"Benda penting? Saya tidak menemukan apapun. Hanya ada ini saja." Ibu segera Helen merogoh saku bajunya, kemudian menunjukkan sebuah benda kecil kepada Erlangga.Wajah Er kembali bersinar.Seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru yang sangat didambakan."Ya, Tuhan ... benda ini yang aku cari sejak tadi. Seluruh hidupku bergantung pada benda ini."Er langsung menyambar benda itu dari tangan Nyonya Helen lalu memeluk wanita itu dengan erat karena terlalu girang.Dan tanpa sadar Erlangga mencium pipinya dan mengangkatnya hingga membuat Nyonya Helen menjerit karena terkejut."Terima kasih, terima kasih, Bu Helen. Ibu telah menyelamatkan hidupku. Aku akan selalu mengingatnya," ujar Erlangga girang.Dia lalu berlari menuju kamarnya dan meninggalkan Nyonya Helen yang masih terdiam karena merasa takjub dengan apa yang baru saja dia alami.Erlangga langsung menutup pintu dan menguncinya. Dia tidak ingin ada yang datang ke sana dan menginterupsinya.Er meletakkan benda kecil itu di atas
"Aku tidak butuh pengawal karena aku akan pergi sendiri." Erlangga berbicara pada pengawal yang berjaga di pintu depan ketika pengawal itu hendak mengikutinya.Erlangga kemudian berpesan padanya, "Jika Papa mencariku, katakan saja aku pergi menemui teman lama. Saat urusanku sudah selesai, aku akan langsung kembali ke kantor.""Tapi, Tuan --""Sudahlah, aku sedang buru-buru," katanya lalu masuk ke dalam mobil.Sebelum pergi, Erlangga mengirimkan sebuah pesan teks pada seseorang.[Aku dalam perjalanan. Kita akan bertemu di sana dua jam lagi.]Erlangga menyimpan ponselnya kemudian membawa mobilnya pergi dari sana.Dia tidak sabar untuk mengungkap kasus kejahatan besar itu. Tidak perduli walaupun dia akan menyeret banyak orang untuk mendapatkan keadilan atas kematian Olivia, mamanya.Seperti yang telah dikatakannya, Erlangga akhirnya tiba di kantor polisi dimana awal mula kasus itu dimulai.Seorang pria paruh baya dengan kaca mata menempel di hidungnya sedang berdiri di samping pintu masu
Hari ini adalah hari ketiga sejak Erlangga membuat laporan kasus pembunuhan Olivia, mamanya.Namun, dia masih belum menerima kabar dari mereka.Erlangga sempat berpikir mungkin karena hari ini adalah hari minggu. Setidaknya besok akan ada kabar baik yang akan dia terima.Karena itu, Erlangga memutuskan untuk pergi mengunjungi makan Olivia siang ini, sekaligus melepas rindu dengan keluarga Pak Hasan."Er, apa kamu di dalam?"Suara Prabujaya terdengar dari luar kamar mengiringi suara ketukan pintu.Erlangga yang sedang bersiap segera berlari dan membuka pintu kamarnya.Wajah Erlangga yang terlihat segar dan aroma wangi yang menguar dari tubuhnya mengalihkan pikiran Prabujaya untuk sesaat."Ada apa? Apa Papa ingin membicarakan sesuatu?" tanya Er.Prabujaya langsung tersadar lalu menatapnya dengan rasa ingin tahu."Kamu mau pergi kemana, Er? Apa kamu ada janji dengan seseorang?" tanya Prabujaya, matanya menyipit."Ah, tidak ada. Aku tidak ada janji dengan siapapun," sahut Er. Dia lantas m
Karena penasaran, Daniel meminta supir untuk mengantarnya."Ayo, cepat! Kita harus mengejar mobil Tuan Muda."Daniel meneriaki supir kemudian berlari masuk ke dalam mobil.Bersama dua orang pengawal, Daniel memerintahkan untuk mengejar mobil sedan hitam milik Erlangga.Supir itu berusaha mengejar mobil di depan mereka saat sedan hitam itu masuk ke jalan tol.Dia mempertahankan kecepatannya dan berusaha menjaga jarak agar Erlangga tidak menaruh curiga."Tuan, mereka keluar dari tol. Sepertinya mereka akan pergi ke kampung itu. Apa kita akan tetap mengikuti mereka?" tanya supir menunggu perintah."Hm ... tetap ikuti mereka. Sangat berbahaya bila aku membiarkan Tuan Prabujaya pergi ke sana tanpa pengawalan. Ini demi keselamatan mereka." Daniel berkata dengan tegas. Kedua matanya yang tajam mengunci sedan hitam itu dan tak membiarkannya hilang dari pandangan.Daniel akhirnya bisa bernapas dengan lega saat Erlangga menghentikan mobil itu di depan pintu gerbang pemakaman.Ketakutannya yang
Hari senin pagi, terdengar suara ketukan yang cukup keras dari pintu depan kediaman Liana.Wanita paruh baya itu sedang duduk di meja makan bersama Rangga.Dia merasa kesal karena ulah orang tak dikenal yang telah membuat keributan di depan rumahnya dan telah mengusik ketenangan paginya.Liana melotot kesal sambil meletakkan sendoknya dengan kasar."Jhon ... tolong lihat siapa yang datang mengganggu saat hari masih sepagi ini." Dia berteriak dengan marah. Nafsu makannya langsung lenyap."Siapa yang datang sepagi ini? Apa Mama ada janji dengan seseorang di rumah kita?" tanya Rangga. Ini terlalu aneh baginya sebab mereka tidak pernah kedatangan tamu dipagi hari kecuali Viona, tunangannya."Tidak ada. Mama tidak ada janji dengan siapapun. Mungkin saja Viona. Dia mengetuk kuat karena pintu masih terkunci," jawab Liana asal. Dia terlalu malas untuk berpikir disaat seperti ini.Baru saja Liana menenangkan pikirannya, Jhon tiba-tiba muncul di depannya dengan wajah panik."Ma-maaf, Nyonya ..
Rangga duduk termangu, tubuhnya bersandar di dinding yang dingin dengan hati gelisah.Dia masih tidak menyangka harus menghabiskan paginya di kantor polisi bersama Liana.Sementara Liana masih menangis lirih meratapi kesialan yang datang tiba-tiba.Harusnya dia mendengarkan ucapan Jhon. Seharusnya dia bersembunyi dan bukannya mencari ribut dengan putra wanita itu.Ya, seharusnya sejak awal dia tidak pernah terlibat dengannya. Daging tebal yang menutupi matanya telah membengkak, bahkan air mata enggang menetes karena hampir terkuras habis.Sudah lebih dari dua jam dia menangis sejak Liana sadar dari pingsannya."Pak, saya tidak bersalah. Bagaimana kalian bisa menangkap saya seperti ini? Kalian tidak punya bukti bahwa saya yang membunuh Olivia. Tidak! Saya tidak melakukannya ...." Liana berkata lirih, tetapi petugas yang memeriksanya mengabaikannya."Rangga, Mama tidak melakukannya ... Mama tidak berbohong padamu. Mama bukan pembunuh," katanya putus asa saat Rangga membuang wajahnya da
Tampaknya orang-orang yang sedang duduk di ruangan itu tidak menyadari sesuatu yang besar sedang terjadi.Erlangga masih terlihat tenang di kursinya sambil mengumbar senyumnya yang menawan.Mereka berpikir, setidaknya ini jauh lebih baik daripada harus melihat wajah tegang dan dingin Prabujaya beberapa saat yang lalu."Kalian tunggu di sini, aku akan lihat mereka sebentar. Kalian persiapkan saja materi rapat hari ini, aku akan segera kembali."Er lalu berdiri dan pergi menyusul Prabujaya.Saat dia baru sampai di depan pintu, Er mendengar suara percakapan serius antara Prabujaya dan Daniel tak jauh dari ruang pertemuan.Er mendekat dengan perlahan agar bisa mendengarnya dengan jelas."Bagaimana bisa anak bodoh itu tidak datang hari ini? Apa yang sedang dia hindari? Seharusnya dia sudah menyelesaikan tugas yang aku berikan padanya," kata Prabujaya. Wajahnya terlihat tegang."Pergilah! Aku ingin kau memeriksanya. Aku tidak ingin mendengar ada klien yang komplain dan menuntut ganti rugi k
Liana membuang napasnya gusar, sementara pikirannya tertutup lamunan.Dia menatap kosong ke arah jendela di sampingnya. Melihat deretan bangunan yang berjejer di sepanjang jalan, serta kerumunan orang yang lalu lalang di atas trotoar.Liana masih tidak menyangka bahwa dirinya akan mengalami semua ini.Diam-diam Rangga terus memperhatikan mamanya sejak mereka pergi meninggalkan kantor polisi itu.Dia sangat mencemaskan keadaannya. Liana masih terlihat syok atas peristiwa itu.Rangga mencoba mengambil kesempatan untuk mengajaknya berbicara untuk mengalihkan pikiran Liana yang sedang kacau.Dia berdehem pelan, lalu dengan perlahan mengusap punggung tangan Liana yang mulai tampak keriput dimakan usia."Ma, ada apa?" tanya Rangga lembut. Liana diam. Dia hanya menggelengkan kepalanya tanpa menoleh.Rangga mencoba untuk berbicara padanya sekali lagi."Mama masih punya aku di sini. Jangan menyimpannya senditi kalau Mama tidak mampu untuk menahannya. Katakan apa saja agar aku jangan khawatir,