Bab 6
Kecelakaan Merenggut ayahku
Empat tanda hati dijadikan satu, mirip bunga sepatu yang tengah mekar. Cantik, masing-masing bunga itu, ada nama-nama yang membuat dia tersenyum, wajahnya yang kemerahan karena sinar mentari, membuatnya bertambah manis.
"Terima kasih Dik," Ucapku, kala terlihat namaku disalah satu tanda hati itu. Yang lainnya ada nama ayah, ibu, dan nenek.
"Kok gak ada kamu Dik," tanyaku.
"Mbak, bunga ini ada dalam hatiku," jawabnya, sambil tersenyum, namun aku tahu, dibalik senyum itu, dia juga merindukan ayah dan ibu.Aku menghela nafas, mataku terpejam sesaat. Sengaja kubiarkan anganku menerawang, menelusuri masa lalu, saat aku berada di atas delman, di pangkuan sang bunda, tujuh belas tahun yang silam. Hanya itu yang mampu aku ingat dalam memory ingatanku.
Aku duduk di atas pangkuan ibu, sementara Dewi dipangku oleh ayah. Saat itu, usia Dewi belum genap satu tahun. Kami akan mengantar ayah ke Stasiun Gombong, untuk bekerja di Kota Kembang, Bandung. Ayahku adalah seorang pegawai pabrik sepatu di Cibaduyut waktu itu. Di atas delman, kami masih bercengkerama, aku ingat ayah waktu itu dipipisin oleh Dewi, sehingga celana panjangnya basah.
Ayah dan ibu tertawa, namun Dewi justru menangis. Mungkin dia merasa tak nyaman dengan keadaannya yang basah, atau takut karena telah membuat basah celana orang tua. Aku tak tahu, mengapa bocah itu menangis.
"Walah-walah Nduk, bapak disangoni sayur bayam yah." (Duh, anakku, ayah dikasih sayur bening, yah) gurau ayah, sambil membuka celana Dewi, untuk diganti dengan celana yang kering.
Aku melihat ayah begitu sayang pada kami. Beliau tidak marah pada Dewi yang sudah membuat bau pesing dan basah celana panjangnya, malah ayah tertawa riang.
Itulah moment terakhir kami. Di delman, di gedung stasiun Gombong, dan saat ayahku menaiki gerbong kereta, kami melambai-lambaikan tangan tanda perpisahan. Dan tanpa kami ketahui, saat itulah, lambaian tangan perpisahan untuk selamanya dari kami, untuk ayahku tercinta. Karena empat jam setelah itu, saat kami semua telah kembali ke rumah, saat kami tengah tertawa, bercanda, berkumpul bersama orang-orang dan tetangga, saat kami melihat Dewi belajar berjalan, seorang tetangga kami membawa kabar, bahwa telah terjadi kecelakaan kereta api jurusan Bandung.
Melalui radio, ibu mendengarkan siaran langsung tersebut. Beliau menjerit saat seorang penyiar radio menyebut nama-nama korban yang meninggal dunia. Dan nama ayahku, adalah salah satunya. Beliau tak sadarkan diri sampai lama. Tetangga ribut, nenek kalut, aku risau di sebelah tubuh ibu yang tergeletak lemah tak berdaya.
"Mbak, kita pulang sekarang?" seketika aku terperanjat, suara Dewi membuyarkan lamunanku. Kucoba menyeka airmata yang menitik di pipi. Dia menatapku aneh, mungkin heran, melihatku menangis. Di pundaknya, aku terisak pelan. Dia menepuk-nepuk bahuku, saling menguatkan.
Tak lama kemudian, kami berjalan menyusuri air laut, dan membiarkan air asin itu menjilat-njilat kaki telanjang kami, sambil bergandengan, namun saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sinar mentarinya begitu hangat, sehangat kasih kasih sayang kami berdua. Walau orangtua kami telah tiada, namun Allah Maha Adil, Ia menjaga nenekku, demi berlangsungnya kehidupan kami. Maka kami sangat bersyukur padaNya. Kami akan berusaha untuk menjaga nenek, seperti dahulu sewaktu kami masih kecil-kecil.
"Jangan lupa, nanti beli bunga ya, Mbak," ucap Dewi mengingatkan.
"Iya Dik. Kita pulang sekarang?" tanyaku."Iya Mbak."Kedua pasangan itu, mereka masih di sana, bahkan berdatangan yang lainnya, bersama-sama pasangannya juga. Padahal banyak di antara mereka yang masih kecil. Namun mengapa pula mereka sudah berani berpegangan tangan. Astaghfirullah.!
Batu-batu besar itu, seolah melambai-lambai mengucap perpisahan pada kami. Kembali kupakai sandal, karena pasir mulai panas. Dan dari warung makan, aku mendengar suara orang bersuit-suit pada kami berdua.
"In, apa kabar?" seorang lelaki, menyapaku. Seketika aku menoleh.
"Baik, Mas. Terima kasih." jawabku.
Kamu lupa sama aku yah kembali lelaki itu berkata. Lalu dia keluar dari warung itu, dan berjalan kearah kami. Akhirnya, terpaksa kami berbincang sesaat. Setelah itu kami beranjak pulang dengan menaiki mobil berwarna kuning, jurusan Petanahan. Di dalam mobil belum ada satu orangpun penumpang, kami memilih duduk di depan.Tak lama kemudian, datang para penumpang yang lainnya, sehingga mobilpun penuh. Perlahan, sopir mengendarai mobil angkut tersebut. Untuk yang terakhir kalinya aku menatap pegunungan yang hujau itu. Dalam hati aku berkata, terima kasih ya Allah, hari ini aku telah menatap indahnya laut serta pegunungan-Mu.
"Petanahan...! Petanahan....!”
Suara cemeng sang kernet, memanggil-manggil penumpang yang menanti di pinggir jalan. Tak lama kemudian, aku mengeluarkan uang dari dompet. Kami akan berhenti di pasar pagi, sebentar lagi."Kiri...!" seruku, pada sang sopir. Tepat di depan pasar pagi, kami berdua menuruni mobil angkot tersebut. Kusodorkan ongkos kami berdua pada sang kernet, lalu kami melangkah menuju ke dalam pasar.
Langkah kaki langsung tertuju pada seorang wanita penjual kembang yang masih tetangga dekat kami.
"Mak, mau beli kembang buat ziarah kubur." ucapku pada wanita itu. Aku telah terbiasa memanggilnya dengan sebutan Mak, itu karena rumah kami sangat dekat. Kami bertetangga dengan beliau. Wanita separo baya itu dengan cepat membungkuskan kembang yang aku maksud. Dewi mengekor di belakangku
"Kapan kamu pulang In" tanya Mak padaku.
"Kemarin pagi Mak" jawabku. Kami sempat berbincang sesaat, lalu setelah semua kembang siap, lekas-lekas aku membayarnya."Onde-ondene Cah Ayu. Mampir sini, dulu nenekmu suka beli apem sama aku," ucap Mbok Tar, penjual jajanan pasar.
"Bagaimana kabar nenek Cah Ayu,....eh kamu baru pulang to, pantesan gak pernah ngliat kamu. Wah udah tambah cantik saja cucune Mbah Sum yah Yu Kar." Kini Mbok Tar berbicara dengan Mbok Sanem, penjual tempe di sebelahnya. Aku masih diam menatapnya sambil tersenyum. Kemudian menjawab semua satu-persatu pertanyaan yang terlontar padaku.
"Mbak, ada bawa uang lebih gak?" tanya Dewi malu-malu. Aku tersenyum menatapnya sambil merogoh dompet di saku celana panjang.
"Ada, kamu mau beli apa?" jawabku, sambil menyerahkan uang selembaran 100 ribuan.
"Aku mau masak yang special buat Mbak" jawabnya. Dia menuju ke utara, yaitu di tempat-tempat membeli daging, ayam atau juga ikan. Kembali aku menatap onde-onde di depanku."Onde-ondenya lima ribu Mbok, yang lainnya campur-campur lima ribu juga yah," kataku pada Mbok Tar. Tak lama kemudian aku berjalan menghampiri Dewi yang tengah memilih-milih ikan. Dia tampak senang, sambil memilih, dia menawar-nawar harganya dengan ramah. Aku menggeleng mendengar dia lincah menawar, merayu pedagang tepatnya.
Sayur, ayam, jajan, ikan, dan kembang, semua sudah di tangan, kami pun bergegas pulang. Kembali kami menyetop mobil angkot berwarna kuning. Di dalam mobil dia bersemangat menceritakan tentang masakan yang akan di masaknya jika tiba di rumah nanti.
"Iya deh. Yang penting jangan keasinan aja. Masakan apa saja Mbak suka kok, apa lagi yang mau masak, kan Dinda tercinta." Jawabku, sambil mencubit hidungnya yang agak mancung dariku. Dia mengaduh, namun tampak dia merona, mungkin dia benar-benar bahagia. Karena kami jarang bertemu, terakhir kami bertemu enam bulan yang lalu, sewaktu Mbak Sally menyuruh mereka datang ke Jakarta.
Kiri....!
Pekik Dewi pada sang kernet, kami turun dan segera membayar ongkosnya."Wah, Dik Iin, kapan pulang?" tanya salah satu tetangga kami. Kebetulan dia sedang mencari daun melinjo muda di pekarangan, untuk disayur."Semalam Yu, apa kabar keluarga?" kami bersalaman, saling bertanya kabar. Dia seorang petani, yang nyambil membuat gula jawa. Suaminya sangat rajin mengambil air nira. Tak lama kemudian, kami kembali berjalan, kali ini tinggal melewati empat rumah untuk sampai ke rumahku
"Mbak, kita jalan melalui belakang rumah saja yah"
Kenapa?" tanyaku heran.Penasaran kan? Lanjutkan membaca ya
BAB 7ZIARAH KUBUR"Kenapa?" tanyaku heran."Soalnya nanti kalau lewat depan, kita gak sampai-sampai rumah. Tuh, di rumahnya Yu Binti banyak orang, nanti mereka nanya ini, itu, lalu kita berhenti lagi. Bisa-bisa ikanku bau deh, sampai rumah," jawabnya. Aku tertawa melihat kelucuan Dewi."Iya deh, Mbak nurut aja."Kami lewat belakang rumah, dan sampai dengan lebih cepat. Yah, begitulah hidup di desa, jika ada kabar sedikit saja, akan lebih cepat diterima masyarakat luas. Baik kabar baik, maupun kabar jelek."Assallamualaikum ..."Nenek segera menjawab salam kami."Masak apa Nek?" tanyaku, saat Nenek terlihat agak sibuk memindahkan panci-panci ke atas kompor, bergantian."Mbubur kacang ijo Cu, (Cu untuk sebutan putu, atau cucu)" jawab Nenek. Mendengar bubur kacang hijau, anganku langsung membayangkan kelezatannya."Nek, hari ini aku yang masak ya," sela Dewi. Nenek diam sesaat, mungkin heran.
Bab 8Cobaan BermulaSeminggu di Jawa, bagai sehari terasa. Waktu berlalu begitu cepat tanpa kuminta. Akhirnya, aku harus kembali ke Jakarta. Setelah sampai di Stasiun Jati Negara, aku dijemput oleh Pak Surya, Ayah Mbak Sally.Dia memberikan kunci rumah anaknya padaku. Terus terang, memasuki rumah ini, bagai membuka memory dalam ingatanku 3 tahun silam. Di mana aku untuk pertama kalinya, mengenal, serta memasuki rumah mewah ini. Waktu itu, sendirian aku datang ke Jakarta. Tujuannya, ingin berkunjung ke rumah teman, sambil mencari kerjaan jika ada. Aku yang tak terbiasa dengan kota metropolitan, akhirnya harus kesana-kemari, bingung karena melihat lautan manusia, dan bisingnya suara angkutan kota. Akhirnya, aku tersesat di jalan-jalan yang sempit serta berbau busuk.Banyaknya rumah-rumah kumuh dan sampah-sampah basah yang berserakan, menambah lagi satu beban dalam pikiranku, yaitu mual yang tak kunjung muntah. Kepala terasa berat,
bab 9Di ruangan yang serba cantik ini, kami berdua diam membisu. Dalam diam, aku bertanya dalam hati. Mengapa wanita ini duduk di kursi roda? Apakah dia sakit? Atau cacat? Mas Raihan ke dalam, ia memberesi berkas cuci mobilnya tadi. Tak lama kemudian, dia muncul dengan tiga cawan air teh panas."Silahkan diminum Dik," ucapnya ramah. Aku grogi. Lalu meminum air tersebut dengan tangan agak gemetaran. Entahlah, mungkin aku benar-benar merasa tak enak dengan kebaikan Mas Raihan."Maaf, hanya ada air, Dik. Maklum, lagi gak ada pembantu di rumah," selorohnya. Aku menelan ludah mendengar ucapan Mas Raihan."Oh ternyata punya pembantu to, pantesan rumahnya bersih sekali," batinku."Pembatunya kemana Mas?" tanyaku, memecah rasa grogi."Kemarin siang pamitan pulang. Katanya, mau ngurus anaknya di kampung. Dan sekarang belum ada ga
Bab 10.Cobaan bermula 3Setelah mengantar Bu Hardi, kami kembali ke teras halaman. Bu Surya melihat-lihat bunga di taman tersebut. Kata Bu Surya, setiap sebulan sekali, ada tukang kebun yang datang merawatnya, yaitu Pak Slamet. Mbak Sally selesai sarapan, lalu segera meminum obat. Ia berdua duduk di teras, sambil ngobrol, sementara aku memasak di dapur.Setelah selesai memasak, dan beres-beres kompor di dapur, kami sama-sama makan siang. Bu Surya memuji masakanku, namun berbeda dengan Mbak Sally. Dia acuh, mungkin karena masakannya berbeda dengan masakan kami. Ia tak diperbolehkan makan masakan yang berminyak, atau pedas. Beruntung pembantu yang sudah pulang ke rumah, meninggalkan banyak bumbu, sehingga memudahkanku untuk memasak. Sesudah makan siang, Bu Surya berpamitan pulang, dengan alasan, tak bisa berlama-lama ninggalin restorannya.Seperti biasa, jam 2 siang, Mbak Sally kembali minum obat. Setelah meminum obat, beliau meno
Bab 11Senyuman PertamaDi suatu petang, Mas Raihan menelpon ke rumah. Ia memberitahukan padaku, kalau malam nanti, aku tak diizinkan untuk memasak. Ia ingin memberikan kejutan pada istri tercintanya. Aku menurut. Jam 7 malam, Mbak Sally bertanya tentang makan malam, mungkin dia lapar. Akhirnya aku menjawab, bahwa malam ini aku tak memasak. Ia kembali murka, dan menuduhku pemalas.Mungkin karena begitu kesalnya padaku, ia melempar piring buah di atas meja. Bagaimanapun juga, pesan suaminya agar aku tidak membocorkan rencananya, tetap terkunci rapat dalam rahasiaku. Sambil menyapu teras yang penuh dengan pecahan beling, aku hanya mampu beristighfar dalam hati.Tak lama kemudian, seluruh keluarganya datang beserta suami dan keluarga Mas Raihan. Mbak Sally meminta maaf di depan semua, karena memarahiku. Terlihat dua keluarga tersebut sangat dekat. Mereka saling bersapa rama
Bab 12Senyuman pertamaKeesokkan paginya, seperti biasa. Bangun awal, shalat subuh dan mengerjakan rutinitas harian. Jam 10 pagi, kuketuk kamarnya, lalu membangunkan dia. Seperti biasa pula, beliau pasti akan menatap malas jarum jam di atas daun pintu kamarnya.Tak lama kemudian aku menolongnya mengangkat ia ke kursi roda dan mendorongnya ke kamar mandi. Hingga setengah jam kira-kira, kami baru selesai. Setelah beres di kamar mandi, kami menuju ruang tamu. Sarapan.Ketika dia sarapan, aku mengemas kamarnya. Terlihat bungkusan pemberianku tergeletak di lantai, tiba-tiba hatiku berdebar. Ada rasa nelangsa yang menyelinap ke dalam qolbuku. Dalam hati aku tertanya. Mungkin dia tak suka, maklum, hadiah-hadiah semalam itu berupa mas dan sutera.Namun bungkusan dariku, hanya sebuah buku tebal, yang pastinya malas untuk dibaca. Kembali kuraih, dan kudekap bungkusan erat-erat di
Bab 13Kecelakaan merenggut janinku"Gak tahu, Mbak," jawabku, pura-pura tak tahu. **"Sebab dulu aku merasa, bahwa Tuhan itu tak adil pada hidupku. Tuhan jahat, dan tak memihakku. Kebahagiaanku, seolah diobrak-abrik oleh malapetakanya," Jawab Mbak Sally. Seketika ia menunduk."Dulu, pernikahan kami berusia lima tahun. Rasa sepi menyapa, kala di rumah yang sebesar ini, tak ada celoteh seorang bocah. Namun sampai detik itu, aku belum ada tanda-tanda untuk memiliki momongan. Sebagai seorang istri, aku merasa ada yang tidak beres dalam diriku. Akhirnya, setelah aku mencari informasi tentang dokter kandungan ke sana kemari, seorang sahabat menyarankan aku untuk pergi ke dokter special langganannya." Cerita Mbak Sally."Katanya, dulu pernikahan sahabatku ini, hingga 10 tahun, belum juga dikaruniakan momongan. Akhirnya, setelah mereka pergi ke dokter ini, tak la
Bab 14.Bangun dari terpuruk"Suami sangat tertekan dengan kenyataan ini. Dan semenjak kejadian itu, aku selalu merasa bersalah padanya. Entahlah! Mungkin inilah balasan bagiku, orang yang tak bisa mensyukuri nikmat Tuhan, bahkan menyekutukannya."ceritanya.Kini aku tak mampu menahan genangan air mataku. Mengalir deras, bagai air bah. Kupeluk tubuhnya yang kurus itu erat-erat. Rasa iba, dan trenyuh, tiba-tiba memenuhi relung jiwaku."Maka dari itu, aku selalu menganggap, bahwa Tuhan itu tidak adil padaku. Tuhan hanya memberikan beban, cobaan, dan kesengsaraan untuk hidupku. Bahkan setelah kejadian itu, aku benci padanya. Benci dengan semua orang, dan benci dengan yang namanya kehidupan." Mbak Sally mulai terisak."Hingga detik ini, aku belum mampu menerima kenyataan, bahwa musibah itu karena kesalahanku sendiri. Apa yang kita tanam, itu yang akan diunduh bukan?" Me
Bab 20MBAK SALLY PINGSAN!“Gak apa-apa, asinkan lebih baik daripada asam,” sela Mas Raihan. Mendengar ucapannya, aku jadi tak selera makan. Entahlah, aku sendiri tak tahu mengapa. Namun anehnya, mereka berdua tetap lahap.Dalam diam, aku amati Mbak Sally. Setelah ucapannya sore tadi, mengapa seolah tak terjadi apa-apa. Mereka tetap rukun dan harmonis. Aku jadi ragu dengan kejadian sore tadi. Apakah itu nyata, atau hanya mimpi belaka?“Keluarga yang harmonis dan rukun seperti saat ini, haruskah nantinya hadir orang ketiga? Tidak! Aku tidak mau menjadi benalu dalam keluarga ini. Aku tak Mauuuuuu….!!”“San, kamu kok ngelamun. Tolongin aku ambil tempe gorengya dong,” suara Mbak Sally membuyarkan lamunanku. Seketika, khayalanku kembali ke bumi. Dengan cepat, aku mengambilkan tempe untuk Mbak Sally. Namun sayang, pada saat yang tak terduga, tanganku tiba-tiba merasakan lemah ya
bab 19TERCENGAN (DIJODOHKAN)"Terkadang, aku merasa bersalah, bahkan berdosa padanya, San. Sebagai istrinya, aku tak mampu memberikan dia kebahagiaan, lahir dan batin. Sungguh, aku merasa berdosa pada dia San,” ucapnya, sedikit menunduk, pedih.Aku terdiam, bingung hendak berucap sesuatu. Walaupun aku tak memahami semua ucapannya, namun sedikitnya aku faham, kemana arah ucapannya. Ya, aku hanya mampu menggigit bibir. Mataku mulai menghangat, mendengar penuturannya“San, kamu tahu, jarang ada suami seperti suamiku,” aku mengangguk pelan, semua kudengarkan pujian demi pujian buat Mas Raihan. Memang tak kunafikan, dia adalah suami yang terbaik yang pernah kusaksikan. Kagum aku pada sabarannya. “Boleh aku tanya sesuatu, San?”“Silahkan Mbak. Selagi aku bisa jawab, insya Allah akan kujawab,” Mbak Sally menghela nafas. Ia menatap wajahku dalam-dalam. Aku sendiri, jadi serba bingun
bab 18MEMILIHKAN JODOH“Sebuah maghligai keluarga, memang tidak akan lengkap tanpa hadirnya si buah hati.” ucap Mbak Sally, sambil menerawang ke luar. Kami terdiam.“Budhe, Lifki mau liat dola emong.” Rayu Rifki, sambil menarik-narik tangan Mbak Sally.Tak lama kemudian kusetel TV chanel kesukaannya. Begitu melihat film dora emon, dia langsung senang. Diam di pangkuan Mbak Sally dengan tenangnya, hingga film selesai. Bahagia rasanya, melihat mereka berdua tertawa ceria. Rumah terasa hidup, jika terdengar suara celoteh, tawa dan canda dari anak-anak.“Rifki, filmnya udahan apa belum?” Tanya Shinta, ibunya. Bocah itu diam tak merespon. Pandangan matanya lekat menatap layar televisi. “Pulang yuk, nanti Nenek nyariin kita lho.” Kembali Shinta mencoba mengalihkan perhatian mata anaknya. Namun sayang, bocah itu tetap bergeming. Ia hanya terkekeh oleh ulah si gendut Jaya, dan  
Bab 17PENASARAN USIA INSANIWaktu maghrib menjelang, seperti biasa, kudorong kursi roda Mbak Sally ke kamarnya. Tak lama kemudian, kubantu dia berwudhu, lalu salat. Begitu pula denganku, setelah berwudhu, aku pun salat maghrib di kamarku. Selesai salat, dia akan membaca Al-Qur’an sebentar, dan aku menyiapkan makan malam.Tak lama kemudian, deru mobil memasuki halaman rumah. Mas Raihan pulang dari kantor. Terkadang dia salat berjama’ah di masjid dekat rumah, namun terkadang pula dia salat di rumah, di ruang kerjanya.Jam delapan tiga puluh menit kami semua makan malam bersama. Satu hal yang menjadi disiplin di rumah ini, yaitu selalu bekerjasama dalam bekerja. Mas Raihan suka sekali makan buah, maka tugas dia adalah membeli buah, mencuci, bahkan mengupas buah buat kami.Mbak Sally diam di meja makan sambil menanti buah yang tengah dicuci oleh suaminya. Tugasku mencuci piring, mengelap kompor, beserta alat-alat ma
BAB 16PERTOLONGAN UNTUK HANIFSeperti janji Tuhan, yang selalu adil dan bijaksana. Ia akan memberikan hidayah untuk sesiapa saja yang berusaha mencarinya. Bukan hanya menunggu, berpangku tangan, tanpa berusaha. Ya, seperti dalam proses Mbak Sally dalam menemukan hidayah, pastinya bukan jalan yang mulus dan mudah. Namun, sebuah perjalanan yang panjang, terjal, serta berlika-liku. Dan kini beliau merasa tenang, bahkan bahagia dengan kehidupannya saat ini. Hidup yang sederhana, yang selalu berbagi dengan sesama, dan kehidupan karena Allah, Zat yang patut disembah*****Pernah di suatu senja, setelah kami selesai mengaji, dia bercerita pada kami tentang impian-impiannya. Bu Siti dengan lembut, mengelus punggungnya. Dengan doa, dia menjawab, “Ya Rabbku, yang Maha Mendengarkan Doa setiap Hambanya, semoga Engkau kabulkan harapan serta doa saudariku ini. Kami inginkan ridha_Mu ya Allah. Maka kabulkanlah harapan kami be
BAB 15Mendatangi anak yatimInilah pertama kali aku mendengar Mbak Sally memotivasi dan menasehati orang lain, agar ikhlas dan menerima keadaan hidup. Aku merasa, dia benar-benar telah berubah. Kini dia lebih mensyukuri nikmat, dan tabah dengan cobaan hidupnya. "Dengan mendekatkan diri pada Sang Khaliq, hidup terasa damai." Ucapnya padaku kala itu.*****Kedua pihak keluarganya pun semakin senang, apalagi dengan perubahannya. Kini, mereka mengikuti jejak Mbak Sally, meluangkan waktu mengunjungi tempat-tempat yang membuat damai, serta hati tenang. Dengan membawa baju, peralatan sekolah, atau buah tangan berupa jajan, mereka berbagi dengan para kaum dhuafa dan anak yatim.“Mama, aku benar-benar bahagia, lihatlah semua anak-anak ini,” ucap Mbak Sally kepada Bu Hardi sambil membagikan jajan pada anak-anak.“Betul Nak, hidup memang harus saling berbagi, lihat
Bab 14.Bangun dari terpuruk"Suami sangat tertekan dengan kenyataan ini. Dan semenjak kejadian itu, aku selalu merasa bersalah padanya. Entahlah! Mungkin inilah balasan bagiku, orang yang tak bisa mensyukuri nikmat Tuhan, bahkan menyekutukannya."ceritanya.Kini aku tak mampu menahan genangan air mataku. Mengalir deras, bagai air bah. Kupeluk tubuhnya yang kurus itu erat-erat. Rasa iba, dan trenyuh, tiba-tiba memenuhi relung jiwaku."Maka dari itu, aku selalu menganggap, bahwa Tuhan itu tidak adil padaku. Tuhan hanya memberikan beban, cobaan, dan kesengsaraan untuk hidupku. Bahkan setelah kejadian itu, aku benci padanya. Benci dengan semua orang, dan benci dengan yang namanya kehidupan." Mbak Sally mulai terisak."Hingga detik ini, aku belum mampu menerima kenyataan, bahwa musibah itu karena kesalahanku sendiri. Apa yang kita tanam, itu yang akan diunduh bukan?" Me
Bab 13Kecelakaan merenggut janinku"Gak tahu, Mbak," jawabku, pura-pura tak tahu. **"Sebab dulu aku merasa, bahwa Tuhan itu tak adil pada hidupku. Tuhan jahat, dan tak memihakku. Kebahagiaanku, seolah diobrak-abrik oleh malapetakanya," Jawab Mbak Sally. Seketika ia menunduk."Dulu, pernikahan kami berusia lima tahun. Rasa sepi menyapa, kala di rumah yang sebesar ini, tak ada celoteh seorang bocah. Namun sampai detik itu, aku belum ada tanda-tanda untuk memiliki momongan. Sebagai seorang istri, aku merasa ada yang tidak beres dalam diriku. Akhirnya, setelah aku mencari informasi tentang dokter kandungan ke sana kemari, seorang sahabat menyarankan aku untuk pergi ke dokter special langganannya." Cerita Mbak Sally."Katanya, dulu pernikahan sahabatku ini, hingga 10 tahun, belum juga dikaruniakan momongan. Akhirnya, setelah mereka pergi ke dokter ini, tak la
Bab 12Senyuman pertamaKeesokkan paginya, seperti biasa. Bangun awal, shalat subuh dan mengerjakan rutinitas harian. Jam 10 pagi, kuketuk kamarnya, lalu membangunkan dia. Seperti biasa pula, beliau pasti akan menatap malas jarum jam di atas daun pintu kamarnya.Tak lama kemudian aku menolongnya mengangkat ia ke kursi roda dan mendorongnya ke kamar mandi. Hingga setengah jam kira-kira, kami baru selesai. Setelah beres di kamar mandi, kami menuju ruang tamu. Sarapan.Ketika dia sarapan, aku mengemas kamarnya. Terlihat bungkusan pemberianku tergeletak di lantai, tiba-tiba hatiku berdebar. Ada rasa nelangsa yang menyelinap ke dalam qolbuku. Dalam hati aku tertanya. Mungkin dia tak suka, maklum, hadiah-hadiah semalam itu berupa mas dan sutera.Namun bungkusan dariku, hanya sebuah buku tebal, yang pastinya malas untuk dibaca. Kembali kuraih, dan kudekap bungkusan erat-erat di