Darua dengan malas bersandar pada kursi sambil menjulurkan kakinya pada meja, sama sekali tidak tertarik pada deretan benda aneh yang sedang dilelang. Kemudian matanya menangkap sosok laki-laki yang memakai jubah dan topeng, dia menoleh untuk berbicara dengan pemuda di sampingnya. Secara langsung Darua terpikat oleh matanya yang berwarna merah muda, begitu pula mata orang disampingnya yang berwarna ungu. Keduanya tampak mencolok diantara deretan orang-orang yang juga sama memakai jubah. Mau tidak mau membuatnya ingin terus menatapnya. Darua mendecakkan lidahnya merasa menyesal, andai saja pemuda itu seorang wanita, bisa dibayangkan bagaimana cantiknya hanya dari matanya. Juru lelang kemudian memperkenalkan sebuah kalung dengan permata berwarna abu-abu, salah satu orang di belakang Darua maju dan berbisik di telinganya. "Tuan, saya bisa merasakan energi sihir yang unik dari kalung itu. Benda itu cocok untuk hadiah pada Tuan Sharen." "Benarkah?" Darua mengangkat satu alisnya
Darua dapat melihat dengan jelas orang-orangnya dibantai dengan sangat cepat. Ia tidak pernah menyangka, bahwa ketiga orang asing itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Ia mendecakkan lidahnya, mengutuk dalam hati pada sekelompok orang yang tidak berguna. Bahkan tidak bisa melawan ketiganya, hanya dapat dilenyapkan denga mudah. Karena mereka tidak berniat untuk memberikan kalung tersebut, maka tidak peduli bagaimanapun caranya kalung itu harus menjadi miliknya. "Bersiaplah kalian berdua." Darua memerintah pada kedua orang di sampingnya. Ia sendiri langsung menyiapkan racun korosifnya. Racunnya melesat seperti ular hidup, berkelok-kelok dengan kecepatan mengerikan ke arah ketiganya. Menciptakan jejak samar abu-abu di udara serta desis yang mematikan. Charlos seketika membuat perisai dengan gerakan yang cepat, menahan serangan ular beracun yang menabrak perisai dengan keras seperti ombak ganas. Namun racun tidak dapat menembusnya, perisai Charlos tetap bertahan. Memberikan
Ken duduk di samping ranjang melamun, suara pintu terbuka membawa kembali kesadarannya. Ia menoleh untuk melihat Charlos masuk sambil membawa nampan sarapan. "Kau tidur nyenyak, Ken?" Charlos menyimpan sarapan di meja, menyerahkan segelas susu hangat pada Ken sebelum duduk. Ken menunduk, perlahan jemarinya mengusap gelas kayu yang membawa panas ke telapak tangannya, mencari kenyamana untuk dirinya yang terjebak dalam ketidaknyamanan. Kemudian menjawab perlahan dengan penuh kelelahan, suaranya serak dan lesu akibat kurang tidur. "Aku tidak tidur nyenyak, bahkan aku tidak tahu kapan mulai tertidur. Apa kau juga begitu, Charlos?" Ken mendongak untuk mengamati wajah Charlos. Ada sedikit kelesuan di mata Charlos, tidak secerah biasanya. Lingkaran hitam di bawah matanya tampak mencolok di kulit cerahnya. Ken tidak bisa menahan diri untuk menghela nafas berat. Sebelum berangkat menuju dunia immortal, ayah mereka sudah mengimbau dari jauh hari untuk hal seperti ini. Bukan hanya m
"Kita sampai, ini tempatnya." Mirk melangkah ke samping dengan perhatian, memberikan Ken dan Charlos pemandangan yang jelas. Ken dan Charlos mengerutkan kening, merasakan firasat buruk saat melihat seringai Mirk yang lebar. Sekitar mereka hanyalah pepohonan dan rerumputan, dengan beberapa lubang kecil seukuran dua kepalan tangan orang dewasa di dekat akar pohon. "Apa maksudmu, di mana tempatnya?" tanya Charlos bingung, bibirnya mengerucut sebal menatap Mirk dengan jengkel. "Paman, berhenti main-main," ucap Ken dengan datar, terlalu malas untuk mengikuti lelucon dari Mirk. Ia hanya ingin segera menyelesaikan tugas secepat mungkin. Respon dingin dari Ken dan Charlos, membuat Mirk mengangkat tangan tanda menyerah. Namun senyum main-mainnya masih terpasang di wajahnya, sama sekali tidak memudar. "Kalian tidak seru, lubang kecil itu tempatnya." Segera Ken dan Charlos menatap lubang di dekat akar pohon dengan tidak percaya, mereka saling menatap dengan kebingungan di mata masing-masin
Melihat kuda monster yang memakan buah dengan nikmat, Charlos melihat buah biru yang sangat dingin di tangannya, merasa tergoda untuk mencicipi. "Apakah itu sangat enak?" tanya Charlos dengan konyol pada kuda. Kuda sepertinya mengerti dan menatap Charlos sekilas, tapi tetap melanjutkan makan seolah tidak mendengar apa-apa. Charlos mencibir melihat kuda yang mengabaikannya, menoleh menatap pada Ken yang mendekat. "Apakah buah ini bisa dimakan?" Ken mendengus sambil memutar matanya, masih kesal pada Charlos karena menghancurkan keindahan hutan. "Aku tidak tahu, jangan coba-coba memakannya." Matanya melotot memberi peringatan, tahu betul sikap Charlos yang akan tetap mencoba karena penasaran. Ia membelai surai kuda miliknya dengan lembut dan memberinya makan juga. "Itu bisa dimakan." Mirk muncul kembali diantara Ken dan Charlos dari asap ungu, memberitahu dengan senyuman khasnya. "Itu tidak beracun hanya sangat dingin, kuharap kau bisa tahan. Jadi kau bisa tenang mencicipinya." Men
Setelah Mirk muncul, mereka semua mulai berangkat meninggalkan penginapan. Mereka kembali bertemu dengan resepsionis bermata seperti jeruk tangerine, untuk membayar biaya terakhir penginapan. Charlos tentu senang bertemu gadis imut itu lagi, memberikan senyuman genitnya. Gadis itu yang tidak mengharapkan senyuman dari Charlos, tercengang sebelum tersipu. Seluruh wajahnya memerah dan mulai berbicara dengan tergagap. Ken menghela nafas lelah dengan sikap nakal Charlos dan menyikut lengannya, memberi isyarat untuk berhenti menggoda anak gadis orang. Merasa sangat malu dengan kelakuan dari sepupunya, ingin sekali Ken segera menyeret keluar Charlos. Ken hanya bisa mengangguk untuk meminta maaf, dan segera membawa Charlos keluar setelah Mirk menyelesaikan pembayaran. "Charlos tahan dirimu, jangan bertindak terlalu mencolok," bisik Ken memberitahu. Charlos menghela nafas dramatis, seolah bisikan Ken menyakitinya. Namun sudut bibirnya melengkung ceria, ia membalas, "Baik, aku menahan diri
Pada saat ini Keres tiba-tiba berbicara di benaknya, "Ken, sekarang kau dapat melenyapkan jiwa mati yang merasuki atau mengganggu orang lain." Perkataan Keres membuat Ken tertegun. Artinya ia kini memiliki kendali untuk dengan bebas menangani jiwa yang menganggu itu. Meski begitu, Ken mengerutkan kening, merasa terganggu. "Apakah aku harus selalu mencampuri urusan orang lain?" "Tidak wajib, itu sesuai kehendakmu. Menyingkirkannya akan memberimu makanan untuk memperkuat sulurmu. Jika tidak, jiwa itu hanya akan berkeliaran dan mengganggu orang lain." Kerutan di wajah Ken berangsur-angsur menghilang setelah mendengar penjelasan Keres, ia hanya merasa terganggu ketika harus mencampuri urusan orang lain. Meski mendapat keuntungan, seringkali jiwa-jiwa itu memiliki tuntutan sulit sebelum bersedia melepaskan dendam mereka. Apalagi Ken sekarang berada di dunia immortal, jiwa-jiwa itu mungkin memiliki tuntutan yang semakin sulit. Bahkan mungkin membahayakan dirinya sendiri, mengingat ban
Ken dan Charlos melihat Mirk yang tetap duduk di atas batu, posisinya masih sama seperti terakhir kali mereka pergi tanpa berubah sedikit pun. Mirk hanya melirik dengan santai kedatangan mereka. Tangannya dengan lembut memutar gelas, mengguncang darah di dalamnya sebelum bertanya, "Selesai?" Tanpa menunggu jawaban Ken dan Charlos, Mirk berbicara kembali. "Kalau begitu, kalian ingin melanjutkan istirahat atau menuju kota? Dengan kuda monster, perjalanan satu hari ini akan membawa kita tiba di sore hari." Ken dan Charlos saling memandang, dengan satu pandangan keduanya tahu keputusan apa yang diambil hanya dengan melihat sekilas. "Kita akan menuju kota saja." Ken memberi jawaban pada Mirk. Charlos naik ke atas kudanya dengan bersemangat, dalam suasana hati yang bagus ia bersenandung pelan, sembari mendesak Ken untuk segera naik ke kuda untuk berangkat. "Cepatlah, Ken. Aku ingin segera mencicipi makanan baru." "Hmm." Ken hanya bersenandung sebagai jawaban, memutar matanya karena t
Setelah menyadari bahwa semua yang dilihatnya hanyalah ilusi, Ken tidak merasa lega. Sebaliknya, tubuhnya menjadi semakin berat, semua tenaganya terkuras oleh kenyataan yang baru saja menghantamnya. Ia menatap kosong ke lingkungan sekitarnya, matanya tidak fokus seolah pikirannya masih terjebak dalam ilusi. Kepalanya dengan kaku menoleh kepada Charlos, dan bertemu dengan mata ungu yang menatapnya khawatir. "Lihat, Ken? Apa yang aku katakan benar, bukan? Semua yang kau lihat sebelumnya adalah ilusi," jelas Charlos dengan lembut, menatap ke mata Ken yang kosong, lalu pada wajahnya yang seputih kertas. Charlos juga mengamati helaian rambut Ken yang basah oleh keringat dan menempel di pipinya, seperti hewan malang yang kehilangan arah di tengah hujan badai. Ia dengan penuh kehati-hatian mencoba membimbingnya kembali ke kenyataan, sepenuhnya memperlakukan Ken seperti porselen yang rapuh. Ken merasa dadanya masih sesak, napasnya tersengal dengan ritme yang tidak beraturan. Seakan paru-p
Untuk sesaat, Asila panik melihat tatapan gila di mata Charlos. Namun mengingat rekannya yang masih terjebak dalam ilusinya, perlahan ketenangan menggantikan kegelisahannya. Asila membalas tatapan Charlos dengan percaya diri. Meski sedikit mengerutkan kening karena sakit, sikap sombongnya tetap tidak hilang. Darah yang mengalir dari sudut bibirnya tidak menghalangi Asila untuk menyeringai mengejek pada Charlos. "Dengan melepaskan saudaramu, kau pikir aku bodoh, hah?" Charlos juga sadar bahwa Asila memegang kendali terhadap Ken, wajar dia masih begitu sombong meski diinjak dengan keras olehnya. Tidak ada gunanya jika ia terus memaksa, semakin cemas dirinya, Asila akan semakin sombong. Succubus itu pasti akan semakin menjerumuskan Ken ke dalam ilusi, membuatnya berbahaya bagi keselamatannya. Maka, Charlos memaksa dirinya tetap tenang. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menatap Asila tanpa ekspresi. "Baiklah, memang bodoh jika aku meminta hal itu padamu." Lalu sebuah senyum muncu
Bayangan ayahnya muncul kembali, ia selalu menyembunyikan luka di balik senyum yang ditunjukkan padanya. Ken selalu tahu bahwa keberadaannya selalu mengingatkan Gerald pada ibunya. Namun, tidak pernah sekali pun ayahnya mengucapkan kata-kata yang menyalahkan dirinya. Tapi justru itu yang membuat luka di hatinya semakin dalam. Darah di sekitar membuat tubuhnya semakin dingin, bisa dibayangkan betapa sakit ibunya saat berkorban untuknya. "Ibu ... tolong maafkan aku," mohon Ken, suaranya keluar dengan pecah dari tenggorokannya. Di dalam tubuh Ken, Keres mencoba mendobrak penghalang yang menghalanginya untuk terhubung dengan Ken. Ia meraung dengan marah. "Dasar Succubus sialan!" Tidak peduli seberapa keras Keres berusaha, hasilnya nihil. Ia hanya bisa menyaksikan tanpa daya Ken yang terpuruk. Sementara di sisinya, semua sulur bergetar dan meliuk-liuk dengan cemas. 'Papa, sedang kesakitan.' 'Wuwuwu ... kenapa kita tidak bisa membantu papa?' Baik Keres maupun sulur bisa merasakan be
Memasuki ruangan yang gelap, mata Ken menyipit untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan. Baru kemudian ia menyadari, bahwa apa yang ia injak adalah genangan darah. Ken mengerutkan kening, lalu mengeluarkan sulurnya, bersiap untuk menghadapi musuh. Ken melanjutkan langkahnya dengan mantap dan mulai melihat sosok yang meringkuk dengan kepala tertunduk. Detik berikutnya, orang itu mengangkat kepalanya dan menatapnya. Langkah Ken langsung terhenti dengan tubuh yang membeku, matanya melebar dengan tidak percaya melihat sosok itu. Sementara di luar ruangan, Bellis memperhatikan Ken dan Charlos yang masing-masing memasuki ruangan yang berbeda. Ia tidak berani mendekati Ken maupun Charlos, apalagi Mirk, sehingga Bellis memilih menjauh. Tubuhnya remuk hampir tak berbentuk, napasnya berat seolah menghirup pecahan kaca tajam daripada udara. Setiap tarikan napasnya terasa menyakitkan, seperti menggores paru-parunya. Sehingga ia memilih untuk langsung duduk di lantai yang rusak, memanfaat
Saat keluar dari penginapan, resepsionis paruh baya itu mengintip ke arah rombongan Ken. Ia ingat dengan jelas bahwa jumlah mereka adalah bertiga, namun sekarang ada tambahan satu orang lagi. Dari gerak-gerik tubuhnya yang tidak wajar, ia tentu mengerti bahwa gadis itu menderita penyiksaan. Dalam hati paruh baya itu, ia menghela napas kasihan atas nasib buruknya. Kemudian tatapannya bersentuhan dengan pupil merah seseorang, tubuhnya langsung membeku dengan hawa dingin yang membelai punggungnya. Lelaki itu hanya menoleh sekilas, dan memberikan senyuman padanya. Terlihat ramah dan tidak berbahaya. Namun membangkitkan gelombang ketakutan dari lubuk hatinya, ia langsung mengerti makna di balik senyum itu. Sebuah ancaman, peringatan untuk tidak mengawasinya, atau kau akan menyesalinya. Dengan kaku, ia perlahan menarik tatapannya. Untuk sementara ia merutuki kecerobohannya, dan hampir saja melayangkan nyawanya sendiri. Pada pandangan pertama, orang-orang itu jelas sangat berbahaya. Be
Duri-duri kecil menusuk lebih dalam pada kulit lehernya, meninggalkan garis-garis ungu yang perlahan berubah menjadi tetesan darahnya. Secara naluriah, Bellis meronta saat lehernya dicengkeram lebih erat lagi. Napasnya tersengal saat mencoba mengirim lebih banyak oksigen pada paru-parunya. Ken tidak tergesa-gesa, ia menatap Bellis dengan dingin tanpa emosi. Seolah-olah Bellis tidak lebih dari serangga yang bisa ia remukkan dengan santai. Tidak ada rasa kasihan, ia hanya merasa jengkel karena mengganggu istirahatnya. Jemarinya bergerak sedikit, dan detik berikutnya sulur menarik tangan dan kaki Bellis. "Ahhh!" Jeritan melengking memenuhi ruangan, ketika tulang di pergelangan tangan Bellis patah dengan mudah, semudah seperti mematahkan cabang tipis di pohon. Air mata dengan cepat memenuhi mata Bellis, jari-jarinya menegang lalu terkulai lemas tak bisa lagi digerakkan. Rasa sakitnya begitu mendalam hingga otaknya tidak bisa memproses. Keringat dingin mengalir dengan cepat menetes ke
Bagi Bellis, Ken adalah sumber kekuatan yang besar. Saat menyaksikan Ken dan Charlos bertarung melawan ular monster, gelombang kekuatan dahsyat menyebar ke seluruh hutan. Kekuatan itu menarik perhatiannya, yang dengan antusias mengamati. Setelah melihat keduanya, mata Bellis berbinar, puas menemukan mangsa berkualitas tinggi.Dapat dibayangkan seberapa besar kekuatan dan umur yang bisa didapat Bellis dengan memakan Ken. Maka ia mengeluarkan aroma yang kuat dari tubuhnya, sama seperti afrodisiak yang bisa merangsang tubuh. Bellis tidak percaya bahwa Ken masih bisa bertahan dan tidak terpengaruh sama sekali.Namun di detik berikutnya, leher Bellis dicekik oleh sulur dan ditarik dengan kuat ke belakang. Membuat kepalanya menghantam lantai dengan bunyi gedebuk tumpul, rasa pusing seketika menyerangnya.Rasa sakit menjalar dari kulitnya yang terkoyak. Bellis ingin menjerit namun suaranya tertahan, tenggorokannya ditusuk oleh lebih dari satu duri.Sulur mencengkeram lehernya seperti ular me
Namun Tanin berpuas diri terlalu dini. Ia masih saja lengah, dan tidak belajar dari pengalamannya tadi. Di detik berikutnya Charlos menyerangnya, belati tajam menggores secara horisontal pada kedua matanya. Belati itu menyentuh kulitnya dengan tajam, rasa sakit datang begitu cepat pada Tanin. Sesaat, waktu terasa membeku. Sebelum ledakan sakit menyebar ke seluruh wajahnya. Ada rasa panas yang menyusup di sepanjang guratan luka, rasa sakitnya begitu dalam hingga Tanin merasa wajahnya terbelah dua. "Ahhh!" Tanin berteriak kencang seolah merobek tenggorakannya. Tangannya segera menutupi wajahnya, ia bisa merasakan darahnya keluar seperti air yang tak terbendung. "Kau manusia bajingan!" Kedua matanya terluka parah, membuatnya tidak bisa melihat. Gelombang rasa takut dan keputusasaan menimpanya, saat dunia yang biasa ia lihat kini menjadi gelap. Namun meski begitu, Tanin masih tidak ingin menyerah. Naluri bertahan hidupnya masih menyala, ia mengumpulkan energi gelap dan melayangkannya l
Di tengah malam yang sunyi, asap tipis menyelinap dari celah jendela, dan masuk dengan tenang ke dalam kamar. Kemudian merayap seperti tentakel yang hidup, menyusup ke arah hidung Charlos, membaur ke dalam napasnya tanpa disadari. Setelah itu menyebar ke seluruh ruangan secara diam-diam, membentuk perisai transparan yang mengurung Charlos. Sementara itu di kamar Mirk yang tidak jauh dari Charlos, ia mulai membuka mata dari tidurnya yang berpura-pura. Tawa rendah lolos dari bibirnya yang tersungging nakal. Penyusup itu bergerak dengan sangat cepat, langsung menyambar umpan yang telah ia siapkan malam ini. "Oho~ kalian benar-benar tikus yang kelaparan." Mirk kemudian bangun dan bersandar di ranjang. Duduk dengan malas sambil mengeluarkan secangkir darah, teman yang cocok untuk menonton hiburan yang menarik. "Tolong beri aku kesenangan yang memuaskan, anak-anak," gumamnya sambil menjilat bibirnya dengan tidak sabar. Kekuatan dari penyusup itu mulai bekerja pada Charlos. Ia mulai