Setelah interupsi dari Reinard, mereka menyelesaikan makan dan tidak terburu-buru untuk kembali ke kamar. Sulur tak kasat mata milik Ken sudah bergerak menyebar ke sekitar penginapan, khususnya area tempat makan. Karena tingginya perputaran informasi di tempat ini, seringkali seseorang mulai melepas penat sambil makan dan mengobrol. Ken juga menyebarkan sulur ke luar penginapan, menyusuri setiap jalan-jalan di kota dengan lalu lintas orang yang padat. Sementara ia mencoba kue-kue unik dari penginapan yang diberikan Charlos. Perhatian Ken tertarik pada kue kecil berbentuk persegi panjang, dengan permukaan coklat kehitaman yang sedikit gosong. Tampilan maupun baunya tidak terlihat terlalu manis, sehingga ia berani menyendoknya. Namun rasanya sangat manis ketika kue meleleh di mulutnya, membuat kepalanya pusing seketika. Ken mendorong kembali kue itu ke arah Charlos, lalu segera menyesap teh hangat yang agak pahit untuk menetralisir rasa manisnya. "Sial, aku tertipu." Mirk menyerin
Saat pagi datang Ken langsung memeriksa sulur, tapi tidak menemukan petunjuk apa pun tentang aroma kematian. Malam berlalu dengan damai tanpa terjadi apa pun, namun hal itu tidak membuat Ken lega. Ia merasa ketenangan ini tampak seperti jeda sebelum badai menerjang, membuatnya gelisah. Tetapi Ken memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu, dan berusaha menenangkan diri. Apa pun yang akan terjadi pasti akan datang, ia hanya bisa mengatasinya hanya jika badai itu muncul. Oleh karena itu Kenselalu tetap waspada. Setelah sarapan, Ken dan Charlos meninggalkan penginapan untuk berbelanja bahan makanan. Di luar pintu penginapan mereka berpapasan dengan Reinard, dia menyapa dengan senyum tipis sebelum memasuki penginapan. Ken dan Charlos saling melirik setelahnya, menunjukkan keheranan yang sama di mata mereka. "Dia ... tampak berbeda?" Charlos mengangkat salah satu alisnya dan menoleh untuk melihat kepergian Reinard sekali lagi. Namun Reinard telah menghilang. "Kau benar." Ken menganggu
Ken mungkin tahu bahwa Mirk mengatakan hal itu untuk bersenang-senang, tapi juga menyiratkan padanya betapa kejam orang-orang terhadap kemampuan kematian. Tentu saja Ken akan mencoba memanfaatkan bulan purnama ini. Terlepas dari bahayanya, ia sendiri tidak akan tahu apa hasilnya jika tidak mengalaminya sendiri. "Charlos, apakah kau mau menemani aku saat mengumpulkan kekuatan sekarang?" "Kau yakin?" Charlos balik bertanya sebelum memberikan jawaban, tidak terlalu setuju dalam hatinya. Namun mencegahnya akan sia-sia karena Charlos sendiri tahu bagaimana tegasnya Ken saat sudah mengambil keputusan. Sekarang melihat tatapan Ken yang tak tergoyahkan, Charlos menghela napas. "Baiklah, aku akan menemani." Meskipun cemas, tidak ada yang bisa Charlos lakukan selain mendukungnya. Dan pada saat yang sama menjaganya untuk mencegah Ken terluka. Setelah melihat anak-anak mencapai keputusan, Mirk berkata ketika keduanya mencapai pintu. "Kuharap kau tidak mengecewakanku, Ken." Ken dan Charl
Jikia sedang duduk sambil mengerjakan dokumen terkait Guild--nya, Shadow Claw. Dokumen-dokumen bertumpuk hingga menggunung di kedua sisi meja, suasana kantor sunyi kecuali suara goresan pena bulu pada perkamen. Segera suara itu tidak terdengar lagi, ruangan sepenuhnya menjadi sunyi. Jikia menatap lengannya yang menjadi dingin dan kaku, sama sekali tidak bisa digerakan. Kekakuan juga menyebar ke seluruh tubuhnya, membuatnya terpaku dalam posisi duduk. Hanya bola matanya yang masih bebas bergerak, bahkan sekadar membuka mulut untuk memanggil penjaga di luar pun tidak bisa. Sebagai pemimpin tentara bayaran, bukan sekali dua kali Jikia mengalami penyerangan. Nyawanya selalu diincar oleh musuh atau orang-orang yang membencinya. Jadi ia tidak panik dan dengan tenang mulai mencoba membebaskan diri. Namun, betapa keras pun Jikia mengerahkan kekutannya. Ia tetap tidak bisa melepaskan kekakuan di tubuhnya, bagai rantai tak kasat mata yang mengekangnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seolah
Ken membuka matanya saat merasakan suatu kehadiran di hadapannya. Perlahan, gumpalan jiwa itu membentuk sesosok tubuh pria paruh baya. Seluruh tubuhnya berwarna abu-abu, tapi yang menarik perhatian adalah rongga dadanya terkoyak dan berlubang. Meski dalam bentuk jiwa, Ken dapat merasakan aura mengesankan dari pria itu. Sebuah rasa menindas yang kini mulai familier baginya, seseorang yang tangannya terbiasa berlumuran darah. Identitas orang dihadapannya jelas tidak sederhana. Dua pasang mata saling bertemu, saling menilai satu sama lain. "Siapa kau? Dan apa keinginanmu?" Ken memulai bicara dengan bertanya, suaranya terdengar datar. Menatap Jikia dingin dengan rasa keengganan di hatinya. Sebab ia yakin, alasan pria ini datang menemuinya pasti untuk memenuhi keinginan yang belum terpenuhi semasa hidupnya. Namun Ken merasa kedatangannya tidak sesederhana itu. Apalagi jika lebih diamati, pria paruh baya ini memiliki kemiripan dengan tentara bayaran Reinard. "Kau bisa melihatku?" tan
Pixy keluar dari kepulan asap, sekujur tubuhnya tergores dan mengeluarkan darah. Meski begitu, ia segera menatap para tumbal, sedikit lega karena orang-orang itu tidak hancur dalam ledakan dan masih utuh. Sementara untuk gambar mantra yang hancur, Pixy masih bisa menggambarnya kembali. Asap hitam yang melayang kini menyebar dan mengeluarkan suara jeritan marah. Jeritan-jeritan itu menggema, menyebabkan telinga Pixy maupun yang mendengarnya berdenging dengan menyakitkan. Reinard dan Charlos juga mengerutkan kening tidak nyaman, merasakan kepala mereka berdenyut pusing akibat jeritan-jeritan melengking itu. Mereka tidak tahan mendengarnya, sehingga terpaksa berhenti dari pertarungan dan harus menutupi telinga untuk sementara. "Sial." Charlos dan Reinard memaki secara serempak. "Diam, aku akan segera memberi kalian makan. Bersabarlah! Jangan membuatku semakin marah, kau makhluk menjengkelkan!" geram Pixy, kemarahannya semakin memburuk ketika para jiwa itu mengacau setelah ritualnya
"Pixy!" Reinard berteriak keras, matanya melebar dengan kepanikan saat melihat tubuhnya dilalap api, perhatiannya kembali terpecah di tengah pertarungan. "Sekali lagi, ke mana kau melihat, hah?" ejek Charlos dengan seringai lebar yang puas, nada suaranya menjengkelkan seperti pisau yang menusuk ego lawannya. Bajingan Reinard ini kembali mengalihkan pandangannya, membuat dirinya menjadi rentan di hadapan Charlos. Betapa bodohnya. Charlos mengangkat pedangnya, menebas secara horizontal. Menciptakan jejak aura hijau yang membelah udara dengan ancaman mematikan. Gerakannya secepat kilat, membuat udara gemetar oleh tindakannya. Merasakan bahaya yang mendekat, Reinard memaksa memusatkan kembali fokusnya pada Charlos. Rasa dingin memadat di matanya yang semakin suram, penuh kebencian yang siap menusuk siapa saja. "Dasar bajingan." Dengan sigap ia menangkis serangan itu. Aura biru keabu-abuannya menyala saat kedua pedang kembali beradu untuk kesekian kalinya. Percikan energi menyebar
Charlos tentu saja mendengar jeritan Pixy, melirik sekilas kedatangan Ken sebelum beralih melihat pemandangan penyiksaan dibelakangnya. Sama seperti Ken, tidak banyak perubahan di wajahnya meski aroma amis dan tembaga dari darah Pixy tercium pekat di udara. Ia tetap tenang dengan mengangkat sebelah alisnya, sedikit heran terhadap tindakan Ken, namun tidak bertanya dan hanya menerima begitu saja. Bahkan Charlos cenderung penasaran terhadap Pixy yang bisa memicu kemarahan Ken, sehingga dia disiksa begitu parah. Sebab Ken jarang sekali marah, tapi apa pun itu Charlos menggeleng pelan. Ada rasa kasihan yang terpantul di pupil ungunya, tetapi senyum puas terlukis di bibirnya saat melihat keadaan tragis Pixy. Charlos menghela napas pendek, mengubah postur tubuhnya menjadi lebih santai. Menurunkan ujung tajam pedangnya ke tanah dengan bahu yang merosot rileks, aura agresi di tubuhnya untuk sementara di tekan. Matanya dipenuhi dengan kegembiraan saat Ken berada tepat dihadapan Re
Setelah menyadari bahwa semua yang dilihatnya hanyalah ilusi, Ken tidak merasa lega. Sebaliknya, tubuhnya menjadi semakin berat, semua tenaganya terkuras oleh kenyataan yang baru saja menghantamnya. Ia menatap kosong ke lingkungan sekitarnya, matanya tidak fokus seolah pikirannya masih terjebak dalam ilusi. Kepalanya dengan kaku menoleh kepada Charlos, dan bertemu dengan mata ungu yang menatapnya khawatir. "Lihat, Ken? Apa yang aku katakan benar, bukan? Semua yang kau lihat sebelumnya adalah ilusi," jelas Charlos dengan lembut, menatap ke mata Ken yang kosong, lalu pada wajahnya yang seputih kertas. Charlos juga mengamati helaian rambut Ken yang basah oleh keringat dan menempel di pipinya, seperti hewan malang yang kehilangan arah di tengah hujan badai. Ia dengan penuh kehati-hatian mencoba membimbingnya kembali ke kenyataan, sepenuhnya memperlakukan Ken seperti porselen yang rapuh. Ken merasa dadanya masih sesak, napasnya tersengal dengan ritme yang tidak beraturan. Seakan paru-p
Untuk sesaat, Asila panik melihat tatapan gila di mata Charlos. Namun mengingat rekannya yang masih terjebak dalam ilusinya, perlahan ketenangan menggantikan kegelisahannya. Asila membalas tatapan Charlos dengan percaya diri. Meski sedikit mengerutkan kening karena sakit, sikap sombongnya tetap tidak hilang. Darah yang mengalir dari sudut bibirnya tidak menghalangi Asila untuk menyeringai mengejek pada Charlos. "Dengan melepaskan saudaramu, kau pikir aku bodoh, hah?" Charlos juga sadar bahwa Asila memegang kendali terhadap Ken, wajar dia masih begitu sombong meski diinjak dengan keras olehnya. Tidak ada gunanya jika ia terus memaksa, semakin cemas dirinya, Asila akan semakin sombong. Succubus itu pasti akan semakin menjerumuskan Ken ke dalam ilusi, membuatnya berbahaya bagi keselamatannya. Maka, Charlos memaksa dirinya tetap tenang. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menatap Asila tanpa ekspresi. "Baiklah, memang bodoh jika aku meminta hal itu padamu." Lalu sebuah senyum muncu
Bayangan ayahnya muncul kembali, ia selalu menyembunyikan luka di balik senyum yang ditunjukkan padanya. Ken selalu tahu bahwa keberadaannya selalu mengingatkan Gerald pada ibunya. Namun, tidak pernah sekali pun ayahnya mengucapkan kata-kata yang menyalahkan dirinya. Tapi justru itu yang membuat luka di hatinya semakin dalam. Darah di sekitar membuat tubuhnya semakin dingin, bisa dibayangkan betapa sakit ibunya saat berkorban untuknya. "Ibu ... tolong maafkan aku," mohon Ken, suaranya keluar dengan pecah dari tenggorokannya. Di dalam tubuh Ken, Keres mencoba mendobrak penghalang yang menghalanginya untuk terhubung dengan Ken. Ia meraung dengan marah. "Dasar Succubus sialan!" Tidak peduli seberapa keras Keres berusaha, hasilnya nihil. Ia hanya bisa menyaksikan tanpa daya Ken yang terpuruk. Sementara di sisinya, semua sulur bergetar dan meliuk-liuk dengan cemas. 'Papa, sedang kesakitan.' 'Wuwuwu ... kenapa kita tidak bisa membantu papa?' Baik Keres maupun sulur bisa merasakan be
Memasuki ruangan yang gelap, mata Ken menyipit untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan. Baru kemudian ia menyadari, bahwa apa yang ia injak adalah genangan darah. Ken mengerutkan kening, lalu mengeluarkan sulurnya, bersiap untuk menghadapi musuh. Ken melanjutkan langkahnya dengan mantap dan mulai melihat sosok yang meringkuk dengan kepala tertunduk. Detik berikutnya, orang itu mengangkat kepalanya dan menatapnya. Langkah Ken langsung terhenti dengan tubuh yang membeku, matanya melebar dengan tidak percaya melihat sosok itu. Sementara di luar ruangan, Bellis memperhatikan Ken dan Charlos yang masing-masing memasuki ruangan yang berbeda. Ia tidak berani mendekati Ken maupun Charlos, apalagi Mirk, sehingga Bellis memilih menjauh. Tubuhnya remuk hampir tak berbentuk, napasnya berat seolah menghirup pecahan kaca tajam daripada udara. Setiap tarikan napasnya terasa menyakitkan, seperti menggores paru-parunya. Sehingga ia memilih untuk langsung duduk di lantai yang rusak, memanfaat
Saat keluar dari penginapan, resepsionis paruh baya itu mengintip ke arah rombongan Ken. Ia ingat dengan jelas bahwa jumlah mereka adalah bertiga, namun sekarang ada tambahan satu orang lagi. Dari gerak-gerik tubuhnya yang tidak wajar, ia tentu mengerti bahwa gadis itu menderita penyiksaan. Dalam hati paruh baya itu, ia menghela napas kasihan atas nasib buruknya. Kemudian tatapannya bersentuhan dengan pupil merah seseorang, tubuhnya langsung membeku dengan hawa dingin yang membelai punggungnya. Lelaki itu hanya menoleh sekilas, dan memberikan senyuman padanya. Terlihat ramah dan tidak berbahaya. Namun membangkitkan gelombang ketakutan dari lubuk hatinya, ia langsung mengerti makna di balik senyum itu. Sebuah ancaman, peringatan untuk tidak mengawasinya, atau kau akan menyesalinya. Dengan kaku, ia perlahan menarik tatapannya. Untuk sementara ia merutuki kecerobohannya, dan hampir saja melayangkan nyawanya sendiri. Pada pandangan pertama, orang-orang itu jelas sangat berbahaya. Be
Duri-duri kecil menusuk lebih dalam pada kulit lehernya, meninggalkan garis-garis ungu yang perlahan berubah menjadi tetesan darahnya. Secara naluriah, Bellis meronta saat lehernya dicengkeram lebih erat lagi. Napasnya tersengal saat mencoba mengirim lebih banyak oksigen pada paru-parunya. Ken tidak tergesa-gesa, ia menatap Bellis dengan dingin tanpa emosi. Seolah-olah Bellis tidak lebih dari serangga yang bisa ia remukkan dengan santai. Tidak ada rasa kasihan, ia hanya merasa jengkel karena mengganggu istirahatnya. Jemarinya bergerak sedikit, dan detik berikutnya sulur menarik tangan dan kaki Bellis. "Ahhh!" Jeritan melengking memenuhi ruangan, ketika tulang di pergelangan tangan Bellis patah dengan mudah, semudah seperti mematahkan cabang tipis di pohon. Air mata dengan cepat memenuhi mata Bellis, jari-jarinya menegang lalu terkulai lemas tak bisa lagi digerakkan. Rasa sakitnya begitu mendalam hingga otaknya tidak bisa memproses. Keringat dingin mengalir dengan cepat menetes ke
Bagi Bellis, Ken adalah sumber kekuatan yang besar. Saat menyaksikan Ken dan Charlos bertarung melawan ular monster, gelombang kekuatan dahsyat menyebar ke seluruh hutan. Kekuatan itu menarik perhatiannya, yang dengan antusias mengamati. Setelah melihat keduanya, mata Bellis berbinar, puas menemukan mangsa berkualitas tinggi.Dapat dibayangkan seberapa besar kekuatan dan umur yang bisa didapat Bellis dengan memakan Ken. Maka ia mengeluarkan aroma yang kuat dari tubuhnya, sama seperti afrodisiak yang bisa merangsang tubuh. Bellis tidak percaya bahwa Ken masih bisa bertahan dan tidak terpengaruh sama sekali.Namun di detik berikutnya, leher Bellis dicekik oleh sulur dan ditarik dengan kuat ke belakang. Membuat kepalanya menghantam lantai dengan bunyi gedebuk tumpul, rasa pusing seketika menyerangnya.Rasa sakit menjalar dari kulitnya yang terkoyak. Bellis ingin menjerit namun suaranya tertahan, tenggorokannya ditusuk oleh lebih dari satu duri.Sulur mencengkeram lehernya seperti ular me
Namun Tanin berpuas diri terlalu dini. Ia masih saja lengah, dan tidak belajar dari pengalamannya tadi. Di detik berikutnya Charlos menyerangnya, belati tajam menggores secara horisontal pada kedua matanya. Belati itu menyentuh kulitnya dengan tajam, rasa sakit datang begitu cepat pada Tanin. Sesaat, waktu terasa membeku. Sebelum ledakan sakit menyebar ke seluruh wajahnya. Ada rasa panas yang menyusup di sepanjang guratan luka, rasa sakitnya begitu dalam hingga Tanin merasa wajahnya terbelah dua. "Ahhh!" Tanin berteriak kencang seolah merobek tenggorakannya. Tangannya segera menutupi wajahnya, ia bisa merasakan darahnya keluar seperti air yang tak terbendung. "Kau manusia bajingan!" Kedua matanya terluka parah, membuatnya tidak bisa melihat. Gelombang rasa takut dan keputusasaan menimpanya, saat dunia yang biasa ia lihat kini menjadi gelap. Namun meski begitu, Tanin masih tidak ingin menyerah. Naluri bertahan hidupnya masih menyala, ia mengumpulkan energi gelap dan melayangkannya l
Di tengah malam yang sunyi, asap tipis menyelinap dari celah jendela, dan masuk dengan tenang ke dalam kamar. Kemudian merayap seperti tentakel yang hidup, menyusup ke arah hidung Charlos, membaur ke dalam napasnya tanpa disadari. Setelah itu menyebar ke seluruh ruangan secara diam-diam, membentuk perisai transparan yang mengurung Charlos. Sementara itu di kamar Mirk yang tidak jauh dari Charlos, ia mulai membuka mata dari tidurnya yang berpura-pura. Tawa rendah lolos dari bibirnya yang tersungging nakal. Penyusup itu bergerak dengan sangat cepat, langsung menyambar umpan yang telah ia siapkan malam ini. "Oho~ kalian benar-benar tikus yang kelaparan." Mirk kemudian bangun dan bersandar di ranjang. Duduk dengan malas sambil mengeluarkan secangkir darah, teman yang cocok untuk menonton hiburan yang menarik. "Tolong beri aku kesenangan yang memuaskan, anak-anak," gumamnya sambil menjilat bibirnya dengan tidak sabar. Kekuatan dari penyusup itu mulai bekerja pada Charlos. Ia mulai