Part 4 (Mega Meminta Berlian)
Menjelang sore aku baru tiba di kantor Mas Hanzel. Perlu waktu tiga puluh menit dari caffe menuju Mas Hanzel. Dan beruntung Mas Hanzel masih di sini. Tadi aku meluangkan waktu sebentar membeli kue kering kesukaannya. Walaupun aku tak yakin ia mau menyentuh kue ini.Saat memasuki koridor, aku langsung di sambut ramah oleh beberapa karyawan, ada yang menyapa, tersenyum dan ada pula yang sinis. Aku membalas dengan senyuman. Memang bisa apalagi aku ini.Aku memasuki lift khusus menuju ruangan Mas Hanzel. Semenjak menikah kantor ini di pegang penuh oleh Mas Hanzel. Entah lah apa yang terjadi dengan keluarganya, yang jelas Mas Hanzel tak akan mendapatkan bagian sepeserpun pun jika ia masih lajang.Sekeluarnya dari lift, aku hanya perlu berjalan beberapa langkah. Membuka pintu perlahan, kemudian masuk.Ruangannya kosong?Dimana penghuninya, eh maksudku Mas Hanzel?Aku berderap mendekati meja kerjanya, menaruh bingkisan. Kulihat ponsel Mas Hanzel tergelatak di meja,itu tandanya ia lupa membawanya, atau sengaja tertinggal. Nampak benda pipih itu bergetar beberapa kali.Cek? Tidak? Ya!Cek lah, siapa tahu ada hal yang perlu kutahu.Ini privasi Kinan, tapi mau bagaimana lagi aku butuh.Sesekali gapapa, toh Mas Hanzel belum tentu tahu.Dengan tangan gemetar aku memegang ponsel Mas Hanzel. Sial, di sandi. Apa kira-kira polanya.Aku sudah mencoba dua kali, ini yang terakhir. Apa mungkin huruf M—Mega.Akan kucoba.Baiklah Kinan, mentalmu harus sekeras kaca jika berhasil membuka nya. Batinku.Jari lentikku kembali bergerak di atas layar gawai Mas Hanzel.Seketika terbuka, ulu hatiku langsung nyeri menyaksikan hal ini.Sebucin itu kah Mas Hanzel pada Mega, hingga sandi dan wallpaper benda pipih miliknya selalu tentangnya.Kamu beruntung Mega, tapi jangan bangga. Belum tentu kamu akan memilikinya seutuhnya.Aku mendaratkan pantatku di kursi Mas Hanzel, mulai membuka satu persatu aplikasi. Dari yang ringan sampai yang menimbulkan tusukan belati menikam dada. Berharap pria itu tak datang sampai aku selesai.[Sayang aku pengen punya berlian ini, besok teman-teman ngajak arisan.] Begitulah kira-kira isi pesan Mega dan Mas Hanzel. Mega menyertakan gambar berlian yang ia inginkan. Enak saja aku Istrinya saja tak pernah di belikan berlian. Lah kamu, jangan harap.Tanpa pikir panjang aku mengirim foto berlian itu ke nomorku. Nanti aku akan mencari berlian palsu yang mirip dengan ini. Tunggu saja aku akan mempermalukan mu, Mega.[Besok pagi yah, Mas kerumah mu. Nanti malam baru Mas ambil.] Jawab Mas Hanzel. Aku melongo membaca deretan kata itu. Saat aku kirim pesan ia selalu menjawab, Y, oke, Hm, benar kan orang spesial itu di perlakukan berbeda.[Emang ga bisa yah, nanti malam sekalian kamu antar?] Balasan dari Mega membuat darahku mendesir sampai ubun-ubun. Sudah minta gratis, malah ngelujak. Dasar ga tau diri![Ga bisa sayang, nanti malam Mama ngajak makan malam.][Beneran ya besok. Janji ya sayang, awas lho kalo ga! Ini penting soalnya buat arisan, teman-teman lama pada kumpul. Istrimu yang cupu itu juga di undang.][Kinan? Ngapai dia ikut?] Aku langsung menekan tombol tengah di gawai Mas Hanzel. Tak kuat lagi membaca lanjutan ucapan Mas Hanzel. Bisa-bisanya ia menghina Istrinya, wanita yang tak pernah bosan menunggunya pulang kerja. Wanita yang selama ini mengurusnya, menyiapkan segala keperluannya. Sudahlah, lebih baik aku memikirkan, waktu yang pas agar rencana ku cepat berjalan, dari pada mengukit hal-hal yang justru membuatku semakin terluka.Aku menaruh kembali ponsel Mas Hanzel pada tempatnya, sebelum sang empu datang dan malah memergoki kelakuanku.Nanti malam aku ga boleh jauh-jauh dari Mas Hanzel. Aku harus mengawasi gerak-geriknya supaya aku bisa menukar berlian itu dengan palsu. Biar mampus Mega.****Saking lamanya menunggu Mas Hanzel kembali aku sampai tertidur. Aku menggeliat, mengucek mataku yang masih berat. Menyelami alam mimpi memang menyenangkan. Beberapa hari terakhir pola tidurku baru kembali normal, setelah beberapa kali aku dihantui mimpi buruk.Aku melirik ke samping, tunggu. Aku di mana? Bukannya tadi aku ketiduran di kursi. Lantas ini kenapa jadi di sofa.Menyadari ada yang aneh, aku refleks bangun. Mencari ada sosok lain kah di tempat ini. “Udah bangun,” aku setengah terkejut mendengar suara itu. Suara berat nan irit milik Mas Hanzel.“Ya,” aku menjawab sekadarnya, entah lari kemana perasaanku yang dulu menggebu itu, kini malah surut. Justru yang tertanam hanya lah rasa benci, naluri balas dendam, dan lupakan apa yang terjadi.“Ini kamu yang bawa?” tanya Mas Hanzel sambil memperlihatkan kue yang tadi kubawa. Kue itu tinggal beberapa biji saja, syukurnya ia mau makan. Kenapa coba aku tak mencampurkannya dengan sianida. Membuat peristiwa langkah ini semakin berkenan untuknya.Habis kopi sianida, sate sianida, terbitlah kue sianida.“Yups, itu tadi aku yang bawa, mampir di jalan buat beli kue itu.” aku masih berdiri, memperbaiki letak kacamataku. Entah kapan Mas Hanzel akan menatapku jika bicara. Awas saja nanti, akan kubuat pria sialan itu mengemis cinta padaku, supaya ia bisa merasakan di terbangkan tinggi lalu dihembaskan ke bumi. Meski bukan dengan wujud Kinan yang ini.Setelah percakapan itu, suasana diselimuti keheningan. Mas Hanzel bergelut dengan berkas-berkas yang masih menumpuk. Sedangkan aku? Memandanginya yang tak pernah menganggapku ada.“Pulang aja, nanti saya mau lembur,” katanya memijat pangkal hidungnya. Dua tahun bukan waktu yang lama untuk mengenal tabiat Mas Hanzel. Jika lelah ia akan memijat pangkal hidung atau tidak memijat pelipisnya. Namun, tak satupun sikapku yang ia tahu.“Bukannya nanti malam, kita ke rumah Mama ya, Mas?” tanyaku menahan diri, ingin sekali aku menampar wajahnya. Namun, tahan, Kinan. Belum waktunya. Harus dengan cara elegan. Supaya apa? Supaya ada efek jera.“Hmzz,” sontak aku tercengang mendengar jawaban singkatnya, dengkusan kasar tak mampu ku sembunyikan. Baiklah lebih baik aku pulang dan mencari duplikat yang sama persis dengan berlian itu. Daripada di sini, dan kelepasan.Next?Tinggalkan komentar.Part 5 (Menukarnya Dengan Yang Palsu)Aku berhenti disebuah toko perhiasan. Tekadku sudah bulat, tak akan kubiarkan dua orang itu bahagia. Apapun akan kulakukan agar mereka merasakan apa yang kurasakan sekarang. Mungkin tidak saat ini, tapi nanti. Nanti jika waktunya sudah tepat.Buru-buru aku keluar dari mobil, mengayun langkah memasuki toko tersebut. Aku harus mendapatkan duplikat berlian itu, minimal berlian yang asli akan kujual dan kujadikan modal untuk memenuhi segala keperluanku.“Ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu pegawai toko, aku mengangguk lalu mengeluarkan gawaiku dalam tas. Segera aku menyalakan benda pipih milikku, dan menunjukkan gambar cincin berlian yang ditaburi permata disekelilingnya pada pegawai toko.Wanita itu nampak berpikir, ia menatap teliti foto tersebut. “Boleh saya pinjam sebentar ponselnya, Mbak?” tanyanya, aku tersenyum tipis sembari memberikan ponselku padanya.Wanita berambut gelombang itu langsung mengeluarkan satu persatu cincin berlian dari
Part 6 (Awal Mula Rencana Kinan)Setibanya di dapur aku dibuat terkejut oleh Mama. Saking tak percayanya aku masih melongo. Apa ini hanya mimpi atau benar-benar nyata? Tiba-tiba saja Mama memberi ku sebuah cincin dihiasi berlian solitaire dengan sisi glamor dan klasik dipadukan 23 butir berlian di sekitarnya.Aku hampir tak percaya, hari ini aku benar-benar beruntung. Baru saja aku menukar berlian milik Mas Hanzel. Dan kini Mama justru memberiku sesuatu yang tak pernah kuduga. Ibarat pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.“Hal penting yang Mama maksud itu ini, Kinan. Gimana kamu suka atau ga? Kemarin Mama ke toko perhiasan dan lihat ini, cocok kayaknya kalau dipasang di jari kamu.” cerocos Mama, aku mengambil kotak tersebut. Mataku berbinar-binar menatap isinya. Kalau dibiarkan seperti ini, rencanaku bisa-bisa berjalan mulus.“Makasih ya Ma,” ucapku lalu berhambur memeluk Mama, dengan senang hati aku menerima pemberian Mama. Lagipula aku membutuhkannya besok untu
Part 7 (Mega Dipermalukan!)***“Mari kita buktikan, biar kita semua di sini tahu, punya kamu ini asli atau bukan, Mega.” tantang Mama, Mega tercengang. Namun, tak urung jua ia mengangguk setuju. Bibirnya membentuk lengkungan angkuh, seolah-olah cincin yang ia gunakan itu memang terbuat dari butiran berlian.Tak ingin membuang waktu, Lena beranjak menuju dapur, sedangkan Weni mencari informasi di internet mengenai cara membedakan berlian asli dan palsu.Aku terdiam mematung, menonton mereka yang sibuk mempermalukan Mega. Sesekali dengkusan kasar terdengar dari Mega. ini sudah saatnya aku membalaskan rasa sakitku padanya. Bagaimana ia yang dengan tanpa hati mengkhianati ku. Padahal jelas-jelas aku sudah menganggapnya seperti saudaraku sendiri.Aku melirik Mama Ratna yang kini memegang dua cincin berlian dengan merek berbeda, diruang tamu kami menunggu Lena. Sementara itu Rosalina mengambil koran yang tergeletak di meja. Entah untuk apa koran itu.Selang beberapa menit kemudian, Lena da
Part 8 (Pura-Pura Jadi Jasmin)Langkah kakiku terasa ringan seiring beban yang menumpuk di pundak kian menghilang. Dengan semangat menggebu aku memasuki kantor Mas Hanzel. Tangan kiriku menjinjing tas, sedangkan tangan kanan membawa bingkisan sebagai ucapan maaf. Aku tersenyum lebar, lengkungan tipis di sudut bibirku tak pudar. Ingatkan padaku, aku ke sini sebagai Jasmin bukan Kinan. Dan tujuanku bukan membawakan suamiku makan siang, melainkan mencari huru-hara. Aku memasuki lift, lalu berdiri di dalam. Menekan tombol yang membawaku menuju lantai paling atas, di mana ruang Mas Hanzel berada. Dua tahun aku menikah dengan pria yang tak sama sekali mencintaiku, dan selama itu pula aku menjadi orang bodoh karenanya, tanpa mencari tahu, ternyata suamiku memiliki pelabuhan jiwa lain. Ting! Suara dentingan lift membuyarkan lamunanku, segera aku keluar saat lift terbuka secara otomatis. Ini bukan pertama kalinya seorang Kinan datang ke sini, selama dua tahun hampir setiap hari kakiku men
Part 9 (Darah Mega Mendidih)***“Apa yang kalian berdua lakukan? Dan kamu Mas, kenapa wanita tak tahu malu ini bisa ada di sini?” tanya Mega seraya menghampiri kami, suaranya melengking tinggi. Ia menunjuk-nunjukan tangannya padaku. Binar kekesalan itu terpancar jelas. Terlebih Mega baru saja ku permalukan. Sekilas ekor mataku melirik Mas Hanzel, pria berwajah tampan itu nampak begitu tenang, deru napasnya terdengar teratur, ia sama sekali tak menaruh rasa gugup dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Berbeda denganku. “Ini tidak seperti yang kamu lihat, Mbak,” bantahku, Mas Hanzel perlahan bangkit, ia berdiri di sampingku, memperbaiki jasnya. Sepertinya aku sudah berhasil mendidihkan darah, Mega. Tidak lama lagi, kerentanan hubungan mereka akan terjadi. Pelan-pelan, peranku sebagai Jasmin mulai terlihat, saat Jasmin datang masalah akan terus menimpa mu, Mas. Jasmin menghampiri mu bukan perihal cinta, melainkan rasa sakit yang menjadi parasit. “Kamu pikir aku ini buta! Jelas-jela
Part 10 (Perjanjian Konyol)Aku membersihkan tubuh usai melakukan aktivitas yang melelahkan, bagaimana tidak sepanjang hari aku menjalankan peran ganda, menjadi Kinan lalu Jasmin, setelah itu kembali menjadi diriku sendiri. Aku merasa peran ini tak terlalu buruk, hanya perlu sedikit beradaptasi untuk beberapa saat ke depan. Aku duduk di tepi ranjang, melepas handuk yang melilit rambutku, aku melirik jam yang berdenting di dinding, pukul 7 malam. Aku dan Mas Hanzel sepakat untuk tinggal di sebuah apartemen elite. Salah satu apartemen milik keluarga Mas Hanzel. Dengan sebuah alasan klasik, karena jaraknya dekat dengan kantornya. Padahal sangat luar biasa jauh. Aku mengulurkan tangan, mengambil kacamata, lalu mengenakannya, selama ini aku dan Mas Hanzel memang tidak tidur seranjang. Kami akan berbagi ranjang jika menginap di rumah Mama, itu pun ia rela tidur di lantai. Namun, malam ini aku akan membuat sejarah yang berbeda. Kinan yang dulu akan berubah, ya setidaknya satu bulan ke depa
Part 11 (Ucapan Selamat Pagi!)POV HanzelAku melempar jasku ke ranjang, mengacak-acak rambutku frustasi. Hari ini sangat melelahkan, pasalnya Mega datang ke kantor marah-marah, belum lagi berkas di kantor yang menumpuk, dan Minggu depan aku ada perjalanan bisnis keluar kota. Aku tak bisa berpikir jernih sekarang, bagaimana mungkin berlian dengan harga miliyaran yang kubeli, ternyata palsu. Jelas-jelas berlian itu aku pesan dari toko perhiasan langganan keluargaku, pasti ada yang menukarnya. Aku yakin ini, tapi siapa? Atau jangan-jangan Kinan, ah tidak mungkin. Ia saja tak tahu jika aku memiliki hubungan dengan Mega—Sahabatnya.Aku menunduk, satu persatu masalah mulai datang, aku merogoh gawaiku, melihat fotoku dengan Mega yang di kirim seseorang. Apa tujuan orang itu, dan dari mana ia mendapatkan foto ini? Padahal ketika aku dengan Mega keluar, sebisa mungkin pergi mencari tempat yang aman. Atau kami bertemu di hotel bintang lima.Ah, sialan, bisa kacau hidupku nanti, jika Mama sampa
Part 12 (Mendadak Bertemu?) Aku keluar dari kamar sembari merapikan rambut, sebelum ke kantor aku berencana singgah dulu ke rumah Mega. Rasanya rinduku sudah menumpuk, tak apa lah menjalin hubungan seperti ini, asal aku tetap bersama dengannya. Lagi pula perjanjianku dengan Kinan tersisa 24 hari lagi, dan setelah itu aku akan menceraikan Kinan, dan lekas menikahi Mega. Aku melewati kamar Kinan, biasanya ia sudah berisik dan menyuruhku untuk sarapan, tapi hari ini ia seolah menghilang. Ah, sudahlah itu bukan urusanku. Lagi pula sejak kapan aku perduli padanya, ia hanya batu loncatan yang tak bisa kuhindari. Aku menggulung lengan kemeja sampai sikut, lalu berjalan ke dapur, aku melihat sepiring nasi goreng lengkap dengan segelas susu sudah tersaji di meja. Ada sepucuk surat yang Kinan tinggalkan di sana. [[Tolong sarapannya di makan, Mas. Ingat perjanjian kita bagaimana, awas saja jika tidak di makan.]] Aku tersenyum kecut membaca isi surat itu, kemudian meletakkannya kembali, lanta
Part 31 (Tegang!) Aku menarik napas dalam-dalam, tatkala Mas Hanzel membawaku masuk ke dalam bilik kamar yang ada di ruangannya. “Ngapain kamu tarik aku ke sini, kita kedatangan tamu loh Mas,” ucapku memarahinya. Makin lama, sikap Mas Hanzel makin menyebalkan. Kutepis tangannya kasar, sambil terus melototinya. Sampai segitunya dia cemburu? istrinya sendiri di sembunyikan seperti ini, di larang pergi ke mana-mana, kebebasan istrinya serasa direnggut paksa oleh egonya sendiri. “Tunggu di sini, biar saya yang temui stev,” katanya, keningku langsung mengernyit. Apa aku tak salah dengar? “Lah, bukannya Stev mau ketemu aku yah Mas. Bukan kamu, ngapain jadi kamu yang temui dia.” Mas Hanzel berdecak kesal, sorot matanya kian tajam. Ia mengayun langkah mendekatiku, sejurus kemudian aku mundur. “Memangnya kenapa? Tidak ada salahnya bukan. Kamu istri saya Kinan, suka-suka saya dong melarang kamu dekat dengan siapa. Jadi kamu enggak usah pecicilan,” omelnya, perlu aku tandai lagi, ini su
Part 30 (Kedatangan Stev?) POV Kinan. “Mas, pulang yuk.” Aku berusaha merayu Mas Hanzel, berbagai macam rayuan pun telah aku keluarkan. Namun, nihil, tidak ada satu pun rayuan yang berhasil meluluhkan hati Mas Hanzel, suamiku tetap pada pendiriannya. Jangankan pulang, diijinkan keluar dari ruangnya pun tidak. Aku bangkit dari sofa, setelah berjam-jam duduk membuat pantatku panas. Kutepuk dress yang kukenakan, kemudian kembali memandangi suamiku yang dinginnya setara dengan es. Dengan gontai aku berjalan mendekati Mas Hanzel, memeluknya dari belakang. Bisa kurasakan suamiku sedikit menegang, namun, hanya beberapa detik ia kembali tenang. “Mas, aku bosan cuman duduk dan perhatiin kamu kerja. Boleh ya kalau pulang,” kataku memanyunkan bibir. Pria yang berstatus suamiku tersebut hanya bergeming, seolah menulikan pendengaran mengenai keluhan istrinya ini. Kuhentakan kaki, rasa kesal sudah membuncah dada. Tidak di tanggapi membuatku ingin memakan orang. Aku heran, demit mana yang su
Part 29 (Putus & Posesif) “Rekayasa kamu bilang! Hanya orang bod*h yang percaya omong kosongmu, Mega! Siapa pria ini! katakan, C'k!” tanya Hanzel, raut wajahnya sudah menunjukan betapa murkanya pria itu sekarang. Ia tidak tahu pasti, dengan siapa Mega masuk ke dalam kamar hotel, dan apa yang wanita itu lakukan di sana. Yang jelas, foto yang ia dapatkan sudah membuat kepercayaan seorang Hanzel goyah terhadap kekasihnya. “Katakan Mega! Atau-” “Atau apa Mas!”potong Mega, napas wanita itu ikutan memburu, dadanya naik turun. Seisi kepalanya ingin meledak, lantaran pria berstatus kekasihnya itu terus memojokkannya. “Kita usai sampai di sini, ya kita akhiri hubungan ini,” ujar Hanzel menekan setiap kata yang ia lontarkan. Bagai dilempar granat tetap mengenai jantungnya, bagian itu mencelos tanpa ampun. Mega tertegun, ia tidak bisa berbohong, kalau dirinya sungguh terkejut. Seorang Hanzel, memilih mengakhiri hubungan dengannya. Yang benar saja, ini tidak boleh terjadi. Dulu Hanzel yan
Part 28 (Pertengkaran?) Hanzel mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah Mega. Pikirannya berkecamuk kemana-mana. Tak bisa pria itu elak, sebagian besar didominasi rasa penasaran. Setibanya di depan rumah Mega, yang tak lain adalah kekasih gelapnya itu. Gegas Hanzel turun dari mobilnya, pandangan matanya tak sengaja melihat mobil berwarna hitam itu terparkir disebelah mobil Mega. Dari lat mobilnya saja, seperti tidak asing baginya. Tapi mobil siapa? Tak mau ambil pusing, Hanzel meraih gagang pintu, dan memutarnya. Di kunci? Pikirnya. Apa Mega sedang tidak ada di rumah, atau kekasihnya itu masih di hotel tadi. Sialan! Hanzel mendadak teringat omongan Kinan yang mengatakan, jika Mega pergi bersama pria lain. Menolak percaya, tapi istrinya tak mungkin berbohong. Hanzel berinisiatif mengintip dari celah jendela, nampak sofa ruang tamu bergoyang-goyang, tidak jelas, karena hanya terlihat sedikit. Hanzel semakin emosi, ia lantas merogoh ponselnya, berjalan mondar-ma
Part 27 (Kenyataan Macam Apa Ini?)*** “Jawab Pa, kenapa kalian berdua malah diam? Pasti ada sesuatu yang kalian sembunyikan selama ini? siapa Kinan, sebenarnya?” tanyaku penuh penekanan, aku menatap mereka berdua lekat. Udara malam kian terasa menusuk tulang, Papa mengecilkan AC, bukan berarti suasana diruangan ini ikut kembali tenang. “Kinan Istrimu, Hanzel,” jawaban Papa membuatku tidak puas. Selalu kalimat itu yang menjadi andalan mereka. Siapa yang bertanya kalau Kinan bukan istriku, kami menikah lebih dari dua tahun. “Kalian ini sampai kapan berbohong, aku bukan lagi anak kecil yang percaya omong kosong.” Tarikan napas panjang Papa hembuskan, sedangkan Mama terus menatap suaminya dengan perasaan yang entah, aku sendiri tak tahu. “Gimana Pa, kita jujur aja, dari pada nanti terjadi sesuatu dengan Kinan,” ungkap Mama, sesaat Papa bergeming, lalu akhirnya mengangguk setuju. Baiklah, obrolan serius akan di mulai, aku menyimak baik-baik apa yang hendak mereka ucapkan. “Papa ju
Part 26 (Penyelidikan Hanzel)**** Dahiku mengerut, nomor ini? Bukannya ini nomor Mega? Aku segera menyalin nomor tersebut, untuk memastikan ini benar nomor Mega atau hanya dugaanku saja. Kalau memang benar ini nomor Mega, ada hubungan apa ia dengan pria misterius itu, jangan bilang, kalau dua pria tadi itu suruhan Mega? Tapi untuk apa?Apa karena Mega cemburu dengan Kinan? Pikirku. Aku mengetik nomor tersebut di log panggilan, dan seketika mataku melebar kala nama Mega muncul di sana, tidak salah, ini memang nomor Mega. Aku mengingat betul angka terakhir nomor tersebut. Shit, apa maksud dari semua ini? Siapa Mega sebenarnya? Berbagai pertanyaan pun akhirnya timbun di benakku. Aku merasa seperti tengah dipermainkan takdir, dua tahun aku menikah dengan Kinan, dan satu tahun menjalin hubungan dengan Mega. Tapi kenapa baru sekarang, aku merasakan keganjalan diantara keduanya, terlebih Papa memberiku pilihan yang tak masuk akal. Intinya, aku harus memilih diantara, Kinan? atau Meg
Part 25 (Teka-Teki)POV Hanzel.Buru-buru aku melajukan mobilku meninggalkan gedung apartemen. Seisi kepalaku, rasanya mau meledak, bagaimana tidak, Kinan menghubungiku jika mobilnya ada yang mengikuti dari belakang. Jelas aku mengkhawatirkan kondisi Kinan sekarang, siapa sangka dulu ia begitu menjijikan dimataku, tapi harus kuakui, aku mulai tertarik dengannya. Mengetahui ia bertemu dengan Stev saja sudah membuat aliran darahku mendidih tanpa ampun. Entah apa yang mereka lakukan, persetan, aku tak ingin memikirkan hal itu. “Sialan!” Aku memukul stir, lalu berbelok ke kiri, tidak henti-hentinya mulut laknatku ini mengumpat. Tepat dipinggir jalan, aku melihat mobil Kinan ada di sana. Tanpa pikir dua kali, aku segera turun, dan berlari menghampiri mobil tersebut. Kedua netraku membulat kala melihat kaca mobil pecah, dan satu peluru tertinggal di sana. Napas seolah berhenti berhembus, jantung ini serasa tak berdetak, tulang persendianku ikutan lemas. “Kinan!”“Kinan! Di mana kam
Part 24 (Bahaya!)“Kinan, semua bukti sudah kita dapatkan, kapan semuanya akan terbongkar?” tanya Stev memecahkan keheningan di antara kami berdua, aku lalu menatapnya sekilas, sebelum melempar pandangan ke arah lain.“Sabar dulu Stev, biar aku selesaikan dulu hubunganku dengan Mas Hanzel, aku tak mau lagi terlibat apa pun dengan pria itu, baru lah kita bongkar semuanya di acara pesta yang akan digelar minggu depan.” kataku pada Stev, menyelesaikan hubungan yang kumaksud tak lain dan tak bukan adalah mengurus gugatan perceraian tanpa sepengetahuan Mas Hanzel atau pun keluarganya.Lagi pula kami juga belum punya anak, jadi tak ada alasan mengapa aku harus bertahan.“Aku tahu kekhawatiran mu Kinan, apa perlu aku sewa kan pengacara hebat agar semuanya cepat selesai. Bukan kah kamu ingin terlepas dari Hanzel.” tutur Stev, aku mengulas senyum, sambil menyelami matanya yang teduh.Aku beralih mendongak ke atas, lalu menggelengkan kepala, sudah cukup aku merepotkan Stev selama ini, Lagian in
Part 23 (Manjanya Hanzel)***POV Kinan.“Kinan ... dingin,” lirih Mas Hanzel, suara beratnya itu terdengar menggelitik di telingaku, ia terus saja menarik selimut sampai aku tidak kebagian.Ada apa sih dengan pria ini? Sungutku sambil berdecak kesal.“Kinan, peluk.” racauannya, aku pura-pura tak mendengarnya, dan kembali menyelami mimpi.“Kinan.” panggilnya lagi, karena jengkel aku spontan membalikan badan menghadap Mas Hanzel, nampak suamiku menggigil hebat.Entah dorongan dari mana, punggung tanganku bergerak menyentuh keningnya, seketika hawa panas bercampur dingin menyapa permukaan kulitku.Dia demam?“Mas, kamu sakit?” tanyaku serius, alih-alih menjawab, Mas Hanzel malah merapatkan tubuhnya padaku, tiba-tiba saja ia sudah membenamkan wajahnya di celuk leherku, aku sampai menahan napas karena perbuatannya ini.“Mas .. lepas, aku mau ambil air hangat dulu buat kompres kamu.” kataku, pria dingin ini tetap bergeming, tidak ada suara selain deru napasnya yang terdengar teratur.Aku s