Hari ini Dea check up jahitan bekas operasi yang ia jalani beberapa minggu lalu. Monica selaku dokter yang membedahnya memeriksa hasil operasi dengan teliti. "Apakah masih ada rasa nyeri?" tanya Monica sembari mengoleskan salep pada luka di tubuh pasiennya.Dea menggelengkan kepala. "Tidak.""Syukurlah kalau begitu. Oles salep ini tiga kali sehari sampai habis. Ini akan memudarkan bekas operasi dan jahitan di perutmu." Dea tersenyum mendapatkan perhatian temannya. "Terima kasih.""You are welcome Beb. Bagaimana kalau nanti malam kita hangout. Kebetulan hari ini aku sift pagi jadi malam nanti free," tawar Monica. Sebenarnya ia butuh teman untuk mengobrol dikala suntuk. Setiap hari kegiatannya sangat monoton jadi rasa bosan menderai dia untuk melakukan hal baru bersama teman."Sure."Ketika malam tiba, Monica dan Dea memilih salah satu cafe yang ada di tengah-tengah antara rumah Dea dan Monica. Keduanya menghabiskan waktu ala wanita muda lainnya. Menikmati beragam dessert, espresso, a
Kevin berlari secepat mungkin menjauh dari keberadaan Dea. Hatinya sangat rindu tetapi melihat reaksi mantan istrinya membuat ia merasa bersalah. Lelaki itu paham jika dia adalah malapetaka untuk Dea. Namun hatinya tidak bisa menepis seberapa rindu dia pada Dea. Mantan istri yang sangat Kevin cintai kini sudah terlepas dari genggaman tangan. Hidupnya terasa hampa, karena saat rumah tangganya hancur ia kehilangan keluarganya. Sebagai anak semata wayang, Kevin merasa sangat kehilangan karena orangtuanya tidak mau mengakui dia bagian keluarga mereka. Derap langka yang semakin menjauh dari tempat pertemuannya dengan Dea, menyisakan helaan napas yang sangat berat. Pelipisnya dipenuhi keringat, bajunya semakin lusuh karena mendapat beberapa noda saat berlari."Aku harus tidur dimana?" sadarnya ketika malam semakin larut. Kevin tak memiliki tempat bernaung. Dia merasa malu jika kembali ke rumah Nino. Ditambah botol bekas yang ada dalam karung seakan harta karung yang tak bisa ia lepaskan."
Di kala senja menghantarkan kehangatan pada setiap insan. Kevin berjalan mengendap menuju tempat persinggahan anak kurang beruntung. Tampak seorang wanita tengah tertawa renyah bersama penguhuni rumah kasih buah hati. Sudah berkali-kali Kevin menjadi pengintip di tempat ini. Hatinya berdesir melihat pemandangan yang hangat di depannya."Alhamdulillah dia terlihat bahagia," syukur Kevin dengan mata berseri. "Tak sia-sia aku datang ke sini."Sudah satu minggu lebih Kevin mondar-mandir di depan panti asuhan guna melihat mantan istrinya. Dia tak bisa menepis seberapa besar rindunya pada wanita itu. Berkali-kali ia meratapi nasibnya yang mengenaskan. Saat asyik melihat interaksi Dea dengan anak panti. Tiba-tiba pundah Kevin ditepuk seseorang. Lelaki itu hampir terjerembab takut menarik perhatian mantan istrinya. Nahasnya ketika menoleh, Andre menatapnya penuh arti."Eh, Ndre," seru Kevin sembari menyembunyikan diri di sela pagar agar tak terlihat Dea. Andre tersenyum tipis menjabat tangan
Nina yang telah melahirkan bayinya dengan selamat tampak lega. Levi dan keluarganya menantikan bayi mungil yang akan meramaikan rumah. "Bayinya perempuan sangat cantik Pak," ucap dokter obgyn menyembahkan bayi merah pada Levi. Nina melihat lelaki itu dengan kesal. Rasa nyeri di bawah perutnya langsung menghilang karena tak sudah anaknya di sentuh oleh Levi."Bayiku!" teriak Nina yang masih lemas. Nala yang sebelumnya hendak menggendong langsung mengurungkan niatnya. Teriakan menantunya membuat ia sungkan, jadi sebisa mungkin menahan diri agar tidak menyulut emosi ibu yang baru melahirnya. Ibu kandung Nina pun menjadi tak enak hati pada besannya karena kelakuan putrinya seperti setan."Jangan sentuh anakku!" bentak Nina. Levi hanya bisa menghela napas. Dan selama beberapa hari kemudian temprament Nina semakin parah. Kali ini wanita itu tak segan-segan memberikan tes hasil DNA bayinya. "Nih! Ceraikan aku sekarang!"Bobby, pacarnya sudah sigap membawanya pergi. Bahkan bayi yang baru ber
Levi keluar kamar dengan wajah lesu. Langkah kakinya terasa begitu berat. Matanya memerah sedikit berair. Semua orang yang menunggunya segera mempersiapkan diri mendengar berita dari laki-laki itu."Mama, Ayah, dan Adik. Maafkan aku, aku dan Nina bercerai. Ternyata selama ini dia selingkuh dengan lelaki lain sampai hamil. Dan bayi itu adalah hasil perselingkuhan mereka."Mata Nala melebar, dunia seakan berhenti. David berusaha mengatur napasnya yang mulai terengah. Dea mengelus pundak Ayahnya, ia tak ingin merespon permintaan maaf kakaknya. Levi semakin terisak karena tak ada jawaban dari keluarganya."Ayo istarahat Yah. Kita bicarakan nanti. Mama juga," ujar Dea mengakhiri pembahasan keluarga. David dan Nala menuruti ucapan putri mereka. Levi semakin dibuat kacau tetapi sedikit lega karena Adiknya mau berbicara, "Mas Levi juga istirahat, pasti capek menahan semua sendirian."Lelaki itu mengangguk, deraian air mata tak bisa dihentikan. Levi masuk ke kamar dengan isakan yang semakin k
Sinta rekan kerja Dea datang dengan wajah berseri. Tanpa bicara sepatah kata pun wanita itu hanya memeluk Dea dengan gemas. Seseorang yang dipeluknya jelas penasaran apa yang terjadi pada dia. Beberapa orang yang ada di kantor pun dibuat tanda tanya dengan sikapnya yang nyentrik. Apalagi karakter social butterfly yang terpatri pada diri Sinta terasa aneh hari ini."Kenapa sih?" tanya Dea yang jengah karena terus-terusan dipeluk wanita itu. Tak langsung menjawab, Sinta justru terkekeh behagia melihat sahabatnya penasaran."Coba tebak!""Males ah!" jengah Dea sedikit kesal."Ih... masih pagi udah malas aja." Sinta protes dengan wajah dibuat sekesal mungkin."Tinggal jawab aja, apa susahnya sih.""Tada!" wanita itu menunjukkan cincin berlian di jari manisnya."Baru beli?" tebak Dea terpana melihat benda penuh kilau tersebut.Sinta langsung mendecak. "Aku habis dilamar pacarku, bulan depan aku mau menikah!""What? Serius?" Sinta mengangguk penuh keyakinan."Ya Allah, akhirnya! Congrats y
Sesampainya di rumah, Dea kebingungan membuka pintu mobil. Andre segera turun dan mempersilakan wanita itu bak tuan putri turun dari kereta kuda. Dea menjadi bingung karena mantan kepala sekolahnya masuk ke rumah."Mas Andre tidak pulang?" tanya Dea."Mau nyapa Bu Nala dulu, sekalian ngabarin kalau Ayahmu lembur hari ini."Nama yang disebut dalam percakapan tersebut ternyata sudah menunggu di teras rumah. Nala memberikan senyum pada Andre."Maaf Bu Nala, hari ini Pak David harus lembur. Jadi saya yang menjemput Dea," ujar Andre setelah mencium tangan Mama Dea."Oh iya Nak Andre. Saya sudah dikabari soal itu." Nala ganti memberikan tangannya pada Dea."Bagaimana kalau Nak Andre makan dulu. Kebetulan hari ini masak lebih banyak dari biasanya. Berhubung Levi dan suami lembur jadi tidak ada yang makan," tawar Nala."Aduh, ngrepotin Bu." Andre meringis karena rasa sungkan menderai dirinya."Tidak, ayo masuk." Nala mempersilakan tamunya untuk memasuki rumah. Dea masih terbungkam karena tak
Aroma kopi menyelimuti suasana petang di tengah kota. Monica dan Dea duduk di pojok ruangan, menikmati malam yang tenang. Keduanya sudah saling berbagi cerita dan tawa dalam waktu yang lama. Dea sangat menikmati pertemuan rutinnya dengan Monica.Dokter bedah yang merawatnya dengan tulus terlihat berbeda dari biasanya. Entah kenapa Dea merasakan perasaan aneh saat melihat Monica.Monica dengan rambut panjang yang tergerai, menatap Dea dengan serius. "Dea, aku butuh bantuanmu."Dea mengangkat alisnya. Sesuatu yang ditunggunya sedari tadi akhirnya akan terjawab. "Bantuan apa, Mon?"Monica menggigit bibirnya dengan ragu-ragu. "Aku ingin kamu mempertemukanku dengan Andre."Dea terkejut. "Andre? Kenapa tiba-tiba?"“Dia… dia orang yang aku suka. Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana,” ujar Monica menunduk. Kemudian wanita itu melanjutkan ucapannya, "aku sudah berusaha menemuinya sejak lama. Bahkan mengunjungi kantor dan rumahnya. Tapi kedatanganku selalu ditolak. Sekarang aku bingung ban
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng