BAB 2
NOSTALGIA MASA KECIL (1)
Dada semakin berdebar saat wajah kedua orang yang aku cintai, mulai menari-nari di kelopak mata. Nenekku, sangat mencintai kami. Aku dan adikku, Dewi Lestari namanya. Beliaulah yang membesarkan kami, setelah kedua orang tua kami meninggal. Nenek mendidik kami dengan kasih sayang. Walaupun kami orang desa, namun nenek tidak menginginkan kedua cucunya hidup tanpa pendidikan, baik agama maupun pendidikan formal. Namun sayang, nasib kurang baik waktu itu menyapa kami.
Saat aku baru lulus SMA nenek sakit keras, hingga berhari-hari tak sembuh. Saat itu aku hampir saja mendaftarkan diri ke Universitas yang aku suka. Tak tega melihat keadaan Nenek yang tak kunjung membaik, akhirnya aku putuskan untuk menunda kuliah. Dan uang tersebut, aku pakai untuk biaya berobat Nenek. Tak bisa kuliah, tak apa, yang penting nenek bisa sembuh seperti semula. Pikirku waktu itu.Setelah tamat SMA, aku mondok di pesantren di daerah kami. Tak lama kemudian, aku beranikan diri untuk merantau. Jauh, hingga keluar negeri, yaitu Negara Singapura. Semua hasil keringatku tak sia-sia. Di rumah nenek telah membangun rumah dan membeli beberapa sapi untuk dipeliharakan pada orang lain."Kita mau lewat jalan mana, Nak. Depan Pasar Daleman atau lewat depan Masjid Pak Roni?" Pertanyaan Pak Kusir kembali membuyarkan lamunanku. Dalam hati aku tersenyum sendiri. Ngalamun melulu, sampai-sampai lupa kalau rumah sudah dekat."Lewat mana ya, Pak? Terserah Bapak saja, saya nurut," jawabku lembut. Pak Kusir pun segera membelokkan kereta kudanya ke arah selatan. Mungkin itu jalan yang lebih baik karena menjadi pilihannya. Perjalanan masih lima menit lagi kira-kira. Hatiku mulai menerka-nerka kekagetan mereka setelah melihatku.
"Mak! Mak!" Anak kecil bernama Nur berteriak riang memanggil-manggil ibunya yang tengah berada di dapur. Dengan suara cemprengnya, bocah itu memberitahukan pada sang ibu, kalau aku pulang menaiki delman. Aku tersenyum melihat kegembiraan bocah lucu itu. Lama tak melihat anak ini, kini terlihat lebih besar dan montok saja.
"Ya Allah, mimpi apa aku semalam, kok pulang mendadak begini, ada apa?" tanya Bi Ras, yang langsung keluar dari dapur. Begitu pula dengan nenekku, yang katanya baru saja keluar dari kamar mandi. Buru-buru keluar setelah mendengar bocah itu memanggil-manggil namaku. Melihat nenek, dadaku bergemuruh. Tak lama kemudian, aku turun dari delman. Pak Kusir menolongku menurunkan semua barang-barang. Tak sabar rasanya, ingin memeluk tubuh Nenek tercinta. Tak kuasa menahan air mata, berderai merayapi pipiku yang bersemu merah.
“Alhamdulillah, sampai di rumah. Saya rindu nenek,” ucapku lirih. Kami berdua berpelukan. Pak Kusir, Bi Ras, dan Nur melihat kami dengan rasa haru. Bahkan Bi Ras jadi ikutan memelukku sambil menangis.
“Kok pulang gak kabar-kabar, In?” kembali Bi Ras bertanya sambil mengesat air mata. Nur memperhatikan ibunya, sambil bibirnya ikut sedikit memble. Mungkin dia ingin menangis, karena melihat kami menangis.
“Gak ada apa-apa kok, Bi. Rindu aja sama kalian semua,” jawabku. Nenek menyekat air mata di pipiku dengan kainnya.
“Ealah, kok ya sehati. Kemarin malam, aku mimpi kejatuhan bulan, lha siangnya manuk prenjak itu ngoceh terus di pohon nangka. Nenek sama adekmu ngrasani, ada tamu siapa, kok manuknya ramai banget,” papar nenekku panjang lebar.
"Lho, Pak Darto to, matur nuwun sudah mengantar cucu saya," sapa nenek saat melihat Pak Kusir. Ah, ternyata mereka berdua saling mengenal. Batinku.
"Iya Mbah Sum, beruntung karena cucumu memanggil delman tua saya tadi. Apa kabar Mbah? Lama gak ketemu ya? Apa sudah gak mau jualan tempe lagi?" tanya Pak Kusir kemudian. Akhirnya kami melanjutkan bincang-bincangnya di ruang tamu.
Pak Kusir kami suguhi air kopi dan biskuit yang aku bawa dari Jakarta. Mungkin, nostalgia tepatnya, karena mereka sudah lama tak pernah bertemu. Beliau menceritakan tentang anak, isteri, dan cucu-cucunya, yang katanya semua tinggal satu rumah. Ramai, makanya beliau harus rajin bekerja. Apalagi kalau musim lebaran tiba, rumahnya seperti orang hajatan. Mendengar ceritanya, dadaku bergolak. Ada rasa haru yang menyeruak ke dalam jiwaku. Iba pada beliau, karena telah tua, namun masih harus menafkahi keluarga besarnya. Beruntung beliau memiliki delman, jika tidak, mungkin akan lebih sengsara.
Tak lama kemudian, beliau berpamitan pulang. Segera aku membayar ongkosnya, sesuai dalam hatiku tadi.
"Lho, kok banyak sekali Nak, ini saja sudah lebih dari cukup," katanya saat aku berikan ongkos dua kali lipat.
"Gak papa Pak, yang ini sengaja saya kasih buat beli makan kuda, dan yang ini buat keluarga Bapak di rumah. Terimalah, Pak," pintaku. Walau sedikit ragu, akhirnya Pak Kusir menerima uang tersebut dengan iringan doa untukku. Kami semua yang mendengar doanya, segera mengaminkan.
Delman pergi meninggalkan halaman rumah. Namun, nasohat lelaki tua itu seolah masih melekat dalam relung hatiku. Terlihat dari raut wajahnya, tampaknya beliau seorang yang jujur, ikhlas dan pekerja keras. Tinggallah aku, Nenek, dan Bi Ras yang sambil menggendong anaknya. Bocah itu terlihat malu-malu di gendongan ibunya. Dia mencuri-curi pandang kearahku.
"Nek, Dewi bagaimana? Apa dia banyak kegiatan di sekolahnya?" tanyaku kemudian.
"Ealah Dik, sekarang Dewi dah jadi penulis. Dia sibuk sekali setiap harinya," seloroh Bi Ras, bersemangat menceritakan kegiatan Dewi.
"Ya, biar saja dia, yang penting sudah nenek nasehati, supaya pandai-pandai jaga diri. Dan yang penting, jangan lupa salat lima waktu," celetuk nenek. Aku menganggguk -angguk, faham maksudnya. Seingatku, Dewi selalu mendengarkan nasehat kami, dia tak mau melakukan sesuatu tanpa persetujuan dari kami. Dia juga tak pernah melepas hijabnya semenjak duduk di bangku SMP.
Ketika teman-teman asyik nongkrong di mall, dia malah asyik menata kata-kata, menjadi sebuah cerita. Ketika anak remaja lainnya tengah bersibuk ria memilih fasionnya, dia hanya berpakaian sederhana. Ya, itulah manusia. Ibaratnya, lain ladang, lain belalang. Lain orang, lain jalan pikirannya. Ah, Dewi! Mbak jadi bangga padamu. Semoga saja apa yang menjadi harapanmu, akan tergapai.
Tak lama kemudian, kupandangi bocah kecil yang sedang makan biskuit oleh-oleh dari Jakarta. Kepala bocah itu timbul tenggelam di ketiak ibunya. Sesekali, matanya mencuri pandang ke arahku. Mungkin karena lama tak melihatku, dia malu dan pangling.
"Sini, Mbak gendong mau gak?" rayuku. Bocah itu semakin menenggelamkan kepalanya, malu-malu. Ups! Tiba-tiba biskuitnya terjatuh dari tangan. Segera aku mengambilnya. Mukanya merah merona, saat tahu makanan itu berada di tanganku. Antara mau dan malu, dia terpaksa mendekat padaku. Si Ibu yang menyuruhnya, agar mengambil biskuit itu sendiri dari tanganku. Setelah bocah itu mendekat, segera kusahut tubuh mungilnya. Seperti ular dapat mangsa, segera kupeluk dan kuciumi pipinya hingga gemas.
Dia meronta, dan berusaha untuk menghindar, dengan meliuk-liuk badannya, lalu merengek-rengek meminta bantuan pada Bi Ras. Sayang, ibunya tak mau menolongnya, bahkan ditinggal berdua denganku, dengan alasan mau melihat dapurnya yang sedang merebus air.
“Dapat kerjaan baru, nih!” ucapku, sambil menggendong bocah itu ke kamar Nenek.
Setengah jam berlalu, Nenek berpamitan untuk pergi ke pasar. Beliau hendak membeli bumbu dapur. Segera aku masuk ke kamar, ambil tas dan mengeluarkan amplop berwarna putih."Nek, ini buat beli keperluan dan bumbu dapur yah," ucapku, sembari menyerahkan amplop itu ke tangannya."Walah, ndak usah cepat-cepat to, kapan-kapan saja. Kamu rehat saja sana,” ujar nenek. Beliau tahu, aku kecapean semalaman tak tidur di kereta."Gak papa Nek, ini sudah menjadi tanggung jawabku," pintaku sambil memaksakan amplop itu ke tangan nenek. Tak lama kemudian, setelah nenek menerima amplop lalu keluar. Kukembalikan Nur pada Bi Ras karena menangis, mencari induknya. Kini, aku di dalam rumah sendirian.
Rasanya, ada kebahagiaan tersendiri dapat kembali melihat kamarku. Rindu, tak sabar untuk segera merebahkan tubuhku di atas ranjang. Sambil berbaring, kuamati sekeliling ruangan.
Menatap foto itu, tiba-tiba saja, dadaku berdetak kencang. Buliran hangat menyapa kedua pelupuk mataku.
Bersambung ....
BAB 3NOSTALGIA MASA KECIL ( 2)Aku tak kuat menahan gelora rindu di dada, hingga tak lama kemudian lelehan sebening kristal mengucur deras di pipiku. Entah mengapa, kerinduan pada mereka muncul, menyeruak ke permukaan jiwaku. Ya, lama aku tak merasakan belaian lembut tangannya, mendengar nasehatnya, ataupun sekadar duduk-duduk sambil bersenda gurau bersama.“Ya Allah, andai saja mereka ada di sisiku saat ini, mungkin aku tak akan sedewasa saat ini. Kupasrahkan segalanya padaMu ya Rabb-ku. Engkaulah yang Maha Mengetahui apa yang tidak kami ketahui. Kuikhlaskan mereka berdua bersamaMu.” Perlahan kuseka air mata, kudekap foto itu erat-erat dalam dada, sambil perlahan berbaring di atas ranjang.*"Mbak! Dewi gak lagi mimpi 'kan? Kapan pulang? Kok gak kabar-kabar sih kalau mau pulang?" Suara Dewi, mengagetkan lelapku. Seketika aku terbelalak, lalu perlahan bangun. Kepalaku terasa sedikit berat. Namun terpaksa aku harus bangun karena belum sal
BAB 4Bunga RanduAdzan subuh berkumandang, menerobos alam mimpi, membangunkanku lewat celah-celah indera pendengaran yang begitu syahdu di telinga. Samar-samar terdengar gemericik air di sumur, dalam hati aku membatin, pasti Nenek sudah bangun.Perlahan kubuka ke dua mata. Terasa perih, namun pikiran mulai menata segala acara, jadi mataku tak bisa lagi terpejam. Kepala terasa berputar, dan aku belum berani turun dari ranjang.Krek....! Bunyi leherku, saat aku putar kanan dan kiri.“Alhamdulillah, mendingan lega. Sekarang perlahan kepalaku sembuh, dan badan terasa nyaman," batinku, langsung aku bangun dari tempat tidur, dengan sebuah pertanyaan dalam hati. Mengapa semalam aku bermimpi demikian? Melangkah ke sumur, kudapati nenek sudah selesai mengambil air wudhu."Pagi Nek, oya mau salat jamaah atau di rumah saja?""Aku mau jama’ah di musala, kaya biasanya, kamu mau ikut gak?" tanya nene
BAB 5 (revisi)Pantai Karang BolongPagi yang cerah, perlahan terang, bumi kembali disapa sang surya. Lembut cahayanya, selembut hati bidadari-bidadari surga, sungguh angin yang bertiup sepoi, mampu membuatku terlena. Burung-burung kecil yang berkicau riang, seolah tengah berkasidah ria, bertasbihkan lagu-lagu keagungan Sang Khaliq. Aku terpana menatap keindahan Pegunungan Kulon. Dalam hati aku bertasbih, mengikuti burung-burung itu."Wah, benar-benar cantik pegunungan itu dari kejauhan ya," puji Dewi, yang juga ikut melongo."Karang Bolong! Karang Bolong....!" suara seorang kernet mobil angkot mencoba menawari jasanya. Kami berdua menggelengkan kepala. Sebenarnya sudah dekat, tinggal 10 menit lagi perjalanan sampai, namun aku sengaja ingin menikmati indahnya suasana pagi, dengan berjalan kaki."Sebentar lagi musim tandur ya Dik, lihat.” Aku menunjuk sawah yang terhampar luas.Walau masih terlihat pendek pohon padinya, namun semua sama r
Bab 6Kecelakaan Merenggut ayahkuEmpat tanda hati dijadikan satu, mirip bunga sepatu yang tengah mekar. Cantik, masing-masing bunga itu, ada nama-nama yang membuat dia tersenyum, wajahnya yang kemerahan karena sinar mentari, membuatnya bertambah manis."Terima kasih Dik," Ucapku, kala terlihat namaku disalah satu tanda hati itu. Yang lainnya ada nama ayah, ibu, dan nenek."Kok gak ada kamu Dik," tanyaku."Mbak, bunga ini ada dalam hatiku," jawabnya, sambil tersenyum, namun aku tahu, dibalik senyum itu, dia juga merindukan ayah dan ibu.Aku menghela nafas, mataku terpejam sesaat. Sengaja kubiarkan anganku menerawang, menelusuri masa lalu, saat aku berada di atas delman, di pangkuan sang bunda, tujuh belas tahun yang silam. Hanya itu yang mampu aku ingat dalam memory ingatanku.Aku duduk di atas pangkuan ibu, sementara Dewi dipangku oleh ayah. Saat itu, usi
BAB 7ZIARAH KUBUR"Kenapa?" tanyaku heran."Soalnya nanti kalau lewat depan, kita gak sampai-sampai rumah. Tuh, di rumahnya Yu Binti banyak orang, nanti mereka nanya ini, itu, lalu kita berhenti lagi. Bisa-bisa ikanku bau deh, sampai rumah," jawabnya. Aku tertawa melihat kelucuan Dewi."Iya deh, Mbak nurut aja."Kami lewat belakang rumah, dan sampai dengan lebih cepat. Yah, begitulah hidup di desa, jika ada kabar sedikit saja, akan lebih cepat diterima masyarakat luas. Baik kabar baik, maupun kabar jelek."Assallamualaikum ..."Nenek segera menjawab salam kami."Masak apa Nek?" tanyaku, saat Nenek terlihat agak sibuk memindahkan panci-panci ke atas kompor, bergantian."Mbubur kacang ijo Cu, (Cu untuk sebutan putu, atau cucu)" jawab Nenek. Mendengar bubur kacang hijau, anganku langsung membayangkan kelezatannya."Nek, hari ini aku yang masak ya," sela Dewi. Nenek diam sesaat, mungkin heran.
Bab 8Cobaan BermulaSeminggu di Jawa, bagai sehari terasa. Waktu berlalu begitu cepat tanpa kuminta. Akhirnya, aku harus kembali ke Jakarta. Setelah sampai di Stasiun Jati Negara, aku dijemput oleh Pak Surya, Ayah Mbak Sally.Dia memberikan kunci rumah anaknya padaku. Terus terang, memasuki rumah ini, bagai membuka memory dalam ingatanku 3 tahun silam. Di mana aku untuk pertama kalinya, mengenal, serta memasuki rumah mewah ini. Waktu itu, sendirian aku datang ke Jakarta. Tujuannya, ingin berkunjung ke rumah teman, sambil mencari kerjaan jika ada. Aku yang tak terbiasa dengan kota metropolitan, akhirnya harus kesana-kemari, bingung karena melihat lautan manusia, dan bisingnya suara angkutan kota. Akhirnya, aku tersesat di jalan-jalan yang sempit serta berbau busuk.Banyaknya rumah-rumah kumuh dan sampah-sampah basah yang berserakan, menambah lagi satu beban dalam pikiranku, yaitu mual yang tak kunjung muntah. Kepala terasa berat,
bab 9Di ruangan yang serba cantik ini, kami berdua diam membisu. Dalam diam, aku bertanya dalam hati. Mengapa wanita ini duduk di kursi roda? Apakah dia sakit? Atau cacat? Mas Raihan ke dalam, ia memberesi berkas cuci mobilnya tadi. Tak lama kemudian, dia muncul dengan tiga cawan air teh panas."Silahkan diminum Dik," ucapnya ramah. Aku grogi. Lalu meminum air tersebut dengan tangan agak gemetaran. Entahlah, mungkin aku benar-benar merasa tak enak dengan kebaikan Mas Raihan."Maaf, hanya ada air, Dik. Maklum, lagi gak ada pembantu di rumah," selorohnya. Aku menelan ludah mendengar ucapan Mas Raihan."Oh ternyata punya pembantu to, pantesan rumahnya bersih sekali," batinku."Pembatunya kemana Mas?" tanyaku, memecah rasa grogi."Kemarin siang pamitan pulang. Katanya, mau ngurus anaknya di kampung. Dan sekarang belum ada ga
Bab 10.Cobaan bermula 3Setelah mengantar Bu Hardi, kami kembali ke teras halaman. Bu Surya melihat-lihat bunga di taman tersebut. Kata Bu Surya, setiap sebulan sekali, ada tukang kebun yang datang merawatnya, yaitu Pak Slamet. Mbak Sally selesai sarapan, lalu segera meminum obat. Ia berdua duduk di teras, sambil ngobrol, sementara aku memasak di dapur.Setelah selesai memasak, dan beres-beres kompor di dapur, kami sama-sama makan siang. Bu Surya memuji masakanku, namun berbeda dengan Mbak Sally. Dia acuh, mungkin karena masakannya berbeda dengan masakan kami. Ia tak diperbolehkan makan masakan yang berminyak, atau pedas. Beruntung pembantu yang sudah pulang ke rumah, meninggalkan banyak bumbu, sehingga memudahkanku untuk memasak. Sesudah makan siang, Bu Surya berpamitan pulang, dengan alasan, tak bisa berlama-lama ninggalin restorannya.Seperti biasa, jam 2 siang, Mbak Sally kembali minum obat. Setelah meminum obat, beliau meno
Bab 20MBAK SALLY PINGSAN!“Gak apa-apa, asinkan lebih baik daripada asam,” sela Mas Raihan. Mendengar ucapannya, aku jadi tak selera makan. Entahlah, aku sendiri tak tahu mengapa. Namun anehnya, mereka berdua tetap lahap.Dalam diam, aku amati Mbak Sally. Setelah ucapannya sore tadi, mengapa seolah tak terjadi apa-apa. Mereka tetap rukun dan harmonis. Aku jadi ragu dengan kejadian sore tadi. Apakah itu nyata, atau hanya mimpi belaka?“Keluarga yang harmonis dan rukun seperti saat ini, haruskah nantinya hadir orang ketiga? Tidak! Aku tidak mau menjadi benalu dalam keluarga ini. Aku tak Mauuuuuu….!!”“San, kamu kok ngelamun. Tolongin aku ambil tempe gorengya dong,” suara Mbak Sally membuyarkan lamunanku. Seketika, khayalanku kembali ke bumi. Dengan cepat, aku mengambilkan tempe untuk Mbak Sally. Namun sayang, pada saat yang tak terduga, tanganku tiba-tiba merasakan lemah ya
bab 19TERCENGAN (DIJODOHKAN)"Terkadang, aku merasa bersalah, bahkan berdosa padanya, San. Sebagai istrinya, aku tak mampu memberikan dia kebahagiaan, lahir dan batin. Sungguh, aku merasa berdosa pada dia San,” ucapnya, sedikit menunduk, pedih.Aku terdiam, bingung hendak berucap sesuatu. Walaupun aku tak memahami semua ucapannya, namun sedikitnya aku faham, kemana arah ucapannya. Ya, aku hanya mampu menggigit bibir. Mataku mulai menghangat, mendengar penuturannya“San, kamu tahu, jarang ada suami seperti suamiku,” aku mengangguk pelan, semua kudengarkan pujian demi pujian buat Mas Raihan. Memang tak kunafikan, dia adalah suami yang terbaik yang pernah kusaksikan. Kagum aku pada sabarannya. “Boleh aku tanya sesuatu, San?”“Silahkan Mbak. Selagi aku bisa jawab, insya Allah akan kujawab,” Mbak Sally menghela nafas. Ia menatap wajahku dalam-dalam. Aku sendiri, jadi serba bingun
bab 18MEMILIHKAN JODOH“Sebuah maghligai keluarga, memang tidak akan lengkap tanpa hadirnya si buah hati.” ucap Mbak Sally, sambil menerawang ke luar. Kami terdiam.“Budhe, Lifki mau liat dola emong.” Rayu Rifki, sambil menarik-narik tangan Mbak Sally.Tak lama kemudian kusetel TV chanel kesukaannya. Begitu melihat film dora emon, dia langsung senang. Diam di pangkuan Mbak Sally dengan tenangnya, hingga film selesai. Bahagia rasanya, melihat mereka berdua tertawa ceria. Rumah terasa hidup, jika terdengar suara celoteh, tawa dan canda dari anak-anak.“Rifki, filmnya udahan apa belum?” Tanya Shinta, ibunya. Bocah itu diam tak merespon. Pandangan matanya lekat menatap layar televisi. “Pulang yuk, nanti Nenek nyariin kita lho.” Kembali Shinta mencoba mengalihkan perhatian mata anaknya. Namun sayang, bocah itu tetap bergeming. Ia hanya terkekeh oleh ulah si gendut Jaya, dan  
Bab 17PENASARAN USIA INSANIWaktu maghrib menjelang, seperti biasa, kudorong kursi roda Mbak Sally ke kamarnya. Tak lama kemudian, kubantu dia berwudhu, lalu salat. Begitu pula denganku, setelah berwudhu, aku pun salat maghrib di kamarku. Selesai salat, dia akan membaca Al-Qur’an sebentar, dan aku menyiapkan makan malam.Tak lama kemudian, deru mobil memasuki halaman rumah. Mas Raihan pulang dari kantor. Terkadang dia salat berjama’ah di masjid dekat rumah, namun terkadang pula dia salat di rumah, di ruang kerjanya.Jam delapan tiga puluh menit kami semua makan malam bersama. Satu hal yang menjadi disiplin di rumah ini, yaitu selalu bekerjasama dalam bekerja. Mas Raihan suka sekali makan buah, maka tugas dia adalah membeli buah, mencuci, bahkan mengupas buah buat kami.Mbak Sally diam di meja makan sambil menanti buah yang tengah dicuci oleh suaminya. Tugasku mencuci piring, mengelap kompor, beserta alat-alat ma
BAB 16PERTOLONGAN UNTUK HANIFSeperti janji Tuhan, yang selalu adil dan bijaksana. Ia akan memberikan hidayah untuk sesiapa saja yang berusaha mencarinya. Bukan hanya menunggu, berpangku tangan, tanpa berusaha. Ya, seperti dalam proses Mbak Sally dalam menemukan hidayah, pastinya bukan jalan yang mulus dan mudah. Namun, sebuah perjalanan yang panjang, terjal, serta berlika-liku. Dan kini beliau merasa tenang, bahkan bahagia dengan kehidupannya saat ini. Hidup yang sederhana, yang selalu berbagi dengan sesama, dan kehidupan karena Allah, Zat yang patut disembah*****Pernah di suatu senja, setelah kami selesai mengaji, dia bercerita pada kami tentang impian-impiannya. Bu Siti dengan lembut, mengelus punggungnya. Dengan doa, dia menjawab, “Ya Rabbku, yang Maha Mendengarkan Doa setiap Hambanya, semoga Engkau kabulkan harapan serta doa saudariku ini. Kami inginkan ridha_Mu ya Allah. Maka kabulkanlah harapan kami be
BAB 15Mendatangi anak yatimInilah pertama kali aku mendengar Mbak Sally memotivasi dan menasehati orang lain, agar ikhlas dan menerima keadaan hidup. Aku merasa, dia benar-benar telah berubah. Kini dia lebih mensyukuri nikmat, dan tabah dengan cobaan hidupnya. "Dengan mendekatkan diri pada Sang Khaliq, hidup terasa damai." Ucapnya padaku kala itu.*****Kedua pihak keluarganya pun semakin senang, apalagi dengan perubahannya. Kini, mereka mengikuti jejak Mbak Sally, meluangkan waktu mengunjungi tempat-tempat yang membuat damai, serta hati tenang. Dengan membawa baju, peralatan sekolah, atau buah tangan berupa jajan, mereka berbagi dengan para kaum dhuafa dan anak yatim.“Mama, aku benar-benar bahagia, lihatlah semua anak-anak ini,” ucap Mbak Sally kepada Bu Hardi sambil membagikan jajan pada anak-anak.“Betul Nak, hidup memang harus saling berbagi, lihat
Bab 14.Bangun dari terpuruk"Suami sangat tertekan dengan kenyataan ini. Dan semenjak kejadian itu, aku selalu merasa bersalah padanya. Entahlah! Mungkin inilah balasan bagiku, orang yang tak bisa mensyukuri nikmat Tuhan, bahkan menyekutukannya."ceritanya.Kini aku tak mampu menahan genangan air mataku. Mengalir deras, bagai air bah. Kupeluk tubuhnya yang kurus itu erat-erat. Rasa iba, dan trenyuh, tiba-tiba memenuhi relung jiwaku."Maka dari itu, aku selalu menganggap, bahwa Tuhan itu tidak adil padaku. Tuhan hanya memberikan beban, cobaan, dan kesengsaraan untuk hidupku. Bahkan setelah kejadian itu, aku benci padanya. Benci dengan semua orang, dan benci dengan yang namanya kehidupan." Mbak Sally mulai terisak."Hingga detik ini, aku belum mampu menerima kenyataan, bahwa musibah itu karena kesalahanku sendiri. Apa yang kita tanam, itu yang akan diunduh bukan?" Me
Bab 13Kecelakaan merenggut janinku"Gak tahu, Mbak," jawabku, pura-pura tak tahu. **"Sebab dulu aku merasa, bahwa Tuhan itu tak adil pada hidupku. Tuhan jahat, dan tak memihakku. Kebahagiaanku, seolah diobrak-abrik oleh malapetakanya," Jawab Mbak Sally. Seketika ia menunduk."Dulu, pernikahan kami berusia lima tahun. Rasa sepi menyapa, kala di rumah yang sebesar ini, tak ada celoteh seorang bocah. Namun sampai detik itu, aku belum ada tanda-tanda untuk memiliki momongan. Sebagai seorang istri, aku merasa ada yang tidak beres dalam diriku. Akhirnya, setelah aku mencari informasi tentang dokter kandungan ke sana kemari, seorang sahabat menyarankan aku untuk pergi ke dokter special langganannya." Cerita Mbak Sally."Katanya, dulu pernikahan sahabatku ini, hingga 10 tahun, belum juga dikaruniakan momongan. Akhirnya, setelah mereka pergi ke dokter ini, tak la
Bab 12Senyuman pertamaKeesokkan paginya, seperti biasa. Bangun awal, shalat subuh dan mengerjakan rutinitas harian. Jam 10 pagi, kuketuk kamarnya, lalu membangunkan dia. Seperti biasa pula, beliau pasti akan menatap malas jarum jam di atas daun pintu kamarnya.Tak lama kemudian aku menolongnya mengangkat ia ke kursi roda dan mendorongnya ke kamar mandi. Hingga setengah jam kira-kira, kami baru selesai. Setelah beres di kamar mandi, kami menuju ruang tamu. Sarapan.Ketika dia sarapan, aku mengemas kamarnya. Terlihat bungkusan pemberianku tergeletak di lantai, tiba-tiba hatiku berdebar. Ada rasa nelangsa yang menyelinap ke dalam qolbuku. Dalam hati aku tertanya. Mungkin dia tak suka, maklum, hadiah-hadiah semalam itu berupa mas dan sutera.Namun bungkusan dariku, hanya sebuah buku tebal, yang pastinya malas untuk dibaca. Kembali kuraih, dan kudekap bungkusan erat-erat di