Jumlahnya semakin bertambah, mungkin ada seratus lebih sedikit. Semuanya menghunus senjata khas Kelompok Macan Ucul, golok.
Mungkin ini kali pertama Danurwenda menghadapi lawan begitu banyaknya, tapi dia tetap percaya diri. Ia menarik napas dalam-dalam.Danurwenda alirkan hawa sakti yang didapat dari Putri Angin dengan cara menyenangkan. Pemuda ini sedikit tersenyum bila mengingat hal itu.Sementara Kelompok Macan Ucul juga merasa yakin dengan mengepung musuh dalam jumlah besar, mungkin seluruh anggota sudah berkumpul di sini kecuali yang sedang bertugas di luar.Mereka mengurung Danurwenda dengan beberapa lapis. Di antara mereka ada beberapa yang ilmunya setingkat dengan wakil ketua.Di saat sudah siap bertempur, tiba-tiba Danurwenda merasakan kehadiran hawa sakti lain di dekatnya. Hawa sakti yang tidak asing baginya sejak dia masih kecil."Eyang?" lirih Danurwenda.Dari kecil sampai sekarang dia tidak pernah tahu sosokBurung raksasa ini melenting ke atas lalu menukik ke bawah dengan cara berputar. Danurwenda terkejut karena burung tersebut meluncur ke arahnya seperti hendak menerkam.Tambah terkejut lagi dari belakang menghempas angin kuat, lalu terdengar suara melengking memekak telinga."Kraaak ...!"Danurwenda menoleh sedikit ke belakang, ternyata ada satu burung raksasa lagi yang juga tengah menukik ke arahnya. Burung ini bulunya berwarna putih kemerahan. Ukurannya sedikit lebih besar dari yang pertama.Si pemuda sudah siap menghindar dengan melompat ke atas menggunakan Ilmu Raga Angin. Akan tetapi baru setengah jalan kedua burung itu tiba-tiba meliuk ke atas lagi seolah membatalkan niatnya menerkam Danurwenda.Pendekar muda ini tidak menyadari dari kepalanya memancarkan cahaya putih berkilau yang membuat mata kedua burung silau sehingga mengurungkan serangannya.Danurwenda heran, tidak tahu apa sebabnya. Sudah dua kali cahaya putih dari d
Untungnya sepasang rajawali tunggangan milik orang tua Danurwenda ini mengerti. Mereka tidak memaksa pemuda itu untuk tinggal di sana. Mereka juga paham masalah yang sedang dihadapi putra majikan mereka itu.Akhirnya Danurwenda di antar ke luar gua dengan menunggangi rajawali betina atau yang disebut Bikang ini. Danurwenda diturunkan di kaki gunung sebelah timur."Terima kasih, Bibi Bikang!" begitulah Danurwenda menyebutnya sekarang.Si Bikang angguk-angguk kepala lalu mengepakkan sepasang sayapnya sehingga tubuhnya melayang ke atas. Angin yang berhembus akibat kepakan sayap tersebut cukup kuat, tapi tidak sampai menggoyahkan Danurwenda.Kemudian Danurwenda berkelebat dengan Ilmu Raga Angin, tetapi baru belasan tombak ke depan dia memperlambat gerakannya.Pemuda ini memasuki sebuah hutan kecil yang tidak begitu rindang, sehingga cahaya matahari masih bebas menembus ke tanah.Yang membuat Danurwenda melambatkan larinya, di depan s
Markas tugas perbatasan timur.Di ruang depan rumah tugas, Sutasena kedatangan dua orang tamu, semuanya laki-laki bertampang gagah. Dari pakaian dan perawakannya mencirikan mereka dari kalangan pendekar.Kedua pendekar ini sama kekar, tingginya rata-rata orang biasa saja. Yang satu kulitnya agak gelap, wajahnya terlihat kasar ditambah rambut yang tergerai tanpa ikat kepala membuat orang ini terkesan urakan."Terima kasih atas kesediaan Tuan Pendekar berdua memenuhi undangan saya, Pendekar Cakar Naga," Sutasena menjura kepada orang ini. "Dan Kampala Si Kaki Besi!" Kemudian Sutasena juga menjura kepada lelaki satunya.Kampala Si Kaki Besi tampilannya lebih bersih dan rapi dari pada Pendekar Cakar Naga. Rambutnya tersisir rapi dikuatkan oleh ikat kepala bercorak batik. Kulitnya juga lebih terang.Sebagai ciri khas dan sesuai dengan julukannya, kedua kaki Kampala mulai dari telapak sampai di bawah lutut terbungkus kain hitam yang dililit deng
Pertarungan dua senapati melawan dua pendekar pendukung Sutasena. Secara tenaga dalam, kedua pendekar itu lebih unggul dibandingkan dua perwira kerajaan Galuh ini. Namun, senapati Gandara dan Jayana pantang mundur.Prabarini berdiri di dekat Ki Dirah, dia telah memberi tahu prajurit di tempat itu sebelumnya agar tidak ikut campur urusan atasan mereka dengan menjelaskan bahwa Sutasena hendak memberontak. Jadi dari pada dicap pemberontak lebih baik berdiam diri saja."Pergilah tangkap dia!" kata Ki Dirah. Nada suaranya berbeda dari biasanya. Sikapnya juga seperti bukan orang biasa. Lalu dia mengawasi pertarungan dua senapati, tetapi tangannya tampak memberikan sesuatu kepada Prabarini.Gadis ini menerima benda itu lalu langsung menelannya, setelah itu segera bergegas masuk mengejar Sutasena.Sesuai dengan julukannya, Kampala lebih sering menggunakan kedua kaki untuk menyerang lawannya. Meski begitu Senapati Jayana tidak mau kecolongan karena sewaktu
"Mohon ampun Gusti Senapati, hamba terpaksa membawa Putri Prabarini mengungsi dari desa. Karena tidak diduga sekelompok orang bertopeng datang merampok dan membantai seluruh warga. Kami mengungsi ke daerah wetan karena lebih aman."Hamba ingat ada ciri khusus pada gerombolan perampok itu dan lebih dipertegas oleh si pemimpin yang ternyata seorang wanita bernama Citrasari. Wajahnya sangat mirip dengan Gusti Putri dan ternyata dia adalah Putri Prabu Gandacitra dari kerajaan Kawunghilir yang telah musnah beberapa tahun yang lalu."Setelah diselidiki ternyata mereka sedang menyusun kekuatan untuk menggempur Galuh. Lebih parah lagi Citrasari tahu wajahnya mirip dengan Prabarini. Maka, hamba harap Gusti Senapati berhati-hati akan kedatangan Citrasari yang menyamar sebagai Gusti Putri, karena mereka akan menuju ke kota raja."Orang-orangnya akan selalu mencari Gusti Putri, menghalangi atau bahkan membunuhnya. Maka hamba segera membawa Gusti Putri mengungsi ke tem
"Masih ada cara lain kalau kau ingin meraih cintamu," kata Ki Dirah alias Prabu Gandacitra."Berarti Ayah tidak akan membunuhnya?" Ada setitik harapan dalam benak Prabarini. Perasaannya memang sudah begitu mendalam terhadap Danurwenda."Asal kau lanjutkan perjuangan!" pinta sang ayah."Bagaimana caranya?""Untuk sekarang ini biarlah dia tidak tahu siapa kita. Nanti, setelah kita menduduki istana Galuh, baru kau mencarinya, menariknya ke istana!"Bola mata Citrasari mendadak berbinar, wajahnya tidak lagi sayu, berubah cerah dan seperti memancarkan harapan. Kalau dia dan ayahnya sudah berkuasa di Galuh, tidak mungkin Danurwenda akan menolaknya."Baiklah, aku akan melanjutkan perjuangan membangkitkan kembali Kawunghilir!""Aku akan mencegah Danurwenda mendekatimu untuk sementara sampai perjuangan kita berhasil. Berjaga-jaga agar dia tidak mengetahui kita yang sebenarnya,""Dan Ayah harus berjanji, tidak akan beruba
Dua orang berkuda ini tidak lain Senapati Jayana dan Gandara, sedangkan orang yang diikat dibawa di atas kuda tunggangan Senapati Jayana adalah Sutasena.Kedua senapati ini langsung turun begitu sampai di depan Raden Jatnika. Mereka menjura bersama."Lapor, Gusti. Kami membawa pengkhianat yang hendak melakukan makar," kata Senapati Jayana setelah menjura lalu menunjuk ke Sutasena yang melintang di atas punggung kuda."Aku sudah tahu!" ujar Raden Jatnika. Kedua senapati langsung memandang ke arah Danurwenda, mengira pemuda itu pasti sudah memberi tahu."Tapi, yang lebih berbahaya bukan dia," lanjut Raden Jatnika membuat kedua senapati saling pandang tidak mengerti.Yang mereka tahu putra sulung Raja ini memiliki kesaktian yang linuwih, seperti manusia setengah dewa yang bisa weruh sedurung winarah. Akhirnya Gandara dan Jayana menunggu penjelasan lebih lanjut."Kalian melihat seorang lelaki tua bersama Prabarini?" tanya Raden Jatni
Citrasari menjadi tegang ketika kereta kuda tiba-tiba berhenti. Gadis ini segera melihat ke depan. Sementara Ki Dirah tampak tenang saja. Salah seorang prajurit berkuda menghampiri dari sisi kereta."Kira-kira dua puluh tombak di depan sana ada empat orang menghadang di tengah jalan, salah satunya Danurwenda," lapor si prajurit.Citrasari langsung terkejut, hatinya jadi berdebar-debar. Empat orang? Siapa tiga orang lainnya?Sang ayah melihat jelas kecemasan di mata putrinya. "Kamu tenang saja," katanya, "maju terus!" perintahnya kepada prajurit tadi. Kereta pun melaju lagi."Dia sudah tahu siapa kita sebenarnya," lanjut Ki Dirah atau Prabu Gandacitra."Bagaimana dan dari mana dia bisa tahu?""Kau masih ingat ketika dia aku jebak dengan kematian Senapati Mandura?" tanya Prabu Gandacitra mengingatkan.Prabarini palsu mengangguk pelan. "Dia hendak memberikan sebuah benda titipan dari seorang bekel,""Aku menduga dan kemungkinan be