Icha merogoh ponsel dari tasnya. Ia menghela napas melihat room chat dengan Kevin. Tak ada balasan, justru pesannya tak terkirim ke subjek yang dituju. "Lagi-lagi aku diblock," desis wanita itu pasrah. Ia menengadahkan ke langit merasakan terik matahari yang menerpa wajah putihnya."Huft... Sudah seminggu lebih aku berdoa di rumahmu, kapan doaku akan terkabul?" tanyanya. Perlahan matanya memerah. Sedikit air menggenang di pelupuknya. Ia kemudian tertunduk dan menelpon orang suruhannya yang diminta untuk mengintai pergerakan suaminya ketika tidak bersamanya."Bagaimana?" Icha tak perlu menunggu lama untuk mendapat jawaban telepon. "Mereka menuju Bali Bu. Sekarang kami berada di kapal."Mata Icha terbelalak mendengar kabar tersebut. "Bali?!" Tangannya mengepal erat, jantungnya berdegup kencang, dan suhu dalam tubuhnya kian mendidih."Benar Bu. Saya sudah mengirim bukti mereka di kapal.""Oke. Intai terus jangan sampai lepas." Icha memutus sambungan telepon dan melihat beberapa foto ya
Kevin perlahan melihat wajah istrinya. Senyum yang merekah perlahan luruh. Dea tengah terlelap. Bahkan saat tubuhnya digoncang, ia tak terusik sedikitpun. Kevin menempelkan keningnya ke kening Dea dengan lembut, kemudian menghela napas. Kekesalannya memuncak karena istrinya memberi harapan palsu. Padahal dia sudah berusaha semaksimal mungkin agar penampilannya on point.Karena tak tega menggangu mimpi indah teman hidupnya. Kevin memilih untuk menutup tubuh wanita itu dengan selimut. Nafus yang melonjak pesat perlahan turun karena dikontrol super ego. "Aku harus tahan sampai besok pagi," pasrah Kevin yang terbaring di samping Dea. Doa Icha langsung terkabul saat ini juga. Meskipun Icha tidak tau apa yang dilakukan suaminya dengan Dea, tetapi ia tak henti memanjatkan doa agar mereka tidak melakukan hubungan suami istri seperti yang ia lakukan sebelum berangkat berlibur ke luar negeri. Hatinya teriris saat mengetahui Kevin dan Dea menghabiskan waktu di Bali. Padahal selama ini ia belum
Icha termenung mendengar ucapan Seno. Bibirnya bergetar menahan gejolak dalam tubuhnya. Lelaki yang sangat ia sayangi menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Turuti kata Papamu Sayang. Semua ini demi kamu. Kami berusaha agar hidupmu bebas dari penderitaan. Jangan merengek seperti ini. Biar Papa menyelesaikan masalah Kevin." Maya menambah ucapan suaminya agar putrinya tak membantah.Icha pun sulit mengeluarkan unek-uneknya. Ia hanya tertunduk lemas karena alasan orangtuanya yang mulia."Kembalilah ke kamar. Kemasi barang-barangmu Sayang. Kalian harus terbang dua jam lagi," akhir Seno mendorong putrinya agar keluar dari kamarnya.Maya menuntun Icha kembali ke kamarnya. Meskipun dengan mata yang berlinang, Icha melangkahkan kakinya tanpa beban. "Aku tidak menginginkan bisnis ini. Papa dan Mama yang selalu memberikan tanpa mempertanyakan aku mau atau tidak," ucap wanita itu setelah ditinggalkan ibunya. Ia meremas seprei yang menutupi ranjang. Deru napasnya semakin membara, in
Dea mengeluh panjang karena aksi suaminya yang brutal. Ia mendorong tubuh lelaki itu tetapi sulit karena dekapannya sangat erat. Berkali-kali mencoba hasilnya nihil. Entah kekuatan apa yang dimiliki Kevin, ia terkunci dalam kurungan fisik tersebut. Hisapan bibir yang melekat di lehernya membuat ia menggeliat."Mas! Mas! Udah aku lapar!" teriak Dea di ikuti dengan suara perut yang menggelegar. Namun teriakannya tak digubri Kevin. Justru kancing bajunya terbuka satu persatu. Dea menahan gerakan tangan suaminya dengan kasar. Namun tak bisa karena pria itu sudah menempelkan bibirnya ke setiap inci kulit tubuhnya. Dea kalap dengan permainan suaminya."Mas!!!" teriaknya berusaha lepas dari kungkungan. Bukannya berhenti, Kevin semakin ganas meraba tubuh istrinya. Perasaan resah menjalar di sanubari wanita itu. Ia terus meronta sampai keringat bercucuran dari pori-porinya. "MAS BERHENTI!!!" teriak Dea. Napasnya ngos-ngosan, matanya memerah dan berair menjadikan otot wajahnya menegang. Melih
"Maksudmu apa?" tanya Kevin dengan otot wajah yang menegang. Tiba-tiba di himpit ke gang sempit dan kaosnya dicengkeram kuat. Siapa yang tidak penasaran dengan maksud orang aneh ini. Kevin meremas erat tangan musuhnya."Aku dipekerjakan untuk mengawasimu. Jangan aneh-aneh, Pak Seno akan mengunjungimu. Jadi bersiaplah," bisik pria bertubuh gempal.Alis Kevin mengerut. "Kapan?""Besok atau lusa."Kevin menghela napas. "Oke."Pria itu mengangguk dan langsung pergi. Kevin mematung beberapa saat. Kabar kedatangan Seno di tengah liburannya sangat menyebalkan. "Mengganggu saja!" kesalnya kembali ke Dea yang tengah berbaring di salah satu kursi santai tepi pantai. Kevin perlahan mengikis jaraknya."Sudah selesai main-mainnya?" tanya lelaki itu dengan lembut. Tak ada suara yang keluar dari mulut Dea, hanya anggukan kepala sebagai respom dari pertanyaannya. "Nanti mau main ke mana?"Dea menatap suaminya kemudian menjawab, "bar.""Bar?" Kevin terperangah dengan jawaban istrinya."Ya. Hanya sebe
Icha terperangah melihat isi koper yang diberikan kolega. "Nice to meet you," ucap kolega tersebut berlalu pergi. Maya mengantarkan tamunya sedangkan Icha mematung melihat tumpukan kertas dan berlian di atas meja. "Sebenarnya bisnis apa yang Papa dan Mama jalankan?" tanya Icha begitu wanita yang melahirkannya kembali. Sudut bibir Maya miring, tangan rampingnya menutup koper dan menyeret Icha ke kamar. "Bereskan barang-barangmu Sayang. Kita harus terbang ke tujuan selanjutnya." Maya menatap putrinya dingin. Itu membuat bulu kuduk Icha meremang. Hanya helaan napas menjadi reaksi ucapan mamanya. Selama mengemasi barangnya, tiba-tiba ada telepon dari Seno. Mata wanita sontak berbinar. "Hallo Pa. Gimana?" tanya Icha sangat antusias. "Papa sudah menemui Kevin. Kamu tenang saja. Bagaimana dengan urusan di sana?" Jawaban Seno membuat lega hati Icha. Dia sangat senang ketika mendengar hal itu, segera memberitahu apa yang dia dan Mamanya lakukan saat bertemu dengan kolega. "Aku sudah mem
ucapan dia membuat hati Kevin merinding. Lelaki itu bergidik sembari memejam mata. Dea tersenyum melihat reaksi suaminya, tangannya masih menggoyang-goyangkan hair dryer dan rambut hitam Kevin. Jantungnya sedikit berdegup karena perasaan yang tidak bisa diartikan.Tak ada obrolan selama Dea mengeringkan rambut suaminya. Setelah meletakkan hairdryer ke tempatnya, Dea memilih duduk dipangkuan Kevin dengan mata yang berbinar terang. Tangannya sibuk memposisikan smartphone untuk memotret posisi mereka."Mas nggak pengen liat cermin?" tanya Dea menatap lembut Kevin. Tanpa bersuara, lelaki itu hanya menggelengkan kepala. Kevin hanya fokus dengan wajah istrinya yang sangat dia cintai."Handphone Mas di mana?" Kevin menelusuri area kamar, cukup lama ia memilih citra dalam pengheliatannya hingga menemukan sesuatu yang dia cari. "Di-" Belum selesai lelaki itu berucap, Dea menyelanya dengan suara yang lembut."Bisa matikan dulu? Aku ingin waktu tenang sama Mas." Dea membuat sudut bibirnya mele
"Ada apa?" tanya Kevin yang masih berusaha melakukan penyatuan. Dea semakin bengis melakukan penolakan, bahkan ia meremas rambutnya sendiri."Akh!!!" erang Dea. Deakeras merasakan sakit kepalanya."Kenapa?" tanya Kevin sangat khawatir. "Kepalaku sakit!" teriak Dea, ia tak bisa mengontrol diri dan membuat Kevin kalap."Ayo ke rumah sakit." Kevin segera membopong istrinya."Baju!"Icha yang sudah landing segera menelpon suaminya. Matanya yang sembab, hanya bisa ditutupi dengan kacamata hitam. Telepon pun tak kunjung tersambung di antara keduanya, sehingga membuat emosinya membumbung tinggi. Seno yang sangat diharapkannya pun tidak bisa di hubungi. Pada saat ia menelpon ajudan papanya, hanya ada kabar jika Seni tengah meeting penting bersama jajaran penting di daerah. "Ish! Kenapa semua orang sulit dihubungi!" desis Icha dengan tangan gemeretak. Maya yang ada di belakang langsung menariknya masuk ke mobil. "Cepat. Kalau kamu ingin pulang, selesaikan pekerjaan ini dulu Sayang," ucap M
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng