BAB 1
KAMPUNG HALAMAN
Jam lima pagi, Kereta Api Ekonomi Sawunggalih jurusan Jakarta-Solo Balapan, akan segera berhenti di sebuah stasiun kecil, yaitu Stasiun Gombong. Suasana di dalam gerbong ini, lumayan padat. Dari anak-anak, sampai orang tua. Wajah-wajah tampak kucel, dan lelah. Di depanku beberapa orang penumpang yang hendak turun di stasiun ini, mulai bersiap-siap. Ada yang menata barang-barangnya, ada yang baru bangun dari tidur lalu mengucek-ucek mata, dan ada juga yang sudah berdiri menanti dengan siaga di depan gerbong pintu kereta.
Segera aku bangun dari duduk, lalu menata barang-barang yang kubawa dari Jakarta. Kupastikan agar tak satu pun yang tertinggal, lalu melangkah menuju pintu gerbong. Bersama para penumpang, berdiri menanti Sang Masinis benar-benar memberhentikan keretanya dengan sempurna. Setelah berhenti, kami berdesakkan menuruni tangga ular besi ini.Hampir satu tahun tak mencium aroma harum kota kelahiranku. Pagi ini, pastinya akan menjadi pagi yang istimewa. Apalagi kali ini, kepulanganku karena sengaja kurahasiakan dari sesiapapun. Pasti akan mengejutkan mereka semua, terutama nenek. Tak sabar merasakan hembusan angin pagi yang menusuk pori. Merasakan keindahan, kedamaian, serta keharuman desa.Kami orang-orang yang baru turun dari kereta, berjalan menuju ruang penyerahan tiket. Setelah urusan tiket beres, masing-masing sibuk mencari transportasi untuk mengantarkan ke tempat tujuan. Suasana masih gelap, subuh masih belum sepenuhnya berlalu. Segera aku bergegas menuju musala, tampak sepi. Orang-orang yang biasa hilir mudik di stasiun ini, belum terlihat bayangannya. Segera aku berwudhu dan melaksanakan salat subuh. Usai salat, kaki langsung keluar dari gedung stasiun.Pandanganku terenyuh menatap puluhan tukang becak dan ojek yang mangkal di depan gedung stasiun. Mereka berteriak-teriak, optimis menawarkan jasanya pada orang-orang yang baru keluar dari gedung, termasuk padaku.
"Becak, Mbak ...!""Ojek, Mas! Pak ...!" pekik mereka bersaingan. Seorang tukang becak membuntutiku, menawarkan jasanya. Namun dengan lembut aku menolak. Jujur, aku tak mau merepotkan mereka. Lagi pula, tujuanku terlalu jauh jika untuk menaiki becaknya. Maka dari itu, terpaksa aku menolak bapak penarik becak itu dengan santun.Tak lama kemudian, dari jauh aku melihat sebuah delman. Terpikir olehku untuk menaikinya, sambil menikmati udara di pagi hari. Pasti asyik, pikirku. Apalagi selama ini, aku tak pernah menaikinya. Benar-benar rindu pada transportasi tradisional yang satu ini.Sambil menanti delman mendekat, aku diam di tempat. Terlihat Pak Kusir tua duduk di atasnya, sambil memegang tali kuda. Tak lama kemudian, kusapa ia dengan senyuman lembut. "Assallamualaikum, Pak."
"Waalaikumsalam, Nak," jawabnya ramah sambil menuruni delmanya. Lelaki tua yang memakai baju koko lusuh dan berpeci hitam itu tersenyum, lalu mendekatiku. "Mau diantar pulang ke mana, Nak?" tanyanya kemudian.
"Ke Puring, Pak," jawabku. Pak Kusir mengangguk ramah.
“Silakan,” ucapnya ramah. Dengan cepat, ia menaikkan semua barang-barangku ke atas delmannya. Setelah itu, perlahan aku naik dan duduk di jok samping kusir. Sekilas aku menatap raut mukanya, lelaki itu tampak senang dengan pekerjaannya ini. Delman perlahan melaju, menjauhi gedung stasiun.
Suara tapel kaki kuda begitu unik terdengar di telinga. Apalagi, suasana masih remang dan sepi. Sambil asyik mendengarkan kaki kuda yang seolah tengah berdansa, kuperhatikan pula ekornya yang terkibas-kibas lucu. Seolah menari-nari riang, seriang hati dan perasaanku. Ya, perasaanku yang kini tengah bahagia, karena akan bertemu dengan orang-orang yang sangat kurindukan. Tak bisa kubayangkan bagaimana terkejut dan bahagianya nenek nanti, saat beliau melihatku nanti.
Ah nenek, mengingatmu aku jadi semakin tak sabar untuk bertemu. Wanita tua yang sangat perasa ini memang sangat menyayangiku sejak bayi. Bagaimana tidak, kami adalah amanah terbesar kedua orang tuaku.
Mungkin karena beliau telah makan asam garam kehidupan, jadi sifatnya sangat perasa. Teringat dahulu, sewaktu beliau dan Dewi berada di rumah Mbak Sally, saat lebaran, beliau pernah bilang, bahwa ‘aku disuruh berhati-hati dengan kebaikan mereka berdua’. Nenek merasa, kebaikan mereka kelak akan menjadi buah simalakama bagi kami semua.
Mendengar itu, tentu saja aku menjadi bingung. Lalu kupinta nenek untuk menjelaskannya. Namun sayang, nenek tak mau berterus terang. Hanya disuruh lihat saja kelak. Bukan nenek tak suka, namun nenek merasa silau dengan keramahan mereka berdua. Kuakui, mereka berdua memang sangat baik. Semoga apa yang nenek risaukan tak akan menjadi kenyataan. Karena aku yakin, kebaikan mereka tumbuh dari dalam jiwa. Ah, rupanya aku telah melamun mengingat masa lalu.Lama aku perhatikan jalanan, masih sangat sepi. Hanya satu-dua orang saja yang mulai membuka pintu rumahnya. Mereka adalah para pedagang yang harus menyiapkan barang-barang dagangannya untuk dijual ke pasar.Angin pagi berhembus sepoi, dinginnya benar-benar menusuk pori-pori. Udara begitu segar, sengaja kuhirup dalam-dalam, hingga menembus kerongkongan, lalu kembali perlahan kuhembuskan. Sungguh, terasa kesegarannya. Tubuhku terasa nyaman, dan tak sedikit pun kantuk menyerang. Padahal hampir semalaman tidurku terganggu oleh para pedagang asongan di dalam kereta."Dari mana, Nak?" tanya Pak Kusir, membuka obrolan di pagi itu. Beliau enak memanggilku dengan sebutan 'nak' mungkin karena aku seusia anak-anaknya."Dari Jakarta, Pak," jawabku lembut.
"Kerja apa sekolah?" tanya beliau.
"Oh, kerja Pak"
"Tadi Bapak pikir anak sekolahan, soalnya kamu putih, bersih. Pakai kerudung lagi," tutur Pak Kusir.
"Ah, bapak bisa saja."
"Setahu Bapak, kalau kerja memang gak boleh pakai kerudung. Anak saya juga tidak boleh pakai kerudung sama majikannya," ucapnya lagi.
"Alhamdulillah, majikan saya baik, Pak. Saya boleh pakai kerudung, baik di rumah maupun di luar rumah."
"Alhamdulillah ya, Nak. Beruntung kamu."
Akhirnya kami ngobrol tentang banyak hal. Ternyata Pak Kusir juga dari Kecamatan Puring, tetapi sayang, aku tak begitu mengenalnya. Hanya sering melihat andongnya, tetapi tak pernah menaikinya. Maklum, sekolahnya dulu naik sepeda.
Setelah Pak Kusir tanya siapa orang tuaku, beliau sedikit kaget. Ternyata beliau sangat kenal dengan nenekku yang dulunya dipanggil juragan tempe. Katanya, dulu sering menaiki andongnya kalau mau ke kota.Hampir semua warga desa mengenal nenek. Begitu juga dengan aku, yang terkenal dengan cucu juragan tempe. Namun seiring bertambahnya usia, kini nenek tak mampu lagi berdagang. Beliau ingin menghabiskan masa tuanya untuk fokus beribadah.Tak terasa, perjalanan pagi itu sungguh mengasyikkan. Kereta kuda terus melaju, perlahan, namun pasti, meninggalkan Kota Gombong, dan memasuki daerah selatan kota. Jalanan masih tampak sepi, hanya lampu-lampu bohlam lima watt yang belum juga di matikan oleh pemilik rumah. Pertanda gelap belum sepenuhnya pergiSetengah jam berlalu, kami berdua masih tetap berbincang. Pak Kusir tua itu sangat baik. Dia banyak menasihatiku, agar jangan mudah terbawa arus zaman dan pergaulan kota. Menurut lelaki sederhana ini, zaman sekarang sudah tua, manusia-manusia banyak yang berubah menjadi edan. Dalam hati aku berkata, "Andai ayahku masih ada di dunia, mungkin tak jauh berbeda dengan Pak Kusir ini perhatiannya."Kota Gombong sudah jauh kami tinggalkan, kini kami memasuki daerah Kuwarasan, Puraganda, dan desa-desa lainnya. Di depan kami nanti, akan kami lewati Desa Sida Bunder, yaitu desa yang telah menyimpan seribu kenangan pahit bagi teman kelasku dahulu.Waktu itu, desa kami sedang dilanda musim hujan. Sudah beberapa hari, hujan tak juga berheti. Akibatnya, banjir pun terjadi di daerah-daerah rendah, misalnya di Desa Sitiadi, Daleman, dan Sida Bunder.Temanku ini, memiliki seorang putri yang masih berusia 3 tahun. Putrinya sangat manis, dan sedang lucu-lucunya. Hari-hari membuat orang-orang tertawa karena celotehnya. Pipinya yang tembam, dan bola matanya yang berwarna coklat, membuat orang-orang disekitar selalu saja ingin mencubitnya. Bibirnya mungil, rambutnya panjang ikal, sehingga jika ia berlari, rambutnya seolah ikut menari-nari lucu. Kulitnya yang putih dan bersih, membuat orang-orang selalu ingin menggendongnya. Pokoknya, dia sangat lucu. Apalagi jika kita mendengar celoteh-celoteh dari bibirnya yang masih cedal, terkadang kita dibuat terpingkal-pingkal olehnya. Itu karena dia belum bisa mengucapkan huruf 'r' dan 's'.Waktu itu, temanku sedang memasak nasi goreng untuk keluarganya yang berjumlah tujuh orang di dapur. Maklum musim hujan, mereka yang biasa ke sawah, akhirnya harus menganggur di rumah.Temanku ini sedang sibuk memasak. la mengira anaknya sedang diasuh oleh kedua adiknya yang sedang belajar bahasa Jawa dengan kedua orang tuanya. Bahkan suaminya mengira anaknya sedang tidur di kamar. Hingga akhirnya, tak ada kilat, dan petir, tiba-tiba tetangga sebelah rumah menjerit histeris, melihat baju mengapung di depan rumahnya.Seluruh penghuni rumah kaget bukan main. Mereka bergegas keluar untuk melihat kejadian. Dan alangkah kagetnya, saat mata mereka melihat bocah itu telah mengapung di atas air. Wajahnya pucat kebiruan. Dalam sekejap temanku menjerit histeris, sebelum pingsan bersama kedua adiknya. Seluruh warga geger melihat kejadian tersebut.Ya, itulah sepenggal kisah luka yang pernah singgah di hati temanku, beberapa tahun yang lalu. Kini, mereka telah jauh meninggalkan desa ini, menyambung masa depan di Kota Kembang
Fajar menyingsing dengan pijar-pijar cahaya yang menawan. Langit berwarna jingga, awan-awan tipis bergerak, menyibak mentari yang indah mengagumkan. Terlihat para petani yang rajin pergi ke sawah dengan cangkul di pundaknya, begitu pula dengan anak-anak sekolah yang berbaris menaiki sepeda jengki. Seketika pikiranku menerawang menyusuri lorong waktu, masa-masa di mana aku masih seperti mereka.Setiap pagi, kami akan menaiki sepeda bersama. Kami tertawa, bercanda, dengan riangnya. Ya, masa-masa sekolah memang indah. Kini di hadapanku, kembali aku saksikan masa sekolahku dulu. Ah, bagai dalam mimpi saja. Batinku.Mobil angkot berwarna orange menyalib delman yang aku naiki. Mobil ini, salah satu alternative angkot untuk pergi ke Kota Gombong. Mereka yang memakai jasa angkutan ini, biasanya adalah para siswa SMA Negeri Gombong, dan para pedagang di pasar-pasar.Hutf ...!Bersambung ....BAB 2NOSTALGIA MASA KECIL (1)Dada semakin berdebar saat wajah kedua orang yang aku cintai, mulai menari-nari di kelopak mata. Nenekku, sangat mencintai kami. Aku dan adikku, Dewi Lestari namanya. Beliaulah yang membesarkan kami, setelah kedua orang tua kami meninggal. Nenek mendidik kami dengan kasih sayang. Walaupun kami orang desa, namun nenek tidak menginginkan kedua cucunya hidup tanpa pendidikan, baik agama maupun pendidikan formal. Namun sayang, nasib kurang baik waktu itu menyapa kami.Saat aku baru lulus SMA nenek sakit keras, hingga berhari-hari tak sembuh. Saat itu aku hampir saja mendaftarkan diri ke Universitas yang aku suka. Tak tega melihat keadaan Nenek yang tak kunjung membaik, akhirnya aku putuskan untuk menunda kuliah. Dan uang tersebut, aku pakai untuk biaya berobat Nenek. Tak bisa kuliah, tak apa, yang penting nenek bisa sembuh seperti semula. Pikirku waktu itu.Setelah tamat SMA, aku mondok di pesantren
BAB 3NOSTALGIA MASA KECIL ( 2)Aku tak kuat menahan gelora rindu di dada, hingga tak lama kemudian lelehan sebening kristal mengucur deras di pipiku. Entah mengapa, kerinduan pada mereka muncul, menyeruak ke permukaan jiwaku. Ya, lama aku tak merasakan belaian lembut tangannya, mendengar nasehatnya, ataupun sekadar duduk-duduk sambil bersenda gurau bersama.“Ya Allah, andai saja mereka ada di sisiku saat ini, mungkin aku tak akan sedewasa saat ini. Kupasrahkan segalanya padaMu ya Rabb-ku. Engkaulah yang Maha Mengetahui apa yang tidak kami ketahui. Kuikhlaskan mereka berdua bersamaMu.” Perlahan kuseka air mata, kudekap foto itu erat-erat dalam dada, sambil perlahan berbaring di atas ranjang.*"Mbak! Dewi gak lagi mimpi 'kan? Kapan pulang? Kok gak kabar-kabar sih kalau mau pulang?" Suara Dewi, mengagetkan lelapku. Seketika aku terbelalak, lalu perlahan bangun. Kepalaku terasa sedikit berat. Namun terpaksa aku harus bangun karena belum sal
BAB 4Bunga RanduAdzan subuh berkumandang, menerobos alam mimpi, membangunkanku lewat celah-celah indera pendengaran yang begitu syahdu di telinga. Samar-samar terdengar gemericik air di sumur, dalam hati aku membatin, pasti Nenek sudah bangun.Perlahan kubuka ke dua mata. Terasa perih, namun pikiran mulai menata segala acara, jadi mataku tak bisa lagi terpejam. Kepala terasa berputar, dan aku belum berani turun dari ranjang.Krek....! Bunyi leherku, saat aku putar kanan dan kiri.“Alhamdulillah, mendingan lega. Sekarang perlahan kepalaku sembuh, dan badan terasa nyaman," batinku, langsung aku bangun dari tempat tidur, dengan sebuah pertanyaan dalam hati. Mengapa semalam aku bermimpi demikian? Melangkah ke sumur, kudapati nenek sudah selesai mengambil air wudhu."Pagi Nek, oya mau salat jamaah atau di rumah saja?""Aku mau jama’ah di musala, kaya biasanya, kamu mau ikut gak?" tanya nene
BAB 5 (revisi)Pantai Karang BolongPagi yang cerah, perlahan terang, bumi kembali disapa sang surya. Lembut cahayanya, selembut hati bidadari-bidadari surga, sungguh angin yang bertiup sepoi, mampu membuatku terlena. Burung-burung kecil yang berkicau riang, seolah tengah berkasidah ria, bertasbihkan lagu-lagu keagungan Sang Khaliq. Aku terpana menatap keindahan Pegunungan Kulon. Dalam hati aku bertasbih, mengikuti burung-burung itu."Wah, benar-benar cantik pegunungan itu dari kejauhan ya," puji Dewi, yang juga ikut melongo."Karang Bolong! Karang Bolong....!" suara seorang kernet mobil angkot mencoba menawari jasanya. Kami berdua menggelengkan kepala. Sebenarnya sudah dekat, tinggal 10 menit lagi perjalanan sampai, namun aku sengaja ingin menikmati indahnya suasana pagi, dengan berjalan kaki."Sebentar lagi musim tandur ya Dik, lihat.” Aku menunjuk sawah yang terhampar luas.Walau masih terlihat pendek pohon padinya, namun semua sama r
Bab 6Kecelakaan Merenggut ayahkuEmpat tanda hati dijadikan satu, mirip bunga sepatu yang tengah mekar. Cantik, masing-masing bunga itu, ada nama-nama yang membuat dia tersenyum, wajahnya yang kemerahan karena sinar mentari, membuatnya bertambah manis."Terima kasih Dik," Ucapku, kala terlihat namaku disalah satu tanda hati itu. Yang lainnya ada nama ayah, ibu, dan nenek."Kok gak ada kamu Dik," tanyaku."Mbak, bunga ini ada dalam hatiku," jawabnya, sambil tersenyum, namun aku tahu, dibalik senyum itu, dia juga merindukan ayah dan ibu.Aku menghela nafas, mataku terpejam sesaat. Sengaja kubiarkan anganku menerawang, menelusuri masa lalu, saat aku berada di atas delman, di pangkuan sang bunda, tujuh belas tahun yang silam. Hanya itu yang mampu aku ingat dalam memory ingatanku.Aku duduk di atas pangkuan ibu, sementara Dewi dipangku oleh ayah. Saat itu, usi
BAB 7ZIARAH KUBUR"Kenapa?" tanyaku heran."Soalnya nanti kalau lewat depan, kita gak sampai-sampai rumah. Tuh, di rumahnya Yu Binti banyak orang, nanti mereka nanya ini, itu, lalu kita berhenti lagi. Bisa-bisa ikanku bau deh, sampai rumah," jawabnya. Aku tertawa melihat kelucuan Dewi."Iya deh, Mbak nurut aja."Kami lewat belakang rumah, dan sampai dengan lebih cepat. Yah, begitulah hidup di desa, jika ada kabar sedikit saja, akan lebih cepat diterima masyarakat luas. Baik kabar baik, maupun kabar jelek."Assallamualaikum ..."Nenek segera menjawab salam kami."Masak apa Nek?" tanyaku, saat Nenek terlihat agak sibuk memindahkan panci-panci ke atas kompor, bergantian."Mbubur kacang ijo Cu, (Cu untuk sebutan putu, atau cucu)" jawab Nenek. Mendengar bubur kacang hijau, anganku langsung membayangkan kelezatannya."Nek, hari ini aku yang masak ya," sela Dewi. Nenek diam sesaat, mungkin heran.
Bab 8Cobaan BermulaSeminggu di Jawa, bagai sehari terasa. Waktu berlalu begitu cepat tanpa kuminta. Akhirnya, aku harus kembali ke Jakarta. Setelah sampai di Stasiun Jati Negara, aku dijemput oleh Pak Surya, Ayah Mbak Sally.Dia memberikan kunci rumah anaknya padaku. Terus terang, memasuki rumah ini, bagai membuka memory dalam ingatanku 3 tahun silam. Di mana aku untuk pertama kalinya, mengenal, serta memasuki rumah mewah ini. Waktu itu, sendirian aku datang ke Jakarta. Tujuannya, ingin berkunjung ke rumah teman, sambil mencari kerjaan jika ada. Aku yang tak terbiasa dengan kota metropolitan, akhirnya harus kesana-kemari, bingung karena melihat lautan manusia, dan bisingnya suara angkutan kota. Akhirnya, aku tersesat di jalan-jalan yang sempit serta berbau busuk.Banyaknya rumah-rumah kumuh dan sampah-sampah basah yang berserakan, menambah lagi satu beban dalam pikiranku, yaitu mual yang tak kunjung muntah. Kepala terasa berat,
bab 9Di ruangan yang serba cantik ini, kami berdua diam membisu. Dalam diam, aku bertanya dalam hati. Mengapa wanita ini duduk di kursi roda? Apakah dia sakit? Atau cacat? Mas Raihan ke dalam, ia memberesi berkas cuci mobilnya tadi. Tak lama kemudian, dia muncul dengan tiga cawan air teh panas."Silahkan diminum Dik," ucapnya ramah. Aku grogi. Lalu meminum air tersebut dengan tangan agak gemetaran. Entahlah, mungkin aku benar-benar merasa tak enak dengan kebaikan Mas Raihan."Maaf, hanya ada air, Dik. Maklum, lagi gak ada pembantu di rumah," selorohnya. Aku menelan ludah mendengar ucapan Mas Raihan."Oh ternyata punya pembantu to, pantesan rumahnya bersih sekali," batinku."Pembatunya kemana Mas?" tanyaku, memecah rasa grogi."Kemarin siang pamitan pulang. Katanya, mau ngurus anaknya di kampung. Dan sekarang belum ada ga
Bab 20MBAK SALLY PINGSAN!“Gak apa-apa, asinkan lebih baik daripada asam,” sela Mas Raihan. Mendengar ucapannya, aku jadi tak selera makan. Entahlah, aku sendiri tak tahu mengapa. Namun anehnya, mereka berdua tetap lahap.Dalam diam, aku amati Mbak Sally. Setelah ucapannya sore tadi, mengapa seolah tak terjadi apa-apa. Mereka tetap rukun dan harmonis. Aku jadi ragu dengan kejadian sore tadi. Apakah itu nyata, atau hanya mimpi belaka?“Keluarga yang harmonis dan rukun seperti saat ini, haruskah nantinya hadir orang ketiga? Tidak! Aku tidak mau menjadi benalu dalam keluarga ini. Aku tak Mauuuuuu….!!”“San, kamu kok ngelamun. Tolongin aku ambil tempe gorengya dong,” suara Mbak Sally membuyarkan lamunanku. Seketika, khayalanku kembali ke bumi. Dengan cepat, aku mengambilkan tempe untuk Mbak Sally. Namun sayang, pada saat yang tak terduga, tanganku tiba-tiba merasakan lemah ya
bab 19TERCENGAN (DIJODOHKAN)"Terkadang, aku merasa bersalah, bahkan berdosa padanya, San. Sebagai istrinya, aku tak mampu memberikan dia kebahagiaan, lahir dan batin. Sungguh, aku merasa berdosa pada dia San,” ucapnya, sedikit menunduk, pedih.Aku terdiam, bingung hendak berucap sesuatu. Walaupun aku tak memahami semua ucapannya, namun sedikitnya aku faham, kemana arah ucapannya. Ya, aku hanya mampu menggigit bibir. Mataku mulai menghangat, mendengar penuturannya“San, kamu tahu, jarang ada suami seperti suamiku,” aku mengangguk pelan, semua kudengarkan pujian demi pujian buat Mas Raihan. Memang tak kunafikan, dia adalah suami yang terbaik yang pernah kusaksikan. Kagum aku pada sabarannya. “Boleh aku tanya sesuatu, San?”“Silahkan Mbak. Selagi aku bisa jawab, insya Allah akan kujawab,” Mbak Sally menghela nafas. Ia menatap wajahku dalam-dalam. Aku sendiri, jadi serba bingun
bab 18MEMILIHKAN JODOH“Sebuah maghligai keluarga, memang tidak akan lengkap tanpa hadirnya si buah hati.” ucap Mbak Sally, sambil menerawang ke luar. Kami terdiam.“Budhe, Lifki mau liat dola emong.” Rayu Rifki, sambil menarik-narik tangan Mbak Sally.Tak lama kemudian kusetel TV chanel kesukaannya. Begitu melihat film dora emon, dia langsung senang. Diam di pangkuan Mbak Sally dengan tenangnya, hingga film selesai. Bahagia rasanya, melihat mereka berdua tertawa ceria. Rumah terasa hidup, jika terdengar suara celoteh, tawa dan canda dari anak-anak.“Rifki, filmnya udahan apa belum?” Tanya Shinta, ibunya. Bocah itu diam tak merespon. Pandangan matanya lekat menatap layar televisi. “Pulang yuk, nanti Nenek nyariin kita lho.” Kembali Shinta mencoba mengalihkan perhatian mata anaknya. Namun sayang, bocah itu tetap bergeming. Ia hanya terkekeh oleh ulah si gendut Jaya, dan  
Bab 17PENASARAN USIA INSANIWaktu maghrib menjelang, seperti biasa, kudorong kursi roda Mbak Sally ke kamarnya. Tak lama kemudian, kubantu dia berwudhu, lalu salat. Begitu pula denganku, setelah berwudhu, aku pun salat maghrib di kamarku. Selesai salat, dia akan membaca Al-Qur’an sebentar, dan aku menyiapkan makan malam.Tak lama kemudian, deru mobil memasuki halaman rumah. Mas Raihan pulang dari kantor. Terkadang dia salat berjama’ah di masjid dekat rumah, namun terkadang pula dia salat di rumah, di ruang kerjanya.Jam delapan tiga puluh menit kami semua makan malam bersama. Satu hal yang menjadi disiplin di rumah ini, yaitu selalu bekerjasama dalam bekerja. Mas Raihan suka sekali makan buah, maka tugas dia adalah membeli buah, mencuci, bahkan mengupas buah buat kami.Mbak Sally diam di meja makan sambil menanti buah yang tengah dicuci oleh suaminya. Tugasku mencuci piring, mengelap kompor, beserta alat-alat ma
BAB 16PERTOLONGAN UNTUK HANIFSeperti janji Tuhan, yang selalu adil dan bijaksana. Ia akan memberikan hidayah untuk sesiapa saja yang berusaha mencarinya. Bukan hanya menunggu, berpangku tangan, tanpa berusaha. Ya, seperti dalam proses Mbak Sally dalam menemukan hidayah, pastinya bukan jalan yang mulus dan mudah. Namun, sebuah perjalanan yang panjang, terjal, serta berlika-liku. Dan kini beliau merasa tenang, bahkan bahagia dengan kehidupannya saat ini. Hidup yang sederhana, yang selalu berbagi dengan sesama, dan kehidupan karena Allah, Zat yang patut disembah*****Pernah di suatu senja, setelah kami selesai mengaji, dia bercerita pada kami tentang impian-impiannya. Bu Siti dengan lembut, mengelus punggungnya. Dengan doa, dia menjawab, “Ya Rabbku, yang Maha Mendengarkan Doa setiap Hambanya, semoga Engkau kabulkan harapan serta doa saudariku ini. Kami inginkan ridha_Mu ya Allah. Maka kabulkanlah harapan kami be
BAB 15Mendatangi anak yatimInilah pertama kali aku mendengar Mbak Sally memotivasi dan menasehati orang lain, agar ikhlas dan menerima keadaan hidup. Aku merasa, dia benar-benar telah berubah. Kini dia lebih mensyukuri nikmat, dan tabah dengan cobaan hidupnya. "Dengan mendekatkan diri pada Sang Khaliq, hidup terasa damai." Ucapnya padaku kala itu.*****Kedua pihak keluarganya pun semakin senang, apalagi dengan perubahannya. Kini, mereka mengikuti jejak Mbak Sally, meluangkan waktu mengunjungi tempat-tempat yang membuat damai, serta hati tenang. Dengan membawa baju, peralatan sekolah, atau buah tangan berupa jajan, mereka berbagi dengan para kaum dhuafa dan anak yatim.“Mama, aku benar-benar bahagia, lihatlah semua anak-anak ini,” ucap Mbak Sally kepada Bu Hardi sambil membagikan jajan pada anak-anak.“Betul Nak, hidup memang harus saling berbagi, lihat
Bab 14.Bangun dari terpuruk"Suami sangat tertekan dengan kenyataan ini. Dan semenjak kejadian itu, aku selalu merasa bersalah padanya. Entahlah! Mungkin inilah balasan bagiku, orang yang tak bisa mensyukuri nikmat Tuhan, bahkan menyekutukannya."ceritanya.Kini aku tak mampu menahan genangan air mataku. Mengalir deras, bagai air bah. Kupeluk tubuhnya yang kurus itu erat-erat. Rasa iba, dan trenyuh, tiba-tiba memenuhi relung jiwaku."Maka dari itu, aku selalu menganggap, bahwa Tuhan itu tidak adil padaku. Tuhan hanya memberikan beban, cobaan, dan kesengsaraan untuk hidupku. Bahkan setelah kejadian itu, aku benci padanya. Benci dengan semua orang, dan benci dengan yang namanya kehidupan." Mbak Sally mulai terisak."Hingga detik ini, aku belum mampu menerima kenyataan, bahwa musibah itu karena kesalahanku sendiri. Apa yang kita tanam, itu yang akan diunduh bukan?" Me
Bab 13Kecelakaan merenggut janinku"Gak tahu, Mbak," jawabku, pura-pura tak tahu. **"Sebab dulu aku merasa, bahwa Tuhan itu tak adil pada hidupku. Tuhan jahat, dan tak memihakku. Kebahagiaanku, seolah diobrak-abrik oleh malapetakanya," Jawab Mbak Sally. Seketika ia menunduk."Dulu, pernikahan kami berusia lima tahun. Rasa sepi menyapa, kala di rumah yang sebesar ini, tak ada celoteh seorang bocah. Namun sampai detik itu, aku belum ada tanda-tanda untuk memiliki momongan. Sebagai seorang istri, aku merasa ada yang tidak beres dalam diriku. Akhirnya, setelah aku mencari informasi tentang dokter kandungan ke sana kemari, seorang sahabat menyarankan aku untuk pergi ke dokter special langganannya." Cerita Mbak Sally."Katanya, dulu pernikahan sahabatku ini, hingga 10 tahun, belum juga dikaruniakan momongan. Akhirnya, setelah mereka pergi ke dokter ini, tak la
Bab 12Senyuman pertamaKeesokkan paginya, seperti biasa. Bangun awal, shalat subuh dan mengerjakan rutinitas harian. Jam 10 pagi, kuketuk kamarnya, lalu membangunkan dia. Seperti biasa pula, beliau pasti akan menatap malas jarum jam di atas daun pintu kamarnya.Tak lama kemudian aku menolongnya mengangkat ia ke kursi roda dan mendorongnya ke kamar mandi. Hingga setengah jam kira-kira, kami baru selesai. Setelah beres di kamar mandi, kami menuju ruang tamu. Sarapan.Ketika dia sarapan, aku mengemas kamarnya. Terlihat bungkusan pemberianku tergeletak di lantai, tiba-tiba hatiku berdebar. Ada rasa nelangsa yang menyelinap ke dalam qolbuku. Dalam hati aku tertanya. Mungkin dia tak suka, maklum, hadiah-hadiah semalam itu berupa mas dan sutera.Namun bungkusan dariku, hanya sebuah buku tebal, yang pastinya malas untuk dibaca. Kembali kuraih, dan kudekap bungkusan erat-erat di