Share

SILUET PUSAKA

Batang kretek kedua hampir hampir menunggu datangnya Pak RT. Angin berhembus sangat kencang dan suhu menurun sejak Kardi ditangkap, suara jangkrik bersutan nyaring, begitupun hewan malam lainnya. Seakan tidak senang melihat Kardi tersiksa ditahan oleh Pak Kades. Sudah lewat tengah malam tapi rumah Pak Kades saat itu mulai ramai. Makin ramai saat Pak RT dan orang tua Agam datang, beberapa orang yang berunding di rumah Pak RT ikut datang ke rumah Agam saat mendengar Kardi sudah diamankan oleh Pak Kades.

Sementara itu, Agam masih menjaga temannya yang masih pingsan di ruang tamu. Ibu Agam langsung pulang saat Deni memberitahu Farel pingsan.

Dua rumah yang besebrangan itu dihinggapi warga. Ibu-ibu dan anak yang tidak berani mendekat namun masih penasaran memilih berdiri di depan rumah Agam, sementara para bapak-bapak memilih menjaga Kardi di rumah Pak Kades agar tidak lepas lagi.

Mata Farel mengerjap, aroma minyak kayu putih memasuki hidungnya. Ia bangun tertatih dengan kepala pusing.

"Pusing, le?" Ibu bertanya khawatir, memberikan teh manis hangat pada Farel.

(Pusing, nak?)

Farel mengangguk, menerima teh manis hangat dan meneguknya perlahan. "Makasih banyak, bu." Ucap Farel sungkan, menunduk lesu melihat kakinya diselimuti.

"Istirahat ya di kamar Agam, insyaallah masih muat bertiga sama Deni juga." Ucap Ibu perhatian.

Agam sudah cerita bahwa Farel tidak lancar bahasa Jawa, alhasil Ibu dan Bapak mulai memutuskan menggunakan bahasa Indonesia untuk berbicara dengan Farel.

"Agamnya di mana, bu?" Tanya Farel tidak melihat temannya.

Deni menunjuk rumah Pak Kades yang masih ramai. "Di sana, jagain si Kardi supaya ngga kabur lagi."

Farel mengangguk.

"Mau ke sana?" Deni menawarkan.

Ibu menepuk bahu Deni menegur. "Hush..."

Takut, tapi Farel penasaran. Lagipula keadaan di luar memungkinkan jika ia ingin bertemu temannya, cukup ramai dan terang, tidak seperti tadi. Maka dari itu Farel mengangguk.

"Boleh, ayu." Ucap Farel canggung.

Ibu menggeleng heran. "Hati-hati kalau mau lihat, tunggu sini aja, Den." Ucapnya menyarankan.

Deni tersenyum. "Sebentar aja kok, bu."

Karna situasi yang terbilang cukup ramai, akhirnya ibu mengangguk membiarkan Deni dan Farel pergi. Ia pun ikut duduk di teras rumah, bergabung dengan ibu-ibu yang lain.

Mata Agam melihat temannya yang sudah sadar berjalan mendekat, tersenyum meledek saat Farel dan Deni tiba.

"Pingsan lagi, lo?" Kekeh Agam menyenggol bahu Farel.

Farel diam, matanya masih terpaku melihat seseorang yang diikat di pilar rumah. Dan untuk pertama kalinya, Farel melihat kepala kambing itu dengan jelas, benar-benar jelas.

Pak Kades berdehem. "Piye rupa ne?" Tanya ia pada Farel.

(Gimana wujudnya?)

Farel tersentak, menoleh kikuk saat Pak Kades bertanya. Di sampingnya ada pria yang Farel duga sebagai Pak RT.

"I-ya, pak?" Farel bertanya canggung.

"Si Mbah, sampean nggolek to?" Pak Kades menyalakan kretek ketiganya.

(Si Mbah, kamu lihat kan?)

Farel melihat Agam bingung, temannya itu berbisik. "Tadi lo liat apa? Ceritain aja ke Pak Kades."

Farel mengangguk paham. "Eum- dia monyet..." Ucapnya bingung.

Pak Kades menghembuskan rokoknya santai.

"Warna bulunya hitam, tapi mukanya merah." Lanjut Farel sedikit takut saat mengingat.

Pak Kades menghisap rokoknya, seperti sudah bisa menebak jawaban Farel.

"Nggowo tongkat, le?" Tanya Pak RT penasaran.

(Bawa tongkat, nak?)

Farel mengangguk ragu. "Iya..."

Kini Pak Kades bersuara. "Opo warna pusaka ne?"

(Apa warna pusakanya?)

"Hush..." Pak RT menegur.

Pak Kades melihat Farel kembali bertanya, "Opo warna'e, le?"

"M-merah." Jawab Farel ragu.

Pak RT mengelus dada dengan wajah pucat. "Innalillahi..."

"Wes mati-mati..." Ucap Pak Kades menggeleng.

(Mati sudah...)

Enggan ikut campur, Farel memilih diam. Agam mengajaknya pergi kembali ke rumah, masih ragu bercerita tentang apa yang dikhawatirkan Pak Kades dan Pak RT mengenai warna-warna tongkat yang dibahas tadi. Agam hanya berharap kisah kelam dan gelap kampungnya dapat Farel cerna nanti jika diperlukan, walaupun dimulai dengan warna-warna tongkat yang membingungkan.

Lambat laun, beberapa warga memilih pulang karna sudah larut. Beberapa lagi masih betah untuk membantu menjaga Kardi, termasuk bapak Agam. Ibu Agam pun masuk ke dalam, memilih tidak banyak ikut campur. Di sisi lain, Farel, Agam dan Deni masih terjaga di kamar yang sama, bersiap untuk tidur di sisi ada Farel yang masih termenung bingung.

"Kenapa lo?" Tanya Agam menarik selimutnya, berbaring lega hendak istirahat.

Farel menggeleng. "Ngga papa, cuma heran."

Agam mengangguk paham, ia kembali duduk. Deni yang tadinya telentang pun ikut duduk.

"Kampung gue emang gini, Rel. Kalo lo ngga kuat, besok gue anter pulang."

Farel menggeleng lagi. "Ngga, masih betah gue."

Deni bertepuk tangan. "Sesok tak ajak kowe mancing, gelem?"

(Besok aku ajak mancing, mau?)

Alis Farel mengkerut.

"Deni mau ajak mancing besok, kalo lo masih mau di sini." Ucap Agam menjelaskan.

Farel mengangguk semangat, "Boleh tuh."

Farel takut, tapi ia masih penasaran. Ada energi yang tidak terlihat namun bisa ia rasakan, pertama kali dalam hidupnya merasakan hal ini. Mata Farel berat, namun ia sulit untuk terlelap. Seperti ada yang mengawasinya entah dari mana, ia merasa tubuhnya dikuliti rasa tidak nyaman oleh pandangan entah siapa itu. Walau begitu, mata Farel lambat laun terlelap, menyusul Agam dan Deni ke alam mimpi. Tanpa tahu ada sepasang mata merah menyala mengamatinya dari luar rumah.

Ya, Kardi sudah siuman. Dan aura Farel dapat ia cium dengan jelas. Aura yang sudah membuka topengnya, topeng yang selama ini ia sembunyikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status