Dea mengeluh panjang karena aksi suaminya yang brutal. Ia mendorong tubuh lelaki itu tetapi sulit karena dekapannya sangat erat. Berkali-kali mencoba hasilnya nihil. Entah kekuatan apa yang dimiliki Kevin, ia terkunci dalam kurungan fisik tersebut. Hisapan bibir yang melekat di lehernya membuat ia menggeliat."Mas! Mas! Udah aku lapar!" teriak Dea di ikuti dengan suara perut yang menggelegar. Namun teriakannya tak digubri Kevin. Justru kancing bajunya terbuka satu persatu. Dea menahan gerakan tangan suaminya dengan kasar. Namun tak bisa karena pria itu sudah menempelkan bibirnya ke setiap inci kulit tubuhnya. Dea kalap dengan permainan suaminya."Mas!!!" teriaknya berusaha lepas dari kungkungan. Bukannya berhenti, Kevin semakin ganas meraba tubuh istrinya. Perasaan resah menjalar di sanubari wanita itu. Ia terus meronta sampai keringat bercucuran dari pori-porinya. "MAS BERHENTI!!!" teriak Dea. Napasnya ngos-ngosan, matanya memerah dan berair menjadikan otot wajahnya menegang. Melih
"Maksudmu apa?" tanya Kevin dengan otot wajah yang menegang. Tiba-tiba di himpit ke gang sempit dan kaosnya dicengkeram kuat. Siapa yang tidak penasaran dengan maksud orang aneh ini. Kevin meremas erat tangan musuhnya."Aku dipekerjakan untuk mengawasimu. Jangan aneh-aneh, Pak Seno akan mengunjungimu. Jadi bersiaplah," bisik pria bertubuh gempal.Alis Kevin mengerut. "Kapan?""Besok atau lusa."Kevin menghela napas. "Oke."Pria itu mengangguk dan langsung pergi. Kevin mematung beberapa saat. Kabar kedatangan Seno di tengah liburannya sangat menyebalkan. "Mengganggu saja!" kesalnya kembali ke Dea yang tengah berbaring di salah satu kursi santai tepi pantai. Kevin perlahan mengikis jaraknya."Sudah selesai main-mainnya?" tanya lelaki itu dengan lembut. Tak ada suara yang keluar dari mulut Dea, hanya anggukan kepala sebagai respom dari pertanyaannya. "Nanti mau main ke mana?"Dea menatap suaminya kemudian menjawab, "bar.""Bar?" Kevin terperangah dengan jawaban istrinya."Ya. Hanya sebe
Icha terperangah melihat isi koper yang diberikan kolega. "Nice to meet you," ucap kolega tersebut berlalu pergi. Maya mengantarkan tamunya sedangkan Icha mematung melihat tumpukan kertas dan berlian di atas meja. "Sebenarnya bisnis apa yang Papa dan Mama jalankan?" tanya Icha begitu wanita yang melahirkannya kembali. Sudut bibir Maya miring, tangan rampingnya menutup koper dan menyeret Icha ke kamar. "Bereskan barang-barangmu Sayang. Kita harus terbang ke tujuan selanjutnya." Maya menatap putrinya dingin. Itu membuat bulu kuduk Icha meremang. Hanya helaan napas menjadi reaksi ucapan mamanya. Selama mengemasi barangnya, tiba-tiba ada telepon dari Seno. Mata wanita sontak berbinar. "Hallo Pa. Gimana?" tanya Icha sangat antusias. "Papa sudah menemui Kevin. Kamu tenang saja. Bagaimana dengan urusan di sana?" Jawaban Seno membuat lega hati Icha. Dia sangat senang ketika mendengar hal itu, segera memberitahu apa yang dia dan Mamanya lakukan saat bertemu dengan kolega. "Aku sudah mem
ucapan dia membuat hati Kevin merinding. Lelaki itu bergidik sembari memejam mata. Dea tersenyum melihat reaksi suaminya, tangannya masih menggoyang-goyangkan hair dryer dan rambut hitam Kevin. Jantungnya sedikit berdegup karena perasaan yang tidak bisa diartikan.Tak ada obrolan selama Dea mengeringkan rambut suaminya. Setelah meletakkan hairdryer ke tempatnya, Dea memilih duduk dipangkuan Kevin dengan mata yang berbinar terang. Tangannya sibuk memposisikan smartphone untuk memotret posisi mereka."Mas nggak pengen liat cermin?" tanya Dea menatap lembut Kevin. Tanpa bersuara, lelaki itu hanya menggelengkan kepala. Kevin hanya fokus dengan wajah istrinya yang sangat dia cintai."Handphone Mas di mana?" Kevin menelusuri area kamar, cukup lama ia memilih citra dalam pengheliatannya hingga menemukan sesuatu yang dia cari. "Di-" Belum selesai lelaki itu berucap, Dea menyelanya dengan suara yang lembut."Bisa matikan dulu? Aku ingin waktu tenang sama Mas." Dea membuat sudut bibirnya mele
"Ada apa?" tanya Kevin yang masih berusaha melakukan penyatuan. Dea semakin bengis melakukan penolakan, bahkan ia meremas rambutnya sendiri."Akh!!!" erang Dea. Deakeras merasakan sakit kepalanya."Kenapa?" tanya Kevin sangat khawatir. "Kepalaku sakit!" teriak Dea, ia tak bisa mengontrol diri dan membuat Kevin kalap."Ayo ke rumah sakit." Kevin segera membopong istrinya."Baju!"Icha yang sudah landing segera menelpon suaminya. Matanya yang sembab, hanya bisa ditutupi dengan kacamata hitam. Telepon pun tak kunjung tersambung di antara keduanya, sehingga membuat emosinya membumbung tinggi. Seno yang sangat diharapkannya pun tidak bisa di hubungi. Pada saat ia menelpon ajudan papanya, hanya ada kabar jika Seni tengah meeting penting bersama jajaran penting di daerah. "Ish! Kenapa semua orang sulit dihubungi!" desis Icha dengan tangan gemeretak. Maya yang ada di belakang langsung menariknya masuk ke mobil. "Cepat. Kalau kamu ingin pulang, selesaikan pekerjaan ini dulu Sayang," ucap M
Setelah mengirim pesan pada adik iparnya, Levi menghela panjang. Kepalanya terasa berdenyut karena mempreasur diri mencari uang. Batang yang ada di gudang sudah musnah diambil reseller. Bertumpuk uang tertata dalam lemari. Kini tinggal penutupan dan pembagian laba dengan keluarga besan."Ternyata bisnis tak semudah itu. Marketing, akuntan, manajemen semua aku lakukan sendiri," keluh lelaki itu. Ia berjalan keluar menunggu kepulangan istrinya.Sejak pagi Nina sudah keluar dari kediaman mereka. Entah pergi ke mana, tetapi kesabaran Levi sudah hangus menghadapi tingkah Nina. "Sudah malam, kenapa dia belum pulang. Padahal biasanya sore sudah di rumah." Levi berjalan ke depan gerbang. Satpam yang ia pekerjakan sudah ia pulangkan bulan lalu. Semenjak kedatangan Dea, ia harus memutar otak memanajemen keuangan. Jadi terpaksa memulangkan para pekerja di rumah. Dengan tenaga yang tersisa, dia mendorong pintu besi di hadapannya. Jalanan masih ramai dengan lalu lalang penghuni kompleks. Beberap
Dengan mata memerah, Nina membalikkan badan menuju kamar. Levi memperhatikan perilaku istrinya dalam diam. Kemudian menatap mobil di depan kediamannya pergi begitu saja. "Jahat kamu Mas!" ucap Nina dengan air mata yang berderai. Levi hanya melirik istrinya sekilas kemudian mengganti bajunya."Turuti saja perkataanku. Aku sudah memberikanmu kebebasan pergi dengan orang itu selama sebulan. Sekarang waktunya kamu menuruti kata-kataku, setidaknya untuk keselamatanmu. Apa kamu ingin seperti Icha yang mendekam di penjara?" Tak ada sahutan dari Nina. Wanita itu semakin membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Perutnya yang sudah besar membuat ia tak bisa tengkurap saat menangis di atas ranjang. Jadi dia hanya bisa tersebut dengan posisi duduk."Baik-baik di rumah, aku kerja dulu," akhir Levi meninggalkan istrinya dengan kecupan tipis. Sayangnya Nina langsung menepis lelaki itu, tak ingin di sentuh.Dea dan Kevin baru saja sampai di rumah memutuskan istirahat. Kepulangan mereka disambut sangat
Kevin langsung memperilakan tamunya masuk. Gito baru saja keluar langsung menyambut kakak menantunya dengan semringah. Dea yang mendengar kedatangan Levi masuk ke kamar tamu tempatnya dan Rita tidur. Melihat itu, Rita tak berkomentar apapun karena memang sedang ada masalah yang membuat menantunya kecewa."Om dengar kamu menjual semua produknya Lev?" tanya Giti membuka topik tentang binis mereka."Benar Pak," jawab Levi dengan santun. "Bagaimana respon pembeli soal barang kita?""Sangat bagus Om. Ngomong-ngomong soal harga, bagaimana bisa Om mendapat harga yang jauh dari harga pasar?""Itu kerjasama dari pabriknya langsung. Ditambah Om berani menjanjikan target penjualan pada mereka. Om hanya fokus di kuantitas penjualan jadi resiko harga murah dengan keuntungan tipis biar terjual semua. Tapi kalau ditotal keuntungannya juga tidak sedikit itu karena jumlah produknya yang sangat banyak."Mulut Levi membulat dan kepalanya terangguk. "Harganya sangat cocok untuk distributor. Kata reselle