Deni dan Farel juga mendengar suara itu. Mereka membeku kaku terduduk di dapur, mengelilingi lauk lezat yang tercium harumnya karna masih hangat. Selera makan mereka hilang, jantung Deni berpacu cepat, berbeda dengan Farel yang tidak tahu apa-apa.
Agam meletakkan telunjuknya di depan bibir, membuat Farel menjeda makannya dan ikut terdiam bingung. Deni mencoba melirik ke belakang Farel, tempat di mana pintu kandang sapi mereka berada. Ada suara gemerusuk dari dalam sana, tepatnya di pintu luar kandang, tempat di mana pakan sapi disimpan. "U... U..." Suara kera terdengar jelas sekarang, membuat Farel ikut berkubang dalam lingkaran ketakutan. Jelas di kupingnya suara tersebut berasal dari belakang, dan ia enggan untuk menoleh. Agam menggigit bibir bawahnya resah, melihat Farel dan Deni bergantian. Jarinya bergerak mengisyaratkan mereka untuk tetap diam. Perlahan, Agam berdiri dan berjalan mengendap menuju pintu kandang sapi yang terhubung langsung dengan dapur. Pintu kandang mereka ada dua, di mana satu menempel dengan dapur dan satu lagi mengarah ke kebun belakang mereka. Mata Agam menyipit untuk mengintip, melihat seseorang yang mengacak-akan pakan sapi di luar kandang. Masih terlihat dari sela-sela anyaman bambu. Semakin Agam telisik, semakin jelas siluet manusia tergambar di matanya. Manusia itu meloncat dan bergerak secara sembrono, kepalanya menoleh dengan resah dan cepat. Agam lihat dengan jelas tubuhnya yang berjongkok, beberapa kali menggaruk kepalanya dengan kasar. Mata Agam masih betah untuk mengintip dan mencari tahu, hingga sosok itu terdiam dan menoleh kearah Agam dengan cepat, melihat Agam dengan sepasang mata merah redupnya. Agam menarik kepalanya dan menutup matanya rapat-rapat saat mata mereka bertemu. Sepasang alis Deni naik penasaran, Agam hanya mengangguk pasrah dengan wajahnya yang pucat. "Sopo?" Bisik Deni masih penasaran. (Siapa?) Agam menaikkan bahunya, kembali ke meja makan perlahan. Enggan memberitahu apa yang ia lihat barusan. "Ngga tau, kakak telfon bapak dulu suruh pulang." Ucap Agam mengeluarkan ponselnya. "Kenapa telfon bapak?" Deni berbisik bertanya penasaran. "Kita ke depan dulu, masuk kamar kamu seben-" "Lappaarrr..." Gruugghh! Gruughh! Mereka membeku kaku saat suara itu terdengar jelas. Bunyi gesekan kasar anyaman bambu dan kuku panjang manusia terdengar jelas, dan seorang manusia tengah mengeluh lapar di luar, atau lebih tepatnya, setengah manusia. "Oh, jancok!" Deni berdiri cepat dan berlari ke kamarnya tanpa peduli Agam dan Farel, menimbulkan bunyi gemerusuk kecil karna Deni sempat menabrak meja. "U... Lappparr!" Suara itu semakin jelas saat Deni berlari takut. Agam langsung menarik baju Farel untuk ikut kabur dan berlindung, mengikuti Deni yang masuk ke kamar mereka. Agam mengunci pintu setibanya di kamar mereka. Kamar yang biasa ditiduri oleh Deni dan Agam sejak kecil. "Itu apa sih?" Tanya Deni dengan raut wajah takut, ia bertanya pada kakaknya yang masih gelisah. "Kak Agam." Panggil Deni kesal. Agam berdecak dan menempelkan telunjuknya di depan bibir, isyarat untuk mereka agar tidak berisik. "Kakak telfon bapak sebentar." Ucap Agam segera mengambil ponselnya di saku. Perasaan Deni resah, beberapa hari belakangan keluarga mereka merasa tidak aman karna pelaku pesugihan kini hampir berubah menjadi objek pesugihan itu sendiri, mulai meneror warga dan tidak segan untuk melukai. Nada sambung terdengar, suara keadaan di rumah pak RT terdengar "Halo, bapak." Panggil Agam gelisah. Tok Tok Tok... Pintu rumah mereka diketuk. "Deni? Agam? Buka, ini pak kades!" Seru seorang pria dari luar, mengetuk pintu dengan tempo yang cepat seakan memiliki urusan mendadak. "Tolong buka, Deni! Agam! Pak kades ingin membantu." Sekarang suara pria lain terdengar. Agam langsung berjalan cepat keluar kamar diikuti Farel dan Deni. Agam membukakan pintu dan terlihat ada dua orang pria di depan rumahnya, berdiri memegang cambuk dan tali tambang. Pak Kades melihat sekitar. "Neng ngendhi makhluk'e? Resahno wargaku wae." Ucap Pak Kades mengomel sembari memainkan kumisnya. (Di mana makhluknya? Meresahkan wargaku aja.) "Aku karo Pak Kades ngolek Kardi lewat depan rumahmu tadi." Jelas pria lain selaku adik ipar Pak Kades menjelaskan. (Aku sama Pak Kades lihat Kardi lewat depan rumahmu tadi.) "Ngapunten, pak. Agam ki nggolek wong neng mburi, matane merah, ngeduk-ngeduk pakan sapi." Jelas Agam menjelaskan apa yang ia lihat. (Maaf pak, tapi tadi Agam liat ada orang di belakang, matanya merah, ngaduk-aduk pakan sapi.) Pak Kades menggeleng kesal. "Wes wes siluman bodho, nggawe aku pegel wae mung mlayu mrana-rene. Neng ngendhi kandang sapimu, Gam?" (Dasar siluman tolol, bikin aku capek aja keliaran ke sana sini. Di mana kandang sapimu, Gam?) "Neng mburi, pakdhe." Jawab Agam menunjuk arah menuju belakang rumah dengan ibu jari kanannya. (Di belakang, pakde.) "Yowes aku mlaku kene, kowe mlaku lewat rono, Sur." Tunjuk Pak Kades menunjuk sisi kanan rumah Agam. "Iso toh mlaku lewat kono?" Pak Kades memastikan. (Yaudah aku lewat sini, kamu lewat sana, Sur.) (Bisa kan lewat sana?) Agam mengangguk. Pak Kades dan adik iparnya bernama Mansur akhirnya memencar. Bedanya Pak Kades diikuti Agam, Farel, dan Deni. Sedangkan Mansur sendirian. Mereka berjalan menuju belakang rumah Agam dengan jalur berbeda, mengendap-endap perlahan untuk memperkecil suara yang timbul. Pak Kades tidak mau mangsanya kali ini kabur lagi, sudah pusing kepalanya mendengar keluhan warga tentang laporan teror siluman monyet. Namun naasnya sosok yang dicari-cari punya indra yang tajam, kupingnya bergerak saat menangkap suara langkah kaki mendekat. Alhasil, di sinilah mereka. Tiba di belakang rumah Agam, di depan kandang sapi, tepatnya. Tapi sayangnya di sana Mansur belum sampai, atau terhambat di samping rumah Agam lebih tepatnya. "Mansur?" Pak Kades memanggil. Mata Mansur bertatapan dengan sosok di depannya. Seorang pria dengan tubuh berisi menggotong setandan pisang, matanya merah dan pakaiannya robek di beberapa bagian. Terlihat kotor dan lusuh. Makhluk itu langsung menjatuhkan setandan pisangnya dan menerjang Mansur tanpa ragu, ia melompat dan mencekik leher Mansur. "Allahuakbar!" Teriakan Mansur terdengar dari samping rumah, segera Pak Kades dan Agam berlari, tidak lupa Farel yang gemetar dan Deni masih mengikuti. "Astagfirullah." Pak Kades berucap prihatin, menebas cambuknya ke depan saat melihat adik iparnya terpojok. Makhluk yang mencekik Mansur berteriak saat punggungnya panas karena cabukan Pak Kades, ia menoleh ke belakang dengan tatapan bengis. Mata merahnya melotot marah, tubuhnya berbalik hendak menerjang. "Allahuakbar!" Teriak Pak Kades menebas cambuknya lagi, makhluk itu terhempas karna panas, ia berkulat di tanah karna panas cambuk masih menempel di kepalanya. "Sadar, Kardi! Eling karo gustimu, istigfar, lee..." Pak Kades mendekat perlahan, mengekuarkan botol kaca kecil di sisi mulutnya bergerak tanpa suara seperti membaca do'a. (Sadar, Kardi! Ingat sama tuhanmu, istigfar, nak...) "Istigfar, lee." Pak Kades menyuruh dengan tegas. "Gelem istigfar ora? Sebut Gusti Allah." Nada Pak Kades naik, ia menuangkan cairan yang ada di botol ke tangannya sedikit, menciprat-cipratkannya ke arah Kardi. (Istighfar, nak.) (Mau istigfar, ngga? Sebut nama Allah.) Kardi berguling di tanah, tidak bisa berdiri melawan saat Pak Kades mendekat dan menyiratkan air dari dalam botol. "Ahhhrggg! Panas!" Teriaknya marah. "Gelem tobat ora? Ora gelem dipasung maneh neng hutan mburi, gelem?" (Mau tobat ngga? Kalau ngga mau dipasung lagi di hutan belakang, mau?) Kardi menggeleng, ia berdiri dengan cepat dan hendak menyerang Pak Kades tapi Mansur sudah lebih dulu mengikatkan leher Kardi dengan tali tambang. "Aanghh!" Teriak Kardi marah. "Ora gelem? Iso ngelawan maneh yoo, njaluk dipasung iyoo?" Pak Kades bertanya tertawa, kembali menyiratkan air yang ada di tangannya ke arah Kardi. (Ngga mau? Mau ngelawan terus ya, mau dipasung iya?) Kardi yang kepanasan hanya bisa teriak dan meraung, tidak bisa berbuat apa-apa. Beberapa warga yang mendengar keributan pun mendekat, tidak banyak karena beberapa diantara warga setempat memilih diskusi di rumah Pak RT. "Mati awakmu, si mbah njupuk uripmu tekon anak putumu kabeh." Ancam Kardi menunjuk Pak Kades melotot. (Mati kamu, si Mbah ambil nyawamu sampai ke anak cucu semuanya.) Pak Kades mendekat, menempelkan telapak tangannya ke kening Kardi di sisi orang yang kesurupan itu masih diikat oleh Mansur. "Sopo si mbah?" Tanya Pak Kades menantang. (Siapa si mbah?) "Sopo mbahmu, hah? Suruh neng rene kandhani aku, ora wedi aku karo siluman monyet elek." Pak Kades menepuk kening Kardi, membuat Kardi lemas dan berhenti meraung. Matanya seketika terlihat sayu saat keningnya ditepuk oleh Pak Kades. (Siapa mbahmu, hah? Suruh ke sini temui aku, ngga takut aku sama siluman monyet jelek.) Beberapa warga yang ikut melihat masih menonton penasaran, merekaa berbisik-bisik dan menggunjing. "Kowe, le..." Pak Kades menunjuk anak muda yang datang melihat keributan. (Kamu, nak.) Anak muda itu bergerak kikuk. "Tulungno Mansur naleni Kardi, nggowo siluman ini neng omahku." (Tolong Mansyur untuk ikat Kardi, bawa siluman ini ke rumahku.) Anak muda itu mengangguk, mengajak temannya untuk ikut membantu Mansur. Pak Kades menoleh pada Agam. "Bapakmu neng ngomah Pak RT, to? Telfon kondho muleh, Pak RT ne podo suruh rene." (Bapakmu di rumah Pak RT, kan? Telfon suruh pulang, Pak RT juga sama suruh ke sini.) Agam mengangguk, melihat ponselnya yang sudah terputus sambungannya. Ia menelfon bapaknya lagi. Pak Kades menoleh pada Deni, kedua alisnya menekuk heran dan ia menggeleng. "Koncomu iku angkat nggowo masuk ngomah." (Temenmu itu angkat bawa masuk ke rumah.) Terbingung sebentar, Deni menoleh ke arah Farel, matanya yang tertutup, tubuhnya yang tergeletak lemas, dan wajahnya yang pucat. Ya, Farel pingsan. Bukan karna melihat pertarungan Pak Kades dan Kardi, tapi melainkan melihat sosok bayangan besar saat Pak Kades mencambuk Kardi. Bayangan monyet hitam berwajah merah dengan matanya menyala terang, memegang tongkat yang mana diujung tongkatnya terdapat batu merah menyala, layaknya bola dunia yang berputar. Ya, itu Si Mbah yang Kardi sebut.Batang kretek kedua hampir hampir menunggu datangnya Pak RT. Angin berhembus sangat kencang dan suhu menurun sejak Kardi ditangkap, suara jangkrik bersutan nyaring, begitupun hewan malam lainnya. Seakan tidak senang melihat Kardi tersiksa ditahan oleh Pak Kades. Sudah lewat tengah malam tapi rumah Pak Kades saat itu mulai ramai. Makin ramai saat Pak RT dan orang tua Agam datang, beberapa orang yang berunding di rumah Pak RT ikut datang ke rumah Agam saat mendengar Kardi sudah diamankan oleh Pak Kades.Sementara itu, Agam masih menjaga temannya yang masih pingsan di ruang tamu. Ibu Agam langsung pulang saat Deni memberitahu Farel pingsan. Dua rumah yang besebrangan itu dihinggapi warga. Ibu-ibu dan anak yang tidak berani mendekat namun masih penasaran memilih berdiri di depan rumah Agam, sementara para bapak-bapak memilih menjaga Kardi di rumah Pak Kades agar tidak lepas lagi.Mata Farel mengerjap, aroma minyak kayu putih memasuki hidungnya. Ia bangun tert
Ruangan itu panas. Pendingin ruangan berfungsi normal, namun suhu udara belum kunjung turun sejak mereka masuk, atau lebih tepatnya sejak pagi dimulainya rapat itu berlangsung. Dua hari sudah berlalu, rapat anggota belum menemukan titik terang terkait masalah lembar pertanggungjawaban yang disebut-sebut prematur. Dianggap selesai padahal belum. Mengundang kritikan berbagai pihak terutama demisioner yang masih konsisten untuk datang di hari itu. Farel lelah, tapi ia tahu ini resikonya. Melihat kakak tingkatnya beradu argumen, saling tusuk menusuk dengan kalimat panjang berlabel kritisan mereka. Biarlah itu urusan mereka, Farel hanya panitia pelaksana di sini, bertugas sebagai penjaga monitor dan proyektor, memantau berlangsungnya beberapa alat eletronik yang tengah digunakan di ruangan rapat. "Apakah dapat disepakati?" Farel enggan bersuara, kupingnya masih kuat mendengar kata 'sepakat' berulang kali yang diserukan seluruh peserta sidang sejak kemarin. Rapat itu selesai, akhirnya
Harum hangat menyapa hidung. Rasanya sangat nyaman dan tenang. Begitu empuk dan hangat. Lebih dari cukup membuat Farel menggeliat betah, enggan membuka mata. Agam memukul Farel dengan bantalnya kesal. "Bangun, anjir! Malah lanjut molor." Farel mengerjap, membuka matanya yang terasa berat. Menerima uluran segelas air putih yang Agam berikan. "Gimana badan lo? Mendingan ga?" Farel meneguk air putih, melihat sekeliling ruangan empat kali empat meter. Ia mengangguk. "Lumayan." Agam mengangguk. "Syukur deh." Farel melihat Agam lemas. "Ini kost lo?" Agam mengangguk. "Gue ga bisa bawa lo ke rumah sakit, kejauhan. Lagian di kampus juga udah sepi banget, pos satpam ga ada yang jaga tadi." Farel menganga. "Sumpah?" Agam mengangguk. "Intinya karna lo udah sadar, sekarang lo mending pulang." Farel berdecak. "Dih ngusir, marah ya gue ledekin anak mami?" Ujarnya melihat Agam sembari terkekeh. Agam berdecak. "Ketawa-tiwi deh lo, gue juga mau balik kampung. Udah gih sana, keburu sia
Farel jujur saat ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan untuk liburan semester ini. Menjadi anak tunggal di rumah besar tidak selalu menyenangkan, Farel butuh teman walaupun jiwa introvertnya melekat. Agam adalah satu-satunya teman Farel yang selalu mengajaknya untuk bersosialisasi, seperti mengajak Farel untuk bergabung dalam kepanitiaan, ikut unit kegiatan mahasiswa, ataupun menjadi satu-satunya teman Farel. Farel juga tipikal anak yang jarang sekali bermain ke rumah teman karna rumahnya selalu menjadi sasaran empuk setiap pertemuan. Begitu juga kost Farel yang biaya sewanya yang satu juta perbulan, dua kali lipat dari biaya sewa kost Agam. Dilengkapi AC, CCTV, ruang makan, kamar mandi dalam yang bagus dan air yang bersih. Namun, walaupun gaya hidup Farel terbilang cukup. Ia tidak sungkan untuk berbagi, ia juga tidak sombong, walaupun terkesan agak rewel, namun Farel baik. Agam pun begitu. "Rumah lo masih jauh?" Kampung Agam terletak di desa Karangsari, Kecamatan Boyolali. Mas
Batang kretek kedua hampir hampir menunggu datangnya Pak RT. Angin berhembus sangat kencang dan suhu menurun sejak Kardi ditangkap, suara jangkrik bersutan nyaring, begitupun hewan malam lainnya. Seakan tidak senang melihat Kardi tersiksa ditahan oleh Pak Kades. Sudah lewat tengah malam tapi rumah Pak Kades saat itu mulai ramai. Makin ramai saat Pak RT dan orang tua Agam datang, beberapa orang yang berunding di rumah Pak RT ikut datang ke rumah Agam saat mendengar Kardi sudah diamankan oleh Pak Kades.Sementara itu, Agam masih menjaga temannya yang masih pingsan di ruang tamu. Ibu Agam langsung pulang saat Deni memberitahu Farel pingsan. Dua rumah yang besebrangan itu dihinggapi warga. Ibu-ibu dan anak yang tidak berani mendekat namun masih penasaran memilih berdiri di depan rumah Agam, sementara para bapak-bapak memilih menjaga Kardi di rumah Pak Kades agar tidak lepas lagi.Mata Farel mengerjap, aroma minyak kayu putih memasuki hidungnya. Ia bangun tert
Deni dan Farel juga mendengar suara itu. Mereka membeku kaku terduduk di dapur, mengelilingi lauk lezat yang tercium harumnya karna masih hangat. Selera makan mereka hilang, jantung Deni berpacu cepat, berbeda dengan Farel yang tidak tahu apa-apa. Agam meletakkan telunjuknya di depan bibir, membuat Farel menjeda makannya dan ikut terdiam bingung.Deni mencoba melirik ke belakang Farel, tempat di mana pintu kandang sapi mereka berada. Ada suara gemerusuk dari dalam sana, tepatnya di pintu luar kandang, tempat di mana pakan sapi disimpan."U... U..." Suara kera terdengar jelas sekarang, membuat Farel ikut berkubang dalam lingkaran ketakutan. Jelas di kupingnya suara tersebut berasal dari belakang, dan ia enggan untuk menoleh.Agam menggigit bibir bawahnya resah, melihat Farel dan Deni bergantian. Jarinya bergerak mengisyaratkan mereka untuk tetap diam. Perlahan, Agam berdiri dan berjalan mengendap menuju pintu kandang sapi yang
Farel jujur saat ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan untuk liburan semester ini. Menjadi anak tunggal di rumah besar tidak selalu menyenangkan, Farel butuh teman walaupun jiwa introvertnya melekat. Agam adalah satu-satunya teman Farel yang selalu mengajaknya untuk bersosialisasi, seperti mengajak Farel untuk bergabung dalam kepanitiaan, ikut unit kegiatan mahasiswa, ataupun menjadi satu-satunya teman Farel. Farel juga tipikal anak yang jarang sekali bermain ke rumah teman karna rumahnya selalu menjadi sasaran empuk setiap pertemuan. Begitu juga kost Farel yang biaya sewanya yang satu juta perbulan, dua kali lipat dari biaya sewa kost Agam. Dilengkapi AC, CCTV, ruang makan, kamar mandi dalam yang bagus dan air yang bersih. Namun, walaupun gaya hidup Farel terbilang cukup. Ia tidak sungkan untuk berbagi, ia juga tidak sombong, walaupun terkesan agak rewel, namun Farel baik. Agam pun begitu. "Rumah lo masih jauh?" Kampung Agam terletak di desa Karangsari, Kecamatan Boyolali. Mas
Harum hangat menyapa hidung. Rasanya sangat nyaman dan tenang. Begitu empuk dan hangat. Lebih dari cukup membuat Farel menggeliat betah, enggan membuka mata. Agam memukul Farel dengan bantalnya kesal. "Bangun, anjir! Malah lanjut molor." Farel mengerjap, membuka matanya yang terasa berat. Menerima uluran segelas air putih yang Agam berikan. "Gimana badan lo? Mendingan ga?" Farel meneguk air putih, melihat sekeliling ruangan empat kali empat meter. Ia mengangguk. "Lumayan." Agam mengangguk. "Syukur deh." Farel melihat Agam lemas. "Ini kost lo?" Agam mengangguk. "Gue ga bisa bawa lo ke rumah sakit, kejauhan. Lagian di kampus juga udah sepi banget, pos satpam ga ada yang jaga tadi." Farel menganga. "Sumpah?" Agam mengangguk. "Intinya karna lo udah sadar, sekarang lo mending pulang." Farel berdecak. "Dih ngusir, marah ya gue ledekin anak mami?" Ujarnya melihat Agam sembari terkekeh. Agam berdecak. "Ketawa-tiwi deh lo, gue juga mau balik kampung. Udah gih sana, keburu sia
Ruangan itu panas. Pendingin ruangan berfungsi normal, namun suhu udara belum kunjung turun sejak mereka masuk, atau lebih tepatnya sejak pagi dimulainya rapat itu berlangsung. Dua hari sudah berlalu, rapat anggota belum menemukan titik terang terkait masalah lembar pertanggungjawaban yang disebut-sebut prematur. Dianggap selesai padahal belum. Mengundang kritikan berbagai pihak terutama demisioner yang masih konsisten untuk datang di hari itu. Farel lelah, tapi ia tahu ini resikonya. Melihat kakak tingkatnya beradu argumen, saling tusuk menusuk dengan kalimat panjang berlabel kritisan mereka. Biarlah itu urusan mereka, Farel hanya panitia pelaksana di sini, bertugas sebagai penjaga monitor dan proyektor, memantau berlangsungnya beberapa alat eletronik yang tengah digunakan di ruangan rapat. "Apakah dapat disepakati?" Farel enggan bersuara, kupingnya masih kuat mendengar kata 'sepakat' berulang kali yang diserukan seluruh peserta sidang sejak kemarin. Rapat itu selesai, akhirnya