuh wajahnya, meraba permukaan kulitnya, sesaat tatapan kami bertemu, bahkan kini aku sudah berpindah di pangkuannya.Andai kamu tahu Mas, wanita yang sedang kamu perjuangkan itu, tengah memadu kasih dengan pria lain.Menyebut namanya, bukan namamu.“Mas,” kataku sambil melingkarkan tangan di lehernya. Netra itu kembali menatapku tajam, ada guratan kebencian terpendam di sana.Ketahuilah, seiring berjalannya waktu, semua pasti akan berubah.Yang hari ini begitu berharga, pada saatnya akan terlupakan.Di hari berikutnya, dia yang kamu sia-siakan akan kamu cari.Dan tanpa kamu sadari, ia telah beranjak pergi, dan tak bisa lagi kamu miliki.Mungkin saat ini kamu belum merasakan apa pun Mas, Kinan bagimu hanya sebuah benalu yang tengah menumpang di pundakmu.Tapi percaya, Istri mu ini sedang tidak menunda perpisahan, hanya saja aku sedang menunggu waktu
Part 15 (Malam Yang Terasa Panas) Aku begitu risih dengan tatapan Mas Hanzel, diam-diam pria itu curi-curi pandang padaku. Ada gumpalan penyesalan yang menyeruput masuk di dasar hati, menyesali aku datang sebagai Jasmin bukan Kinan yang ia benci. “Hanzel aku dengar kamu sudah menikah?” tanyaku sambil memotong steak menjadi beberapa potongan kecil. Mas Hanzel nampak terkejut, pria itu menghentikan kegiatannya mengunyah, rahangnya terkatup rapat. “Tahu dari mana?” tanyanya dingin. Ish, apa susahnya sih tinggal di jawab. “Aku ga sengaja dengar omongan karyawan mu di kantor, benar kamu sudah menikah? Terus wanita itu siapa? Selingkuhanmu?” tanyaku penasaran, Mas Hanzel menghembuskan napas kasar. Pria itu meletakkan pisau serta garpu di atas piring, menatap steak tersebut tanpa minat, seolah nafsu makannya hilang. Apa ada yang salah? Aku hanya bertanya? Toh, pertanyaan yang kuajukan benar adanya. “Baiklah aku minta maaf, sepertinya pertanyaanku menyinggung perasanmu.” lirihku mera
Part 31 (Tegang!) Aku menarik napas dalam-dalam, tatkala Mas Hanzel membawaku masuk ke dalam bilik kamar yang ada di ruangannya. “Ngapain kamu tarik aku ke sini, kita kedatangan tamu loh Mas,” ucapku memarahinya. Makin lama, sikap Mas Hanzel makin menyebalkan. Kutepis tangannya kasar, sambil terus melototinya. Sampai segitunya dia cemburu? istrinya sendiri di sembunyikan seperti ini, di larang pergi ke mana-mana, kebebasan istrinya serasa direnggut paksa oleh egonya sendiri. “Tunggu di sini, biar saya yang temui stev,” katanya, keningku langsung mengernyit. Apa aku tak salah dengar? “Lah, bukannya Stev mau ketemu aku yah Mas. Bukan kamu, ngapain jadi kamu yang temui dia.” Mas Hanzel berdecak kesal, sorot matanya kian tajam. Ia mengayun langkah mendekatiku, sejurus kemudian aku mundur. “Memangnya kenapa? Tidak ada salahnya bukan. Kamu istri saya Kinan, suka-suka saya dong melarang kamu dekat dengan siapa. Jadi kamu enggak usah pecicilan,” omelnya, perlu aku tandai lagi, ini su
Part 30 (Kedatangan Stev?) POV Kinan. “Mas, pulang yuk.” Aku berusaha merayu Mas Hanzel, berbagai macam rayuan pun telah aku keluarkan. Namun, nihil, tidak ada satu pun rayuan yang berhasil meluluhkan hati Mas Hanzel, suamiku tetap pada pendiriannya. Jangankan pulang, diijinkan keluar dari ruangnya pun tidak. Aku bangkit dari sofa, setelah berjam-jam duduk membuat pantatku panas. Kutepuk dress yang kukenakan, kemudian kembali memandangi suamiku yang dinginnya setara dengan es. Dengan gontai aku berjalan mendekati Mas Hanzel, memeluknya dari belakang. Bisa kurasakan suamiku sedikit menegang, namun, hanya beberapa detik ia kembali tenang. “Mas, aku bosan cuman duduk dan perhatiin kamu kerja. Boleh ya kalau pulang,” kataku memanyunkan bibir. Pria yang berstatus suamiku tersebut hanya bergeming, seolah menulikan pendengaran mengenai keluhan istrinya ini. Kuhentakan kaki, rasa kesal sudah membuncah dada. Tidak di tanggapi membuatku ingin memakan orang. Aku heran, demit mana yang su
Part 29 (Putus & Posesif) “Rekayasa kamu bilang! Hanya orang bod*h yang percaya omong kosongmu, Mega! Siapa pria ini! katakan, C'k!” tanya Hanzel, raut wajahnya sudah menunjukan betapa murkanya pria itu sekarang. Ia tidak tahu pasti, dengan siapa Mega masuk ke dalam kamar hotel, dan apa yang wanita itu lakukan di sana. Yang jelas, foto yang ia dapatkan sudah membuat kepercayaan seorang Hanzel goyah terhadap kekasihnya. “Katakan Mega! Atau-” “Atau apa Mas!”potong Mega, napas wanita itu ikutan memburu, dadanya naik turun. Seisi kepalanya ingin meledak, lantaran pria berstatus kekasihnya itu terus memojokkannya. “Kita usai sampai di sini, ya kita akhiri hubungan ini,” ujar Hanzel menekan setiap kata yang ia lontarkan. Bagai dilempar granat tetap mengenai jantungnya, bagian itu mencelos tanpa ampun. Mega tertegun, ia tidak bisa berbohong, kalau dirinya sungguh terkejut. Seorang Hanzel, memilih mengakhiri hubungan dengannya. Yang benar saja, ini tidak boleh terjadi. Dulu Hanzel yan
Part 28 (Pertengkaran?) Hanzel mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah Mega. Pikirannya berkecamuk kemana-mana. Tak bisa pria itu elak, sebagian besar didominasi rasa penasaran. Setibanya di depan rumah Mega, yang tak lain adalah kekasih gelapnya itu. Gegas Hanzel turun dari mobilnya, pandangan matanya tak sengaja melihat mobil berwarna hitam itu terparkir disebelah mobil Mega. Dari lat mobilnya saja, seperti tidak asing baginya. Tapi mobil siapa? Tak mau ambil pusing, Hanzel meraih gagang pintu, dan memutarnya. Di kunci? Pikirnya. Apa Mega sedang tidak ada di rumah, atau kekasihnya itu masih di hotel tadi. Sialan! Hanzel mendadak teringat omongan Kinan yang mengatakan, jika Mega pergi bersama pria lain. Menolak percaya, tapi istrinya tak mungkin berbohong. Hanzel berinisiatif mengintip dari celah jendela, nampak sofa ruang tamu bergoyang-goyang, tidak jelas, karena hanya terlihat sedikit. Hanzel semakin emosi, ia lantas merogoh ponselnya, berjalan mondar-ma
Part 27 (Kenyataan Macam Apa Ini?)*** “Jawab Pa, kenapa kalian berdua malah diam? Pasti ada sesuatu yang kalian sembunyikan selama ini? siapa Kinan, sebenarnya?” tanyaku penuh penekanan, aku menatap mereka berdua lekat. Udara malam kian terasa menusuk tulang, Papa mengecilkan AC, bukan berarti suasana diruangan ini ikut kembali tenang. “Kinan Istrimu, Hanzel,” jawaban Papa membuatku tidak puas. Selalu kalimat itu yang menjadi andalan mereka. Siapa yang bertanya kalau Kinan bukan istriku, kami menikah lebih dari dua tahun. “Kalian ini sampai kapan berbohong, aku bukan lagi anak kecil yang percaya omong kosong.” Tarikan napas panjang Papa hembuskan, sedangkan Mama terus menatap suaminya dengan perasaan yang entah, aku sendiri tak tahu. “Gimana Pa, kita jujur aja, dari pada nanti terjadi sesuatu dengan Kinan,” ungkap Mama, sesaat Papa bergeming, lalu akhirnya mengangguk setuju. Baiklah, obrolan serius akan di mulai, aku menyimak baik-baik apa yang hendak mereka ucapkan. “Papa ju
Part 26 (Penyelidikan Hanzel)**** Dahiku mengerut, nomor ini? Bukannya ini nomor Mega? Aku segera menyalin nomor tersebut, untuk memastikan ini benar nomor Mega atau hanya dugaanku saja. Kalau memang benar ini nomor Mega, ada hubungan apa ia dengan pria misterius itu, jangan bilang, kalau dua pria tadi itu suruhan Mega? Tapi untuk apa?Apa karena Mega cemburu dengan Kinan? Pikirku. Aku mengetik nomor tersebut di log panggilan, dan seketika mataku melebar kala nama Mega muncul di sana, tidak salah, ini memang nomor Mega. Aku mengingat betul angka terakhir nomor tersebut. Shit, apa maksud dari semua ini? Siapa Mega sebenarnya? Berbagai pertanyaan pun akhirnya timbun di benakku. Aku merasa seperti tengah dipermainkan takdir, dua tahun aku menikah dengan Kinan, dan satu tahun menjalin hubungan dengan Mega. Tapi kenapa baru sekarang, aku merasakan keganjalan diantara keduanya, terlebih Papa memberiku pilihan yang tak masuk akal. Intinya, aku harus memilih diantara, Kinan? atau Meg
Part 25 (Teka-Teki)POV Hanzel.Buru-buru aku melajukan mobilku meninggalkan gedung apartemen. Seisi kepalaku, rasanya mau meledak, bagaimana tidak, Kinan menghubungiku jika mobilnya ada yang mengikuti dari belakang. Jelas aku mengkhawatirkan kondisi Kinan sekarang, siapa sangka dulu ia begitu menjijikan dimataku, tapi harus kuakui, aku mulai tertarik dengannya. Mengetahui ia bertemu dengan Stev saja sudah membuat aliran darahku mendidih tanpa ampun. Entah apa yang mereka lakukan, persetan, aku tak ingin memikirkan hal itu. “Sialan!” Aku memukul stir, lalu berbelok ke kiri, tidak henti-hentinya mulut laknatku ini mengumpat. Tepat dipinggir jalan, aku melihat mobil Kinan ada di sana. Tanpa pikir dua kali, aku segera turun, dan berlari menghampiri mobil tersebut. Kedua netraku membulat kala melihat kaca mobil pecah, dan satu peluru tertinggal di sana. Napas seolah berhenti berhembus, jantung ini serasa tak berdetak, tulang persendianku ikutan lemas. “Kinan!”“Kinan! Di mana kam
Part 24 (Bahaya!)“Kinan, semua bukti sudah kita dapatkan, kapan semuanya akan terbongkar?” tanya Stev memecahkan keheningan di antara kami berdua, aku lalu menatapnya sekilas, sebelum melempar pandangan ke arah lain.“Sabar dulu Stev, biar aku selesaikan dulu hubunganku dengan Mas Hanzel, aku tak mau lagi terlibat apa pun dengan pria itu, baru lah kita bongkar semuanya di acara pesta yang akan digelar minggu depan.” kataku pada Stev, menyelesaikan hubungan yang kumaksud tak lain dan tak bukan adalah mengurus gugatan perceraian tanpa sepengetahuan Mas Hanzel atau pun keluarganya.Lagi pula kami juga belum punya anak, jadi tak ada alasan mengapa aku harus bertahan.“Aku tahu kekhawatiran mu Kinan, apa perlu aku sewa kan pengacara hebat agar semuanya cepat selesai. Bukan kah kamu ingin terlepas dari Hanzel.” tutur Stev, aku mengulas senyum, sambil menyelami matanya yang teduh.Aku beralih mendongak ke atas, lalu menggelengkan kepala, sudah cukup aku merepotkan Stev selama ini, Lagian in
Part 23 (Manjanya Hanzel)***POV Kinan.“Kinan ... dingin,” lirih Mas Hanzel, suara beratnya itu terdengar menggelitik di telingaku, ia terus saja menarik selimut sampai aku tidak kebagian.Ada apa sih dengan pria ini? Sungutku sambil berdecak kesal.“Kinan, peluk.” racauannya, aku pura-pura tak mendengarnya, dan kembali menyelami mimpi.“Kinan.” panggilnya lagi, karena jengkel aku spontan membalikan badan menghadap Mas Hanzel, nampak suamiku menggigil hebat.Entah dorongan dari mana, punggung tanganku bergerak menyentuh keningnya, seketika hawa panas bercampur dingin menyapa permukaan kulitku.Dia demam?“Mas, kamu sakit?” tanyaku serius, alih-alih menjawab, Mas Hanzel malah merapatkan tubuhnya padaku, tiba-tiba saja ia sudah membenamkan wajahnya di celuk leherku, aku sampai menahan napas karena perbuatannya ini.“Mas .. lepas, aku mau ambil air hangat dulu buat kompres kamu.” kataku, pria dingin ini tetap bergeming, tidak ada suara selain deru napasnya yang terdengar teratur.Aku s