Bangun dengan kepala seperti menyunggi karung berton-ton, dan perut di putar mesin molen dengan kecepatan penuh. Tatu mencoba mengangkat tubuhnya, mengirim perintah pada saraf motoriknya untuk bisa menggerakkan badan. Dia butuh ke kamar mandi, dia harus memuntahkan sesuatu. Dan ternyata, Tuhan masih berbaik hati. Ia bisa menegakkan badan dan berdiri, berjalan walau sempoyongan dan memuntahkan semua isi perutnya.
Rasa pahit menjalar dari ujung lidah hingga tenggorokan. Duduk di atas closet dengan lemas setelah menyiram hingga bersih, tenaganya seperti tercabut dan tak bersisa. Dengan sebelah tangannya di bantu tangan lainnya, mencoba melepaskan kaos yang menempel di tubuhnya. Bersuka ria dengan keberhasilan dua anggota tubuh melepaskan benda yang menjadi korban muntahannya.
Melemparkan pada ujung ruangan sempit berukuran 1,5 x 1,5 meter persegi. Kembali mengayunkan tangan kurusnya demi menjangkau gagang shower, memutar kran pada posisi penuh. Ia butuh menghilangkan kenangan-kenangan memuakkan dengan Josh dan sisa muntahan pada tubuhnya. Ketololan pria itu yang dulu sempat membuatnya Ilfeel, juga membuatnya terhibur secara bersamaan.
Selesai dengan ritual mandi bebeknya, Tatu segera keluar dari kamar mandi. Memasukkan baju kotor pada mesin cuci, lalu memakai baju. Menyalakan termos elektrik, sembari mengusap rambut dengan handuk. Dengan tenaga yang tersisa dan kepala masih berdentam hebat. Tatu membuat teh hangat juga menggoreng empat buah nugget yang tersisa di kulkas mininya untuk sarapan. Sungguh miris keadaanya pagi itu.
Pulang dari apartemen Josh nyaris lewat tengah malam, dan malah berkubang dalam tangis membuatnya lupa memberi makan calon anak yang mungkin masih berproses menjadi janin. Tatu butuh sarapan lalu tidur lagi, berdoa tidak memuntahkan hasil bersusah- payahnya pagi ini.
Ia sedang mengunyah nugget terakhirnya saat pintu diketuk, dengan tidak bersemangat, Tatu berdiri memutar kuci sebelum membukanya. Belum sempat pintu sepenuhnya terbuka, pria yang seharusnya ia hindari menerobos masuk, menahan tangan Tatu dan memutar kunci mencabutnya dan memasukkan pada saku celananya.
“Apa, yang kau lakukan Josh?” desis Tatu dengan memelototkan matanya. Menyandarkan tubuh pada tembok di belakangnya. Cekalan Josh pada pergelangan tangannya membuat Tatu meringis. Josh yang paham melepaskan dengan pelan. Tatu menatap pria yang berdiri beberapa jengkal di depannya dengan garang.
“Hunny, we need to talk,” ucap Josh, mengangsurkan tangan kanannya. Namun Tatu menangkisnya, ia enggan bersentuhan dengan Josh. Ia bersumpah tidak akan menyentuh pria itu lagi. Anggap saja tadi bonus, karena Josh yang menyentuh tangannya terlebih dahulu.
“Ngomong sama tembok, sana! Waktumu sudah habis!” sembur Tatu, memalingkan wajahnya menatap dapur yang berantakan karena ulahnya tadi.
“Lovely, please.” mohon Josh, dia tidak bisa memejamkan mata semalaman. Menyusul Tatu yang berlari keluar, tapi tidak dapat ia temukan di manapun. Ponsel perempuan itu juga tidak aktif. Dia berpikir keras, Tatu selalu meminum pilnya, dan hubungan mereka sudah hampir tiga tahun. Dan frekuensi bercinta mereka? Jangan ditanyakan, nanti mereka akan malu.
Namun, kenapa baru sekarang masa subur Tatu datang? Josh tidak bisa memecahkan masalah itu, ia harus membawa Tatu ke dokter. Ia takut dokter hanya mengakali tentang penyakit Tatu. Karena yang ia tahu, Tatu merasa dia akan sulit mempunyai keturunan.
“We need to go to the doctor,” ucap Josh lagi, Tatu memutar bola matanya lagi.
“Ga, usah sok ga bisa Bahasa. Dan ga perlu ke dokter, kamu masih ragu kalau aku memang hamil?” seloroh Tatu galak. Josh menghela napas, menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan nyengir keki.
"Bukan, bukan itu maksud aku. Kita periksa penyakit yang pernah kamu derita. Supaya kita bisa lebih yakin apakah kehamilanmu berbahaya atau tidak," Josh memberi alasan yang masuk akal, supaya Tatu mengerti.
"Kehamilanku tidak ada hubungannya dengan penyakitku Josh, kamu ingin bukti?" sambar Tatu, ia bergeser dan tetap waspada. Tak ingin kecolongan Josh menubruknya, ia buka laci meja belajar di sampingnya.
Meraup stik testpack yang jumlahnya pasti akan membuat orang tercengang, dengan cepat melempar ke arah Josh, ” Itu buktinya! Kurang banyak?” tantang Tatu. Josh melongo melihat banyaknya stik test pack yang dipakai Tatu, ia berjongkok mengambil beberapa, memandangi tebaran test pack yang semua bergaris dua dan terlihat jelas.
“Berapa kali kamu melakukan test, Hunny?” tanya Josh, dengan raut wajah tidak percaya.
“Hitung aja sendiri,” ketus Tatu, masih tidak mau memandang wajah Josh, jujur dia merasa ngantuk dan jengkel secara bersamaan juga masih lapar.
Ia ingin tidur, tapi bagaimana caranya mengusir Josh, kunci saja dia kantongin. Yang ada kalau mengatakan pada orang itu ingin tidur, malah dia yang ditiduri. Tatu mengacak rambutnya. Ingin sekali Tatu menendang pria yang sedang memunguti puluhan test pack murahan merk satumed yang tercecer di lantai.
“Ini sudah lebih dari 30 test pack, Hunny. Apa kamu melakukan test setiap hari, selama 30 hari lebih?” tanya Josh polos. Tatu mengusap wajahnya dengan kasar. Kok bisa, sih, pria ini jadi pengacara.
“Perlu aku jawab?” lirik Tatu sengit, ekspresi Tatu membuat Josh gemas. Ia sudah merindukan wanita di depannya itu, SANGAT! Tapi keadaan seperti ini, ia tidak boleh gegabah. Josh mengahiskan waktu gundahnya tadi malam dengan membaca artikelseputar kehamilan, wanita hamil tidak boleh emosi dan stress. Josh lalu memikirkan ucapannya kepada Tatu malam tadi. Ia tahu sudah melukai kekasihnya, dan dia memang belum merasa yakin untuk menikah. Akan tetapi dia tidak akan lari dari tanggung jawab.
“Please, kita perlu ke dokter. Aku ingin memastikan kamu dan bayi kita sehat, okay?” bujuk Josh setengah memohon. Tuh ‘kan, Josh itu kadang manis, tapi seringnya ngeselin.
“Josh, bisakah kau pergi saja? Aku hanya ingin istirahat saat ini. Aku tidak ingin melihatmu. Tolong … “ ucap Tatu lirih. Hanya sarapan nugget dan teh, tapi harus berdebat dengan beruang Irlandia membuat badannya kian melemah.
“Tapi berjanjilah, besok aku akan datang dan kita pergi ke dokter, mengerti?” titah Josh dengan nada mengancam. Josh mengedarkan pandangannya, kamar yang beberapa kali ia kunjungi itu terlihat kacau. Mendesah prihatin, ia kembali menatap Tatu yang masih memalingkan muka. Wajah cantiknya terlihat kuyu dan pucat.
“Istirahatlah, aku akan membereskan kamarmu. Setelah itu aku akan pulang,” perintah Josh memang sangat menggiurkan, tapi ia masih tak sudi berlama-lama dengan pria itu. Josh kembali mengulurkan tangannya, tapi Tatu tetap enggan. Josh akhirnya mengalah, berjalan ke arah dapur mungil di ujung ruangan dekat dengan kamar mandi. Dan mulai membereskan kekacauan yanga ada. Tatu berjalan mendekati ranjangnya. Bersyukur, tempat itu dalam keadaan sudah ia rapikan.
Mencoba merebahkan badannya, kepalanya masih berat dan pening. Ia sengaja menghadap ke arah tembok. Tak ingin melihat aktifitas yang Josh lakukan. Dia akan membebaskan pria itu. Yang terpenting bagi Tatu adalah mengistirahatkan badannya, untuk saat ini.
Tatu baru akan terlelap, saat terdengar bunyi benda jatuh dan umpatan dengan bahasa Inggris yang nyaring. Tentu saja Tatu terkejut, ia spontan mendudukkan badannya. Menatap ke arah di mana sumber suara. Ternyata Josh terpeleset dan terpelanting,
“Ta! … Tatu! … kamu ga apa-apa!?” ketukan dan teriakan dari luar kamar membuat Tatu panik, ia beranjak dari ranjangnya. Mendekati Josh meminta kunci.
“Sini kuncinya … “ pinta tatu dengan berbisik. Josh yang masih terduduk di lantai merogoh saku celananya.
“Kiss me, please! and i give you the key,” Josh memanyunkan bibirnya, Tatu berdecak memukul bibir Josh dan merebut kunci dari tangan bule itu.
“Masuk ke kamar mandi, cepetan!” perintah Tatu dengan melotot.
“Ta! … kamu di dalam kan? Ada suara cowok sih … “ Tatu memandang ke arah kamar mandi dengan panik.
“Ta, buka pintunya!”
Deringan pada ponsel pintarnya menyadarkan Tatu dari lamunan, saat ini ia sedang istirahat di kantin. Menunggu Lara datang. Menghela napas berat, saat melihat nama yang membuatnya darah tinggi setiap menghubungi. Dengan enggan Tatu mengangkat panggilan tersebut. “Assalamu’alaikum ....“ jawab Tatu dengan malas. “Gimana kabarmu, nduk? Udah makan belum?” suara berat dari seberang sana menyapa Tatu, nadanya sumringah dan sangat ramah. “Baik, Pak. Ini baru mau makan. Bapak sudah makan belum?” basa-basi Tatu kepada bapaknya. “Lha ini bapak nelpon, mau ada perlu sama kamu. Bapak belum makan, duit bapak habis. Bisa to kamu kirimi bapak uang?” todong Sarjono, ayah kandung Tatu. Selalu dan selalu, membuat Tatu jengah dengan alasan yang suka mengada-ada. “Pak, ‘kan udah aku kirim awal bulan kemarin. Itu jatah Bapak sama Ibu malahan. Kalo sekarang ga ada, aku belum gajian … “ ucap Tatu dengan raut kesal, mendongak,menatap Lara yang baru saja datang. Lara duduk di hadapannya, membuka beberapa
Kehamilan adalah sebuah proses yang membuat wanita berpasrah kepada kekuatan Tuhan yang tidak terlihat di balik semua takdir kehidupan manusia. Kehamilan juga sangat menakjubkan, ia bisa mengubah mental seorang wanita menjadi lebih baik untuk dirinya sendiri. Begitu pula dengan yang dialami Tatu. Ia menjadi pribadi yang berbeda, rasa malasnya yang dulu sering melanda perlahan terkikis. Dia tidak ingin sifat dasar keluarganya akan menurun pada anaknya kelak. Yaitu malas. Jika ia malas karena rasa lelah setelah bekerja. Berbeda dengan kakak tirinya. Di umur hampir menginjak 30 tahun, pria itu masih saja selalu merecokinya. Tatu masih dongkol dengan bapaknya yang meminta uang, kakak tirinya pun setali tiga uang. Setelah kemarin dipusingkan dengan Mbak Ayu yang menuduhnya dengan fakta yang tak terpikirkan olehnya. Tatu berhasil berkelit lagi. Dan melepaskan diri dari wanita julid itu. Namun kesialannya belum berakhir. Setelah makan malam sederhananya, ya, tatu hanya makan malam dengan t
“Tatu hamil, Dok … “ ucap Tatu lirih menundukkan kepalanya dalam. Kerutan di alis Dokter Farida menandakan ada kecewa, heran dan bahagia yang bercampur menjadi satu. Dia tahu Tatu belum berkeluarga, dan riwayat penyakitnya. “Ayo berbaring, kita periksa dulu,” Dokter Farida berdiri dari kursi kebesarannya, mengulurkan tangan mengajak Tatu menuju ranjang periksa. Tatu menghela napas lega, ia ketakutan. Dokter Ida menuntun Tatu berbaring pada ranjang, perawat membantunya menyingkap seragam Tatu, perut yang semula rata sudah kelihatan menyembul. “Sekarang seperti orang cacingan ya dok? Apa orang ga pernah olahraga?” kelakar Tatu ngawur. Demi mengalihkan kegugupannya, Dokter Farida hanya terkekeh dengan guyonan receh Tatu. “Ini mah kayak orang makan ngabisin menu di warteg,” timpal Dokter cantik itu dengan senyum mengembang. Rasa dingin dari gel yang dioleskan pada perut bawah Tatu membuat wanita muda itu begidik. “Coba kita lihat ke layar,” instruksi Dokter Ida, membuat Tatu mendonga
“Ta, kamu ga apa-apa?” tanya Ayu mendekap Tatu yang gemetaran Sementara, kakak tirinya melarikan diri setelah sebagian penghuni kost berhamburan dan berteriak meminta tolong. “Minum dulu, Ta,” Dinda salah satu penghuni kost lain mengulurkan mug teh hangat untuk Tatu minum. Air mata masih menganak sungai dari kelopak mata bulat milik Tatu. Hanya beberapa tegukan, penghuni kost lain dan beberapa warga terdekat masih berkerumun di depan kost. Ya, mereka memang mengenal Tatu. Karena semenjak mulai bekerja di pabrik Fiskar lima tahun lalu. Tatu tidak pernah berpindah kost, dan ia tidak ragu untuk bersosialisasi terhadap warga sekitar. “Neng Tatu, atuh kenaon … “ Bu Iroh, penjual pecel depan kost berhambur masuk, logat khas sundanya menggema di kesunyian kamar Tatu. Dinda, Mbak Ayu dan bebera
Tatu hanya membatu, saat rindu menjadi temu yang ia sudah nyatakan tak akan mau. Namun Tuhan tahu, kepada siapa hatinya hanya merindu dan bibir ingin berucap ‘aku membutuhkanmu’. Saat iris mata bertemu tak ada yang bisa meragu, keduanya tak bisa berpaling dari rasa yang sama-sama menggebu. Dengan jantung yang bertalu, Tatu memberanikan diri menyapa. "Ng-ngapain kamu di sini Josh?" cicitnya gagu. Josh naik ke teras, menatap nyalang pria dengan baju batik di hadapan Tatu. "Siapa yang hampir di perkosa? Jawab saya Pak!" seru Josh, dengan tak sabaran. Pak RT berdiri wajahnya memucat, tubuhnya sedikit gemetar. Berhadapan dengan pria asing, membuat nyali Pak RT menciut. "Bukan, eh maaf bapak siapa?" tanya Pak RT gugup. "Saya? Pengacara. Ada apa? Kenapa anda datang ke kost Tatu pagi-pagi seperti ini? Bukan seharusnya bertamu itu sore atau malam hari?" Josh mencoba mengintimidasi, tapi malah membuat Tatu menahan kekehannya. 'Lha dia nyuruh orang bertamu jangan pagi-pagi, dia sendiri nga
Tatu terhenyak namun enggan membuka mata, semburan dingin dari arah depan juga aroma terapi yang sangat familiar menyamankan indra penciumannya, terdengar suara-suara berisik dan raungan knalpot yang mengganggu telinganya. Mencoba merenggangkan badan, tangan kanannya menangkap wajah seseorang. Jantungnya berdegup kencang. Bayangan Ganjar tidur di samping membuat Tatu segera memaksa matanya untuk terbuka. “Arrrgghhh, di mana ini … di mana ini …!!” teriak tatu panik, ia terbangun menoleh ke kanan dan ke kiri terkejut bukan main, karena di depan matanya adalah jalan toll dengan truk yang berjalan pelan. Bayangan ganjar menculiknya membuat Tatu ketakutan. Cengkraman di tangan kanannya, membuat Tatu menoleh dengan cepat. “Ania sayang, calm down. Baby,” ucap Josh dengan suara pelan, membawa jemari Tatu ke mulutnya dan mengecupinya. “Bagaimana bisa kamu membawaku, Josh!” seru Tatu tak terima, otaknya masih mencerna dan memikirkan. Bagaimana Josh bisa membawanya ke dalam mobil dan sekaran
“Josh! Aku mau pulang!” Tatu berdiri, meraih tas di sofa. Dia hendak berjalan ke arah pintu, saat tangan besar mencekal pergelangan tangannya. “Mulai hari ini, kamu akan tinggal di sini.” Josh menarik Tatu hingga tubuhnya membentur tubuh lelaki besar itu. Josh segera mengungkung wanita yang masih memakai seragam itu dalam dekapannya. Tatu mendesah lelah, mendongakkan kepala demi melihat wajah pria pemaksa yang sudah membawanya ke apartemen mewah itu. “Kamu tidak punya hak untuk memaksaku tinggal di tempat ini,” katanya, membawa dua tangannya ke dada Josh dan mendorong pelan. Namun sia-sia, tenaganya tak sebanding dengan tenaga pria kekar itu. Josh menunduk, menatap lekat iris sewarna jelaga yang menjadi favoritnya. “Humm, seperti itu?” ucap Josh dengan seringai licik. Lelaki itu mengeratkan pelukannya pada pinggang Tatu dengan sebelah tangan, sedang tangan lainnya bergerak ke atas hingga tengkuk. Dia sangat hapal, bagaimana menjinakkan gadis keras kepala yang sudah mengisi hari-ha
Tatu mencoba memuka pintu kamar Josh. Sialnya, lelaki itu mengunci dari luar, entah apa yang ada di pikirannya. Padahal Tatu tak berencana kabur, percuma saja ‘kan? Sudah lewat tengah malam. “Josh!” Tatu masih tidak menyerah memanggil. Setelah terbangun tadi dan tak menemukan Josh di sampingnya. Tatu mengabaikan kantuk dan rasa lelah, ia segera ke kamar mandi mencuci muka lalu mencari baju. Ia termangu di depan almari, antara lega dan juga merasa tak mempunyai harga diri. Tumpukan baju yang Josh persiapkan untuknya masih tersusun rapi. Lengkap, mulai dari pakaian dalam hingga dress. Dengan lemas ia menarik celana panjang dan sweater segera memakainya. Bunyi kunci yang diputar, memaksa Tatu untuk mundur. Dan Josh berdiri dengan celana pendek yang menggantung tak sopan di pinggang rampingnya. “Ada apa, Baby? Kenapa bangun? Apa lapar lagi?” tanya Josh perhatian. Tatu menggeleng, mengabaikan Josh. Ia berjalan keluar kamar, menuju dapur dan mengambil air minum. “Siapa tadi yang dat
Bahu Josh luruh, mendengar bibir mungil Sean berucap seperti itu buatnya pilu. Cintanya tak palsu hanya belitan di tubuhnya begitu kuat hingga tak mampu ia lepas begitu saja. “Tante marah sama Om, jadi bilang begitu,” sambung Sean polos. Bagaimanapun seorang anak kecil tak akan berbohong. Pria tampan itu menatap Lara yang mengendikkan bahu acuh, tak peduli dengan pertanyaan tak tersurat yang dia berikan. “Baiklah, ayo kita pulang. Rumah kalian sudah dibersihkan dan beberapa perabotan harus diganti.” Josh mengangkat tubuh dua keponakannya ke atas lengan kokohnya dan berjalan terlebih dahulu.“Madam Emily tidak tau kami disini, kan?” Lara ingin memastikan mertua bangsawannya tak mendengar kabar kunjungan dadakan itu.Josh menoleh dan menggeleng pelan. “Sebaiknya Aun Emy tak tahu, dia akan sangat mengerikan jika tahu kalian mencari Gary.” Tangannya meraih remote mobil dan memencetnya tetap dengan tenang membopong Sean di leher dan Siena di depan. Mirip bule kebanyakan yang tanpa beban
“Ta!” Lara menahan tangan Tatu yang akan menemui anak-anaknya. “Jangan seperti itu, ucapan adalah doa. Aku nggak mau ya, kamu ngomongnya ngaco gitu.” Ia berdiri, menatap sahabatnya dengan pandangan sedih. Perasaanya berkecamuk, di sisi lain Tatu adalah sahabat terbaiknya. Satu-satunya orang terdekat yang selalu ada dan tak pernah meninggalkannya. DI sisi lain Josh adalah sahabat suaminya, yang saat ini sedang berusaha membebaskan belahan hati. Dia hanya ingin juga berusaha meyakinkan Josh, merubah keputusan pria bule yang sudah menghamili orang terkasihnya. Mengembalikan gurat nestapa menjadi rona bahagia. Setidaknya di antara mereka berdua salah satu harus bisa menyemarakkan hati dengan sukacita bukan air mata. “Udah, Sayang.” Helaan napas gusar tak akan mampu ditutupi, tapi Tatiu masih bisa tersenyum lebar demi mengenyahkan perasaan yang cabar. “Biarkan bagiku dia seperti itu dan sebaliknya. Ayo aku bantu siap-siap duo kesayangan, kamu lekasi kemas yang lain jangan sampai ketingg
Arga bukan penyelamat, bukan juga ia jadikan tumpuan atas kemalangan yang menimpa. Hatinya masih tetap sama, enggan percaya. Karena tak akan pernah ada jaminan pada perasaan setiap manusia.Tatu tahu apa yang dilakukannya kejam, terlepas dari perasaan Arga sesungguhnya. Ia tak peduli. Yang dia lakukan kini hanya demi bayi yang masih bersemayam dengan nyaman di rahimnya. Walau dia tega membebat ketika bekerja, itu dilakukan juga bukan tanpa alasan. Ia tak punya siapa-siapa, hanya dirinya yang kelak akan melindungi buah hati dari kejamnya dunia.Tawaran Arga untuk menikahinya pun terpaksa ia terima, walau sadar nanti pasti akan jadi gunjingan. Setidaknya dia hanya ingin putranya mempunyai dokumen sah ketika kelahiran, itu yang ada dibenar juga rencananya. Melihat sosok berkulit sawo matang yang kini sedang mempersiapkan sebuah hunian di kota Tangerang, berbincang dengan developer yang menjelaskan bagian-bagian rumah berfurniture lengkap siap ditinggali itu, ia semakin gamang.Arga dan
“Sorry ya, Ta. Gue pikir lo nggak bakalan nerima kehadiran gue, jadi walau punya beberapa bengkel. Gue emang belum beli rumah.” Arga menjelaskan dengan raut menyesal. “Tapi setelah ini, gue bakalan beli aja itu rumah. Tapi apa lo mau lihat dulu besok?”“Jangan maksain kalau gitu, Ga. Gue nggak mau lo repot,” kata Tatu. Dia tentu tak ingin membuat Arga harus memprioritasnya. Dia memang ingin menikahi pria baik ini, tapi dia tak mau menyusahkan.“Kok gitu, sih. Justru gue emang sengaja ngasih pilihan, biar lo nyaman. Gue nggak mau ntar lo ngerasa nggak nyaman karena beda sama apa yang lo mau.” Arga meraih tangan Tatu, mencoba myakinkan.“Oke, gue ikut lo besok. Gue nggak pengen lo juga nggak suka dengan rumah ini,” ucap Tatu, rautnya berubah sendu. &ldq
Tatu sudah dewasa, paham dengan sentuhan pria dan cara menikmatinya. Pernah sangat terpedaya hingga dia lupa daratan dan berakhir menanggung penderitaan.Kini, ketika telapak tangan dengan sedikit rasa kasar membelai permukaan kulit paha telanjangnya, ia merasa kembali seperti masa-masa itu. Di mana dia tak bisa lagi mengendalikan diri, hanyut dalam kenikmatan yang nyatanya membinasakan "Lo kalau sange nggak usah ke sini," tepisnya pada tangan Arga yang mendarat di atas paha. "Bikin aja minum sendiri, gue mau sholat, mau banyak-banyak tobat!" Sarkasnya mendorong tubuh tegap di belakangnya."Ta," sesal Arga. "B-buk-" debaman di pintu kamar yang hanya berada di belakang mereka membuat pria itu berjenggit menyesal dengan setan yang membisiki telinga beberapa menit lalu.Arga berbalik menghadap kitchen set dan menuangkan air panas yang sudah dimasakkan oleh Tatu ke mug dan membuat sendiri minumannya yang berupa kopi instan.Dia akan menunggu perempuan hamil itu untuk keluar dan meminta m
Dia pernah berharap menemukan pangeran yang bisa meminang tanpa kepingan emas dan permata. Tak pernah bermimpi menjadi ratu dan hidup serba bermateri. Pintanya pada semoga untuk mereka yang pernah mencoba datang, namun hengkang sebelum berperang sudah ia anggap lekang. Kini harinya semakin menantang, dengan bentangan kenyataan yang tak bisa dibilang indah tapi juga tak menyakitkan. Menjadi penghuni kompleks perumahan cluster nyatanya tak membuat para tetangga itu juga bisa membuat mata dan telinga menggabungkan saja inderanya itu pada satu titik agar tak kepo terhadap rumah tangga orang lain. Tak pernah ikut arisan RT atau kegiatan apapun membuat Tatu seakan adalah penghuni yang wajib dicurigai. Padahal, dia juga sudah membayar iuran dan kewajiban sebagai warga yang baik. Faktanya tetangga yang berjarak beberapa rumah darinya sangat sering berjalan atau sekedar jogging di sekitar rumahnya. Sangat terlihat jika perempuan yang lebih sering mengenakan penutup kepala seperti kupluk itu
Dia selalu sadar diri bukan manusia suci, hadirnya ke dunia pun karena sebuah kesalahan demi hasrat mencapai nikmat duniawi. Tak tahukah mereka dua sejoli yang membuat dia menunjukkan eksistensi bukan hanya menjadi sosok bayi, namun manusia yang sedang mencari kebahagiaan yang hakiki.Selalu tak dipedulikan juga diabaikan. Sekarang pun kini dia dibuang oleh orang tersayang. Ah, dunianya memang kejam. Tapi dia tetap ingin bertahan, walau dalam kubangan ketidakpastian. Mungkin Tuhan memang masih menyayanginya, hingga tak ada keinginan menyakiti diri maupun bunuh diri. Ternyata dia masih punya hati pun nurani yang terkungkung dalam palung yang tak bisa diselami.Tatu sedang bersama kembar pintar yang sedang belajar bersama. Mereka memang masih mengikuti daycare belum sepenuhnya masuk sekolah PAUD atau playgroup. Tapi anak sahabatnya Lara memang seperti sang Daddy yang giat dan sangat cerdas. "Onty, apakah ini bagus?" Sean menunjukkan gambar kastil yang ia lukis menggunakan crayon."Bag
"Tiga bulan lagi?" tanya Tatu tak percaya, sebegitu seriuskah Arga padanya. Rasa haru tentu menyeruak dari sudut hatinya. Dia tak merasa membuat kebaikan selama ini, karena yang dia lakukan hanya menimbun dosa setiap harinya."Kenapa? Gue datang sekalian meminta KTP juga KK lo, 3 bulan cukup ‘kan buat daftar ke KUA?” Arga menanyakan dengan binar bahagia di iris gelapnya. Terlihat sangat antusias dan penuh harap.“Ck, nanti saja. Parkirnya jangan yang jauh-jauh dari supermarket ya, gue gampang capek sekarang.” Tatu tersenyum menoleh ke arah Arga, yang jika dia lihat sebenarnya tampan khas orang Indonesia. Tak diragukan, karena dulu dia menjadi salah satu idola di sekolahnya. Pengakuan kalau pernah menaruh hati padanya bahkan sejak masa pendidikan sebenarnya sulit diterima akal sehatnya, karena Arga yang dulu dikelilingi banyak perempuan cantik dan menarik juga kaya seperti dirinya. Jadi wajar bukan, jika ia memendam sekelumit rasa takut juga khawatir, pria ini hanya akan membalas dend
Dia memang ada karena sebuah kesalahan, dibesarkan tanpa kasih sayang yang dia butuhkan layaknya setiap anak. Tapi dia berusaha menjadi penyayang, menjadi pribadi yang penuh keramahan juga kesabaran. Tapi kini, sekarang dia tak sama lagi wajahnya terlihat jutek dan jauh dari senyuman. keceriaan itu seperti terenggut oleh buasnya kehidupan memangsanya. Dia sedang tak ingin beramah tamah dengan siapapun, sebagaimana semesta juga tak ingin berteman dengannya. Dia berjalan dengan sedikit berlari, menuju parkiran depan pabrik tempat sebuah mobil hitam dengan pinggiran kap depan bertuliskan Rubicon dengan hurup kapital. Arga dengan segera turun, meringis melihat Tatu yang berlari ke arahnya seolah dia remaja yang sedang menyambut kekasihnya datang.“Apaan sih, jangan lari-lari!” Arga berseru pada gadis cantik dengan rambut yang di gulung asal di atas kepalanya.“Ck, cerewet. Ayo pulang!” galak Tatu tak mempedulikan teguran Arga tadi.“Sensitif sekali, Buk. Lama nggak dapet jatah ya?” lede