Tatu mengusap air matanya kasar, ia seharusnya tak menjadi lemah. Sudah terbiasa diabaikan sejak kecil, seharusnya dia tidak terbawa perasaan. Ibunya memang seperti itu ‘kan? Entah bagaimana perlakuan ayah tirinya saat pria itu datang nanti. Setelah ibunya kembali, Tatu segera makan. Mandi dan mengunci kamar. Ia menyumpal telinganya dengan earphone, mencoba mengistirahatkan badannya yang lelah dan matanya yang sudah memberat. Hampir empat jam ia mengistirahatkan otak dan tubuhnya. Suara langkah kaki di luar kamarnya membuatnya terjaga. Dan riuh suara tawa yang terdengar tak terlalu jauh membuat tatu berdecak. Pasti kawan-kawan preman sang ayah tiri. Sepertinya pulang ke rumah orang tuanya bukan pilihan yang tepat. Ini sama saja seperti keluar dari kandang buaya masuk ke dalam mulut ular. Tatu duduk di pinggir ranjang, mengumpulkan kesadarannya lalu meraih air mineral di samping ranjang kecilnya dan menenggak sampai habis. Ketukan tak sabaran membuatnya harus keluar, dengan muka ku
Tatu memutar badannya dengan pelan, lelaki tinggi dengan kulit coklat itu tersenyum simpul. Sudah hampir enam tahun tak bertemu, lelaki itu masih terlihat sama. tatu tersenyum canggung, menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.“Arga?” Tatu maju selangkah, tidak tahu harus mengatakan apa. Fakta bahwa lelali di depannya adalah seseorang yang pernah ibunya jodohkan demi hal yang belum Tatu ketahui.“Apa kabar?” Pertanyaan singkat Arga yang terdengar ramah membuat tatu meringis. Pria berwajah manis itu mengulurkan tangan dengan senyum masih tersungging.“Baik, kamu?” Tatu menyambut uluran tangan lelaki itu.“Baik juga, mau kemana? Lama gak ketemu, jarang pulang?” Pe
Pertanyaan Arga tak membuat Tatu terkejut, ia sudah memantapkan hati untuk semua kemungkinan terburuk. Bibir tipis wanita itu tersunging hanya pada bagian ujungnya saja. “Hebat kamu, Ar, bisa tahu. Apa terlihat sekali?” Tatu memalingkan wajah, memandang kemanapun asal tidak pada lelaki di hadapannya. “Di bawah kakimu ada susu yang aku tahu hanya untuk ibu hamil,” kata Arga santai, lelaki itu kembali menyuap makanannya dan menghabiskan dengan cepat. Tatu tak tertarik untuk membahas susu itu. Biarkan Arga dengan asumsinya, ia hanya cukup melihat reaksi pria yang menjadi teman sekolahnya dulu. “Aku tidak akan menghakimimu, bahkan di sini juga banyak kok. Hanya saja kenapa bisa sampai kebobolan. Kita sudah sama-sama dewasa Ta, kamu gak usah sungkan.” Arga menyerup
Berkat kekesalan dan kepenatan pikirannya, Tatu yang sempat berikrar hanya akan menggunakan uang yang di beri Josh untuk kebutuhan mendesak saja. Hari itu ia resmi menjadi ingkar pada apa yang telah ia janjikan pada dirinya sendiri. Josh memang bukan pribadi yang pelit, lelaki itu sangat royal terhadap semua kebutuhan juga apa yang Tatu inginkan. Bahkan seperti seorang suami yang menyayangi isterinya. Josh selalu mengingatkan gadis itu untuk pergi ke klinik kecantikan ataupun salon. Josh selalu berkilah, jika itu untuk memanjakan mata juga untuk kesenangannya mengapa tidak. Berapapun harga treathmentnya katakan saja, maka lelaki itu akan menganggukkan kepala. Jika memang semua perlakuan manis Josh dilakukan saat status mereka sudah suami isteri, tentu itu akan sangat mambanggakan. Namun, dengan kondisinya yang hanya kekasih musiman. Tatu merasa Josh membeli tubuh dan pelayanannya, dan bodohnya ia baru menyadari sekarang. Saat semuanya sudah terlambat. Ya, Tatu selalu merasa dia ada
“Kalau aku jujur, apa Ibuk akan marah? Lalu apa yang akan aku dapatkan, Buk? Ibuk gak akan ganggu hidup Tatu lagi? Gak akan minta uang buat narkoba atau judi lagi?” tanya Tatu. Karmilah terlihat gusar, wanita itu meremas kedua tangannya.“Berapa hutang Ibuk pada Arga? Arga enggan mengatakan padaku, dia akan ke sini nanti meminta kontakku. Berikan saja, supaya nanti aku bisa mencarikan lagi buat bayar hutang Ibuk itu lagi. Aku tinggal WA kok, minta transfer berapapun, detik itu juga akan sampai di rekeningku,” Tatu berucap dengan sombong.Gadis lugu, penurut dan ceria saat terakhir kali mereka berpisah lima tahun lalu sudah lenyap. Karmilah hanya melihat wanita dingin yang penuh luka.“Kapan kamu bertemu Arga? Apa saja yang kalian bicarakan?” selidik Karmilah. &
Riuhnya suasana bandara Juanda malam itu, tak serta merta mampu menghibur sebuah jiwa yang terluka. Menganga dan berdarah. Hatinya menjeritkan rintihan, meneteskan darah keputusasaan.Entah kepada siapa ia akan menyandarkan raga, setelah sang belahan jiwa tak menginginkan dia sepenuhnya. Lalu orangtua yang seharusnya menjadi pelipur jugapenutup setiap luka pun menghardiknya. Sekarang harus kemana?Terseok bagai tentara berdarah yang kalah dalam peperangan, Tatu merasa tak mampu menangkis pilu. Ia butuh tandu, untuk memikul jiwanya yang sekarat. Tikaman nelangsa yang membabi buta tak mampu lagi ia halau laranya.Oh dunia, tenggelamkan saja ia ke dalam palung terdalam. Atau belahlah pijakannya dan kuburkan
Tatu seakan lupa, kapan terakhir kali dia di peluk dengan hangat oleh ibu kandungnya. Karena dia tak pernah merasakan sejak ia kanak-kanak. Karmilah selalu berkelit dan menolak memberikan hal yang sangat di butuhkan seorang anak dari ibunya. Megingat itu, Tatu kembali tersedu dan tergugu. Dia tak mengenal siapa ayah kandungnya, pun sang ibu tak pernah memberikan kasih sayang yang ia butuhkan.“Ada apa nduk? Kenapa sedih banget gini?” Pertanyaan Bu Anita tak kunjung membuat Tatu menghentikan tangisnya. Sesak terasa menghimpit dadanya, ia butuh melepaskan semua beban di jiwa. Untuk saat ini, setelah sekian lama menahan dahaga akan pelukan juga perlindungan yang disebut orang tua.Pak Wawan mengelus lengan gadis yang melingkar di tubuh istrinya. Wajah tuanya terlihat sendu, merasa prihatin dengan gad
“Sek … sebentar … Josh yang kita kenal? Josh Temennya Nak Gary? Nak Joshua di obok-obok?” cercaan pertanyaan Pak Wawan membuat Tatu meringis. Joshua memang tengil dan suka bercanda. Lelaki itu senang sekali jika pada masa dulu ada artis cilik bernama yang sama di negeri ini dan mempunyai lagu yang lucu. Maka waktu berkenalan dengan Pak Wawan menyebutkan namanya dengan embel-embel di obok-obok. “Inggih Pak,” jawab Tatu dengan mengangguk pelan. Ia memproyeksi reaksi Pak Wawan yang hanya diam menatap Tatu dengan helaan napas beberapa kali. “Nak Josh sudah tahu?” tanyanya lagi. Tatu mengangguk, Bu Anita mengelus punggung tangan Tatu. Wanita paruh baya itu lantas berdiri, melanjutkan kegiuatannya membuat sarapan sambil mendengarkan obrolan suaminya dan wanita muda itu. Tatu menceritakan awal mula
Bahu Josh luruh, mendengar bibir mungil Sean berucap seperti itu buatnya pilu. Cintanya tak palsu hanya belitan di tubuhnya begitu kuat hingga tak mampu ia lepas begitu saja. “Tante marah sama Om, jadi bilang begitu,” sambung Sean polos. Bagaimanapun seorang anak kecil tak akan berbohong. Pria tampan itu menatap Lara yang mengendikkan bahu acuh, tak peduli dengan pertanyaan tak tersurat yang dia berikan. “Baiklah, ayo kita pulang. Rumah kalian sudah dibersihkan dan beberapa perabotan harus diganti.” Josh mengangkat tubuh dua keponakannya ke atas lengan kokohnya dan berjalan terlebih dahulu.“Madam Emily tidak tau kami disini, kan?” Lara ingin memastikan mertua bangsawannya tak mendengar kabar kunjungan dadakan itu.Josh menoleh dan menggeleng pelan. “Sebaiknya Aun Emy tak tahu, dia akan sangat mengerikan jika tahu kalian mencari Gary.” Tangannya meraih remote mobil dan memencetnya tetap dengan tenang membopong Sean di leher dan Siena di depan. Mirip bule kebanyakan yang tanpa beban
“Ta!” Lara menahan tangan Tatu yang akan menemui anak-anaknya. “Jangan seperti itu, ucapan adalah doa. Aku nggak mau ya, kamu ngomongnya ngaco gitu.” Ia berdiri, menatap sahabatnya dengan pandangan sedih. Perasaanya berkecamuk, di sisi lain Tatu adalah sahabat terbaiknya. Satu-satunya orang terdekat yang selalu ada dan tak pernah meninggalkannya. DI sisi lain Josh adalah sahabat suaminya, yang saat ini sedang berusaha membebaskan belahan hati. Dia hanya ingin juga berusaha meyakinkan Josh, merubah keputusan pria bule yang sudah menghamili orang terkasihnya. Mengembalikan gurat nestapa menjadi rona bahagia. Setidaknya di antara mereka berdua salah satu harus bisa menyemarakkan hati dengan sukacita bukan air mata. “Udah, Sayang.” Helaan napas gusar tak akan mampu ditutupi, tapi Tatiu masih bisa tersenyum lebar demi mengenyahkan perasaan yang cabar. “Biarkan bagiku dia seperti itu dan sebaliknya. Ayo aku bantu siap-siap duo kesayangan, kamu lekasi kemas yang lain jangan sampai ketingg
Arga bukan penyelamat, bukan juga ia jadikan tumpuan atas kemalangan yang menimpa. Hatinya masih tetap sama, enggan percaya. Karena tak akan pernah ada jaminan pada perasaan setiap manusia.Tatu tahu apa yang dilakukannya kejam, terlepas dari perasaan Arga sesungguhnya. Ia tak peduli. Yang dia lakukan kini hanya demi bayi yang masih bersemayam dengan nyaman di rahimnya. Walau dia tega membebat ketika bekerja, itu dilakukan juga bukan tanpa alasan. Ia tak punya siapa-siapa, hanya dirinya yang kelak akan melindungi buah hati dari kejamnya dunia.Tawaran Arga untuk menikahinya pun terpaksa ia terima, walau sadar nanti pasti akan jadi gunjingan. Setidaknya dia hanya ingin putranya mempunyai dokumen sah ketika kelahiran, itu yang ada dibenar juga rencananya. Melihat sosok berkulit sawo matang yang kini sedang mempersiapkan sebuah hunian di kota Tangerang, berbincang dengan developer yang menjelaskan bagian-bagian rumah berfurniture lengkap siap ditinggali itu, ia semakin gamang.Arga dan
“Sorry ya, Ta. Gue pikir lo nggak bakalan nerima kehadiran gue, jadi walau punya beberapa bengkel. Gue emang belum beli rumah.” Arga menjelaskan dengan raut menyesal. “Tapi setelah ini, gue bakalan beli aja itu rumah. Tapi apa lo mau lihat dulu besok?”“Jangan maksain kalau gitu, Ga. Gue nggak mau lo repot,” kata Tatu. Dia tentu tak ingin membuat Arga harus memprioritasnya. Dia memang ingin menikahi pria baik ini, tapi dia tak mau menyusahkan.“Kok gitu, sih. Justru gue emang sengaja ngasih pilihan, biar lo nyaman. Gue nggak mau ntar lo ngerasa nggak nyaman karena beda sama apa yang lo mau.” Arga meraih tangan Tatu, mencoba myakinkan.“Oke, gue ikut lo besok. Gue nggak pengen lo juga nggak suka dengan rumah ini,” ucap Tatu, rautnya berubah sendu. &ldq
Tatu sudah dewasa, paham dengan sentuhan pria dan cara menikmatinya. Pernah sangat terpedaya hingga dia lupa daratan dan berakhir menanggung penderitaan.Kini, ketika telapak tangan dengan sedikit rasa kasar membelai permukaan kulit paha telanjangnya, ia merasa kembali seperti masa-masa itu. Di mana dia tak bisa lagi mengendalikan diri, hanyut dalam kenikmatan yang nyatanya membinasakan "Lo kalau sange nggak usah ke sini," tepisnya pada tangan Arga yang mendarat di atas paha. "Bikin aja minum sendiri, gue mau sholat, mau banyak-banyak tobat!" Sarkasnya mendorong tubuh tegap di belakangnya."Ta," sesal Arga. "B-buk-" debaman di pintu kamar yang hanya berada di belakang mereka membuat pria itu berjenggit menyesal dengan setan yang membisiki telinga beberapa menit lalu.Arga berbalik menghadap kitchen set dan menuangkan air panas yang sudah dimasakkan oleh Tatu ke mug dan membuat sendiri minumannya yang berupa kopi instan.Dia akan menunggu perempuan hamil itu untuk keluar dan meminta m
Dia pernah berharap menemukan pangeran yang bisa meminang tanpa kepingan emas dan permata. Tak pernah bermimpi menjadi ratu dan hidup serba bermateri. Pintanya pada semoga untuk mereka yang pernah mencoba datang, namun hengkang sebelum berperang sudah ia anggap lekang. Kini harinya semakin menantang, dengan bentangan kenyataan yang tak bisa dibilang indah tapi juga tak menyakitkan. Menjadi penghuni kompleks perumahan cluster nyatanya tak membuat para tetangga itu juga bisa membuat mata dan telinga menggabungkan saja inderanya itu pada satu titik agar tak kepo terhadap rumah tangga orang lain. Tak pernah ikut arisan RT atau kegiatan apapun membuat Tatu seakan adalah penghuni yang wajib dicurigai. Padahal, dia juga sudah membayar iuran dan kewajiban sebagai warga yang baik. Faktanya tetangga yang berjarak beberapa rumah darinya sangat sering berjalan atau sekedar jogging di sekitar rumahnya. Sangat terlihat jika perempuan yang lebih sering mengenakan penutup kepala seperti kupluk itu
Dia selalu sadar diri bukan manusia suci, hadirnya ke dunia pun karena sebuah kesalahan demi hasrat mencapai nikmat duniawi. Tak tahukah mereka dua sejoli yang membuat dia menunjukkan eksistensi bukan hanya menjadi sosok bayi, namun manusia yang sedang mencari kebahagiaan yang hakiki.Selalu tak dipedulikan juga diabaikan. Sekarang pun kini dia dibuang oleh orang tersayang. Ah, dunianya memang kejam. Tapi dia tetap ingin bertahan, walau dalam kubangan ketidakpastian. Mungkin Tuhan memang masih menyayanginya, hingga tak ada keinginan menyakiti diri maupun bunuh diri. Ternyata dia masih punya hati pun nurani yang terkungkung dalam palung yang tak bisa diselami.Tatu sedang bersama kembar pintar yang sedang belajar bersama. Mereka memang masih mengikuti daycare belum sepenuhnya masuk sekolah PAUD atau playgroup. Tapi anak sahabatnya Lara memang seperti sang Daddy yang giat dan sangat cerdas. "Onty, apakah ini bagus?" Sean menunjukkan gambar kastil yang ia lukis menggunakan crayon."Bag
"Tiga bulan lagi?" tanya Tatu tak percaya, sebegitu seriuskah Arga padanya. Rasa haru tentu menyeruak dari sudut hatinya. Dia tak merasa membuat kebaikan selama ini, karena yang dia lakukan hanya menimbun dosa setiap harinya."Kenapa? Gue datang sekalian meminta KTP juga KK lo, 3 bulan cukup ‘kan buat daftar ke KUA?” Arga menanyakan dengan binar bahagia di iris gelapnya. Terlihat sangat antusias dan penuh harap.“Ck, nanti saja. Parkirnya jangan yang jauh-jauh dari supermarket ya, gue gampang capek sekarang.” Tatu tersenyum menoleh ke arah Arga, yang jika dia lihat sebenarnya tampan khas orang Indonesia. Tak diragukan, karena dulu dia menjadi salah satu idola di sekolahnya. Pengakuan kalau pernah menaruh hati padanya bahkan sejak masa pendidikan sebenarnya sulit diterima akal sehatnya, karena Arga yang dulu dikelilingi banyak perempuan cantik dan menarik juga kaya seperti dirinya. Jadi wajar bukan, jika ia memendam sekelumit rasa takut juga khawatir, pria ini hanya akan membalas dend
Dia memang ada karena sebuah kesalahan, dibesarkan tanpa kasih sayang yang dia butuhkan layaknya setiap anak. Tapi dia berusaha menjadi penyayang, menjadi pribadi yang penuh keramahan juga kesabaran. Tapi kini, sekarang dia tak sama lagi wajahnya terlihat jutek dan jauh dari senyuman. keceriaan itu seperti terenggut oleh buasnya kehidupan memangsanya. Dia sedang tak ingin beramah tamah dengan siapapun, sebagaimana semesta juga tak ingin berteman dengannya. Dia berjalan dengan sedikit berlari, menuju parkiran depan pabrik tempat sebuah mobil hitam dengan pinggiran kap depan bertuliskan Rubicon dengan hurup kapital. Arga dengan segera turun, meringis melihat Tatu yang berlari ke arahnya seolah dia remaja yang sedang menyambut kekasihnya datang.“Apaan sih, jangan lari-lari!” Arga berseru pada gadis cantik dengan rambut yang di gulung asal di atas kepalanya.“Ck, cerewet. Ayo pulang!” galak Tatu tak mempedulikan teguran Arga tadi.“Sensitif sekali, Buk. Lama nggak dapet jatah ya?” lede