Deringan pada ponsel pintarnya menyadarkan Tatu dari lamunan, saat ini ia sedang istirahat di kantin. Menunggu Lara datang. Menghela napas berat, saat melihat nama yang membuatnya darah tinggi setiap menghubungi. Dengan enggan Tatu mengangkat panggilan tersebut.
“Assalamu’alaikum ....“ jawab Tatu dengan malas.
“Gimana kabarmu, nduk? Udah makan belum?” suara berat dari seberang sana menyapa Tatu, nadanya sumringah dan sangat ramah.
“Baik, Pak. Ini baru mau makan. Bapak sudah makan belum?” basa-basi Tatu kepada bapaknya.
“Lha ini bapak nelpon, mau ada perlu sama kamu. Bapak belum makan, duit bapak habis. Bisa to kamu kirimi bapak uang?” todong Sarjono, ayah kandung Tatu. Selalu dan selalu, membuat Tatu jengah dengan alasan yang suka mengada-ada.
“Pak, ‘kan udah aku kirim awal bulan kemarin. Itu jatah Bapak sama Ibu malahan. Kalo sekarang ga ada, aku belum gajian … “ ucap Tatu dengan raut kesal, mendongak,menatap Lara yang baru saja datang. Lara duduk di hadapannya, membuka beberapa kotak bekal. Masakan yang selalu bisa menambah nafsu makannya.
“Kamu itu loh, berapa tahun kerja! Kalo orang tuanya sambat, alesannya banyak. Ingat kamu kalo ga ada bapak, ga akan ada kamu. Kalo ga bapak sekolahin, ga bakalan kamu bisa kerja! Tahu diri kamu!” cerca Pak Sarjono, Tatu mengusap wajahnya kasar. Selalu seperti itu, setiap minggu. Jika tidak dipenuhi permintaannya, Pak Sarjono akan mengamuk dan marah-marah.
“Aku ada cuma tinggal buat makan, Pak. Bapak kan juga kerja, tolong pakai uang bapak dulu, nanti gajian aku kirim,” mohon Tatu dengan suara lemah, ia sedang kebingungan dengan kehamilannya. Orangtua yang setiap minggu merongrongnya, membuat hidupnya semakin terasa sulit.
Sebagai staff biasa di pabrik, gaji Tatu hanya naik beberapa persen dari UMR yang sudah ditetapkan pemerintah. Itupun karena Tatu melanjutkan kuliahnya, dia bisa mencapai posisi saat ini.
Lara yang tau dari awal keadaan Tatu, mencoba menguatkan dengan mengelus punggung tangannya. Tatu membalas dengan senyuman.
“Alah, kamu memang selalu kayak gitu. Alesan habis, yang inilah, yang itulah. Kalo bapak mau ngitung biaya--”
“Iya! Nanti aku kirim seadanya. Jangan protes dengan yang Bapak terima nanti. Assalamu’alaikum.” Memang tidak sopanmemotong dan memutus percakapan secara sepihak, tapi Tatu tidak ingin kehilangan selera makannya.
Sejak tidak mendapatkan haidnya satu bulan lalu, Tatu sering kehilangan nafsu makan. Dan itu pasti akan berpengaruh buruk pada janinnya, Tatu tidak mau itu terjadi. Walaupun ayah dari bayi yang ia kandung tidak benar-benar mencintainya, tapi Tatu mencintai pria itu dan juga janin yang sekarang tumbuh dalam rahimnya. Ia ingin Janinnya tumbuh dengan sehat dan kuat untuk saat ini. Vonis dokter jika ia akan susah mengandung membuatnya putus asa saat itu, dan enggan berhubungan dengan lawan jenis.
Beberapa pria yang pernah mendekati akan mundur teratur, kala Tatu mengemukakan fakta tentang kondisi reproduksinya. Hanya Joshua yang menerima apa adanya dan tidak keberatan dengan kondisi Tatu. Sudahlah, sekarang ia akan fokus makan saja. Mengingat pria itu membuatnya ingin memakan orang hidup-hidup.
“Ta, siapa? Bapak?” tanya Lara, yang memang sangat mengenal Tatu.
“Iya, sampai kapan ya Ra, keluargaku seperti ini?” Pertanyaan yang tidak pernah menemukan jawabannya. Lara menghela napas.
“Sabar ya Ta, ntar aku yang ngirimin secukupnya aja. Tapi sabtu minggu harus nginep di rumah,” ucap Lara sambil mengacungkan sendoknya, mencoba mengancam.
“Ga usah, Ra. Aku ada kok cuma males aja. Bapakku masih suka judi, itu yang aku berat ... huft,” desah Tatu frustasi.
“Ya udah sih, biar aku aja. Ntar aku kirimin 200 aja ya. Kamu kalau nolak, nginepnya jadi tambah lama … “ ancam Lara, mata bulatnya mendelik sok galak.
“Makasih ya, Ra. Kalau orang lain mungkin malah ngejauhin aku. Kamu kenapa sih baik bangettttt,” puji Tatu dengan mencubit pipi Lara gemas.
“Karena aku sahabatmu, bukan temenmu. Udah makan, kamu kayaknya kurusan, terus mukamu rada kuyu gitu, putus cinta buk?” selidik Lara. Tatu hanya terkekeh sambil menyuapkan nasi mengambil lauk dari kotak bekal Lara.
“Ga, tau deh Ra. Sama Josh gini-gini aja. Kenapa sih ga ketemu Pak Gary kedua gitu, begitu kamu terima cintanya langsung pengen halalin kamu … nah aku?” keluh Tatu.
Hubungannya dengan Josh memang naik turun, kesibukan pria itu yang sering bolak-balik Jakarta-London-Irlandia memang membuat komunikasi mereka kurang. Dan saat bertemu mereka hanya akan bergelung panas, dan jarang membahas dengan serius hubungan apa yang sedang mereka jalani.
“Mas Gary mah the one and only Ya, jadi jangan ngarep ada yang nyamain. Dia mah no kloningan,” sanggah Lara, membuat Tatu mencibir dan tertawa.
“Aku habisin ya, Ra? Kangen masakan Mak nih … “izin Tatu menyendok lauk dan sayur yang tersisa ke dalam nasinya. Lara mangangguk, mereka menyelesaikan makan siang dengan cepat sebelum ke mushola. Dan melanjutkan pekerjaan mereka.
***
Tatu baru saja sampai di kos, saat Mbak Ayu menghampirinya. Ada sedikit rasa was-was, Mbak Ayu memang pribadi yang baik. Tapi sifat ingin tahunya melebihi anak empat tahun. Kalau belum mendapatkan informasi yang mendetail dia tidak akan menyerah. Kemarin dia bisa berkilah, bahwa yang dia dengar adalah film yang sedang Tatu tonton. Entah ada apa lagi, tetangga kost yang umurnya beberapa tahun diatasnya itu. Uh, benar-benar merepotkan. Mendengus dalam hati, Tatu mencoba bersikap acuh.
“Ta, baru pulang?” sapa wanita berambut sebahu, ia duduk di kursi tamu depan kamar Tatu.
“Seperti yang mbak lihat,” jawab Tatu, senyum enggannya hanya segaris saja.
“Gimana kabar Lara? Ga pernah kesini lagi ya, sejak nikah … “ tanyanya lagi, Tatu duduk di pagar beton setinggi satu meter, yang berfungsi sebagai penghalau air hujan supaya tidak naik hingga teras. Khas bangunan jaman dulu.
“Alhamdulillah baik, mau nitip salam? Besok Ta salamin. Dia sibuk mbak, masih kerja juga ‘kan, jadi kalau weekend ya dihabiskan sama keluarganya.” jawab Tatu dengan nada santai.
“Kalo kamu kapan mau nyusul berkeluarga? kalian seumuran kan?” Mbak Ayu mengibaskan rambutnya, menyamankan posisi duduknya. ‘bakal lama nih, batin Tatu.
“Nanti dulu lah mbak, kan yang lebih tua umurnya Mbak Ayu, mbak aja dulu ya … biar Tatu nanti ga sungkan hehehe,” jawab Tatu asal yang membuat wajah Mbak Ayu menjadi masam. Tatu bangkit, mengambil kunci di dalam tasnya dan membuka pintu.
“Mbak, aku bersih-bersih dulu. Capek. Mbak mau masuk?” tawar Tatu, Mbak Ayu ikut berdiri. Nanti aja deh Ta, kita ngobrol-ngobrol,” Mbak Ayu berlalu ke kamarnya yang berada di ujung.
Tatu baru melangkahkan sebelah kakinya saat Mbak Ayu berkata,”Kemarin ada mobil parkir di luar pagar, pas aku tanya mbak warung katanya pria bule dan masuk ke kos ini loh Ta ….”
Kehamilan adalah sebuah proses yang membuat wanita berpasrah kepada kekuatan Tuhan yang tidak terlihat di balik semua takdir kehidupan manusia. Kehamilan juga sangat menakjubkan, ia bisa mengubah mental seorang wanita menjadi lebih baik untuk dirinya sendiri. Begitu pula dengan yang dialami Tatu. Ia menjadi pribadi yang berbeda, rasa malasnya yang dulu sering melanda perlahan terkikis. Dia tidak ingin sifat dasar keluarganya akan menurun pada anaknya kelak. Yaitu malas. Jika ia malas karena rasa lelah setelah bekerja. Berbeda dengan kakak tirinya. Di umur hampir menginjak 30 tahun, pria itu masih saja selalu merecokinya. Tatu masih dongkol dengan bapaknya yang meminta uang, kakak tirinya pun setali tiga uang. Setelah kemarin dipusingkan dengan Mbak Ayu yang menuduhnya dengan fakta yang tak terpikirkan olehnya. Tatu berhasil berkelit lagi. Dan melepaskan diri dari wanita julid itu. Namun kesialannya belum berakhir. Setelah makan malam sederhananya, ya, tatu hanya makan malam dengan t
“Tatu hamil, Dok … “ ucap Tatu lirih menundukkan kepalanya dalam. Kerutan di alis Dokter Farida menandakan ada kecewa, heran dan bahagia yang bercampur menjadi satu. Dia tahu Tatu belum berkeluarga, dan riwayat penyakitnya. “Ayo berbaring, kita periksa dulu,” Dokter Farida berdiri dari kursi kebesarannya, mengulurkan tangan mengajak Tatu menuju ranjang periksa. Tatu menghela napas lega, ia ketakutan. Dokter Ida menuntun Tatu berbaring pada ranjang, perawat membantunya menyingkap seragam Tatu, perut yang semula rata sudah kelihatan menyembul. “Sekarang seperti orang cacingan ya dok? Apa orang ga pernah olahraga?” kelakar Tatu ngawur. Demi mengalihkan kegugupannya, Dokter Farida hanya terkekeh dengan guyonan receh Tatu. “Ini mah kayak orang makan ngabisin menu di warteg,” timpal Dokter cantik itu dengan senyum mengembang. Rasa dingin dari gel yang dioleskan pada perut bawah Tatu membuat wanita muda itu begidik. “Coba kita lihat ke layar,” instruksi Dokter Ida, membuat Tatu mendonga
“Ta, kamu ga apa-apa?” tanya Ayu mendekap Tatu yang gemetaran Sementara, kakak tirinya melarikan diri setelah sebagian penghuni kost berhamburan dan berteriak meminta tolong. “Minum dulu, Ta,” Dinda salah satu penghuni kost lain mengulurkan mug teh hangat untuk Tatu minum. Air mata masih menganak sungai dari kelopak mata bulat milik Tatu. Hanya beberapa tegukan, penghuni kost lain dan beberapa warga terdekat masih berkerumun di depan kost. Ya, mereka memang mengenal Tatu. Karena semenjak mulai bekerja di pabrik Fiskar lima tahun lalu. Tatu tidak pernah berpindah kost, dan ia tidak ragu untuk bersosialisasi terhadap warga sekitar. “Neng Tatu, atuh kenaon … “ Bu Iroh, penjual pecel depan kost berhambur masuk, logat khas sundanya menggema di kesunyian kamar Tatu. Dinda, Mbak Ayu dan bebera
Tatu hanya membatu, saat rindu menjadi temu yang ia sudah nyatakan tak akan mau. Namun Tuhan tahu, kepada siapa hatinya hanya merindu dan bibir ingin berucap ‘aku membutuhkanmu’. Saat iris mata bertemu tak ada yang bisa meragu, keduanya tak bisa berpaling dari rasa yang sama-sama menggebu. Dengan jantung yang bertalu, Tatu memberanikan diri menyapa. "Ng-ngapain kamu di sini Josh?" cicitnya gagu. Josh naik ke teras, menatap nyalang pria dengan baju batik di hadapan Tatu. "Siapa yang hampir di perkosa? Jawab saya Pak!" seru Josh, dengan tak sabaran. Pak RT berdiri wajahnya memucat, tubuhnya sedikit gemetar. Berhadapan dengan pria asing, membuat nyali Pak RT menciut. "Bukan, eh maaf bapak siapa?" tanya Pak RT gugup. "Saya? Pengacara. Ada apa? Kenapa anda datang ke kost Tatu pagi-pagi seperti ini? Bukan seharusnya bertamu itu sore atau malam hari?" Josh mencoba mengintimidasi, tapi malah membuat Tatu menahan kekehannya. 'Lha dia nyuruh orang bertamu jangan pagi-pagi, dia sendiri nga
Tatu terhenyak namun enggan membuka mata, semburan dingin dari arah depan juga aroma terapi yang sangat familiar menyamankan indra penciumannya, terdengar suara-suara berisik dan raungan knalpot yang mengganggu telinganya. Mencoba merenggangkan badan, tangan kanannya menangkap wajah seseorang. Jantungnya berdegup kencang. Bayangan Ganjar tidur di samping membuat Tatu segera memaksa matanya untuk terbuka. “Arrrgghhh, di mana ini … di mana ini …!!” teriak tatu panik, ia terbangun menoleh ke kanan dan ke kiri terkejut bukan main, karena di depan matanya adalah jalan toll dengan truk yang berjalan pelan. Bayangan ganjar menculiknya membuat Tatu ketakutan. Cengkraman di tangan kanannya, membuat Tatu menoleh dengan cepat. “Ania sayang, calm down. Baby,” ucap Josh dengan suara pelan, membawa jemari Tatu ke mulutnya dan mengecupinya. “Bagaimana bisa kamu membawaku, Josh!” seru Tatu tak terima, otaknya masih mencerna dan memikirkan. Bagaimana Josh bisa membawanya ke dalam mobil dan sekaran
“Josh! Aku mau pulang!” Tatu berdiri, meraih tas di sofa. Dia hendak berjalan ke arah pintu, saat tangan besar mencekal pergelangan tangannya. “Mulai hari ini, kamu akan tinggal di sini.” Josh menarik Tatu hingga tubuhnya membentur tubuh lelaki besar itu. Josh segera mengungkung wanita yang masih memakai seragam itu dalam dekapannya. Tatu mendesah lelah, mendongakkan kepala demi melihat wajah pria pemaksa yang sudah membawanya ke apartemen mewah itu. “Kamu tidak punya hak untuk memaksaku tinggal di tempat ini,” katanya, membawa dua tangannya ke dada Josh dan mendorong pelan. Namun sia-sia, tenaganya tak sebanding dengan tenaga pria kekar itu. Josh menunduk, menatap lekat iris sewarna jelaga yang menjadi favoritnya. “Humm, seperti itu?” ucap Josh dengan seringai licik. Lelaki itu mengeratkan pelukannya pada pinggang Tatu dengan sebelah tangan, sedang tangan lainnya bergerak ke atas hingga tengkuk. Dia sangat hapal, bagaimana menjinakkan gadis keras kepala yang sudah mengisi hari-ha
Tatu mencoba memuka pintu kamar Josh. Sialnya, lelaki itu mengunci dari luar, entah apa yang ada di pikirannya. Padahal Tatu tak berencana kabur, percuma saja ‘kan? Sudah lewat tengah malam. “Josh!” Tatu masih tidak menyerah memanggil. Setelah terbangun tadi dan tak menemukan Josh di sampingnya. Tatu mengabaikan kantuk dan rasa lelah, ia segera ke kamar mandi mencuci muka lalu mencari baju. Ia termangu di depan almari, antara lega dan juga merasa tak mempunyai harga diri. Tumpukan baju yang Josh persiapkan untuknya masih tersusun rapi. Lengkap, mulai dari pakaian dalam hingga dress. Dengan lemas ia menarik celana panjang dan sweater segera memakainya. Bunyi kunci yang diputar, memaksa Tatu untuk mundur. Dan Josh berdiri dengan celana pendek yang menggantung tak sopan di pinggang rampingnya. “Ada apa, Baby? Kenapa bangun? Apa lapar lagi?” tanya Josh perhatian. Tatu menggeleng, mengabaikan Josh. Ia berjalan keluar kamar, menuju dapur dan mengambil air minum. “Siapa tadi yang dat
Tatu mengusap air matanya kasar, ia seharusnya tak menjadi lemah. Sudah terbiasa diabaikan sejak kecil, seharusnya dia tidak terbawa perasaan. Ibunya memang seperti itu ‘kan? Entah bagaimana perlakuan ayah tirinya saat pria itu datang nanti. Setelah ibunya kembali, Tatu segera makan. Mandi dan mengunci kamar. Ia menyumpal telinganya dengan earphone, mencoba mengistirahatkan badannya yang lelah dan matanya yang sudah memberat. Hampir empat jam ia mengistirahatkan otak dan tubuhnya. Suara langkah kaki di luar kamarnya membuatnya terjaga. Dan riuh suara tawa yang terdengar tak terlalu jauh membuat tatu berdecak. Pasti kawan-kawan preman sang ayah tiri. Sepertinya pulang ke rumah orang tuanya bukan pilihan yang tepat. Ini sama saja seperti keluar dari kandang buaya masuk ke dalam mulut ular. Tatu duduk di pinggir ranjang, mengumpulkan kesadarannya lalu meraih air mineral di samping ranjang kecilnya dan menenggak sampai habis. Ketukan tak sabaran membuatnya harus keluar, dengan muka ku
Bahu Josh luruh, mendengar bibir mungil Sean berucap seperti itu buatnya pilu. Cintanya tak palsu hanya belitan di tubuhnya begitu kuat hingga tak mampu ia lepas begitu saja. “Tante marah sama Om, jadi bilang begitu,” sambung Sean polos. Bagaimanapun seorang anak kecil tak akan berbohong. Pria tampan itu menatap Lara yang mengendikkan bahu acuh, tak peduli dengan pertanyaan tak tersurat yang dia berikan. “Baiklah, ayo kita pulang. Rumah kalian sudah dibersihkan dan beberapa perabotan harus diganti.” Josh mengangkat tubuh dua keponakannya ke atas lengan kokohnya dan berjalan terlebih dahulu.“Madam Emily tidak tau kami disini, kan?” Lara ingin memastikan mertua bangsawannya tak mendengar kabar kunjungan dadakan itu.Josh menoleh dan menggeleng pelan. “Sebaiknya Aun Emy tak tahu, dia akan sangat mengerikan jika tahu kalian mencari Gary.” Tangannya meraih remote mobil dan memencetnya tetap dengan tenang membopong Sean di leher dan Siena di depan. Mirip bule kebanyakan yang tanpa beban
“Ta!” Lara menahan tangan Tatu yang akan menemui anak-anaknya. “Jangan seperti itu, ucapan adalah doa. Aku nggak mau ya, kamu ngomongnya ngaco gitu.” Ia berdiri, menatap sahabatnya dengan pandangan sedih. Perasaanya berkecamuk, di sisi lain Tatu adalah sahabat terbaiknya. Satu-satunya orang terdekat yang selalu ada dan tak pernah meninggalkannya. DI sisi lain Josh adalah sahabat suaminya, yang saat ini sedang berusaha membebaskan belahan hati. Dia hanya ingin juga berusaha meyakinkan Josh, merubah keputusan pria bule yang sudah menghamili orang terkasihnya. Mengembalikan gurat nestapa menjadi rona bahagia. Setidaknya di antara mereka berdua salah satu harus bisa menyemarakkan hati dengan sukacita bukan air mata. “Udah, Sayang.” Helaan napas gusar tak akan mampu ditutupi, tapi Tatiu masih bisa tersenyum lebar demi mengenyahkan perasaan yang cabar. “Biarkan bagiku dia seperti itu dan sebaliknya. Ayo aku bantu siap-siap duo kesayangan, kamu lekasi kemas yang lain jangan sampai ketingg
Arga bukan penyelamat, bukan juga ia jadikan tumpuan atas kemalangan yang menimpa. Hatinya masih tetap sama, enggan percaya. Karena tak akan pernah ada jaminan pada perasaan setiap manusia.Tatu tahu apa yang dilakukannya kejam, terlepas dari perasaan Arga sesungguhnya. Ia tak peduli. Yang dia lakukan kini hanya demi bayi yang masih bersemayam dengan nyaman di rahimnya. Walau dia tega membebat ketika bekerja, itu dilakukan juga bukan tanpa alasan. Ia tak punya siapa-siapa, hanya dirinya yang kelak akan melindungi buah hati dari kejamnya dunia.Tawaran Arga untuk menikahinya pun terpaksa ia terima, walau sadar nanti pasti akan jadi gunjingan. Setidaknya dia hanya ingin putranya mempunyai dokumen sah ketika kelahiran, itu yang ada dibenar juga rencananya. Melihat sosok berkulit sawo matang yang kini sedang mempersiapkan sebuah hunian di kota Tangerang, berbincang dengan developer yang menjelaskan bagian-bagian rumah berfurniture lengkap siap ditinggali itu, ia semakin gamang.Arga dan
“Sorry ya, Ta. Gue pikir lo nggak bakalan nerima kehadiran gue, jadi walau punya beberapa bengkel. Gue emang belum beli rumah.” Arga menjelaskan dengan raut menyesal. “Tapi setelah ini, gue bakalan beli aja itu rumah. Tapi apa lo mau lihat dulu besok?”“Jangan maksain kalau gitu, Ga. Gue nggak mau lo repot,” kata Tatu. Dia tentu tak ingin membuat Arga harus memprioritasnya. Dia memang ingin menikahi pria baik ini, tapi dia tak mau menyusahkan.“Kok gitu, sih. Justru gue emang sengaja ngasih pilihan, biar lo nyaman. Gue nggak mau ntar lo ngerasa nggak nyaman karena beda sama apa yang lo mau.” Arga meraih tangan Tatu, mencoba myakinkan.“Oke, gue ikut lo besok. Gue nggak pengen lo juga nggak suka dengan rumah ini,” ucap Tatu, rautnya berubah sendu. &ldq
Tatu sudah dewasa, paham dengan sentuhan pria dan cara menikmatinya. Pernah sangat terpedaya hingga dia lupa daratan dan berakhir menanggung penderitaan.Kini, ketika telapak tangan dengan sedikit rasa kasar membelai permukaan kulit paha telanjangnya, ia merasa kembali seperti masa-masa itu. Di mana dia tak bisa lagi mengendalikan diri, hanyut dalam kenikmatan yang nyatanya membinasakan "Lo kalau sange nggak usah ke sini," tepisnya pada tangan Arga yang mendarat di atas paha. "Bikin aja minum sendiri, gue mau sholat, mau banyak-banyak tobat!" Sarkasnya mendorong tubuh tegap di belakangnya."Ta," sesal Arga. "B-buk-" debaman di pintu kamar yang hanya berada di belakang mereka membuat pria itu berjenggit menyesal dengan setan yang membisiki telinga beberapa menit lalu.Arga berbalik menghadap kitchen set dan menuangkan air panas yang sudah dimasakkan oleh Tatu ke mug dan membuat sendiri minumannya yang berupa kopi instan.Dia akan menunggu perempuan hamil itu untuk keluar dan meminta m
Dia pernah berharap menemukan pangeran yang bisa meminang tanpa kepingan emas dan permata. Tak pernah bermimpi menjadi ratu dan hidup serba bermateri. Pintanya pada semoga untuk mereka yang pernah mencoba datang, namun hengkang sebelum berperang sudah ia anggap lekang. Kini harinya semakin menantang, dengan bentangan kenyataan yang tak bisa dibilang indah tapi juga tak menyakitkan. Menjadi penghuni kompleks perumahan cluster nyatanya tak membuat para tetangga itu juga bisa membuat mata dan telinga menggabungkan saja inderanya itu pada satu titik agar tak kepo terhadap rumah tangga orang lain. Tak pernah ikut arisan RT atau kegiatan apapun membuat Tatu seakan adalah penghuni yang wajib dicurigai. Padahal, dia juga sudah membayar iuran dan kewajiban sebagai warga yang baik. Faktanya tetangga yang berjarak beberapa rumah darinya sangat sering berjalan atau sekedar jogging di sekitar rumahnya. Sangat terlihat jika perempuan yang lebih sering mengenakan penutup kepala seperti kupluk itu
Dia selalu sadar diri bukan manusia suci, hadirnya ke dunia pun karena sebuah kesalahan demi hasrat mencapai nikmat duniawi. Tak tahukah mereka dua sejoli yang membuat dia menunjukkan eksistensi bukan hanya menjadi sosok bayi, namun manusia yang sedang mencari kebahagiaan yang hakiki.Selalu tak dipedulikan juga diabaikan. Sekarang pun kini dia dibuang oleh orang tersayang. Ah, dunianya memang kejam. Tapi dia tetap ingin bertahan, walau dalam kubangan ketidakpastian. Mungkin Tuhan memang masih menyayanginya, hingga tak ada keinginan menyakiti diri maupun bunuh diri. Ternyata dia masih punya hati pun nurani yang terkungkung dalam palung yang tak bisa diselami.Tatu sedang bersama kembar pintar yang sedang belajar bersama. Mereka memang masih mengikuti daycare belum sepenuhnya masuk sekolah PAUD atau playgroup. Tapi anak sahabatnya Lara memang seperti sang Daddy yang giat dan sangat cerdas. "Onty, apakah ini bagus?" Sean menunjukkan gambar kastil yang ia lukis menggunakan crayon."Bag
"Tiga bulan lagi?" tanya Tatu tak percaya, sebegitu seriuskah Arga padanya. Rasa haru tentu menyeruak dari sudut hatinya. Dia tak merasa membuat kebaikan selama ini, karena yang dia lakukan hanya menimbun dosa setiap harinya."Kenapa? Gue datang sekalian meminta KTP juga KK lo, 3 bulan cukup ‘kan buat daftar ke KUA?” Arga menanyakan dengan binar bahagia di iris gelapnya. Terlihat sangat antusias dan penuh harap.“Ck, nanti saja. Parkirnya jangan yang jauh-jauh dari supermarket ya, gue gampang capek sekarang.” Tatu tersenyum menoleh ke arah Arga, yang jika dia lihat sebenarnya tampan khas orang Indonesia. Tak diragukan, karena dulu dia menjadi salah satu idola di sekolahnya. Pengakuan kalau pernah menaruh hati padanya bahkan sejak masa pendidikan sebenarnya sulit diterima akal sehatnya, karena Arga yang dulu dikelilingi banyak perempuan cantik dan menarik juga kaya seperti dirinya. Jadi wajar bukan, jika ia memendam sekelumit rasa takut juga khawatir, pria ini hanya akan membalas dend
Dia memang ada karena sebuah kesalahan, dibesarkan tanpa kasih sayang yang dia butuhkan layaknya setiap anak. Tapi dia berusaha menjadi penyayang, menjadi pribadi yang penuh keramahan juga kesabaran. Tapi kini, sekarang dia tak sama lagi wajahnya terlihat jutek dan jauh dari senyuman. keceriaan itu seperti terenggut oleh buasnya kehidupan memangsanya. Dia sedang tak ingin beramah tamah dengan siapapun, sebagaimana semesta juga tak ingin berteman dengannya. Dia berjalan dengan sedikit berlari, menuju parkiran depan pabrik tempat sebuah mobil hitam dengan pinggiran kap depan bertuliskan Rubicon dengan hurup kapital. Arga dengan segera turun, meringis melihat Tatu yang berlari ke arahnya seolah dia remaja yang sedang menyambut kekasihnya datang.“Apaan sih, jangan lari-lari!” Arga berseru pada gadis cantik dengan rambut yang di gulung asal di atas kepalanya.“Ck, cerewet. Ayo pulang!” galak Tatu tak mempedulikan teguran Arga tadi.“Sensitif sekali, Buk. Lama nggak dapet jatah ya?” lede