BAB 4
Bunga Randu
Adzan subuh berkumandang, menerobos alam mimpi, membangunkanku lewat celah-celah indera pendengaran yang begitu syahdu di telinga. Samar-samar terdengar gemericik air di sumur, dalam hati aku membatin, pasti Nenek sudah bangun.
Perlahan kubuka ke dua mata. Terasa perih, namun pikiran mulai menata segala acara, jadi mataku tak bisa lagi terpejam. Kepala terasa berputar, dan aku belum berani turun dari ranjang.
Krek....! Bunyi leherku, saat aku putar kanan dan kiri.
“Alhamdulillah, mendingan lega. Sekarang perlahan kepalaku sembuh, dan badan terasa nyaman," batinku, langsung aku bangun dari tempat tidur, dengan sebuah pertanyaan dalam hati. Mengapa semalam aku bermimpi demikian? Melangkah ke sumur, kudapati nenek sudah selesai mengambil air wudhu."Pagi Nek, oya mau salat jamaah atau di rumah saja?"
"Aku mau jama’ah di musala, kaya biasanya, kamu mau ikut gak?" tanya nenek.
"Boleh juga Nek, tunggu sebentar yah, biar aku berwudhu dulu." Tak lama kemudian, Dewi bangun, dia juga mau salat berjamaah. Akhirnya kami bertiga berangkat bersama. Setelah selesai salat, suasana masih terlihat remang-remang, hawa dingin terasa menembus kulit."Dik, kita ke gua yuk?" kataku, tiba-tiba aku merasakan rindu pada Gua Karang Bolong, yaitu salah satu obyek pariwisata di daerah kami. Gua tersebut, terletak di Laut Selatan. Tepatnya di Desa Suwuk, Kecamatan Puring, Kebumen.
Di gua tersebut, sangat terkenal dengan sarang Burung Walet-nya. Sesaat Dewi ragu, dia mengernyitkan dahi, mungkin dia takut, karena hari masih gelap.
"Boleh juga Mbak, lagipula ini hari Minggu, aku juga rindu sama Karang Bolong," jawabnya. Nenekku melongo, mendengar kami akan ke gua dalam gelap subuh.
"Ya sudah kita pulang dulu, ganti baju, lalu kita bertolak ke sana yah," ucapku bersemangat.
"Oke Boz!" Dewi menjawab, siap. Telapak tangannya dimiringkan ke jidat, tanda hormat. Kami semua tertawa melihat gelagat Dewi yang suka bercanda. Setelah sampai di rumah, aku berganti kaos lengan panjang berwarna biru, dan celana panjang hitam, dipadu dengan kerudung berwarna biru laut.
"Wah Mbakyuku memang cuantik tenan, sudah siap apa belum nih?" ledek Dewi, di depan pintu.
"Sudah Dik, yuk kita jalan sekarang." Jawabku, sambil mengambil dompet, lalu berpamitan pada Nenek.
"Hati-hati, hari masih gelap," nasihatnya,
"Iya Nek, bentar lagi juga terang kok. Jangan khawatir," jawab kami, diiringi salam."Bismillah...."
Kami berdua melangkah keluar, udara dingin menyambut kami dengan sepoinya. Lama aku menantikan suasana seperti ini, dan baru saat inilah impianku terwujud.
Dalam remang pagi, kami bergandengan tangan, sambil terus melangkah menuju jalan aspal. Desa kami masih banyak rumpun pohon bambu yang terlihat seram apabila kita melewatinya saat malam. Burung Hantu, sesekali masih berbunyi. Suaranya membuat bulu kuduk kami meremang seketika.
"Dik, kita jalan lho, aku kepengen sekalian berolah raga, jadi kalau nanti ada mobil angkot, kamu jangan berharap naik yah," ucapku, memecah kebisuan.
"Iya deh, terserah Mbak, aku ngikut aja," jawab Dewi, sambil mengayun-ayunkan genggaman tangan kami. Tak seberapa jauh, terlihat jalan aspal dengan lampu-lampu jalannya yang lumayan terang.
Tak terasa, perjalan sudah agak jauh, jalanan pun sudah mulai terlihat agak terang oleh pagi yang cerah. Kami terus berjalan melewati Balai Desa, sekolahan kami, sekolahan desa tetangga kami, dan akhirnya, surya pagi menyambut dengan cerahnya.
Selama daam perjalanan, kami selalu bertukar cerita tentang banyak hal. Adikku seolah tak pernah kehabisan cerita untuk diceritakan. Senang memiliki adik sepertinya, yang selalu terlihat ceria
"Mbak masih ingat gak, dulu waktu zaman kita masih sekolah, kalau bulan ramadhan, pasti akan ada kegiatan tambahan, yaitu kegiatan ramadhan. Nah kita musti mendapatkan tanda tangan seorang iman dalam setiap salat," ucap Dewi, mengingatkan masa lalu kami. Aku termenung sesaat, mengingat masa-masa itu.
Seingatku dulu, kalau tiba bulan puasa, Pak Ustadz Kinun pasti akan menjadi orang yang super sibuk, kaya artis. Abisnya dia selalu dikerubuti anak-anak sekolah, untuk dimintai tanda tangannya” ucapnya lagi.
Aku tersenyum mengingat itu, dan salah satu diantara peminta tangannya, adalah aku. Dan yang lainnya, adalah para murid-murid SD, yang mengikuti setiap salatnya. Terutama pada waktu subuh.
"Nah, kalau hari Minggu kita pasti akan beramai-ramai main ke laut, ingat gak Mbak?" tanya Dewi
"Ya pasti ingatlah Dik, wong aku yang disuruh bawa obornya," (Lampu penerang) jawabku kemudian. Terus terang, mengingat masa kanak-kanak memang banyak keindahan tersendiri. Seingatku pula, jika musim bunga Pohon Randu (Kapas) tiba, kami akan beramai-ramai membuat mainan obor ala Bunga Randu.
Caranya, Bunga Randu yang sudah jatuh, dikumpulkan. Bunga tersebut, dipilih yang memiliki tangkai yang lumayan panjang dan kuncup yang dalam. Nah, setelah bunga tersebut terkumpul lumayan banyak, kuncupnya ditaruh sedikit kapas dan minyak tanah, lalu kapas tersebut kita sulut dengan api.
Jadilah lampu-lampu mungil yang menyinari malam atau menyinari subuh kami, sewaktu kami hendak pergi ke laut. Ya, mainan yang bermanfaat, dan inisiatif yang lumayan cerdas dari anak-anak kampung.
Sebenarnya, lampu mungil tersebut tak bertahan lama, namun kami akan membawa cadangan yang cukup banyak, jika lampu yang di tangan akan mati, kami akan membuangnya, lalu menggantikan lampu yang baru.
"Wah, memang kenang-kenangan yang indah ya, Dik. Sesampainya di laut, ada saja yang mereka perbuat. Ada yang nyari Yingking (Kepiting laut), berenang sampai puas, nulis atau melukis di pasir yang basah, dan yang paling kusuka yaitu, kita bisa menjerit-njerit sesuka hati. Nanti aku juga mau njerit Dik, kaya zaman kanak-kanak dulu kalau sudah sampai. Aneh ya, padahal jarak antara rumah dengan laut kan kira-kira 7 KM, tapi kita semua gak merasa kecapaian walau jalan kaki," paparku bersemangat.
Dewi manggut-manggut, mengingat zaman sekolah dulu, apalagi di kampung kami belum ada listrik waktu itu. Sepulang dari laut, kami akan menonton acara Album Minggu Kita di TVRI, itu pun jauh. Dan yang memiliki TV waktu itu hanya seorang saja di kampung. TV-nya masih hitam putih, dan memakai ACCU. Tayangannya juga masih lagu-lagu dangdut, seperti lagu-lagunya Pak Rhoma Irama, dan Elvi Sukaesih, waktu jaman popular-populernya dulu.
Film yang paling digemari oleh kami apabila hari Sabtu malam Minggu, adalah film yang diperankan oleh artis kawakan tanah air, yaitu Mbak Dewi Yull. Yaitu film yang berjudul 'Dewi Kartika' seingatku, dari para ibu-ibu sampai anak-anak pasti akan ikut menangis tersedu-sedu kalau melihat kesedihan yang Dewi Yull alami. Soalnya dalam cerita itu, Dewi Yull yang berperan sebagai anak pupon atau anak angkat, ternyata baru mengetahui ayah ibunya setelah dia sudah besar, dan menjadi seorang doktor.
Apalagi saat Dewi Kartika, tak sengaja mengobati ayah kandungnya di kampung, dia tidak tahu kalau yang tengah dia obati adalah ayah kandungnya sendiri. Pokoknya sedih banget cerita itu, mampu menguras air mata kami semua.
Berbeda dengan film-film zaman sekarang, kebanyakkan artisnya hanya mempertontonkan badan sexy-nya saja, namun acting tak seberapa pintar. Bahkan kadang filmnya tak bermutu sama sekali.
"Eh, ada satu lagi, hal yang aku suka kalau nonton film Dewi Kartika," ucapku, memancing penasaran adikku.
"Apaan Mbak?" tanya Dewi penasaran.
"Orang-orang akan meledek Bi Narti, karena beliau selalu siap handuk besar buat mengelap airmata. Ingat gak?""Iya yah Mbak, jadi ingat sama Bi Narti. Padahal beliau sudah 3 bulan yang lalu dipanggil sama Yang Khaliq," ucap adikku.
"Inna lillahi wainna illaihi rojiun." seketika aku berucap istirja."Kenapa Dik, apa beliau sakit?"
"Iya Mbak, beliau mengidap sakit kanker rahim. Ya, semua sudah ada yang mengatur kan Mbak. Bi Nar yang cantik dan dulunya jadi rebutan pemuda, ternyata harus pulang ke Rahmatullah duluan." Dewi berucap, sedih mendengarkan kabarnya.Aku mendesah, perlahan aku jadi teringat Mbak Sally. Apa kabar dia?
**BERSAMBUNG!Konflik berada di tengahnya guys....sabar, bantu like dan subscribe ya
BAB 5 (revisi)Pantai Karang BolongPagi yang cerah, perlahan terang, bumi kembali disapa sang surya. Lembut cahayanya, selembut hati bidadari-bidadari surga, sungguh angin yang bertiup sepoi, mampu membuatku terlena. Burung-burung kecil yang berkicau riang, seolah tengah berkasidah ria, bertasbihkan lagu-lagu keagungan Sang Khaliq. Aku terpana menatap keindahan Pegunungan Kulon. Dalam hati aku bertasbih, mengikuti burung-burung itu."Wah, benar-benar cantik pegunungan itu dari kejauhan ya," puji Dewi, yang juga ikut melongo."Karang Bolong! Karang Bolong....!" suara seorang kernet mobil angkot mencoba menawari jasanya. Kami berdua menggelengkan kepala. Sebenarnya sudah dekat, tinggal 10 menit lagi perjalanan sampai, namun aku sengaja ingin menikmati indahnya suasana pagi, dengan berjalan kaki."Sebentar lagi musim tandur ya Dik, lihat.” Aku menunjuk sawah yang terhampar luas.Walau masih terlihat pendek pohon padinya, namun semua sama r
Bab 6Kecelakaan Merenggut ayahkuEmpat tanda hati dijadikan satu, mirip bunga sepatu yang tengah mekar. Cantik, masing-masing bunga itu, ada nama-nama yang membuat dia tersenyum, wajahnya yang kemerahan karena sinar mentari, membuatnya bertambah manis."Terima kasih Dik," Ucapku, kala terlihat namaku disalah satu tanda hati itu. Yang lainnya ada nama ayah, ibu, dan nenek."Kok gak ada kamu Dik," tanyaku."Mbak, bunga ini ada dalam hatiku," jawabnya, sambil tersenyum, namun aku tahu, dibalik senyum itu, dia juga merindukan ayah dan ibu.Aku menghela nafas, mataku terpejam sesaat. Sengaja kubiarkan anganku menerawang, menelusuri masa lalu, saat aku berada di atas delman, di pangkuan sang bunda, tujuh belas tahun yang silam. Hanya itu yang mampu aku ingat dalam memory ingatanku.Aku duduk di atas pangkuan ibu, sementara Dewi dipangku oleh ayah. Saat itu, usi
BAB 7ZIARAH KUBUR"Kenapa?" tanyaku heran."Soalnya nanti kalau lewat depan, kita gak sampai-sampai rumah. Tuh, di rumahnya Yu Binti banyak orang, nanti mereka nanya ini, itu, lalu kita berhenti lagi. Bisa-bisa ikanku bau deh, sampai rumah," jawabnya. Aku tertawa melihat kelucuan Dewi."Iya deh, Mbak nurut aja."Kami lewat belakang rumah, dan sampai dengan lebih cepat. Yah, begitulah hidup di desa, jika ada kabar sedikit saja, akan lebih cepat diterima masyarakat luas. Baik kabar baik, maupun kabar jelek."Assallamualaikum ..."Nenek segera menjawab salam kami."Masak apa Nek?" tanyaku, saat Nenek terlihat agak sibuk memindahkan panci-panci ke atas kompor, bergantian."Mbubur kacang ijo Cu, (Cu untuk sebutan putu, atau cucu)" jawab Nenek. Mendengar bubur kacang hijau, anganku langsung membayangkan kelezatannya."Nek, hari ini aku yang masak ya," sela Dewi. Nenek diam sesaat, mungkin heran.
Bab 8Cobaan BermulaSeminggu di Jawa, bagai sehari terasa. Waktu berlalu begitu cepat tanpa kuminta. Akhirnya, aku harus kembali ke Jakarta. Setelah sampai di Stasiun Jati Negara, aku dijemput oleh Pak Surya, Ayah Mbak Sally.Dia memberikan kunci rumah anaknya padaku. Terus terang, memasuki rumah ini, bagai membuka memory dalam ingatanku 3 tahun silam. Di mana aku untuk pertama kalinya, mengenal, serta memasuki rumah mewah ini. Waktu itu, sendirian aku datang ke Jakarta. Tujuannya, ingin berkunjung ke rumah teman, sambil mencari kerjaan jika ada. Aku yang tak terbiasa dengan kota metropolitan, akhirnya harus kesana-kemari, bingung karena melihat lautan manusia, dan bisingnya suara angkutan kota. Akhirnya, aku tersesat di jalan-jalan yang sempit serta berbau busuk.Banyaknya rumah-rumah kumuh dan sampah-sampah basah yang berserakan, menambah lagi satu beban dalam pikiranku, yaitu mual yang tak kunjung muntah. Kepala terasa berat,
bab 9Di ruangan yang serba cantik ini, kami berdua diam membisu. Dalam diam, aku bertanya dalam hati. Mengapa wanita ini duduk di kursi roda? Apakah dia sakit? Atau cacat? Mas Raihan ke dalam, ia memberesi berkas cuci mobilnya tadi. Tak lama kemudian, dia muncul dengan tiga cawan air teh panas."Silahkan diminum Dik," ucapnya ramah. Aku grogi. Lalu meminum air tersebut dengan tangan agak gemetaran. Entahlah, mungkin aku benar-benar merasa tak enak dengan kebaikan Mas Raihan."Maaf, hanya ada air, Dik. Maklum, lagi gak ada pembantu di rumah," selorohnya. Aku menelan ludah mendengar ucapan Mas Raihan."Oh ternyata punya pembantu to, pantesan rumahnya bersih sekali," batinku."Pembatunya kemana Mas?" tanyaku, memecah rasa grogi."Kemarin siang pamitan pulang. Katanya, mau ngurus anaknya di kampung. Dan sekarang belum ada ga
Bab 10.Cobaan bermula 3Setelah mengantar Bu Hardi, kami kembali ke teras halaman. Bu Surya melihat-lihat bunga di taman tersebut. Kata Bu Surya, setiap sebulan sekali, ada tukang kebun yang datang merawatnya, yaitu Pak Slamet. Mbak Sally selesai sarapan, lalu segera meminum obat. Ia berdua duduk di teras, sambil ngobrol, sementara aku memasak di dapur.Setelah selesai memasak, dan beres-beres kompor di dapur, kami sama-sama makan siang. Bu Surya memuji masakanku, namun berbeda dengan Mbak Sally. Dia acuh, mungkin karena masakannya berbeda dengan masakan kami. Ia tak diperbolehkan makan masakan yang berminyak, atau pedas. Beruntung pembantu yang sudah pulang ke rumah, meninggalkan banyak bumbu, sehingga memudahkanku untuk memasak. Sesudah makan siang, Bu Surya berpamitan pulang, dengan alasan, tak bisa berlama-lama ninggalin restorannya.Seperti biasa, jam 2 siang, Mbak Sally kembali minum obat. Setelah meminum obat, beliau meno
Bab 11Senyuman PertamaDi suatu petang, Mas Raihan menelpon ke rumah. Ia memberitahukan padaku, kalau malam nanti, aku tak diizinkan untuk memasak. Ia ingin memberikan kejutan pada istri tercintanya. Aku menurut. Jam 7 malam, Mbak Sally bertanya tentang makan malam, mungkin dia lapar. Akhirnya aku menjawab, bahwa malam ini aku tak memasak. Ia kembali murka, dan menuduhku pemalas.Mungkin karena begitu kesalnya padaku, ia melempar piring buah di atas meja. Bagaimanapun juga, pesan suaminya agar aku tidak membocorkan rencananya, tetap terkunci rapat dalam rahasiaku. Sambil menyapu teras yang penuh dengan pecahan beling, aku hanya mampu beristighfar dalam hati.Tak lama kemudian, seluruh keluarganya datang beserta suami dan keluarga Mas Raihan. Mbak Sally meminta maaf di depan semua, karena memarahiku. Terlihat dua keluarga tersebut sangat dekat. Mereka saling bersapa rama
Bab 12Senyuman pertamaKeesokkan paginya, seperti biasa. Bangun awal, shalat subuh dan mengerjakan rutinitas harian. Jam 10 pagi, kuketuk kamarnya, lalu membangunkan dia. Seperti biasa pula, beliau pasti akan menatap malas jarum jam di atas daun pintu kamarnya.Tak lama kemudian aku menolongnya mengangkat ia ke kursi roda dan mendorongnya ke kamar mandi. Hingga setengah jam kira-kira, kami baru selesai. Setelah beres di kamar mandi, kami menuju ruang tamu. Sarapan.Ketika dia sarapan, aku mengemas kamarnya. Terlihat bungkusan pemberianku tergeletak di lantai, tiba-tiba hatiku berdebar. Ada rasa nelangsa yang menyelinap ke dalam qolbuku. Dalam hati aku tertanya. Mungkin dia tak suka, maklum, hadiah-hadiah semalam itu berupa mas dan sutera.Namun bungkusan dariku, hanya sebuah buku tebal, yang pastinya malas untuk dibaca. Kembali kuraih, dan kudekap bungkusan erat-erat di
Bab 20MBAK SALLY PINGSAN!“Gak apa-apa, asinkan lebih baik daripada asam,” sela Mas Raihan. Mendengar ucapannya, aku jadi tak selera makan. Entahlah, aku sendiri tak tahu mengapa. Namun anehnya, mereka berdua tetap lahap.Dalam diam, aku amati Mbak Sally. Setelah ucapannya sore tadi, mengapa seolah tak terjadi apa-apa. Mereka tetap rukun dan harmonis. Aku jadi ragu dengan kejadian sore tadi. Apakah itu nyata, atau hanya mimpi belaka?“Keluarga yang harmonis dan rukun seperti saat ini, haruskah nantinya hadir orang ketiga? Tidak! Aku tidak mau menjadi benalu dalam keluarga ini. Aku tak Mauuuuuu….!!”“San, kamu kok ngelamun. Tolongin aku ambil tempe gorengya dong,” suara Mbak Sally membuyarkan lamunanku. Seketika, khayalanku kembali ke bumi. Dengan cepat, aku mengambilkan tempe untuk Mbak Sally. Namun sayang, pada saat yang tak terduga, tanganku tiba-tiba merasakan lemah ya
bab 19TERCENGAN (DIJODOHKAN)"Terkadang, aku merasa bersalah, bahkan berdosa padanya, San. Sebagai istrinya, aku tak mampu memberikan dia kebahagiaan, lahir dan batin. Sungguh, aku merasa berdosa pada dia San,” ucapnya, sedikit menunduk, pedih.Aku terdiam, bingung hendak berucap sesuatu. Walaupun aku tak memahami semua ucapannya, namun sedikitnya aku faham, kemana arah ucapannya. Ya, aku hanya mampu menggigit bibir. Mataku mulai menghangat, mendengar penuturannya“San, kamu tahu, jarang ada suami seperti suamiku,” aku mengangguk pelan, semua kudengarkan pujian demi pujian buat Mas Raihan. Memang tak kunafikan, dia adalah suami yang terbaik yang pernah kusaksikan. Kagum aku pada sabarannya. “Boleh aku tanya sesuatu, San?”“Silahkan Mbak. Selagi aku bisa jawab, insya Allah akan kujawab,” Mbak Sally menghela nafas. Ia menatap wajahku dalam-dalam. Aku sendiri, jadi serba bingun
bab 18MEMILIHKAN JODOH“Sebuah maghligai keluarga, memang tidak akan lengkap tanpa hadirnya si buah hati.” ucap Mbak Sally, sambil menerawang ke luar. Kami terdiam.“Budhe, Lifki mau liat dola emong.” Rayu Rifki, sambil menarik-narik tangan Mbak Sally.Tak lama kemudian kusetel TV chanel kesukaannya. Begitu melihat film dora emon, dia langsung senang. Diam di pangkuan Mbak Sally dengan tenangnya, hingga film selesai. Bahagia rasanya, melihat mereka berdua tertawa ceria. Rumah terasa hidup, jika terdengar suara celoteh, tawa dan canda dari anak-anak.“Rifki, filmnya udahan apa belum?” Tanya Shinta, ibunya. Bocah itu diam tak merespon. Pandangan matanya lekat menatap layar televisi. “Pulang yuk, nanti Nenek nyariin kita lho.” Kembali Shinta mencoba mengalihkan perhatian mata anaknya. Namun sayang, bocah itu tetap bergeming. Ia hanya terkekeh oleh ulah si gendut Jaya, dan  
Bab 17PENASARAN USIA INSANIWaktu maghrib menjelang, seperti biasa, kudorong kursi roda Mbak Sally ke kamarnya. Tak lama kemudian, kubantu dia berwudhu, lalu salat. Begitu pula denganku, setelah berwudhu, aku pun salat maghrib di kamarku. Selesai salat, dia akan membaca Al-Qur’an sebentar, dan aku menyiapkan makan malam.Tak lama kemudian, deru mobil memasuki halaman rumah. Mas Raihan pulang dari kantor. Terkadang dia salat berjama’ah di masjid dekat rumah, namun terkadang pula dia salat di rumah, di ruang kerjanya.Jam delapan tiga puluh menit kami semua makan malam bersama. Satu hal yang menjadi disiplin di rumah ini, yaitu selalu bekerjasama dalam bekerja. Mas Raihan suka sekali makan buah, maka tugas dia adalah membeli buah, mencuci, bahkan mengupas buah buat kami.Mbak Sally diam di meja makan sambil menanti buah yang tengah dicuci oleh suaminya. Tugasku mencuci piring, mengelap kompor, beserta alat-alat ma
BAB 16PERTOLONGAN UNTUK HANIFSeperti janji Tuhan, yang selalu adil dan bijaksana. Ia akan memberikan hidayah untuk sesiapa saja yang berusaha mencarinya. Bukan hanya menunggu, berpangku tangan, tanpa berusaha. Ya, seperti dalam proses Mbak Sally dalam menemukan hidayah, pastinya bukan jalan yang mulus dan mudah. Namun, sebuah perjalanan yang panjang, terjal, serta berlika-liku. Dan kini beliau merasa tenang, bahkan bahagia dengan kehidupannya saat ini. Hidup yang sederhana, yang selalu berbagi dengan sesama, dan kehidupan karena Allah, Zat yang patut disembah*****Pernah di suatu senja, setelah kami selesai mengaji, dia bercerita pada kami tentang impian-impiannya. Bu Siti dengan lembut, mengelus punggungnya. Dengan doa, dia menjawab, “Ya Rabbku, yang Maha Mendengarkan Doa setiap Hambanya, semoga Engkau kabulkan harapan serta doa saudariku ini. Kami inginkan ridha_Mu ya Allah. Maka kabulkanlah harapan kami be
BAB 15Mendatangi anak yatimInilah pertama kali aku mendengar Mbak Sally memotivasi dan menasehati orang lain, agar ikhlas dan menerima keadaan hidup. Aku merasa, dia benar-benar telah berubah. Kini dia lebih mensyukuri nikmat, dan tabah dengan cobaan hidupnya. "Dengan mendekatkan diri pada Sang Khaliq, hidup terasa damai." Ucapnya padaku kala itu.*****Kedua pihak keluarganya pun semakin senang, apalagi dengan perubahannya. Kini, mereka mengikuti jejak Mbak Sally, meluangkan waktu mengunjungi tempat-tempat yang membuat damai, serta hati tenang. Dengan membawa baju, peralatan sekolah, atau buah tangan berupa jajan, mereka berbagi dengan para kaum dhuafa dan anak yatim.“Mama, aku benar-benar bahagia, lihatlah semua anak-anak ini,” ucap Mbak Sally kepada Bu Hardi sambil membagikan jajan pada anak-anak.“Betul Nak, hidup memang harus saling berbagi, lihat
Bab 14.Bangun dari terpuruk"Suami sangat tertekan dengan kenyataan ini. Dan semenjak kejadian itu, aku selalu merasa bersalah padanya. Entahlah! Mungkin inilah balasan bagiku, orang yang tak bisa mensyukuri nikmat Tuhan, bahkan menyekutukannya."ceritanya.Kini aku tak mampu menahan genangan air mataku. Mengalir deras, bagai air bah. Kupeluk tubuhnya yang kurus itu erat-erat. Rasa iba, dan trenyuh, tiba-tiba memenuhi relung jiwaku."Maka dari itu, aku selalu menganggap, bahwa Tuhan itu tidak adil padaku. Tuhan hanya memberikan beban, cobaan, dan kesengsaraan untuk hidupku. Bahkan setelah kejadian itu, aku benci padanya. Benci dengan semua orang, dan benci dengan yang namanya kehidupan." Mbak Sally mulai terisak."Hingga detik ini, aku belum mampu menerima kenyataan, bahwa musibah itu karena kesalahanku sendiri. Apa yang kita tanam, itu yang akan diunduh bukan?" Me
Bab 13Kecelakaan merenggut janinku"Gak tahu, Mbak," jawabku, pura-pura tak tahu. **"Sebab dulu aku merasa, bahwa Tuhan itu tak adil pada hidupku. Tuhan jahat, dan tak memihakku. Kebahagiaanku, seolah diobrak-abrik oleh malapetakanya," Jawab Mbak Sally. Seketika ia menunduk."Dulu, pernikahan kami berusia lima tahun. Rasa sepi menyapa, kala di rumah yang sebesar ini, tak ada celoteh seorang bocah. Namun sampai detik itu, aku belum ada tanda-tanda untuk memiliki momongan. Sebagai seorang istri, aku merasa ada yang tidak beres dalam diriku. Akhirnya, setelah aku mencari informasi tentang dokter kandungan ke sana kemari, seorang sahabat menyarankan aku untuk pergi ke dokter special langganannya." Cerita Mbak Sally."Katanya, dulu pernikahan sahabatku ini, hingga 10 tahun, belum juga dikaruniakan momongan. Akhirnya, setelah mereka pergi ke dokter ini, tak la
Bab 12Senyuman pertamaKeesokkan paginya, seperti biasa. Bangun awal, shalat subuh dan mengerjakan rutinitas harian. Jam 10 pagi, kuketuk kamarnya, lalu membangunkan dia. Seperti biasa pula, beliau pasti akan menatap malas jarum jam di atas daun pintu kamarnya.Tak lama kemudian aku menolongnya mengangkat ia ke kursi roda dan mendorongnya ke kamar mandi. Hingga setengah jam kira-kira, kami baru selesai. Setelah beres di kamar mandi, kami menuju ruang tamu. Sarapan.Ketika dia sarapan, aku mengemas kamarnya. Terlihat bungkusan pemberianku tergeletak di lantai, tiba-tiba hatiku berdebar. Ada rasa nelangsa yang menyelinap ke dalam qolbuku. Dalam hati aku tertanya. Mungkin dia tak suka, maklum, hadiah-hadiah semalam itu berupa mas dan sutera.Namun bungkusan dariku, hanya sebuah buku tebal, yang pastinya malas untuk dibaca. Kembali kuraih, dan kudekap bungkusan erat-erat di