“Josh aku hamil,” lirih Tatu pada pria iris abu gelap yang duduk nyaman di hadapannya.
“APA!!” teriakan nyaring Josh sudah menandakan bahwa pria itu sangat terkejut. Sontak berdiri berjalan mondar-mandir dan berkacak pinggang.
“Iya aku HAMIL!!” sungut Tatu tegas, ikut berdiri. Menatap nanar pria yang juga sedang berkacak pinggang memicing padanya.
“Bukankah kamu selalu meminum pil-mu?” cecar Josh dengan kepala ia miringkan dan pandangan menyelidik.
“Kamu pikir aku sengaja menjebakmu? mati saja kau!” umpat Tatu tidak terima. Ia tidak tahu kehamilannya adalah anugerah atau musibah. Dokter pernah memvonisnya akan susah memiliki keturunan karena riwayat penyakit yang ia derita. Bahkan ia masih harus terus mengonsumsi pil dan juga obat-abatan supaya ia tidak merasakan kesakitan saat periodenya datang.
“what the hell, Ania! Lalu bagaimana kamu bisa hamil?” Josh mengacak rambut tembaganya kasar.
“Kamu lupa, berapa puluh kali kita beecinta? hah!?” sanggah Tatu dengan mata berapi-api. Dadanya naik turun, emosinya meledak seperti gunung berapi yang menyemburkan lavanya.
“Kamu lupa? Pil sialan itu buatan manusia? Dan anak dalam rahimku ini adalah hasil perbuatanmu,” cicit Tatu nelangsa, mengempaskan pantat pada sofa empuk apartemen Josh. Harapannya untuk bahagia terhempas.
“Ania, yang kamu minum memang pil kontrasepsi atau kamu salah? Jangan-jangan yang kamu minum adalah vitamin?” tuduh Josh masih tidak percaya, sulit rasanya menerima pada detik itu. Kasusnya sedang banyak, seharusnya Ania panggilan kesayangannya untuk Tatu datang kepadanya untuk memanjakan, memadu kasih, dan mendesah nikmat di bawahnya. Bukan malah berteriak dan mengumpat kasar padanya.
Mendekati Tatu dan duduk disampingnya, ia raih tangan gadis. Bukan ia sudah mengambil kegadisannya. Ah, Sialan! Feromon perempuan disampingnya begitu kuat, hanya bersentuhan saja sesuatu yang tersembunyi bergejolak, seperti sangat hapal dengan pasangannya. "Tenanglah, coba kau ingat-ingat lagi, mungkin kau lupa meminumnya?"
“Aku tidak bodoh, Josh. Jelas sekali itu pil yang selalu dokter resepkan untukku. Dan aku tidak pernah lupa. Seharusnya kamu memakai kondom kalau kamu tidak ingin aku mengandung anakmu!” ucap tatu masih dengan nada yang tidak bersahabat.
Tentu saja.
"Itu tidak enak, aku tidak menyukai benda itu. Sangat merepotkan," kilah Josh.
Nah! Jawaban Josh menjelaskan semua bukan. Siapa yang ingin bersahabat dengan pria brengsek seperti itu, tapi dengan bodohnya ia malah melemparkan diri. Menenggelamkan diri sendiri dalam lumpur dosa, padahal dulu ia sering mewanti-wanti sahabatnya untuk bisa menahan diri apalagi dengan lelaki bule.
Ia bahkan melupakan kegiatan setiap minggunya mengikuti kajian di Majlis Ta'lim yang tak jauh dari kost. Dia malah sibuk bercinta dan memadu kasih dengan pria menjijikan yang sedang menatapnya dengan pandangan yang, entahlah Tatu malas menatap pria itu lama-lama.
Mungkin jika Lara mengetahui, ia akan dikuliti hidup-hidup. Ia pikir Josh adalah pangeran baik hati dan penyayang seperti Gary. Yang sangat menyayangi Lara, rela melakukan apapun demi sahabatnya, bahkan rela berpindah keyakinan demi menikahi Lara.
Iri. Tatu sangat iri.
"Aku pikir kau berbeda Josh .... "
Pada awalnya, ia pikir Josh tidak berbeda jauh dengan Gary, lelaki itu manis di awal, tapi ternyata pahit di akhir. Ketakutan akan dibuang dan ditinggalkan tentu saja ada, tapi pantang bagi Tatu untuk mengemis. Ia sudah merasakan sakitnya tidak dihargai oleh keluarganya. Mencoba menyandarkan hati pada pria yang duduk disampingnya, yang masih memandang dengan tatapan mesum khas Josh. Ternyata nyali pria itu tidak lebih besar dari kelaminnya.
“Ania sayang, dengarkan aku ....” panggil Josh dengan suara nyaris berbisik, berharap emosi kekasihnya mereda. Membawa tangan mungil itu ke bibirnya dan mengecup dengan penuh kasih.
“Berhenti memanggilku Ania, aku tidak mau kau aniaya,” desis Tatu yang membuat Josh sedikit menahan gelitikan untuk tertawa. Kekasih yang ia kenal memang humoris dan sering melontarkan candaan. Josh berharapan candaannya akan meluluhkan emosi Tatu.
“Baiklah, aku tidak bermaksud menganiaya kamu, Baby. Aku hanya menawarkan kesepakatan,” ucap Josh dengan suara ia rendahkan. Tidak mungkin melawan perempuan di hadapannya, kelabilan emosi akan mempengaruhi kesehatan juga janinnya. Josh terkejut, memang. Tapi setelah ia pikir dan menimbang, bukankan dia bukan pengecut? Dia pengacara kelas Internasional. Sudah banyak kasus ia pecahkan.
" Redakan emosimu, itu tidak baik untuk janinmu ..." Josh melunak, hanya masalah kehamilan kekasihnya tidak lantas membuatnya akan murka dan hilang kendali. Kecuali perempuan ini tidak memakai apapun, sudah pasti akalnya akan hilang saat itu juga. ‘Ck’ saat marah pun Ania-nya masih sangat menggemaskan.
“Kesepakatan katamu!?” kekehan frustasi dari bibir Tatu membuat Josh meringis. Dia memang ahli dalam membuat kesepakatan sesuai profesinya. Namun kali ini kata-katanya seperti hilang tertelan iris coklat pekat yang menatap bengis bagaikan musuh.
“Look, Baby. Aku belum mengatakan apapun. Setidaknya dengarkan aku dulu,” ucap Josh mencoba bersabar, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan.
"Tatap aku, Sweetie ...."
Dia benci merasa gugup di hadapan seorang perempuan, itu bukan gayanya sekali. Aura magisnya biasanya akan membuat perempuan menggelepar di bawahnya. Namun perempuan yang mengaku mengandung anaknya ini memang selalu berbeda. Rayuan mautnya bahkan sulit menembus benteng egonya, hanya selaput daranya saja yang berhasil ia tembus dengan mudah. Eh!
“Lalu apa yang akan kau katakan? menuduh ini bukan anakmu? atau apa?” ucap Tatu dengan tidak sabar, dia sudah menempuh perjalanan jauh untuk menuju apartemen pria yang mengaku kekasihnya, tapi malah terkejut saat ia mengaku hamil. Seharusnya dia tertawa bahagia seperti pasangan luar negeri yang selalu ia lihat di televisi maupun di media sosial.
Karena gemas perkataannya selalu di potong, Josh meraih dagu perempuan mungil di hadapannya, memagut bibir itu dengan kasar. Tatu yang terkejut, dengan spontan memukul pipi Josh hingga tautan bibir mereka terlepas.
“Bisa ga sih Josh, kamu hilangkan sifat mesum kamu. Hilangkan dulu nafsumu. Aku sedang panik. Aku ingin menyelesaikan hari ini juga!” Tatu bangkit menjauh dari jangkauan Josh, dia emosi, tapi dia tidak menampik berdekatan dengan lelaki itu melemahkan imannya.
“Maaf, aku tidak bisa mengendalikan diriku, aku merindukanmu. Aku membayangkan kau datang dan kita memadu kasih. Bukan membahas hal yang tidak penting,” sela Josh dengan nada enteng. Membuat Tatu semakin meradang.
“Tidak penting katamu!? Aku harus menanggung malu nanti Josh. Aku belum menikah tapi aku sudah hamil!” jerit Tatu tak bisa mengendalikan diri, matanya mengembun. Ia segera mendongakkan kepala, menghalau rasa panas di kelopaknya. Dia harus kuat, tidak mau terlihat lemah di depan lelaki tidak berperasaan yang duduk dengan menyangga sebelah kaki pada paha yang lain, juga kedua tangan tersandar santai di lengan sofa, seperti juragan yang menati kekasih hati melemparkan diri.
“Kamu bisa tinggal denganku, tidak akan ada yang menggunjingmu, aku menerima kehamilanmu, Baby. Itu bayiku.” kata Josh dengan yakin, apa yang harus dikhawatirkan. Josh tahu itu memang anaknya, karena ia percaya Tatu hanya berhubungan badan dengannya sejak pertama kali. Dia yang pertama untu perempuan manis itu, ingat?
“Maksud kamu? Kumpul kebo gitu? Sialan kamu Josh.” murka Tatu, ia mengambil buku di rak samping tempat ia berdiri. Melempar dengan membabi buta semua buku yang tersusun rapi ke arah pria yang masih berekspresi biasa saja.
Dia bukan jalang, yang akan hidup dengan pria yang bukan suaminya. Dia memang berdosa karena sudah berzina. Namun dia tidak akan menambah banyak dosa dengan tinggal berdua saja dengan pria yang sudah membuatnya harus menanggung derita lain dalam hidupnya.
“Bukan kumpul kebo, Baby. Apa itu kumpul kebo?” tanya Josh tidak mengerti istilah yang Tatu berikan. Tatu berdecak, ekspresi menjengkelkan Josh membuatnya semakin ingin melempar pria bertubuh besar seperti kuda nil itu ke neraka.
“Sama saja, itu istilah kami untuk hal yang kamu maksud. Kamu ingin kita living together bukan?” geram Tatu, perutnya sedikit nyeri karena emosi yang sedari tadi menguasainya.
“Bahkan Brad Pitt dan Angelina Jolie hidup bersama hingga anak mereka besar, CR7 dan Georgina juga. Mengapa kita tidak … ” sanggah Josh meyakinkan, masih dengan ekspresi menyebalkan.
“Aku bukan mereka Josh, aku bukan artis. Aku hanya rakyat jelata, yang akan di cibir tetangga kala kamu terlambat pulang, yang akan menjadi gosip satu kampung saat tahu perutmu membesar tapi kamu belum ke KUA, saat kamu sukses tapi dikira ngepet. Ini negaraku Josh. Indonesia, bukan Irlandia, atau Italia.” rengek Tatu, meluruhkan pundak yang terasa berat, emosi menguras tenaganya. Ia ingin pulang, merebahkan diri. Hati dan jiwanya lelah menghadapi pria tidak peka dan tidak punya empati yang masih duduk dengan nyaman di sofa empuknya. Sementara dirinya berdiri di sudut ruangan dengan hati tercabik dan terluka dengan kepanikan luar biasa.
“CR7 di Portugal, Baby, kalau kamu lupa,” ucap Josh membenarkan perkataan Tatu, yang membuat wajah Tatu semakin merah menahan emosi. Dia muak mendengar lawakan tak lucu Josh.
“Persetan dengan mereka Josh, aku tidak peduli. Yang aku butuhkan hanya keputusanmu. Menerima bayi ini dan menikahiku atau tidak … “ lirih Tatu tak berdaya, mendekat ke arah Sofa meraih sling bag yang ia letakkan di sana.
“Baby, tenanglah. Aku sudah mengatakan aku menerima bayi kita. Duduklah, aku akan mengambilkan minum. Kamu terlihat berantakan.” Josh berdiri dan berjalan menuju pantry, bermaksud memberikan minum untuk kekasihnya.
“Aku tidak membutuhkannya Josh! LIHAT AKU! Aku tanya sekali lagi … “ teriak Tatu, ada jeda di sana, Josh berbalik menatap Tatu dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Iya atau tidak!?” tanya Tatu untuk terakhir kali, ia bertekad tidak akan pernah menginjakkan kakinya ke rumah ini lagi, ke tempat sumber kutukan ini lagi, sumber penderitaan baru untuknya.
“No baby!” ucap Josh dengan gelengan.
Berakhir.
Hidupnya.
Cintanya.
Masa depannya.
Kebahagiannya.
Hacur, seperti jiwanya.
Dengan segera Tatu memutar tumitnya. Dengan langkah lebar ia berjalan keluar dari neraka yang sudah membakar habis kehidupannya, dunianya sudah hancur menjadi debu. Hilang terbang tertiup angin, tak ada yang tersisa. Membulatkan tekad, ia akan menghapus pria durjana itu dari hidupnya.
Inilah akhir impian semunya. Sampai di depan lobby beruntung ada taksi yang sedang menurunkan penumpang, Tatu bergegas masuk, memberikan alamat yang ia akan tuju. Air mata berurai dengan deras, menganak sungai membanjiri pipi. Seharusnya ia menyadari, penderitaannya tidak akan pernah berakhir.
Tuhan memang sudah menggariskan hidupnya akan selalu menderita. Berapapun sedekah yang sudah ia keluarkan, berapapun kebaikan yang sudah ia tabur, Tuhan masih belum mau memberinya sedikit saja kebahagiaan.
Jiwanya seakan mati, mengharapkan ada sedikit cinta untuknya, seseorang yang siap menjadi sandaran, siap menjadi penopangnya. Namun semua nihil, semua hanya impian semu yang hanya akan menjadi abu.
Menghempaskan tubuh pada kasur queensize di kamar kost. Air mata Tatu kembali merebak, hampir tiga tahun hubungan mereka. Tatu kira cinta Josh begitu besar untuknya. Namun hari ini ia tersadar, Josh hanya menginginkan tubuhnya, menjadikan ia budak nafsu pria itu selama ini. Membenamkan wajahnya pada bantal, ia berteriak lantang dan menangis tergugu. Pada awalnya Tatu tidak menyukai pria bule yang kelihatan sangat playboy itu walau desiran sering ia rasakan saat bersentuhan dengannya. Namun ternyata pesona Josh mampu meluluh lantakkan hatinya. Terkenang pertemuan pertama dengan Josh, hampir tiga tahun lalu di rumah sahabatnya Lara. 3 tahun lalu di kediaman keluarga Lara, Saat ini Lara sedang mengadakan syukuran ulang tahun Gary. Tatu datang membawa beberapa kotak kembang api untuk Gendhis dan untuk memeriahkan juga menebus kesalahan bule teman Gary beberapa waktu lalu ketika acara Aqiqahan dan sukuran untuk kese mbuhan Lara. Tatu baru saja turun dari taksi online yang mengantarn
Bangun dengan kepala seperti menyunggi karung berton-ton, dan perut di putar mesin molen dengan kecepatan penuh. Tatu mencoba mengangkat tubuhnya, mengirim perintah pada saraf motoriknya untuk bisa menggerakkan badan. Dia butuh ke kamar mandi, dia harus memuntahkan sesuatu. Dan ternyata, Tuhan masih berbaik hati. Ia bisa menegakkan badan dan berdiri, berjalan walau sempoyongan dan memuntahkan semua isi perutnya. Rasa pahit menjalar dari ujung lidah hingga tenggorokan. Duduk di atas closet dengan lemas setelah menyiram hingga bersih, tenaganya seperti tercabut dan tak bersisa. Dengan sebelah tangannya di bantu tangan lainnya, mencoba melepaskan kaos yang menempel di tubuhnya. Bersuka ria dengan keberhasilan dua anggota tubuh melepaskan benda yang menjadi korban muntahannya. Melemparkan pada ujung ruangan sempit berukuran 1,5 x 1,5 meter persegi. Kembali mengayunkan tangan kurusnya demi menjangkau gagang shower, memutar kran pada posisi penuh. Ia butuh menghilangkan kenangan-kenangan
Deringan pada ponsel pintarnya menyadarkan Tatu dari lamunan, saat ini ia sedang istirahat di kantin. Menunggu Lara datang. Menghela napas berat, saat melihat nama yang membuatnya darah tinggi setiap menghubungi. Dengan enggan Tatu mengangkat panggilan tersebut. “Assalamu’alaikum ....“ jawab Tatu dengan malas. “Gimana kabarmu, nduk? Udah makan belum?” suara berat dari seberang sana menyapa Tatu, nadanya sumringah dan sangat ramah. “Baik, Pak. Ini baru mau makan. Bapak sudah makan belum?” basa-basi Tatu kepada bapaknya. “Lha ini bapak nelpon, mau ada perlu sama kamu. Bapak belum makan, duit bapak habis. Bisa to kamu kirimi bapak uang?” todong Sarjono, ayah kandung Tatu. Selalu dan selalu, membuat Tatu jengah dengan alasan yang suka mengada-ada. “Pak, ‘kan udah aku kirim awal bulan kemarin. Itu jatah Bapak sama Ibu malahan. Kalo sekarang ga ada, aku belum gajian … “ ucap Tatu dengan raut kesal, mendongak,menatap Lara yang baru saja datang. Lara duduk di hadapannya, membuka beberapa
Kehamilan adalah sebuah proses yang membuat wanita berpasrah kepada kekuatan Tuhan yang tidak terlihat di balik semua takdir kehidupan manusia. Kehamilan juga sangat menakjubkan, ia bisa mengubah mental seorang wanita menjadi lebih baik untuk dirinya sendiri. Begitu pula dengan yang dialami Tatu. Ia menjadi pribadi yang berbeda, rasa malasnya yang dulu sering melanda perlahan terkikis. Dia tidak ingin sifat dasar keluarganya akan menurun pada anaknya kelak. Yaitu malas. Jika ia malas karena rasa lelah setelah bekerja. Berbeda dengan kakak tirinya. Di umur hampir menginjak 30 tahun, pria itu masih saja selalu merecokinya. Tatu masih dongkol dengan bapaknya yang meminta uang, kakak tirinya pun setali tiga uang. Setelah kemarin dipusingkan dengan Mbak Ayu yang menuduhnya dengan fakta yang tak terpikirkan olehnya. Tatu berhasil berkelit lagi. Dan melepaskan diri dari wanita julid itu. Namun kesialannya belum berakhir. Setelah makan malam sederhananya, ya, tatu hanya makan malam dengan t
“Tatu hamil, Dok … “ ucap Tatu lirih menundukkan kepalanya dalam. Kerutan di alis Dokter Farida menandakan ada kecewa, heran dan bahagia yang bercampur menjadi satu. Dia tahu Tatu belum berkeluarga, dan riwayat penyakitnya. “Ayo berbaring, kita periksa dulu,” Dokter Farida berdiri dari kursi kebesarannya, mengulurkan tangan mengajak Tatu menuju ranjang periksa. Tatu menghela napas lega, ia ketakutan. Dokter Ida menuntun Tatu berbaring pada ranjang, perawat membantunya menyingkap seragam Tatu, perut yang semula rata sudah kelihatan menyembul. “Sekarang seperti orang cacingan ya dok? Apa orang ga pernah olahraga?” kelakar Tatu ngawur. Demi mengalihkan kegugupannya, Dokter Farida hanya terkekeh dengan guyonan receh Tatu. “Ini mah kayak orang makan ngabisin menu di warteg,” timpal Dokter cantik itu dengan senyum mengembang. Rasa dingin dari gel yang dioleskan pada perut bawah Tatu membuat wanita muda itu begidik. “Coba kita lihat ke layar,” instruksi Dokter Ida, membuat Tatu mendonga
“Ta, kamu ga apa-apa?” tanya Ayu mendekap Tatu yang gemetaran Sementara, kakak tirinya melarikan diri setelah sebagian penghuni kost berhamburan dan berteriak meminta tolong. “Minum dulu, Ta,” Dinda salah satu penghuni kost lain mengulurkan mug teh hangat untuk Tatu minum. Air mata masih menganak sungai dari kelopak mata bulat milik Tatu. Hanya beberapa tegukan, penghuni kost lain dan beberapa warga terdekat masih berkerumun di depan kost. Ya, mereka memang mengenal Tatu. Karena semenjak mulai bekerja di pabrik Fiskar lima tahun lalu. Tatu tidak pernah berpindah kost, dan ia tidak ragu untuk bersosialisasi terhadap warga sekitar. “Neng Tatu, atuh kenaon … “ Bu Iroh, penjual pecel depan kost berhambur masuk, logat khas sundanya menggema di kesunyian kamar Tatu. Dinda, Mbak Ayu dan bebera
Tatu hanya membatu, saat rindu menjadi temu yang ia sudah nyatakan tak akan mau. Namun Tuhan tahu, kepada siapa hatinya hanya merindu dan bibir ingin berucap ‘aku membutuhkanmu’. Saat iris mata bertemu tak ada yang bisa meragu, keduanya tak bisa berpaling dari rasa yang sama-sama menggebu. Dengan jantung yang bertalu, Tatu memberanikan diri menyapa. "Ng-ngapain kamu di sini Josh?" cicitnya gagu. Josh naik ke teras, menatap nyalang pria dengan baju batik di hadapan Tatu. "Siapa yang hampir di perkosa? Jawab saya Pak!" seru Josh, dengan tak sabaran. Pak RT berdiri wajahnya memucat, tubuhnya sedikit gemetar. Berhadapan dengan pria asing, membuat nyali Pak RT menciut. "Bukan, eh maaf bapak siapa?" tanya Pak RT gugup. "Saya? Pengacara. Ada apa? Kenapa anda datang ke kost Tatu pagi-pagi seperti ini? Bukan seharusnya bertamu itu sore atau malam hari?" Josh mencoba mengintimidasi, tapi malah membuat Tatu menahan kekehannya. 'Lha dia nyuruh orang bertamu jangan pagi-pagi, dia sendiri nga
Tatu terhenyak namun enggan membuka mata, semburan dingin dari arah depan juga aroma terapi yang sangat familiar menyamankan indra penciumannya, terdengar suara-suara berisik dan raungan knalpot yang mengganggu telinganya. Mencoba merenggangkan badan, tangan kanannya menangkap wajah seseorang. Jantungnya berdegup kencang. Bayangan Ganjar tidur di samping membuat Tatu segera memaksa matanya untuk terbuka. “Arrrgghhh, di mana ini … di mana ini …!!” teriak tatu panik, ia terbangun menoleh ke kanan dan ke kiri terkejut bukan main, karena di depan matanya adalah jalan toll dengan truk yang berjalan pelan. Bayangan ganjar menculiknya membuat Tatu ketakutan. Cengkraman di tangan kanannya, membuat Tatu menoleh dengan cepat. “Ania sayang, calm down. Baby,” ucap Josh dengan suara pelan, membawa jemari Tatu ke mulutnya dan mengecupinya. “Bagaimana bisa kamu membawaku, Josh!” seru Tatu tak terima, otaknya masih mencerna dan memikirkan. Bagaimana Josh bisa membawanya ke dalam mobil dan sekaran
Bahu Josh luruh, mendengar bibir mungil Sean berucap seperti itu buatnya pilu. Cintanya tak palsu hanya belitan di tubuhnya begitu kuat hingga tak mampu ia lepas begitu saja. “Tante marah sama Om, jadi bilang begitu,” sambung Sean polos. Bagaimanapun seorang anak kecil tak akan berbohong. Pria tampan itu menatap Lara yang mengendikkan bahu acuh, tak peduli dengan pertanyaan tak tersurat yang dia berikan. “Baiklah, ayo kita pulang. Rumah kalian sudah dibersihkan dan beberapa perabotan harus diganti.” Josh mengangkat tubuh dua keponakannya ke atas lengan kokohnya dan berjalan terlebih dahulu.“Madam Emily tidak tau kami disini, kan?” Lara ingin memastikan mertua bangsawannya tak mendengar kabar kunjungan dadakan itu.Josh menoleh dan menggeleng pelan. “Sebaiknya Aun Emy tak tahu, dia akan sangat mengerikan jika tahu kalian mencari Gary.” Tangannya meraih remote mobil dan memencetnya tetap dengan tenang membopong Sean di leher dan Siena di depan. Mirip bule kebanyakan yang tanpa beban
“Ta!” Lara menahan tangan Tatu yang akan menemui anak-anaknya. “Jangan seperti itu, ucapan adalah doa. Aku nggak mau ya, kamu ngomongnya ngaco gitu.” Ia berdiri, menatap sahabatnya dengan pandangan sedih. Perasaanya berkecamuk, di sisi lain Tatu adalah sahabat terbaiknya. Satu-satunya orang terdekat yang selalu ada dan tak pernah meninggalkannya. DI sisi lain Josh adalah sahabat suaminya, yang saat ini sedang berusaha membebaskan belahan hati. Dia hanya ingin juga berusaha meyakinkan Josh, merubah keputusan pria bule yang sudah menghamili orang terkasihnya. Mengembalikan gurat nestapa menjadi rona bahagia. Setidaknya di antara mereka berdua salah satu harus bisa menyemarakkan hati dengan sukacita bukan air mata. “Udah, Sayang.” Helaan napas gusar tak akan mampu ditutupi, tapi Tatiu masih bisa tersenyum lebar demi mengenyahkan perasaan yang cabar. “Biarkan bagiku dia seperti itu dan sebaliknya. Ayo aku bantu siap-siap duo kesayangan, kamu lekasi kemas yang lain jangan sampai ketingg
Arga bukan penyelamat, bukan juga ia jadikan tumpuan atas kemalangan yang menimpa. Hatinya masih tetap sama, enggan percaya. Karena tak akan pernah ada jaminan pada perasaan setiap manusia.Tatu tahu apa yang dilakukannya kejam, terlepas dari perasaan Arga sesungguhnya. Ia tak peduli. Yang dia lakukan kini hanya demi bayi yang masih bersemayam dengan nyaman di rahimnya. Walau dia tega membebat ketika bekerja, itu dilakukan juga bukan tanpa alasan. Ia tak punya siapa-siapa, hanya dirinya yang kelak akan melindungi buah hati dari kejamnya dunia.Tawaran Arga untuk menikahinya pun terpaksa ia terima, walau sadar nanti pasti akan jadi gunjingan. Setidaknya dia hanya ingin putranya mempunyai dokumen sah ketika kelahiran, itu yang ada dibenar juga rencananya. Melihat sosok berkulit sawo matang yang kini sedang mempersiapkan sebuah hunian di kota Tangerang, berbincang dengan developer yang menjelaskan bagian-bagian rumah berfurniture lengkap siap ditinggali itu, ia semakin gamang.Arga dan
“Sorry ya, Ta. Gue pikir lo nggak bakalan nerima kehadiran gue, jadi walau punya beberapa bengkel. Gue emang belum beli rumah.” Arga menjelaskan dengan raut menyesal. “Tapi setelah ini, gue bakalan beli aja itu rumah. Tapi apa lo mau lihat dulu besok?”“Jangan maksain kalau gitu, Ga. Gue nggak mau lo repot,” kata Tatu. Dia tentu tak ingin membuat Arga harus memprioritasnya. Dia memang ingin menikahi pria baik ini, tapi dia tak mau menyusahkan.“Kok gitu, sih. Justru gue emang sengaja ngasih pilihan, biar lo nyaman. Gue nggak mau ntar lo ngerasa nggak nyaman karena beda sama apa yang lo mau.” Arga meraih tangan Tatu, mencoba myakinkan.“Oke, gue ikut lo besok. Gue nggak pengen lo juga nggak suka dengan rumah ini,” ucap Tatu, rautnya berubah sendu. &ldq
Tatu sudah dewasa, paham dengan sentuhan pria dan cara menikmatinya. Pernah sangat terpedaya hingga dia lupa daratan dan berakhir menanggung penderitaan.Kini, ketika telapak tangan dengan sedikit rasa kasar membelai permukaan kulit paha telanjangnya, ia merasa kembali seperti masa-masa itu. Di mana dia tak bisa lagi mengendalikan diri, hanyut dalam kenikmatan yang nyatanya membinasakan "Lo kalau sange nggak usah ke sini," tepisnya pada tangan Arga yang mendarat di atas paha. "Bikin aja minum sendiri, gue mau sholat, mau banyak-banyak tobat!" Sarkasnya mendorong tubuh tegap di belakangnya."Ta," sesal Arga. "B-buk-" debaman di pintu kamar yang hanya berada di belakang mereka membuat pria itu berjenggit menyesal dengan setan yang membisiki telinga beberapa menit lalu.Arga berbalik menghadap kitchen set dan menuangkan air panas yang sudah dimasakkan oleh Tatu ke mug dan membuat sendiri minumannya yang berupa kopi instan.Dia akan menunggu perempuan hamil itu untuk keluar dan meminta m
Dia pernah berharap menemukan pangeran yang bisa meminang tanpa kepingan emas dan permata. Tak pernah bermimpi menjadi ratu dan hidup serba bermateri. Pintanya pada semoga untuk mereka yang pernah mencoba datang, namun hengkang sebelum berperang sudah ia anggap lekang. Kini harinya semakin menantang, dengan bentangan kenyataan yang tak bisa dibilang indah tapi juga tak menyakitkan. Menjadi penghuni kompleks perumahan cluster nyatanya tak membuat para tetangga itu juga bisa membuat mata dan telinga menggabungkan saja inderanya itu pada satu titik agar tak kepo terhadap rumah tangga orang lain. Tak pernah ikut arisan RT atau kegiatan apapun membuat Tatu seakan adalah penghuni yang wajib dicurigai. Padahal, dia juga sudah membayar iuran dan kewajiban sebagai warga yang baik. Faktanya tetangga yang berjarak beberapa rumah darinya sangat sering berjalan atau sekedar jogging di sekitar rumahnya. Sangat terlihat jika perempuan yang lebih sering mengenakan penutup kepala seperti kupluk itu
Dia selalu sadar diri bukan manusia suci, hadirnya ke dunia pun karena sebuah kesalahan demi hasrat mencapai nikmat duniawi. Tak tahukah mereka dua sejoli yang membuat dia menunjukkan eksistensi bukan hanya menjadi sosok bayi, namun manusia yang sedang mencari kebahagiaan yang hakiki.Selalu tak dipedulikan juga diabaikan. Sekarang pun kini dia dibuang oleh orang tersayang. Ah, dunianya memang kejam. Tapi dia tetap ingin bertahan, walau dalam kubangan ketidakpastian. Mungkin Tuhan memang masih menyayanginya, hingga tak ada keinginan menyakiti diri maupun bunuh diri. Ternyata dia masih punya hati pun nurani yang terkungkung dalam palung yang tak bisa diselami.Tatu sedang bersama kembar pintar yang sedang belajar bersama. Mereka memang masih mengikuti daycare belum sepenuhnya masuk sekolah PAUD atau playgroup. Tapi anak sahabatnya Lara memang seperti sang Daddy yang giat dan sangat cerdas. "Onty, apakah ini bagus?" Sean menunjukkan gambar kastil yang ia lukis menggunakan crayon."Bag
"Tiga bulan lagi?" tanya Tatu tak percaya, sebegitu seriuskah Arga padanya. Rasa haru tentu menyeruak dari sudut hatinya. Dia tak merasa membuat kebaikan selama ini, karena yang dia lakukan hanya menimbun dosa setiap harinya."Kenapa? Gue datang sekalian meminta KTP juga KK lo, 3 bulan cukup ‘kan buat daftar ke KUA?” Arga menanyakan dengan binar bahagia di iris gelapnya. Terlihat sangat antusias dan penuh harap.“Ck, nanti saja. Parkirnya jangan yang jauh-jauh dari supermarket ya, gue gampang capek sekarang.” Tatu tersenyum menoleh ke arah Arga, yang jika dia lihat sebenarnya tampan khas orang Indonesia. Tak diragukan, karena dulu dia menjadi salah satu idola di sekolahnya. Pengakuan kalau pernah menaruh hati padanya bahkan sejak masa pendidikan sebenarnya sulit diterima akal sehatnya, karena Arga yang dulu dikelilingi banyak perempuan cantik dan menarik juga kaya seperti dirinya. Jadi wajar bukan, jika ia memendam sekelumit rasa takut juga khawatir, pria ini hanya akan membalas dend
Dia memang ada karena sebuah kesalahan, dibesarkan tanpa kasih sayang yang dia butuhkan layaknya setiap anak. Tapi dia berusaha menjadi penyayang, menjadi pribadi yang penuh keramahan juga kesabaran. Tapi kini, sekarang dia tak sama lagi wajahnya terlihat jutek dan jauh dari senyuman. keceriaan itu seperti terenggut oleh buasnya kehidupan memangsanya. Dia sedang tak ingin beramah tamah dengan siapapun, sebagaimana semesta juga tak ingin berteman dengannya. Dia berjalan dengan sedikit berlari, menuju parkiran depan pabrik tempat sebuah mobil hitam dengan pinggiran kap depan bertuliskan Rubicon dengan hurup kapital. Arga dengan segera turun, meringis melihat Tatu yang berlari ke arahnya seolah dia remaja yang sedang menyambut kekasihnya datang.“Apaan sih, jangan lari-lari!” Arga berseru pada gadis cantik dengan rambut yang di gulung asal di atas kepalanya.“Ck, cerewet. Ayo pulang!” galak Tatu tak mempedulikan teguran Arga tadi.“Sensitif sekali, Buk. Lama nggak dapet jatah ya?” lede