Share

Karang bolong

Aвтор: Bayu Insani
last update Последнее обновление: 2021-10-11 09:22:28

BAB 5 (revisi)

Pantai Karang Bolong

Pagi yang cerah, perlahan terang, bumi kembali disapa sang surya. Lembut cahayanya, selembut hati bidadari-bidadari surga, sungguh angin yang bertiup sepoi, mampu membuatku terlena. Burung-burung kecil yang berkicau riang, seolah tengah berkasidah ria, bertasbihkan lagu-lagu keagungan Sang Khaliq. Aku terpana menatap keindahan Pegunungan Kulon. Dalam hati aku bertasbih, mengikuti burung-burung itu.

"Wah, benar-benar cantik pegunungan itu dari kejauhan ya," puji Dewi, yang juga ikut melongo.

"Karang Bolong! Karang Bolong....!" suara seorang kernet mobil angkot mencoba menawari jasanya. Kami berdua menggelengkan kepala. Sebenarnya sudah dekat, tinggal 10 menit lagi perjalanan sampai, namun aku sengaja ingin menikmati indahnya suasana pagi, dengan berjalan kaki.

"Sebentar lagi musim tandur ya Dik, lihat.” Aku menunjuk sawah yang terhampar luas.

Walau masih terlihat pendek pohon padinya, namun semua sama rata terlihat hijau. Dewi mengangguk. 

Tepat dihadapan kami adalah pesawahan Desa Jladri. Dan di samping kami, adalah daerah pekuburan untuk warga setempat. Kami terus melangkah, menuju suara deburan ombak, membayangkan biru air laut, putih buih yang dingin di kaki.

Tak lama kemudian, kembali aku terpana. Pasir yang kuinjak, adalah halaman pantai yang membentang luas. Ternyata aku telah sampai di dekat pantai. Seketika aku bersujud syukur, dan mencium pasir yang basah.

"Mbak lagi ngapain sih?" tanyanya, heran. "Ih, kayak gak pernah lihat laut saja." Kembali dia bersuara. Aku masih terdiam, sambil menggenggam pasir basah di tangan, tatapanku jauh menerawang menelusuri kejauhan batas laut selatan, sejauh mata memandang

"Mbak, kita duduk di batu besar itu yuk!" pinta Dewi, sambil menunjuk arah bebatuan yang besar. "Dih, capek banget."

Kami berdua melangkah kearah bebatuan tersebut, lalu duduk beristirahat sejenak di atasnya. Matahari mulai menyembul perlahan, cahayanya begitu ranum. 

Langit kemerahan, serta awan-awan tipis berlalu, seolah memberikan tempat pada sang surya, untuk memberikan cahaya pada penghuni bumi. Sungguh pemandangan yang jarang aku saksikan di kota Jakarta.

Dewi mengambil kerikil kecil, lalu melemparkan kerikil itu ke arah anak laut, yang airnya mengalir menuju Sungai Bengawan Solo. 

Dia tersenyum setelah puas melempar batu-batu kecil itu. Namun aku, pura-pura khawatir, dan curiga, kalau-kalau kerikil tadi mengenai kepala ikan di dalam air tersebut. Pastinya sakit.

"Udah, jangan dilempari ikan-ikan itu, ntar dia ngamuk lho." Melihat aku menggerutu Dewi nyengir

"Eh Dik, kamu kenal lelaki itu gak?" jariku menunjuk seorang lelaki yang tengah memarkir sepeda motornya di depan warung makan. "Dia itu kakak kelasku," ucapku kemudian

"Iya, aku pernah melihat dia kok, tapi kayaknya dia tukang ojek deh. Aku sering melihat dia di pertigaan Gombong," jawab Dewi, sambil keningnya berkerut, memastikan penglihatannya dari kejauhan.

"Oh, sekarang dia jadi tukang ojek yah?" tanyaku kemudian.

"Gak salah. Temanku juga pernah naik ojeknya." Jawab Dewi.

Sesaat aku terdiam. Pandanganku kembali pada air laut yang bergelombang. Bergulung-gulung, dan bersahutan. Dalam diam, adikku memperhatikan diamku, dia mengetahui kalau Mbaknya sedang memikirkan sesuatu yang serius. Dan memang, pikiranku sedang teringat mimpi semalam. 

Sambil duduk di batu yang besar dan agak tinggi, tatapanku jauh menelusuri lautan yang berawarna biru. Jauh di ujung lautan, terlihat kecilnya perahu para nelayan. Dan di dekat sini, kerudung kami berdua melambai-lambai, bagai menari-nari diterpa angin laut.

Deru ombak, sama sekali tak membuatku lupa akan mimpiku semalam. Mataku terpejam sesaat, ketika bayangan kedua orang tua kami kembali menari-nari di ujung kelopak mata. Raut wajahku berubah seketika. Itu yang Dewi sadari, katanya.

"Lho, ada apa Mbak, kok jadi serius gitu, ada masalah?” tanyanya. Aku menggeleng pelan. Tersenyum, walau mata mulai terasa hangat, Dewi jadi kikuk di depanku.

"Dik, semalam aku mimpi bertemu sama Ayah dan Ibu," jawabku, dengan suara agak parau. "Mereka berdua berpakain serba putih dan putih bersih, lalu mereka menyuruhku untuk singgah di rumahnya." jelasku padanya. "Kira-kira, kalau menurut pendapatmu, apa maksud dari mimpiku tadi ya, Dik?" Berharap dia bisa menafsirkannya.

"Oh, alangkah beruntungnya Mbak. Aku jarang lho ditemui oleh Ayah, dan ibu dalam mimpi." Jawab Dewi.

"Mungkin mereka rindu dengan kita Mbak, bagaimana kalau nanti kita ziarah ke makamnya," Usul Dewi. Aku mengangguk, setuju. Dia memang faham akan kerinduanku.

"Nanti kita mampir ke pasar pagi untuk beli bunga ya, Mbak," kata Dewi kemudian 

"Iya, Dik. Aku ikut aja."

Tak terasa, sudah satu jam kami duduk-duduk di bebatuan besar. Dia bangun dari bebatuan tersebut. Matanya menatap tajam, beberapa ekor Yingking (Kepiting laut) yang berlari menuju lubangnya masing-masing. 

Dia yang usil, mencoba untuk menangkap hewan lincah tersebut, namun sayang, hewan-hewan kecil itu justru lebih jago berlari daripa dirinya. Nafasnya naik turun, terengah-engah karena berlari-lari mengejar beberapa hewan yang sama. 

Namun sayang, tak satupun Yingking yang tertangkap olehnya. Aku menggeleng kepala, heran dengan tingkahnya, seperti anak kecil. Sambil berlari, dia menjerit-njerit keriangan.

Tak seberapa jauh dari tempatku duduk, terlihat sepasang kekasih tengah duduk berduaan, sambil lengan sang lelaki melingkar di tubuh wanita itu. Aku menghela nafas, dalam hati aku ber-istighfar.

Aku benar-benar takut kalau sampai perbuatan seperti itu terjadi pada diri dan adikku. Segera kualihkan pandanganku kearah lain, rasanya tak enak menatap manusia yang bukan mahramnya berduaan. Sebagai sesame wanita, terus terang aku takut jika hal ini terjadi pada kami berdua, mahluk kecil yang berusaha mencintai perintah Rabbnya, dan ingin menjauhi laranganNya.

Aku masih diam, duduk di atas batu, sambil menatap lautan yang membentang, di temani angin yang membelai-belai jilbabku tiada henti. Dan satu yang tak luput dari ingatanku, yaitu tentang keadaan Mbak Sally.

"Kira-kira sedang apa beliau di sana? Apakah Mas Raihan bisa mengatasi kesulitan untuk mendorong isterinya? Ya Rabb, Semoga saja mereka semua baik-baik saja. 

Aku yakin Mas Raihan dan Mbak Sally  mampu melaksanakan umrahnya kali ini." Fikirku dalam hati. Memang, ini bukan untuk yang pertama kalinya bagi Mas Raihan, namun, ini yang pertama kali beliau berumrah dengan sang isteri. Dan inilah kali pertama Mbak Sally berumrah, setelah penantian panjang dan melelahkannya. 

Perlahan aku mendesah, perasaan rindu mulai menyapaku, walau baru empat hari berpisah. Rindu akan gurau, tawa, dan suaranya.  

"Ya Allah, semoga saja Engkau lindungi mereka semua. Aamin." Doaku dalam hati.

Matahari mulai naik, dan aku masih tetap duduk di bebatuan besar, sambil menatap cerianya. Hingga tak lama kemudian, Dewi memekik memanggilku, dari kejauhan.

"Mbak, sini!" tangannya melambai-lambai, tubuhnya meloncat-loncat kegirangan, membuatku penasaran dengan kelakuannya yang berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.  Dia memang ada-ada saja. Pikirku. Segera kuberlari mendekatinya.

"Mbak...! Lihat, aku dapat Wrutuk" (Hewan laut yang bentuknya unik, dan jika digoreng warna akan berubah kemerahan) Aku terpana melihat hewan kecil yang berwarna kehitaman berada di telapak tangannya. Hewan kecil itu menggeliat seakan hendak meronta dan melepaskan diri dari tangan.

"Lepaskan Dik, kasian" kataku.

"Lho, mau tak bawa pulang Mbak, digoreng," jawabnya enteng.

"Ya kalau banyak sih gak papa Dik, tapi ini khan hanya satu. Cuma seekor, dimakan juga gak rata, memangnya kamu saja yang mau makan. Aku sama nenek gak di 

kasih, gitu? Ah sudahlah, lepaskan dia. Kasian." rayuku lagi. 

Agar melepaskan hewan kecil tersebut. Seperti anak kecil, dia mengelus-elus hewan tersebut, lalu perlahan dia  menuruti nasehatku. Mungkin dengan berat hati, perlahan dia melepas binatang kecil itu.

Aku menatap lega. Hewan laut itu perlahan berjalan, merongrong pasir basah, dan akhirnya lenyap ditelan air laut.

"Kita pulang, Dik."

"Bentar lagi Mbak," jawab Dewi, sambil menggambar tanda hati di pasir, dengan sebuah kayu kering.

"Hayoo, love buat siapa tuh," selidikku, setelah melihat tanda love tergambar cantik di bawah bayangan tubuhku.

Bersambung....

Related chapter

  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Kecelakaan telah merenggut ayahku

    Bab 6Kecelakaan Merenggut ayahkuEmpat tanda hati dijadikan satu, mirip bunga sepatu yang tengah mekar. Cantik, masing-masing bunga itu, ada nama-nama yang membuat dia tersenyum, wajahnya yang kemerahan karena sinar mentari, membuatnya bertambah manis."Terima kasih Dik," Ucapku, kala terlihat namaku disalah satu tanda hati itu. Yang lainnya ada nama ayah, ibu, dan nenek."Kok gak ada kamu Dik," tanyaku."Mbak, bunga ini ada dalam hatiku," jawabnya, sambil tersenyum, namun aku tahu, dibalik senyum itu, dia juga merindukan ayah dan ibu.Aku menghela nafas, mataku terpejam sesaat. Sengaja kubiarkan anganku menerawang, menelusuri masa lalu, saat aku berada di atas delman, di pangkuan sang bunda, tujuh belas tahun yang silam. Hanya itu yang mampu aku ingat dalam memory ingatanku.Aku duduk di atas pangkuan ibu, sementara Dewi dipangku oleh ayah. Saat itu, usi

    Последнее обновление : 2021-10-11
  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Ziarah kubur

    BAB 7ZIARAH KUBUR"Kenapa?" tanyaku heran."Soalnya nanti kalau lewat depan, kita gak sampai-sampai rumah. Tuh, di rumahnya Yu Binti banyak orang, nanti mereka nanya ini, itu, lalu kita berhenti lagi. Bisa-bisa ikanku bau deh, sampai rumah," jawabnya. Aku tertawa melihat kelucuan Dewi."Iya deh, Mbak nurut aja."Kami lewat belakang rumah, dan sampai dengan lebih cepat. Yah, begitulah hidup di desa, jika ada kabar sedikit saja, akan lebih cepat diterima masyarakat luas. Baik kabar baik, maupun kabar jelek."Assallamualaikum ..."Nenek segera menjawab salam kami."Masak apa Nek?" tanyaku, saat Nenek terlihat agak sibuk memindahkan panci-panci ke atas kompor, bergantian."Mbubur kacang ijo Cu, (Cu untuk sebutan putu, atau cucu)" jawab Nenek. Mendengar bubur kacang hijau, anganku langsung membayangkan kelezatannya."Nek, hari ini aku yang masak ya," sela Dewi. Nenek diam sesaat, mungkin heran.

    Последнее обновление : 2021-10-14
  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Cobaan bermula 1

    Bab 8Cobaan BermulaSeminggu di Jawa, bagai sehari terasa. Waktu berlalu begitu cepat tanpa kuminta. Akhirnya, aku harus kembali ke Jakarta. Setelah sampai di Stasiun Jati Negara, aku dijemput oleh Pak Surya, Ayah Mbak Sally.Dia memberikan kunci rumah anaknya padaku. Terus terang, memasuki rumah ini, bagai membuka memory dalam ingatanku 3 tahun silam. Di mana aku untuk pertama kalinya, mengenal, serta memasuki rumah mewah ini. Waktu itu, sendirian aku datang ke Jakarta. Tujuannya, ingin berkunjung ke rumah teman, sambil mencari kerjaan jika ada. Aku yang tak terbiasa dengan kota metropolitan, akhirnya harus kesana-kemari, bingung karena melihat lautan manusia, dan bisingnya suara angkutan kota. Akhirnya, aku tersesat di jalan-jalan yang sempit serta berbau busuk.Banyaknya rumah-rumah kumuh dan sampah-sampah basah yang berserakan, menambah lagi satu beban dalam pikiranku, yaitu mual yang tak kunjung muntah. Kepala terasa berat,

    Последнее обновление : 2021-10-16
  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Cobaan bermula 2

    bab 9Di ruangan yang serba cantik ini, kami berdua diam membisu. Dalam diam, aku bertanya dalam hati. Mengapa wanita ini duduk di kursi roda? Apakah dia sakit? Atau cacat? Mas Raihan ke dalam, ia memberesi berkas cuci mobilnya tadi. Tak lama kemudian, dia muncul dengan tiga cawan air teh panas."Silahkan diminum Dik," ucapnya ramah. Aku grogi. Lalu meminum air tersebut dengan tangan agak gemetaran. Entahlah, mungkin aku benar-benar merasa tak enak dengan kebaikan Mas Raihan."Maaf, hanya ada air, Dik. Maklum, lagi gak ada pembantu di rumah," selorohnya. Aku menelan ludah mendengar ucapan Mas Raihan."Oh ternyata punya pembantu to, pantesan rumahnya bersih sekali," batinku."Pembatunya kemana Mas?" tanyaku, memecah rasa grogi."Kemarin siang pamitan pulang. Katanya, mau ngurus anaknya di kampung. Dan sekarang belum ada ga

    Последнее обновление : 2021-10-17
  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Cobaan bermula 3

    Bab 10.Cobaan bermula 3Setelah mengantar Bu Hardi, kami kembali ke teras halaman. Bu Surya melihat-lihat bunga di taman tersebut. Kata Bu Surya, setiap sebulan sekali, ada tukang kebun yang datang merawatnya, yaitu Pak Slamet. Mbak Sally selesai sarapan, lalu segera meminum obat. Ia berdua duduk di teras, sambil ngobrol, sementara aku memasak di dapur.Setelah selesai memasak, dan beres-beres kompor di dapur, kami sama-sama makan siang. Bu Surya memuji masakanku, namun berbeda dengan Mbak Sally. Dia acuh, mungkin karena masakannya berbeda dengan masakan kami. Ia tak diperbolehkan makan masakan yang berminyak, atau pedas. Beruntung pembantu yang sudah pulang ke rumah, meninggalkan banyak bumbu, sehingga memudahkanku untuk memasak. Sesudah makan siang, Bu Surya berpamitan pulang, dengan alasan, tak bisa berlama-lama ninggalin restorannya.Seperti biasa, jam 2 siang, Mbak Sally kembali minum obat. Setelah meminum obat, beliau meno

    Последнее обновление : 2021-10-17
  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Senyuman pertama

    Bab 11Senyuman PertamaDi suatu petang, Mas Raihan menelpon ke rumah. Ia memberitahukan padaku, kalau malam nanti, aku tak diizinkan untuk memasak. Ia ingin memberikan kejutan pada istri tercintanya. Aku menurut. Jam 7 malam, Mbak Sally bertanya tentang makan malam, mungkin dia lapar. Akhirnya aku menjawab, bahwa malam ini aku tak memasak. Ia kembali murka, dan menuduhku pemalas.Mungkin karena begitu kesalnya padaku, ia melempar piring buah di atas meja. Bagaimanapun juga, pesan suaminya agar aku tidak membocorkan rencananya, tetap terkunci rapat dalam rahasiaku. Sambil menyapu teras yang penuh dengan pecahan beling, aku hanya mampu beristighfar dalam hati.Tak lama kemudian, seluruh keluarganya datang beserta suami dan keluarga Mas Raihan. Mbak Sally meminta maaf di depan semua, karena memarahiku. Terlihat dua keluarga tersebut sangat dekat. Mereka saling bersapa rama

    Последнее обновление : 2021-10-20
  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Senyuman pertama (2)

    Bab 12Senyuman pertamaKeesokkan paginya, seperti biasa. Bangun awal, shalat subuh dan mengerjakan rutinitas harian. Jam 10 pagi, kuketuk kamarnya, lalu membangunkan dia. Seperti biasa pula, beliau pasti akan menatap malas jarum jam di atas daun pintu kamarnya.Tak lama kemudian aku menolongnya mengangkat ia ke kursi roda dan mendorongnya ke kamar mandi. Hingga setengah jam kira-kira, kami baru selesai. Setelah beres di kamar mandi, kami menuju ruang tamu. Sarapan.Ketika dia sarapan, aku mengemas kamarnya. Terlihat bungkusan pemberianku tergeletak di lantai, tiba-tiba hatiku berdebar. Ada rasa nelangsa yang menyelinap ke dalam qolbuku. Dalam hati aku tertanya. Mungkin dia tak suka, maklum, hadiah-hadiah semalam itu berupa mas dan sutera.Namun bungkusan dariku, hanya sebuah buku tebal, yang pastinya malas untuk dibaca. Kembali kuraih, dan kudekap bungkusan erat-erat di

    Последнее обновление : 2021-10-20
  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Kecelakaan telah merenggut janinku

    Bab 13Kecelakaan merenggut janinku"Gak tahu, Mbak," jawabku, pura-pura tak tahu. **"Sebab dulu aku merasa, bahwa Tuhan itu tak adil pada hidupku. Tuhan jahat, dan tak memihakku. Kebahagiaanku, seolah diobrak-abrik oleh malapetakanya," Jawab Mbak Sally. Seketika ia menunduk."Dulu, pernikahan kami berusia lima tahun. Rasa sepi menyapa, kala di rumah yang sebesar ini, tak ada celoteh seorang bocah. Namun sampai detik itu, aku belum ada tanda-tanda untuk memiliki momongan. Sebagai seorang istri, aku merasa ada yang tidak beres dalam diriku. Akhirnya, setelah aku mencari informasi tentang dokter kandungan ke sana kemari, seorang sahabat menyarankan aku untuk pergi ke dokter special langganannya." Cerita Mbak Sally."Katanya, dulu pernikahan sahabatku ini, hingga 10 tahun, belum juga dikaruniakan momongan. Akhirnya, setelah mereka pergi ke dokter ini, tak la

    Последнее обновление : 2021-10-20

Latest chapter

  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Pingsan

    Bab 20MBAK SALLY PINGSAN!“Gak apa-apa, asinkan lebih baik daripada asam,” sela Mas Raihan. Mendengar ucapannya, aku jadi tak selera makan. Entahlah, aku sendiri tak tahu mengapa. Namun anehnya, mereka berdua tetap lahap.Dalam diam, aku amati Mbak Sally. Setelah ucapannya sore tadi, mengapa seolah tak terjadi apa-apa. Mereka tetap rukun dan harmonis. Aku jadi ragu dengan kejadian sore tadi. Apakah itu nyata, atau hanya mimpi belaka?“Keluarga yang harmonis dan rukun seperti saat ini, haruskah nantinya hadir orang ketiga? Tidak! Aku tidak mau menjadi benalu dalam keluarga ini. Aku tak Mauuuuuu….!!”“San, kamu kok ngelamun. Tolongin aku ambil tempe gorengya dong,” suara Mbak Sally membuyarkan lamunanku. Seketika, khayalanku kembali ke bumi. Dengan cepat, aku mengambilkan tempe untuk Mbak Sally. Namun sayang, pada saat yang tak terduga, tanganku tiba-tiba merasakan lemah ya

  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   TERCENGANG (DIJODOHKAN)

    bab 19TERCENGAN (DIJODOHKAN)"Terkadang, aku merasa bersalah, bahkan berdosa padanya, San. Sebagai istrinya, aku tak mampu memberikan dia kebahagiaan, lahir dan batin. Sungguh, aku merasa berdosa pada dia San,” ucapnya, sedikit menunduk, pedih.Aku terdiam, bingung hendak berucap sesuatu. Walaupun aku tak memahami semua ucapannya, namun sedikitnya aku faham, kemana arah ucapannya. Ya, aku hanya mampu menggigit bibir. Mataku mulai menghangat, mendengar penuturannya“San, kamu tahu, jarang ada suami seperti suamiku,” aku mengangguk pelan, semua kudengarkan pujian demi pujian buat Mas Raihan. Memang tak kunafikan, dia adalah suami yang terbaik yang pernah kusaksikan. Kagum aku pada sabarannya. “Boleh aku tanya sesuatu, San?”“Silahkan Mbak. Selagi aku bisa jawab, insya Allah akan kujawab,” Mbak Sally menghela nafas. Ia menatap wajahku dalam-dalam. Aku sendiri, jadi serba bingun

  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Memilihkan jodoh

    bab 18MEMILIHKAN JODOH“Sebuah maghligai keluarga, memang tidak akan lengkap tanpa hadirnya si buah hati.” ucap Mbak Sally, sambil menerawang ke luar. Kami terdiam.“Budhe, Lifki mau liat dola emong.” Rayu Rifki, sambil menarik-narik tangan Mbak Sally.Tak lama kemudian kusetel TV chanel kesukaannya. Begitu melihat film dora emon, dia langsung senang. Diam di pangkuan Mbak Sally dengan tenangnya, hingga film selesai. Bahagia rasanya, melihat mereka berdua tertawa ceria. Rumah terasa hidup, jika terdengar suara celoteh, tawa dan canda dari anak-anak.“Rifki, filmnya udahan apa belum?” Tanya Shinta, ibunya. Bocah itu diam tak merespon. Pandangan matanya lekat menatap layar televisi. “Pulang yuk, nanti Nenek nyariin kita lho.” Kembali Shinta mencoba mengalihkan perhatian mata anaknya. Namun sayang, bocah itu tetap bergeming. Ia hanya terkekeh oleh ulah si gendut Jaya, dan  

  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Penasaran dengan usianya

    Bab 17PENASARAN USIA INSANIWaktu maghrib menjelang, seperti biasa, kudorong kursi roda Mbak Sally ke kamarnya. Tak lama kemudian, kubantu dia berwudhu, lalu salat. Begitu pula denganku, setelah berwudhu, aku pun salat maghrib di kamarku. Selesai salat, dia akan membaca Al-Qur’an sebentar, dan aku menyiapkan makan malam.Tak lama kemudian, deru mobil memasuki halaman rumah. Mas Raihan pulang dari kantor. Terkadang dia salat berjama’ah di masjid dekat rumah, namun terkadang pula dia salat di rumah, di ruang kerjanya.Jam delapan tiga puluh menit kami semua makan malam bersama. Satu hal yang menjadi disiplin di rumah ini, yaitu selalu bekerjasama dalam bekerja. Mas Raihan suka sekali makan buah, maka tugas dia adalah membeli buah, mencuci, bahkan mengupas buah buat kami.Mbak Sally diam di meja makan sambil menanti buah yang tengah dicuci oleh suaminya. Tugasku mencuci piring, mengelap kompor, beserta alat-alat ma

  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Pertolongan untuk Hanif

    BAB 16PERTOLONGAN UNTUK HANIFSeperti janji Tuhan, yang selalu adil dan bijaksana. Ia akan memberikan hidayah untuk sesiapa saja yang berusaha mencarinya. Bukan hanya menunggu, berpangku tangan, tanpa berusaha. Ya, seperti dalam proses Mbak Sally dalam menemukan hidayah, pastinya bukan jalan yang mulus dan mudah. Namun, sebuah perjalanan yang panjang, terjal, serta berlika-liku. Dan kini beliau merasa tenang, bahkan bahagia dengan kehidupannya saat ini. Hidup yang sederhana, yang selalu berbagi dengan sesama, dan kehidupan karena Allah, Zat yang patut disembah*****Pernah di suatu senja, setelah kami selesai mengaji, dia bercerita pada kami tentang impian-impiannya. Bu Siti dengan lembut, mengelus punggungnya. Dengan doa, dia menjawab, “Ya Rabbku, yang Maha Mendengarkan Doa setiap Hambanya, semoga Engkau kabulkan harapan serta doa saudariku ini. Kami inginkan ridha_Mu ya Allah. Maka kabulkanlah harapan kami be

  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Mendatangi anak yatim

    BAB 15Mendatangi anak yatimInilah pertama kali aku mendengar Mbak Sally memotivasi dan menasehati orang lain, agar ikhlas dan menerima keadaan hidup. Aku merasa, dia benar-benar telah berubah. Kini dia lebih mensyukuri nikmat, dan tabah dengan cobaan hidupnya. "Dengan mendekatkan diri pada Sang Khaliq, hidup terasa damai." Ucapnya padaku kala itu.*****Kedua pihak keluarganya pun semakin senang, apalagi dengan perubahannya. Kini, mereka mengikuti jejak Mbak Sally, meluangkan waktu mengunjungi tempat-tempat yang membuat damai, serta hati tenang. Dengan membawa baju, peralatan sekolah, atau buah tangan berupa jajan, mereka berbagi dengan para kaum dhuafa dan anak yatim.“Mama, aku benar-benar bahagia, lihatlah semua anak-anak ini,” ucap Mbak Sally kepada Bu Hardi sambil membagikan jajan pada anak-anak.“Betul Nak, hidup memang harus saling berbagi, lihat

  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Bangun dari terpuruk

    Bab 14.Bangun dari terpuruk"Suami sangat tertekan dengan kenyataan ini. Dan semenjak kejadian itu, aku selalu merasa bersalah padanya. Entahlah! Mungkin inilah balasan bagiku, orang yang tak bisa mensyukuri nikmat Tuhan, bahkan menyekutukannya."ceritanya.Kini aku tak mampu menahan genangan air mataku. Mengalir deras, bagai air bah. Kupeluk tubuhnya yang kurus itu erat-erat. Rasa iba, dan trenyuh, tiba-tiba memenuhi relung jiwaku."Maka dari itu, aku selalu menganggap, bahwa Tuhan itu tidak adil padaku. Tuhan hanya memberikan beban, cobaan, dan kesengsaraan untuk hidupku. Bahkan setelah kejadian itu, aku benci padanya. Benci dengan semua orang, dan benci dengan yang namanya kehidupan." Mbak Sally mulai terisak."Hingga detik ini, aku belum mampu menerima kenyataan, bahwa musibah itu karena kesalahanku sendiri. Apa yang kita tanam, itu yang akan diunduh bukan?" Me

  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Kecelakaan telah merenggut janinku

    Bab 13Kecelakaan merenggut janinku"Gak tahu, Mbak," jawabku, pura-pura tak tahu. **"Sebab dulu aku merasa, bahwa Tuhan itu tak adil pada hidupku. Tuhan jahat, dan tak memihakku. Kebahagiaanku, seolah diobrak-abrik oleh malapetakanya," Jawab Mbak Sally. Seketika ia menunduk."Dulu, pernikahan kami berusia lima tahun. Rasa sepi menyapa, kala di rumah yang sebesar ini, tak ada celoteh seorang bocah. Namun sampai detik itu, aku belum ada tanda-tanda untuk memiliki momongan. Sebagai seorang istri, aku merasa ada yang tidak beres dalam diriku. Akhirnya, setelah aku mencari informasi tentang dokter kandungan ke sana kemari, seorang sahabat menyarankan aku untuk pergi ke dokter special langganannya." Cerita Mbak Sally."Katanya, dulu pernikahan sahabatku ini, hingga 10 tahun, belum juga dikaruniakan momongan. Akhirnya, setelah mereka pergi ke dokter ini, tak la

  • DARI BABU JADI MADU (Semua bukan keinginanku)   Senyuman pertama (2)

    Bab 12Senyuman pertamaKeesokkan paginya, seperti biasa. Bangun awal, shalat subuh dan mengerjakan rutinitas harian. Jam 10 pagi, kuketuk kamarnya, lalu membangunkan dia. Seperti biasa pula, beliau pasti akan menatap malas jarum jam di atas daun pintu kamarnya.Tak lama kemudian aku menolongnya mengangkat ia ke kursi roda dan mendorongnya ke kamar mandi. Hingga setengah jam kira-kira, kami baru selesai. Setelah beres di kamar mandi, kami menuju ruang tamu. Sarapan.Ketika dia sarapan, aku mengemas kamarnya. Terlihat bungkusan pemberianku tergeletak di lantai, tiba-tiba hatiku berdebar. Ada rasa nelangsa yang menyelinap ke dalam qolbuku. Dalam hati aku tertanya. Mungkin dia tak suka, maklum, hadiah-hadiah semalam itu berupa mas dan sutera.Namun bungkusan dariku, hanya sebuah buku tebal, yang pastinya malas untuk dibaca. Kembali kuraih, dan kudekap bungkusan erat-erat di

DMCA.com Protection Status