Part 30 (Kedatangan Stev?) POV Kinan. “Mas, pulang yuk.” Aku berusaha merayu Mas Hanzel, berbagai macam rayuan pun telah aku keluarkan. Namun, nihil, tidak ada satu pun rayuan yang berhasil meluluhkan hati Mas Hanzel, suamiku tetap pada pendiriannya. Jangankan pulang, diijinkan keluar dari ruangnya pun tidak. Aku bangkit dari sofa, setelah berjam-jam duduk membuat pantatku panas. Kutepuk dress yang kukenakan, kemudian kembali memandangi suamiku yang dinginnya setara dengan es. Dengan gontai aku berjalan mendekati Mas Hanzel, memeluknya dari belakang. Bisa kurasakan suamiku sedikit menegang, namun, hanya beberapa detik ia kembali tenang. “Mas, aku bosan cuman duduk dan perhatiin kamu kerja. Boleh ya kalau pulang,” kataku memanyunkan bibir. Pria yang berstatus suamiku tersebut hanya bergeming, seolah menulikan pendengaran mengenai keluhan istrinya ini. Kuhentakan kaki, rasa kesal sudah membuncah dada. Tidak di tanggapi membuatku ingin memakan orang. Aku heran, demit mana yang su
Part 31 (Tegang!) Aku menarik napas dalam-dalam, tatkala Mas Hanzel membawaku masuk ke dalam bilik kamar yang ada di ruangannya. “Ngapain kamu tarik aku ke sini, kita kedatangan tamu loh Mas,” ucapku memarahinya. Makin lama, sikap Mas Hanzel makin menyebalkan. Kutepis tangannya kasar, sambil terus melototinya. Sampai segitunya dia cemburu? istrinya sendiri di sembunyikan seperti ini, di larang pergi ke mana-mana, kebebasan istrinya serasa direnggut paksa oleh egonya sendiri. “Tunggu di sini, biar saya yang temui stev,” katanya, keningku langsung mengernyit. Apa aku tak salah dengar? “Lah, bukannya Stev mau ketemu aku yah Mas. Bukan kamu, ngapain jadi kamu yang temui dia.” Mas Hanzel berdecak kesal, sorot matanya kian tajam. Ia mengayun langkah mendekatiku, sejurus kemudian aku mundur. “Memangnya kenapa? Tidak ada salahnya bukan. Kamu istri saya Kinan, suka-suka saya dong melarang kamu dekat dengan siapa. Jadi kamu enggak usah pecicilan,” omelnya, perlu aku tandai lagi, ini su
Part 1 (Video Durasi 1 menit 35 detik)Ting!Satu notifikasi pesan masuk di gawaiku. Saat kucek ternyata pesan dari Steven. [Coba putar video itu Kinan. Saya Steven.] Dahiku mengerut membaca pesan darinya. Steven, pria yang beberapa hari yang lalu kukenal saat aku menemani Mas Hanzel menghadiri jamuan makan malam di sebuah perusahaan. Ia merupakan salah satu rekan bisnis Mas Hanzel—suamiku. Stev menyertakan sebuah video dengan durasi 1 menit 35 detik. Ia juga menambahkan lokasi di mana ia mengambil video itu. Segera aku menepikan mobilku, dan mematikan mesinnya, rasa penasaran meluap begitu saja. Kira-kira apa isi video ini? Dan ada hubungan apa video ini denganku? Aku menarik napas panjang, memberi jeda sebelum bersiap menonton. Ada guratan kecil dalam dasar hati yang mulai menjadi parasit. Bahkan kini jantungku berpacu dua kali lebih cepat.“Kau tahu aku menikahi Kinan demi bisa bersamamu Mega. Aku tak mencintainya sedikit pun. Yang kutahu aku hanya ingin memilikimu,” deg, bagai d
Part 2 (Sandiwara)Setelah melewati perjalanan kurang dari 25 menit, kini mobilku sudah berhenti diparkiran cafe, tempat dimana Mas Hanzel dan Mega berada. Sebelum turun dari mobil aku sempatkan memperbaiki penampilan ku yang nampak berantakan. Rambut yang biasanya kukepang kini kubiarkan tergerai indah, dan aku melepaskan kacamata yang biasanya kupakai. Tak lupa aku juga memoles sedikit lipstik pada bibirku agar tak nampak pucat. Mulai hari ini dan seterusnya Kinan akan tampil beda. Dengan tergesa-gesa aku turun dari mobil, langkah kakiku mulai memasuki cafe. Mencoba menguatkan diriku, menahan ribuan amarah yang meronta untuk di ledakan. Mas Hanzel pasti lebih memilih Mega ketimbang diriku yang hanya batu loncatan. Meski kami sudah hidup dalam satu atap selama kurung waktu yang lama. Bukan kah lama sebuah hubungan tidak menentukan pasanganmu setia atau justru sebaliknya. Itulah yang kini ku alami. Kamu sanggup, Kinan. Kamu bisa, kamu kuat. Kalimat itu yang pada akhirnya ku persemba
Part 3 (Pemberian Stev)Aku menarik kursi, lantas duduk di sana. Menyatukan kedua tanganku sambil menelungkupkan wajahku di meja, menahan isak tangis agar tak terdengar. Siapa yang akan memelukku di masa sulit seperti ini?Keluarga?Aku tak seberuntung orang diluar sana. Kedua orang tuaku sudah lama meninggal, waktu itu aku baru berusia sepuluh tahun. Hanya selang tiga bulan selepas kepergian Ayah dan Ibu, kakak lelakiku merenggut nyawa akibat motor yang dibawanya menabrak sebuah truk. Aku tak menyangka akan sendirian, hal yang paling ku takuti sejak aku kecil.Kinan kecil tak mengerti apapun, ia hanya berusaha untuk tetap bertahan. Menangis saat kesepihan, dan membenci keramaian.Aku bersyukur kala itu, bisa bertemu dengan seseorang yang membawaku tinggal di panti, selama itu pula aku tak kesepian, dan mengantungkan hidupku di sana. Kinan hanya lah sosok yang mencoba menghibur diri di tenang ke sendirian. Dan parahnya suamiku sendiri tak dapat mengenaliku.Kapan terakhir Mas Hanzel
Part 4 (Mega Meminta Berlian)Menjelang sore aku baru tiba di kantor Mas Hanzel. Perlu waktu tiga puluh menit dari caffe menuju Mas Hanzel. Dan beruntung Mas Hanzel masih di sini. Tadi aku meluangkan waktu sebentar membeli kue kering kesukaannya. Walaupun aku tak yakin ia mau menyentuh kue ini.Saat memasuki koridor, aku langsung di sambut ramah oleh beberapa karyawan, ada yang menyapa, tersenyum dan ada pula yang sinis. Aku membalas dengan senyuman. Memang bisa apalagi aku ini.Aku memasuki lift khusus menuju ruangan Mas Hanzel. Semenjak menikah kantor ini di pegang penuh oleh Mas Hanzel. Entah lah apa yang terjadi dengan keluarganya, yang jelas Mas Hanzel tak akan mendapatkan bagian sepeserpun pun jika ia masih lajang.Sekeluarnya dari lift, aku hanya perlu berjalan beberapa langkah. Membuka pintu perlahan, kemudian masuk.Ruangannya kosong?Dimana penghuninya, eh maksudku Mas Hanzel?Aku berderap mendekati meja kerjanya, menaruh bingkisan. Kulihat ponsel Mas Hanzel tergelatak di me
Part 5 (Menukarnya Dengan Yang Palsu)Aku berhenti disebuah toko perhiasan. Tekadku sudah bulat, tak akan kubiarkan dua orang itu bahagia. Apapun akan kulakukan agar mereka merasakan apa yang kurasakan sekarang. Mungkin tidak saat ini, tapi nanti. Nanti jika waktunya sudah tepat.Buru-buru aku keluar dari mobil, mengayun langkah memasuki toko tersebut. Aku harus mendapatkan duplikat berlian itu, minimal berlian yang asli akan kujual dan kujadikan modal untuk memenuhi segala keperluanku.“Ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu pegawai toko, aku mengangguk lalu mengeluarkan gawaiku dalam tas. Segera aku menyalakan benda pipih milikku, dan menunjukkan gambar cincin berlian yang ditaburi permata disekelilingnya pada pegawai toko.Wanita itu nampak berpikir, ia menatap teliti foto tersebut. “Boleh saya pinjam sebentar ponselnya, Mbak?” tanyanya, aku tersenyum tipis sembari memberikan ponselku padanya.Wanita berambut gelombang itu langsung mengeluarkan satu persatu cincin berlian dari
Part 6 (Awal Mula Rencana Kinan)Setibanya di dapur aku dibuat terkejut oleh Mama. Saking tak percayanya aku masih melongo. Apa ini hanya mimpi atau benar-benar nyata? Tiba-tiba saja Mama memberi ku sebuah cincin dihiasi berlian solitaire dengan sisi glamor dan klasik dipadukan 23 butir berlian di sekitarnya.Aku hampir tak percaya, hari ini aku benar-benar beruntung. Baru saja aku menukar berlian milik Mas Hanzel. Dan kini Mama justru memberiku sesuatu yang tak pernah kuduga. Ibarat pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.“Hal penting yang Mama maksud itu ini, Kinan. Gimana kamu suka atau ga? Kemarin Mama ke toko perhiasan dan lihat ini, cocok kayaknya kalau dipasang di jari kamu.” cerocos Mama, aku mengambil kotak tersebut. Mataku berbinar-binar menatap isinya. Kalau dibiarkan seperti ini, rencanaku bisa-bisa berjalan mulus.“Makasih ya Ma,” ucapku lalu berhambur memeluk Mama, dengan senang hati aku menerima pemberian Mama. Lagipula aku membutuhkannya besok untu