Share

TUNTUN PULANG

Farel jujur saat ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan untuk liburan semester ini. Menjadi anak tunggal di rumah besar tidak selalu menyenangkan, Farel butuh teman walaupun jiwa introvertnya melekat. Agam adalah satu-satunya teman Farel yang selalu mengajaknya untuk bersosialisasi, seperti mengajak Farel untuk bergabung dalam kepanitiaan, ikut unit kegiatan mahasiswa, ataupun menjadi satu-satunya teman Farel. Farel juga tipikal anak yang jarang sekali bermain ke rumah teman karna rumahnya selalu menjadi sasaran empuk setiap pertemuan. Begitu juga kost Farel yang biaya sewanya yang satu juta perbulan, dua kali lipat dari biaya sewa kost Agam. Dilengkapi AC, CCTV, ruang makan, kamar mandi dalam yang bagus dan air yang bersih.

Namun, walaupun gaya hidup Farel terbilang cukup. Ia tidak sungkan untuk berbagi, ia juga tidak sombong, walaupun terkesan agak rewel, namun Farel baik. Agam pun begitu.

"Rumah lo masih jauh?"

Kampung Agam terletak di desa Karangsari, Kecamatan Boyolali. Masih bisa ditempuh dengan sepeda motor, tapi apa boleh Agam saat Farel enggan mengendarai sepeda motor miliknya sendiri? Entah karna masih takut sendirian atau memang tidak kuat menempuh perjalanan jauh.

Mereka sudah mampir ke rest area tiga kali untuk solat dan istirahat, berangkat sejak siang karna menunggu Farel bangun dan hari hampir malam, jalanan pun lambat lain berubah menjadi medan jalan perkampungan, setelah magrib tepatnya.

Agam sudah mengabarkan orang tuanya ada teman yang akan main ke rumah untuk beberapa hari ke depan, orang tua Agam pun mengizinkan, mengingatkan Agam hati-hati dan menyarankan rute aman untuk pulang.

Agam melirik spion, terlihat ada Farel yang hampir mengantuk. Sedikit khawatir teman rewelnya itu tertidur dan terjatuh di belakang.

"Dikit lagi, jangan molor lo." Jawab Agam menaikkan suaranya, menegur Farel yang mengantuk di belakang.

Selang beberapa menit motor Agam berbelok memasuki gapura desa. Terdapat tulisan selamat datang yang memudar. Agam sengaja mengambil rute cepat, persetan dengan sepi ataupun bahaya. Agam sudah lelah dan ingin beristirahat. Mereka hanya bisa bergantian mengemudi di jalan besar, saat memasuki daerah kabupaten Farel tidak tahu rute perjalanan dan mau tidak mau Agam lagi yang memegang setir motor.

"Gelap banget kampung lo." Farel menyalakan flash ponselnya, mengarahkannya ke jalanan depan.

"Namanya juga kampung, listriknya belum merata." Ujar Agam seadanya, laju motor Agam perlahan berhenti saat memasuki lahan depan rumah yang luas.

Agam melepas helmnya. "Nih rumah gue, ayo cus kita turun."

Namun alih-alih turun, mata Farel masih terpana dengan rumah di depan Agam. Rumah besar berpilar, dihiasi tanaman bunga mawar merah di halaman rumah. Di dinding rumah itu terpajang dua kepala kambing hitam di sisi pintu besarnya.

Ya, itu kambing hitam. Farel yakin begitu...

"Itu rumah kepala desa, jangan diliatin terus. Nanti kambingnya hidup."

Farel tersentak kaget, bulu tangannya meremang merinding saat Agam berbisik.

Agam hanya terkekeh puas saat melihat raut takut di wajah Farel. Saat Farel menoleh ke rumah Agam, pintu rumah sudah dibuka. Ada seorang remaja laki-laki yang menyambut mereka.

"Piye? Lancar neng dhalan?" Ucap remaja itu saat Agam mendekat.

(Gimana? Lancar di jalan?)

"Alhamdulillah, Den." Ucap Agam tersenyum setelah remaja itu bersalaman. "Iki koncoku, Farel jeneng'e."

(Alhamdulilah, Den.)

(Ini temenku, namanya Farel.)

Farel yang disebut namanya mendekat dan tersenyum membungkuk rendah, remaja itu mengulurkan tangan dan bersalaman sembari tersenyum.

"Wes wes, wong kota apik apik yoo tampilan'e." Puji remaja itu saat melihat Farel. "Ndang masok yo, ibu uwes masak." Ajak remaja itu berjalan ke dalam, menyuruh Agam dan Farel untuk mengikutinya ke dapur.

(Waduh, orang kota cakep-cakep ya penampilannya.)

(Ayo cepat masuk, ibu sudah masak.)

Mata Agam melihat ke sekitar, tidak menemukan ayah dan ibunya seperti biasa.

"Bapak karo ibu neng ngendi, Den? Kok sepi men." Tanya Agam penasaran, menuangkan teh hangat dari teko yang sudah ibunya siapkan tadi.

(Bapak sama Ibu kemana, Den? Kok sepi banget.)

Deni Wijaya namanya, adik Agam yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas kelas satu. Ia membuka tudung saji saat Agam dan Farel sudah tiba di meja makan.

"Neng ngomah pak RT. Urusan'e mendadak." Jawab Deni seadanya, memberikan piring kepada Agam dan Farel.

(Di rumah pak RT. Ada urusan mendadak.)

Agam mengangguk, menyiduk nasi dari bakul. Tidak lupa ia berdiri untuk mencuci tangan di kamar mandi.

"Mangan, mas." Ajak Deni tersenyum, menawarkan makanan pada Farel dengan canggung.

(Makan, mas.)

Farel mengangguk tersenyum, sedikit kikuk. "Iya, makasih ya." Jawabnya singkat.

Agam yang keluar dari kamar mandi kembali duduk, mereka kembali berkumpul di meja makan.

"Ono opo neng ngomah pak RT? Kok ibu iku melu?" Agam bertanya sembari menyiduk ayam kecap.

(Ada apa di rumah pak RT? Kok ibu ikut?)

Deni yang ikut menyidukan nasi mengangkat bahunya. "Yo mboh... Koncomu iku lhoo, pesugihan karo siluman monyet."

(Ya ngga tau... Temenmu itu lho, pesugihan sama siluman monyet.)

"Astagfirullah. Ndasmu ojo sembarangan to." Tegur Agam sedikit kesal.

(Astagfirullah, mulutmu jangan sembarangan dong.)

"Yo opo ne sembarangan? Iku berita ne uwes nyebar nggo desa sebelah, si Kardi iku lhoo." Deni membela dirinya, memberikan sekilas berita yang tengah dibicarakan panas di desanya.

(Apanya yang sembarangan? Itu beritanya udah nyebar ke desa sebelah, Kardi itu lho.)

Agam yang sedang mengunyah melirik tidak percaya. "Ceritain yang jelas."

Deni tahu kakaknya beralih bahasa agar temannya dapat mengerti apa yang mereka bicarakan. Ia mendekatkan kursinya ke meja makan untuk memulai gosip.

"Kardi itu temenmu, kan?" Tanya Deni memastikan.

Agam mengangguk. "Iya, temenku pas SMA."

"Dia kan dulu melarat to, tapi udah setengah tahun ini usahanya gacor." Cerita Deni dengan aksen bahasa Jawa yang masih menempel.

"Warung mie ayamnya buka cabang banyak, sawahnya panen raya terus, kebunnya sekarang luas banget dan punya banyak pegawai." Lanjut Deni sembari mengunyah.

"Alhamdulillah dong." Farel nimbrung sembari ikut menikmati masakan ibu Agam.

"Yo tapi sebulanan ini sikapnya berubah." Ucap Deni berbisik.

"Berubah gimana?" Agam bertanya, enggan berbisik-bisik.

"Ya gitu lhoo, warung mienya emang laris manis, sawahnya panen, tapi si Kardi tingkah lakunya berubah kayak monyet." Deni bercerita dengan berbisik.

"Cara jalannya kayak monyet, suaranya juga mirip monyet, suka garuk-garuk kayak monyet, wes wes kabeh-kabeh mirip monyet." Lanjut Deni meringis ngeri. "Dia cuma bisa makan pisang, bahaya banget, monyet dalam wujud manusia. Terakhir dia mukulin warga karna pisangnya ngga boleh diminta."

*kabeh-kabeh = semuanya

"Tapi kan dia kaya, kenapa minta pisang?" Tanya Farel heran.

Deni menggeleng. "Sebelum dia jadi monyet, dia suka mukulin orang, suka cari ribut pas masih bisa ngomong lancar seperti manusia, akhir-akhir ini tingkahnya berubah dan meresahkan warga. Harusnya sih dia lagi dipasung di tengah hutan sana, karna suka ngejahilin perempuan."

Agam menggeleng prihatin, menghela nafas berat sambil berucap, "Astagfirullah."

Agam dan Kardi tidak begitu dekat, mereka hanya saling mengenal karna selama tiga tahun tidak pernah sekelas, yang Agam tahu Kardi adalah tipikal manusia yang tidak pernah merasa cukup, nakal di sekolah dan suka cari masalah dengan guru-guru.

"Maksudnya harusnya?" Farel kembali bertanya, masih penasaran dengan cerita Kardi yang Deni sampaikan setengah-setengah.

"Ya seharusnya sih begitu, soalnya kemarin pas diperiksa sama kepala desa ternyata udah kabur orangnya."

Farel tersedak, terkejut bukan main saat mendengar jawaban Deni. Segera meneguk air mineral yang diberikan Agam.

"Terus gimana? Uhuk... Belum ketemu?" Farel bertanya sembari terbatuk.

Deni menggeleng. "Belum, makanya tadi Deni saranin Kak Agam jangan lewat pinggiran hutan."

Kedua alis Agam mengkerut heran. "Kenapa emangnya?"

"Monyet nyasar harus dituntun biar bisa pulang."

Farel tidak mengerti kalimat Deni, tapi Agam mengerti. Lalu, sekarang Agam mengerti mengapa adiknya menyarankan untuk tidak melewati rute pinggir hutan. Rute yang baru saja Agam lewati untuk memotong jalan, memilih jalan pintas agar cepat sampai rumah.

Agam tidak takut, tapi ia gelisah. Lebih tepatnya, saat ia mendengar ada suara seseorang menggaruk dinding kandang sapi yang mana menempel langsung pada dapur. Dinding tipis berayaman rotan yang saat ini tergores-gores oleh cakar kuku manusia yang panjang dan hitam.

Ya, Agam salah. Salah ia memilih rute itu dan menuntun monyet nyasar yang Deni sebut tadi kembali ke desa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status