Part 6 (Awal Mula Rencana Kinan)
Setibanya di dapur aku dibuat terkejut oleh Mama. Saking tak percayanya aku masih melongo. Apa ini hanya mimpi atau benar-benar nyata? Tiba-tiba saja Mama memberi ku sebuah cincin dihiasi berlian solitaire dengan sisi glamor dan klasik dipadukan 23 butir berlian di sekitarnya.Aku hampir tak percaya, hari ini aku benar-benar beruntung. Baru saja aku menukar berlian milik Mas Hanzel. Dan kini Mama justru memberiku sesuatu yang tak pernah kuduga. Ibarat pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.“Hal penting yang Mama maksud itu ini, Kinan. Gimana kamu suka atau ga? Kemarin Mama ke toko perhiasan dan lihat ini, cocok kayaknya kalau dipasang di jari kamu.” cerocos Mama, aku mengambil kotak tersebut. Mataku berbinar-binar menatap isinya. Kalau dibiarkan seperti ini, rencanaku bisa-bisa berjalan mulus.“Makasih ya Ma,” ucapku lalu berhambur memeluk Mama, dengan senang hati aku menerima pemberian Mama. Lagipula aku membutuhkannya besok untuk mempermalukan Mega. Bagaimana wanita itu dengan bangga memamerkan berlian pemberian suamiku. Sialnya berlian itu palsu.“Sama-sama, Sayang. Kalau pengen apa-apa minta aja langsung ke Hanzel ya,” sarannya, aku mengangguk. Tak ingin Mama tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan anaknya. Biarlah perkara ini menjadi urusanku. Aku tak ingin orang lain ikut campur dan semakin memperumit keadaan. Apalagi membuat Mama kepikiran.Seusai perbicangan itu aku membantu Mama menyiapkan makan malam, sesekali Mama mengajakku mengobrol banyak hal. Ia menceritakan tentang masa kecil Mas Hanzel, pria yang kini berstatuskan suamiku. Aku menimpali dengan tersenyum, tak tahu harus berkata apalagi.Tak butuh waktu lama, semua hidangan tersaji, Mama segera memanggil Papa dan Mas Hanzel untuk ikut bergabung. Keheningan terasa begitu lekat, hanya suara dentingan sedok yang beradu dengan piring. Sesekali tatapan tajam Mas Hanzel seolah tertuju padaku.“Hanzel lebih baik kamu fokus sama Kinan, jangan kerja terus. Mama ini juga pengen punya cucu, gimana kalau kalian mulai besok ikut program hamil?” aku tersedak mendengar penuturan Mama. Tenggorokanku mendadak terasa tercekat, seakan aku tidak tahu bagaimana caranya bicara. Aku terdiam dengan perasaan yang entah bagaimana caraku menggambarkannya. Sedangkan Mas Hanzel, pria itu membisu, ia meneguk segelas air secara perlahan-lahan.“Gimana kalian mau kan?” ulang Mama, aku dan Mas Hanzel menoleh bersamaan. “Akan kami pikirkan, Ma,” jawab Mas Hanzel sembari bangkit, ia menyeka sudut bibirnya dengan tisu. “Hanzel ke kamar dulu, ada pekerjaan penting,” pamitnya, sorot mataku menatap punggungnya yang mulai menjauh. Selalu saja jawaban seperti itu yang Mas Hanzel beri saat Mama bertanya perihal cucu. Jelas dirinya yang bermasalah, ia begitu keberatan memiliki anak dari rahimku.“Jangan di pikirkan Kinan, Mama tadi hanya ingin tahu reaksi Hanzel,” tutur Mama, aku tersenyum masam, lalu menelan ludah getir. Melanjutkan kembali kegiatanku menyuap sesendok nasi ke dalam mulut. Mengunyahnya pelan, menikmati sensasi hambar yang terasa.“Papa juga sudah selesai,” ucap Papa, pria itu segera berdiri, lalu menarik kursi. Papa menepuk pundakku pelan, “Papa tahu Hanzel tak pernah menganggapmu ada Kinan, tapi Papa ada di pihakmu, jangan khawatir suatu saat nanti Hanzel pasti akan mengemis cintamu,” gumam Papa, aku mengangguk, pria paruh baya itu sudah aku anggap seperti ayahku sendiri, dan aku begitu beruntung memiliki mertua seperti mereka.***Keesokkan paginya aku sudah bersiap-siap pergi arisan, aku berpenampilan seperti biasa, hanya rambut yang kubiarkan tergerai, tak lupa kacamata yang selalu kupakai. Aku juga memakai cincin berlian yang semalam Mama kasih. Melingkar pas dijariku. Sementara itu, berlian milik Mas Hanzel aku simpan di tempat yang aman.Mas Hanzel sudah berangkat lebih awal kekantor, tak perlu kujelaskan alasannya. Pasti untuk memberikan kotak berlian itu pada Mega. Lihatlah Mega barang yang kau banggakan akan mempermalukan mu.Pelan-pelan aku akan membuat hubungan di antara keduanya regang. Akan ada jarak yang membentang luas, dan ketika hal itu terjadi sosok Kinan palsu akan hadir. Rencana ini sudah kupikirkan matang-matang.Segera aku meraih tas yang berada di nakas, lalu berjalan keluar dari kamar Mas Hanzel. Semalam kami tidak tidur bersama, pria itu lebih memilih tidur di sofa. Lagipula sejak kapan aku dan Mas Hanzel tidur satu peraduan.Aku turun bertepatan dengan Papa yang hendak berangkat ke kantor. Mama menengok kebelakang, lantas kembali memasangkan dasi Papa.“Lho Kinan hari ini kamu ada acara? Padahal niatnya Mama pengen ngajak kamu shopping,” lirih Mama, aku mengayun langkah menghampiri mereka.“Iya Ma, ya semacam arisan gitu,”“Biarin aja lah Ma, Kinan pergi. Kan Mama bisa ajak Kinan lain kali,” sahut Papa. Apa aku ajak aja ya Mama sekalian pulang arisan bisa belanja, biar ga sendiri. Toh ga ada salahnya juga.“Kalau Mama mau, Mama bisa ikut Kinan,” tawarku, Mama sontak tersenyum, wajah murungnya lenyap dalam hitungan detik.“Boleh Kinan,”“Tentu boleh, Ma.” jawabku, Papa geleng-geleng kepala melihat tingkah istrinya yang langsung menuju lantai atas, tempat dimana kamar Mama berada.“Ya sudah Kinan, Papa berangkat dulu. Pertahankan rumah tanggamu selagi bisa. Maaf Papa gak bisa bantu apa-apa,” tutur Papa.“Ga pa-pa, Pah. Biar ini jadi urusan Kinan,” jawabku, Papa mengangguk kemudian melangkah pergi.Kini tinggal aku menunggu Mama, bersiaplah Mega. Ini baru permulaan. Kamu boleh mendapatkan cinta suamiku, tapi tidak untuk selamanya.****Setelah satu jam perjalanan, aku dan Mama tiba di rumah Nela. Di sana sudah banyak yang datang, ada Mega juga yang sedang bercengkrama dengan Indi.Aku dan Mama masuk ke dalam, di sambut Weni teman semasa SMA dulu. Tak banyak yang berubah, hanya saja beberapa gelintir orang menatapku remeh.“Apa kabar Kinan, ga berubah ya,” candanya, aku tertawa kecil mendengarnya. Mana mungkin aku berubah, ini sudah menjadi jati diriku.“Kenalin, ini Mama Ratna-mertuaku,” aku memperkenalkan Mama Ratna di depan teman-temanku, tak kecuali Mega yang seketika menghampiri kami. Aku melirik sesuatu yang melingkar dijarinya, ada cincin yang diberikan Mas Hanzel. “Apa kabar Tante?” sapa Mega, ia berusaha sok akrab dengan Mama. Namun, sayang seribu sayang mertuaku menanggapinya sinis. Dari dulu Mama memang tak menyukai Mega, meski beliau tahu wanita yang berdiri di hadapannya itu sahabatku.“Baik,” jawab Mama acuh, aku menyeringai, jangan harap kamu akan menang Mega.“Cincin yang kamu pakai bagus, Mega. Beli di mana?” tanya Rosalina penasaran, aku dan Mama segera duduk.“Bagus kan, ini berlian mahal lho,” jawab Mega malu-malu. Mahal apanya ga sampai 200 ribu itu harganya Mega.“Bagus sih tapi gue ga yakin itu asli,” cicit Weni.“Kelihatannya sih Kw, mungkin cuman gue aja kali ya punya pemikiran gitu,” bisik Lena. Mega yang mendengar hal itu tak terima, ia mendengus kasar dan menatap Lena tajam.“Ini cincin berlian asli, coba lihat baik-baik. Mana mungkin gue pakai yang Kw bisa-bisa jari gue langsung gatal-gatal. Gue kan ga cocok pakai barang yang murah,” kilat Mega, ia memamerkan cincin itu di hadapan semua orang. Lihatlah betapa bangganya dia sekarang.Aku memilih diam, belum saatnya angkat bicara. Biarkan yang lainnya saja yang mempermalukan Mega.“Kok Tante lihat beda ya sama yang Kinan pakai, padahal itu juga berlian. Punya Kinan lebih berkilau, dan punya mu kok kayak imitasi,” sahut Mama, ia menatap cincin Mega dan milikku bergantian. Aku melepas cincin pemberian Mama, dan memperlihatkan pada semua orang di sana, termaksud Mega.“Benar Tante, kok beda ya sama punya Mega. Lihat deh ini berlian asli atau bukan. Kalau punya Kinan ini mah jelas asli,”“Jaga ucapan kalian, punya gue juga asli. Lebih mahalan punya gue lah di banding punya, Kinan.” bela Mega. Raut wajahnya mendadak berubah, agak sedikit pucat. Ia nampak tak nyaman dengan apa yang Indi barusan katakan. Terlihat Mega yang bergerak gelisah.“Mari kita buktikan, biar kita semua di sini tahu, punya kamu ini asli atau bukan, Mega.” tantang Mama, Mega tercengang. Namun, tak urung jua ia mengangguk setuju. Bibirnya membentuk lengkungan angkuh, seolah-olah cincin yang ia gunakan itu memang terbuat dari butiran berlian.****Part 7 (Mega Dipermalukan!)***“Mari kita buktikan, biar kita semua di sini tahu, punya kamu ini asli atau bukan, Mega.” tantang Mama, Mega tercengang. Namun, tak urung jua ia mengangguk setuju. Bibirnya membentuk lengkungan angkuh, seolah-olah cincin yang ia gunakan itu memang terbuat dari butiran berlian.Tak ingin membuang waktu, Lena beranjak menuju dapur, sedangkan Weni mencari informasi di internet mengenai cara membedakan berlian asli dan palsu.Aku terdiam mematung, menonton mereka yang sibuk mempermalukan Mega. Sesekali dengkusan kasar terdengar dari Mega. ini sudah saatnya aku membalaskan rasa sakitku padanya. Bagaimana ia yang dengan tanpa hati mengkhianati ku. Padahal jelas-jelas aku sudah menganggapnya seperti saudaraku sendiri.Aku melirik Mama Ratna yang kini memegang dua cincin berlian dengan merek berbeda, diruang tamu kami menunggu Lena. Sementara itu Rosalina mengambil koran yang tergeletak di meja. Entah untuk apa koran itu.Selang beberapa menit kemudian, Lena da
Part 8 (Pura-Pura Jadi Jasmin)Langkah kakiku terasa ringan seiring beban yang menumpuk di pundak kian menghilang. Dengan semangat menggebu aku memasuki kantor Mas Hanzel. Tangan kiriku menjinjing tas, sedangkan tangan kanan membawa bingkisan sebagai ucapan maaf. Aku tersenyum lebar, lengkungan tipis di sudut bibirku tak pudar. Ingatkan padaku, aku ke sini sebagai Jasmin bukan Kinan. Dan tujuanku bukan membawakan suamiku makan siang, melainkan mencari huru-hara. Aku memasuki lift, lalu berdiri di dalam. Menekan tombol yang membawaku menuju lantai paling atas, di mana ruang Mas Hanzel berada. Dua tahun aku menikah dengan pria yang tak sama sekali mencintaiku, dan selama itu pula aku menjadi orang bodoh karenanya, tanpa mencari tahu, ternyata suamiku memiliki pelabuhan jiwa lain. Ting! Suara dentingan lift membuyarkan lamunanku, segera aku keluar saat lift terbuka secara otomatis. Ini bukan pertama kalinya seorang Kinan datang ke sini, selama dua tahun hampir setiap hari kakiku men
Part 9 (Darah Mega Mendidih)***“Apa yang kalian berdua lakukan? Dan kamu Mas, kenapa wanita tak tahu malu ini bisa ada di sini?” tanya Mega seraya menghampiri kami, suaranya melengking tinggi. Ia menunjuk-nunjukan tangannya padaku. Binar kekesalan itu terpancar jelas. Terlebih Mega baru saja ku permalukan. Sekilas ekor mataku melirik Mas Hanzel, pria berwajah tampan itu nampak begitu tenang, deru napasnya terdengar teratur, ia sama sekali tak menaruh rasa gugup dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Berbeda denganku. “Ini tidak seperti yang kamu lihat, Mbak,” bantahku, Mas Hanzel perlahan bangkit, ia berdiri di sampingku, memperbaiki jasnya. Sepertinya aku sudah berhasil mendidihkan darah, Mega. Tidak lama lagi, kerentanan hubungan mereka akan terjadi. Pelan-pelan, peranku sebagai Jasmin mulai terlihat, saat Jasmin datang masalah akan terus menimpa mu, Mas. Jasmin menghampiri mu bukan perihal cinta, melainkan rasa sakit yang menjadi parasit. “Kamu pikir aku ini buta! Jelas-jela
Part 10 (Perjanjian Konyol)Aku membersihkan tubuh usai melakukan aktivitas yang melelahkan, bagaimana tidak sepanjang hari aku menjalankan peran ganda, menjadi Kinan lalu Jasmin, setelah itu kembali menjadi diriku sendiri. Aku merasa peran ini tak terlalu buruk, hanya perlu sedikit beradaptasi untuk beberapa saat ke depan. Aku duduk di tepi ranjang, melepas handuk yang melilit rambutku, aku melirik jam yang berdenting di dinding, pukul 7 malam. Aku dan Mas Hanzel sepakat untuk tinggal di sebuah apartemen elite. Salah satu apartemen milik keluarga Mas Hanzel. Dengan sebuah alasan klasik, karena jaraknya dekat dengan kantornya. Padahal sangat luar biasa jauh. Aku mengulurkan tangan, mengambil kacamata, lalu mengenakannya, selama ini aku dan Mas Hanzel memang tidak tidur seranjang. Kami akan berbagi ranjang jika menginap di rumah Mama, itu pun ia rela tidur di lantai. Namun, malam ini aku akan membuat sejarah yang berbeda. Kinan yang dulu akan berubah, ya setidaknya satu bulan ke depa
Part 11 (Ucapan Selamat Pagi!)POV HanzelAku melempar jasku ke ranjang, mengacak-acak rambutku frustasi. Hari ini sangat melelahkan, pasalnya Mega datang ke kantor marah-marah, belum lagi berkas di kantor yang menumpuk, dan Minggu depan aku ada perjalanan bisnis keluar kota. Aku tak bisa berpikir jernih sekarang, bagaimana mungkin berlian dengan harga miliyaran yang kubeli, ternyata palsu. Jelas-jelas berlian itu aku pesan dari toko perhiasan langganan keluargaku, pasti ada yang menukarnya. Aku yakin ini, tapi siapa? Atau jangan-jangan Kinan, ah tidak mungkin. Ia saja tak tahu jika aku memiliki hubungan dengan Mega—Sahabatnya.Aku menunduk, satu persatu masalah mulai datang, aku merogoh gawaiku, melihat fotoku dengan Mega yang di kirim seseorang. Apa tujuan orang itu, dan dari mana ia mendapatkan foto ini? Padahal ketika aku dengan Mega keluar, sebisa mungkin pergi mencari tempat yang aman. Atau kami bertemu di hotel bintang lima.Ah, sialan, bisa kacau hidupku nanti, jika Mama sampa
Part 12 (Mendadak Bertemu?) Aku keluar dari kamar sembari merapikan rambut, sebelum ke kantor aku berencana singgah dulu ke rumah Mega. Rasanya rinduku sudah menumpuk, tak apa lah menjalin hubungan seperti ini, asal aku tetap bersama dengannya. Lagi pula perjanjianku dengan Kinan tersisa 24 hari lagi, dan setelah itu aku akan menceraikan Kinan, dan lekas menikahi Mega. Aku melewati kamar Kinan, biasanya ia sudah berisik dan menyuruhku untuk sarapan, tapi hari ini ia seolah menghilang. Ah, sudahlah itu bukan urusanku. Lagi pula sejak kapan aku perduli padanya, ia hanya batu loncatan yang tak bisa kuhindari. Aku menggulung lengan kemeja sampai sikut, lalu berjalan ke dapur, aku melihat sepiring nasi goreng lengkap dengan segelas susu sudah tersaji di meja. Ada sepucuk surat yang Kinan tinggalkan di sana. [[Tolong sarapannya di makan, Mas. Ingat perjanjian kita bagaimana, awas saja jika tidak di makan.]] Aku tersenyum kecut membaca isi surat itu, kemudian meletakkannya kembali, lanta
Part 13 (Kinan Bikin Hanzel Kesan!) Aku membuka pintu dan di kejutkan dengan Mega yang tidur tanpa sehelai benangpun. Tubuhnya di lilit dengan selimut, pemandangan seperti ini memang sudah biasa kulihat sejak menjalin hubungan dengannya. Namun, aku merasakan sensasi yang berbeda di kamar ini. Aku masuk ke dalam, menelisik ke penjuru tempat, ekor mataku menangkap jendela kamar Mega yang terbuka. Dengan gontai aku mendekat, tidak ada siapa pun. Atau jangan-jangan Mega—ah, itu hanya pikiranku saja. Mega tak mungkin seperti itu, dia wanita yang setia. Aku percaya padanya. “Mas.” panggil Mega, suaranya khas orang baru bangun tidur. Aku menghampirinya, lalu duduk di tepi ranjang, seketika dahiku membentuk sebuah kerutan. Aku menemukan pakaian pria yang bergeletak di kolong ranjang. Ah, sial*n. Pekiku, pikiran kotor tak dapat terelakkan. Rasa yang tak pernah timbul, kini malah muncul, mendadak aku mencurigai Mega. “Mas.” lanjut Mega kesal, aku segera menoleh padanya. “Ini baju sia
Part 14 (Sandiwara)***POV Kinan.Aku berbisik pelan di telinga Mas Hanzel, sontak tubuhnya menegang.Perlahan tanganku bergerak menyentuh wajahnya, meraba permukaan kulitnya, sesaat tatapan kami bertemu, bahkan kini aku sudah berpindah di pangkuannya.Andai kamu tahu Mas, wanita yang sedang kamu perjuangkan itu, tengah memadu kasih dengan pria lain.Menyebut namanya, bukan namamu.“Mas,” kataku sambil melingkarkan tangan di lehernya. Netra itu kembali menatapku tajam, ada guratan kebencian terpendam di sana.Ketahuilah, seiring berjalannya waktu, semua pasti akan berubah.Yang hari ini begitu berharga, pada saatnya akan terlupakan.Di hari berikutnya, dia yang kamu sia-siakan akan kamu cari.Dan tanpa kamu sadari, ia telah beranjak pergi, dan tak bisa lagi kamu miliki.Mungkin saat ini kamu belum merasakan apa pun Mas, Kinan bagimu hanya sebuah benalu yang tengah menumpang di pundakmu.Tapi percaya, Istri mu ini sedang tidak menunda perpisahan, hanya saja aku sedang menunggu waktu