Ruangan itu panas. Pendingin ruangan berfungsi normal, namun suhu udara belum kunjung turun sejak mereka masuk, atau lebih tepatnya sejak pagi dimulainya rapat itu berlangsung.
Dua hari sudah berlalu, rapat anggota belum menemukan titik terang terkait masalah lembar pertanggungjawaban yang disebut-sebut prematur. Dianggap selesai padahal belum. Mengundang kritikan berbagai pihak terutama demisioner yang masih konsisten untuk datang di hari itu. Farel lelah, tapi ia tahu ini resikonya. Melihat kakak tingkatnya beradu argumen, saling tusuk menusuk dengan kalimat panjang berlabel kritisan mereka. Biarlah itu urusan mereka, Farel hanya panitia pelaksana di sini, bertugas sebagai penjaga monitor dan proyektor, memantau berlangsungnya beberapa alat eletronik yang tengah digunakan di ruangan rapat. "Apakah dapat disepakati?" Farel enggan bersuara, kupingnya masih kuat mendengar kata 'sepakat' berulang kali yang diserukan seluruh peserta sidang sejak kemarin. Rapat itu selesai, akhirnya. Ketua umum baru diumumkan, tentu saja mengundang pro dan kontra karna kandidatnya hanya satu. Presidium dianggap berpihak pada pengurus semata dan enggan menerima kandidat dari luar kepengurusan sesuai dengan AD/ART, dianggap konservatif namun pasal itu sudah lama disahkan. Hari sudah gelap, udara dingin terus menusuk karna hujan yang turun sejak pagi baru saja mereda. Peraturan baru disahkan dengan cepat dan tergesa-gesa mengingat hari sudah malam dan surat menyewaan ruangan hanya berlaku tiga hari. Farel beranjak, merenggangkan ototnya leluasa di sisi mulutnya menguap kantuk. "Mau kopi ga, Rel?" Ia menoleh, mendapati seorang teman sedivisinya yang tengah berdiri di samping dispenser menawarkan secangkir kopi. Farel menggeleng tersenyum. "Ngga ah, tanggung mau pulang. Ngga mau begadang gue karna kafein." Mendapati jawaban Farel, temannya terkekeh geli. "Lha? Panitia mah belum boleh pulang." Farel berdecak. "Iya tahu, beres-beres dulu kan?" Ia bertanya meledek. Agam, teman satu divisinya yang menawarkan kopi itu mendekat setelah menuangkan air panas ke dalam cangkirnya. "Ada yang mau diomongin ketuplak, ngumpul dulu di ruang panitia." Farel melongo. "Maksud?" Agam mengangkat kedua bahunya bingung. "Mungkin gara-gara hasil rapat ini alot." Tebaknya asal. Farel berdecak. "Ngga papa deh, asal ngga lama-lama." Ragu mengiyakan, Agam hanya mengangguk, memilih bungkam atas apa yang ia dengar di luar ruang rapat tadi. Menyodorkan secangkir kopinya pada Farel. "Cuacanya lagi jelek." Farel berkomentar, menerima kopi yang Agam ulurkan, kembali duduk di kursi operator. Disusul Agam di sebelahnya, mendengus lelah. "Rapat ini juga jelek." Mereka tahu teman seangkatannya ini sengaja mempercepat menggelar rapat anggota di sisi lembar pertanggungjawaban belum rampung sempurna. Alhasil, rapat berjalan dibumbui perdebatan dan komentar pedas tentang kinerja kabinet saat itu. Dinilai tidak profesional dan terburu-buru. Seperti halnya anak kecil, acuh dan bodoh. Begitu kata para demisioner. Ketua pelaksana rapat tidak begitu banyak bicara, dapat dilihat dari mata lelahnya, Tito Sastrio, mengucapkan terimakasih atas kerja sama para panitia yang telah ikut serta dalam penyelenggaraan rapat, terutama pada Agam dan Farel yang mana secara tidak langsung merangkap menjadi tiga divisi sekaligus. Pihak yang disebut hanya mengangguk lelah. Rapat besar anggota memang selesai, namun naasnya rapat itu meninggalkan luka batin bagi para pengurus. Lembar pertanggungjawaban dapat diterima, walaupun dengan paksaan dan belas kasih. Hal yang akan menjadi pelajaran untuk kebinet berikutnya agar lebih bertanggungjawab dalam mengambil komitmen. Akhirnya, di sinilah Farel. Duduk di motornya, hendak menancap gas menuju ke kost. Libur semester telah tiba, waktunya ia berkemas agar besok bisa kembali ke rumah. Malam itu menunjukan pukul sembilan malam dan berhubung sudah memasuki libur semester lingkungan kampus terlihat sangat sepi. Biasanya masih ada unit kegiatan mahasiswa yang masih beraktifitas, namun sekarang tempat UKM beraktifitas itu kosong. Beberapa pendopo yang biasanya dihinggapi mahasiswa untuk rapat atau bercengkrama pun sepi. Farel tidak sendiri di parkiran, ada Agam juga yang ingin tancap gas ingin pulang. "Besok balik ke rumah, Gam?" Agam menoleh, melihat Farel yang suda menyalakan motornya. "Iya nih, mau buru-buru pulang. Udah homesick parah gue." Farel terkekeh. "Dih, anak mami." Ledeknya tertawa garing. Agam menjulurkan lidahnya sembari memakai sarung tangan. "Biarin." "Duluan ya, anak mami." Ujar Farel menancap gas duluan, motornya jalan perlahan hendak mendahului motor Agam. "Hati-hati, anak papi." Ledek Agam balik, membiarkan motor Farel mendahuluinya. Farel belum sepenuhnya keluar dari parkiran, baru saja hendak menancap gas penuh sesuatu menggelinding di hadapannya. Sebesar buah kelapa, benda itu bergerak perlahan melewati Farel dan Agam. Farel membeku, tidak merasakan apapun. Agam ikut menjajarkan motornya di samping Farel, tidak terlalu penasaran saat melihat benda tersebut. "Rel?" Agam menegur Farel tersentak. "Astagfirullah." Agam menepuk pundak Farel tersenyum. "Lu kenapa? Ayo cepetan, duluan." Agam menyuruh Farel mendahuluinya, melihat wajah Farel yang tidak nyaman. Farel mengangguk, menatap Agam yang masih tersenyum. "A-ada yang main bola?" Farel bertanya gugup, penasaran namun kepalanya enggan untuk menoleh ke arah perginya benda yang menggelinding tadi. Agam menggeleng. "Ngga ada, ayo duluan. Gue di belakang lo." Ujar Agam masih tersenyum. Farel mengangguk, ia memberanikan diri menggerakkan kepalanya perlahan untuk menoleh. "Jangan!" Senyum Agam pudar, ia melihat Farel sedikit marah. "Jalan duluan, gue di belakang lo." Tegas Agam lagi. Tapi, bukan Farel namanya jika tidak keras kepala. Ia menoleh tanpa ragu saat wajah Agam berubah serius, keberaniannya tiba-tiba terkumpul di sisi adrenalinnya berpacu. Kedua alis Farel mengkerut. Tidak ada apapun. Arah benda yang menggelinding harusnya ada di sekitaran kolam ikan, namun ternyata di sekitar kolam pun tidak ada benda bulat. Farel tersenyum. "Anjirlah, ngagetin aja." Kekehnya tertawa renyah, ia menoleh pada Agam dan hendak meledek. Tubuh Farel membeku. Benda yang Farel cari ada di depannya, tepat di depannya. Disoroti lampu motor yang kuning terang, mata Farel melihat apa yang ia cari dengan jelas. Seogok kepala manusia dengan rambut hampir botak. Kepala itu terlihat kotor dan berdarah di sisi ada sepasang mata yang terbuka lebar hendak keluar. Hal yang paling mengerikan dan Farel ingat adalah bibirnya. Merah merona dan tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi kotornya yang berdarah. Persetan itu kepala perempuan atau lelaki. Farel enggan berfikir tentang itu, tapi yang ia tahu sedetik kemudian tubuhnya lemas. Pengelihatannya buram, dan kepalanya terasa berat. Agam yang melihat Farel terjatuh dari motor hanya berdecak kesal. "Mampus, bandel sih dibilangin."Harum hangat menyapa hidung. Rasanya sangat nyaman dan tenang. Begitu empuk dan hangat. Lebih dari cukup membuat Farel menggeliat betah, enggan membuka mata. Agam memukul Farel dengan bantalnya kesal. "Bangun, anjir! Malah lanjut molor." Farel mengerjap, membuka matanya yang terasa berat. Menerima uluran segelas air putih yang Agam berikan. "Gimana badan lo? Mendingan ga?" Farel meneguk air putih, melihat sekeliling ruangan empat kali empat meter. Ia mengangguk. "Lumayan." Agam mengangguk. "Syukur deh." Farel melihat Agam lemas. "Ini kost lo?" Agam mengangguk. "Gue ga bisa bawa lo ke rumah sakit, kejauhan. Lagian di kampus juga udah sepi banget, pos satpam ga ada yang jaga tadi." Farel menganga. "Sumpah?" Agam mengangguk. "Intinya karna lo udah sadar, sekarang lo mending pulang." Farel berdecak. "Dih ngusir, marah ya gue ledekin anak mami?" Ujarnya melihat Agam sembari terkekeh. Agam berdecak. "Ketawa-tiwi deh lo, gue juga mau balik kampung. Udah gih sana, keburu sia
Farel jujur saat ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan untuk liburan semester ini. Menjadi anak tunggal di rumah besar tidak selalu menyenangkan, Farel butuh teman walaupun jiwa introvertnya melekat. Agam adalah satu-satunya teman Farel yang selalu mengajaknya untuk bersosialisasi, seperti mengajak Farel untuk bergabung dalam kepanitiaan, ikut unit kegiatan mahasiswa, ataupun menjadi satu-satunya teman Farel. Farel juga tipikal anak yang jarang sekali bermain ke rumah teman karna rumahnya selalu menjadi sasaran empuk setiap pertemuan. Begitu juga kost Farel yang biaya sewanya yang satu juta perbulan, dua kali lipat dari biaya sewa kost Agam. Dilengkapi AC, CCTV, ruang makan, kamar mandi dalam yang bagus dan air yang bersih. Namun, walaupun gaya hidup Farel terbilang cukup. Ia tidak sungkan untuk berbagi, ia juga tidak sombong, walaupun terkesan agak rewel, namun Farel baik. Agam pun begitu. "Rumah lo masih jauh?" Kampung Agam terletak di desa Karangsari, Kecamatan Boyolali. Mas
Deni dan Farel juga mendengar suara itu. Mereka membeku kaku terduduk di dapur, mengelilingi lauk lezat yang tercium harumnya karna masih hangat. Selera makan mereka hilang, jantung Deni berpacu cepat, berbeda dengan Farel yang tidak tahu apa-apa. Agam meletakkan telunjuknya di depan bibir, membuat Farel menjeda makannya dan ikut terdiam bingung.Deni mencoba melirik ke belakang Farel, tempat di mana pintu kandang sapi mereka berada. Ada suara gemerusuk dari dalam sana, tepatnya di pintu luar kandang, tempat di mana pakan sapi disimpan."U... U..." Suara kera terdengar jelas sekarang, membuat Farel ikut berkubang dalam lingkaran ketakutan. Jelas di kupingnya suara tersebut berasal dari belakang, dan ia enggan untuk menoleh.Agam menggigit bibir bawahnya resah, melihat Farel dan Deni bergantian. Jarinya bergerak mengisyaratkan mereka untuk tetap diam. Perlahan, Agam berdiri dan berjalan mengendap menuju pintu kandang sapi yang
Batang kretek kedua hampir hampir menunggu datangnya Pak RT. Angin berhembus sangat kencang dan suhu menurun sejak Kardi ditangkap, suara jangkrik bersutan nyaring, begitupun hewan malam lainnya. Seakan tidak senang melihat Kardi tersiksa ditahan oleh Pak Kades. Sudah lewat tengah malam tapi rumah Pak Kades saat itu mulai ramai. Makin ramai saat Pak RT dan orang tua Agam datang, beberapa orang yang berunding di rumah Pak RT ikut datang ke rumah Agam saat mendengar Kardi sudah diamankan oleh Pak Kades.Sementara itu, Agam masih menjaga temannya yang masih pingsan di ruang tamu. Ibu Agam langsung pulang saat Deni memberitahu Farel pingsan. Dua rumah yang besebrangan itu dihinggapi warga. Ibu-ibu dan anak yang tidak berani mendekat namun masih penasaran memilih berdiri di depan rumah Agam, sementara para bapak-bapak memilih menjaga Kardi di rumah Pak Kades agar tidak lepas lagi.Mata Farel mengerjap, aroma minyak kayu putih memasuki hidungnya. Ia bangun tert
Batang kretek kedua hampir hampir menunggu datangnya Pak RT. Angin berhembus sangat kencang dan suhu menurun sejak Kardi ditangkap, suara jangkrik bersutan nyaring, begitupun hewan malam lainnya. Seakan tidak senang melihat Kardi tersiksa ditahan oleh Pak Kades. Sudah lewat tengah malam tapi rumah Pak Kades saat itu mulai ramai. Makin ramai saat Pak RT dan orang tua Agam datang, beberapa orang yang berunding di rumah Pak RT ikut datang ke rumah Agam saat mendengar Kardi sudah diamankan oleh Pak Kades.Sementara itu, Agam masih menjaga temannya yang masih pingsan di ruang tamu. Ibu Agam langsung pulang saat Deni memberitahu Farel pingsan. Dua rumah yang besebrangan itu dihinggapi warga. Ibu-ibu dan anak yang tidak berani mendekat namun masih penasaran memilih berdiri di depan rumah Agam, sementara para bapak-bapak memilih menjaga Kardi di rumah Pak Kades agar tidak lepas lagi.Mata Farel mengerjap, aroma minyak kayu putih memasuki hidungnya. Ia bangun tert
Deni dan Farel juga mendengar suara itu. Mereka membeku kaku terduduk di dapur, mengelilingi lauk lezat yang tercium harumnya karna masih hangat. Selera makan mereka hilang, jantung Deni berpacu cepat, berbeda dengan Farel yang tidak tahu apa-apa. Agam meletakkan telunjuknya di depan bibir, membuat Farel menjeda makannya dan ikut terdiam bingung.Deni mencoba melirik ke belakang Farel, tempat di mana pintu kandang sapi mereka berada. Ada suara gemerusuk dari dalam sana, tepatnya di pintu luar kandang, tempat di mana pakan sapi disimpan."U... U..." Suara kera terdengar jelas sekarang, membuat Farel ikut berkubang dalam lingkaran ketakutan. Jelas di kupingnya suara tersebut berasal dari belakang, dan ia enggan untuk menoleh.Agam menggigit bibir bawahnya resah, melihat Farel dan Deni bergantian. Jarinya bergerak mengisyaratkan mereka untuk tetap diam. Perlahan, Agam berdiri dan berjalan mengendap menuju pintu kandang sapi yang
Farel jujur saat ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan untuk liburan semester ini. Menjadi anak tunggal di rumah besar tidak selalu menyenangkan, Farel butuh teman walaupun jiwa introvertnya melekat. Agam adalah satu-satunya teman Farel yang selalu mengajaknya untuk bersosialisasi, seperti mengajak Farel untuk bergabung dalam kepanitiaan, ikut unit kegiatan mahasiswa, ataupun menjadi satu-satunya teman Farel. Farel juga tipikal anak yang jarang sekali bermain ke rumah teman karna rumahnya selalu menjadi sasaran empuk setiap pertemuan. Begitu juga kost Farel yang biaya sewanya yang satu juta perbulan, dua kali lipat dari biaya sewa kost Agam. Dilengkapi AC, CCTV, ruang makan, kamar mandi dalam yang bagus dan air yang bersih. Namun, walaupun gaya hidup Farel terbilang cukup. Ia tidak sungkan untuk berbagi, ia juga tidak sombong, walaupun terkesan agak rewel, namun Farel baik. Agam pun begitu. "Rumah lo masih jauh?" Kampung Agam terletak di desa Karangsari, Kecamatan Boyolali. Mas
Harum hangat menyapa hidung. Rasanya sangat nyaman dan tenang. Begitu empuk dan hangat. Lebih dari cukup membuat Farel menggeliat betah, enggan membuka mata. Agam memukul Farel dengan bantalnya kesal. "Bangun, anjir! Malah lanjut molor." Farel mengerjap, membuka matanya yang terasa berat. Menerima uluran segelas air putih yang Agam berikan. "Gimana badan lo? Mendingan ga?" Farel meneguk air putih, melihat sekeliling ruangan empat kali empat meter. Ia mengangguk. "Lumayan." Agam mengangguk. "Syukur deh." Farel melihat Agam lemas. "Ini kost lo?" Agam mengangguk. "Gue ga bisa bawa lo ke rumah sakit, kejauhan. Lagian di kampus juga udah sepi banget, pos satpam ga ada yang jaga tadi." Farel menganga. "Sumpah?" Agam mengangguk. "Intinya karna lo udah sadar, sekarang lo mending pulang." Farel berdecak. "Dih ngusir, marah ya gue ledekin anak mami?" Ujarnya melihat Agam sembari terkekeh. Agam berdecak. "Ketawa-tiwi deh lo, gue juga mau balik kampung. Udah gih sana, keburu sia
Ruangan itu panas. Pendingin ruangan berfungsi normal, namun suhu udara belum kunjung turun sejak mereka masuk, atau lebih tepatnya sejak pagi dimulainya rapat itu berlangsung. Dua hari sudah berlalu, rapat anggota belum menemukan titik terang terkait masalah lembar pertanggungjawaban yang disebut-sebut prematur. Dianggap selesai padahal belum. Mengundang kritikan berbagai pihak terutama demisioner yang masih konsisten untuk datang di hari itu. Farel lelah, tapi ia tahu ini resikonya. Melihat kakak tingkatnya beradu argumen, saling tusuk menusuk dengan kalimat panjang berlabel kritisan mereka. Biarlah itu urusan mereka, Farel hanya panitia pelaksana di sini, bertugas sebagai penjaga monitor dan proyektor, memantau berlangsungnya beberapa alat eletronik yang tengah digunakan di ruangan rapat. "Apakah dapat disepakati?" Farel enggan bersuara, kupingnya masih kuat mendengar kata 'sepakat' berulang kali yang diserukan seluruh peserta sidang sejak kemarin. Rapat itu selesai, akhirnya