wkwkwkkw minta ampun nggak tuh kena ulti?
Yura memutuskan menunggu Raiga selesai mandi, dia duduk di depan meja riasnya dengan tatapan mata terus tertuju ke pintu kamar mandi. Yura menduga suaminya itu pasti heran dengan tingkahnya tadi, tapi mau bagaimana, cinta harus dikejar, begitu pikirnya. Ia akan menyingkirkan rasa malu untuk membuat Raiga secepatnya tergila-gila. “Ah… sial!” Raiga mengumpat menyesali kebodohannya sendiri, karena buru-buru menghindari Yura dia sampai tidak membawa baju ganti bahkan handuk. Dengan tubuh tanpa busana, pria itu mondar-mandir sampai akhirnya menjambak sisi kepala. Mau tak mau dia harus meminta tolong Yura mengambilkan handuk dan baju ganti. “Ra, apa kamu masih di sana?” Raiga berteriak tanpa membuka pintu kamar mandi. “Hem, iya. Aku masih di sini. Ada apa?” Yura bangun dan mendekat, dia memandang daun pintu lalu mengetuknya sekali. “Butuh sesuatu?” “Aku lupa membawa handuk dan baju ganti, bisakah kamu mengambilkannya di lemari?” pinta Raiga. Ia merasa lega karena Yura mengiyakan. Gadi
Yura menutup pintu sesaat setelah masuk kamar. Ia melihat Raiga berhenti melangkah, dengan seringai licik Yura dengan sengaja bergegas mengunci pintu, hingga sang suami menoleh kaget. “Kamu mau apa?” “Mau apa? tidur donk, kakak ini bagaimana sih,”jawab Yura sambil mendekat ke ranjang, tatapan matanya tak teralihkan sedikitpun dari wajah Raiga. Yura duduk di tepi ranjang, dia tiba-tiba mengurungkan niat menaikkan kaki, karena sebuah ide kembali melintas di kepala. “Kak bisa bantu membuka resleting bajuku lagi? terlalu gerah, aku mau berganti baju tidur yang nyaman,”ucapnya. Yura kembali berdiri untuk mendekat ke Raiga lantas menunjukkan bagian punggungnya. “Ma-mau ganti baju apa? bukankah kamu tidak membawa baju ke sini?” Yura menelengkan kepala, dia tahu Raiga pasti tak mengira bahwa Ghea membelikan beberapa baju kekurangan bahan juga untuknya. “Kakak lupa? Sepertinya aku sudah bilang kalau Mama membelikanku baju tadi.” Yura menggoyangkan pundak, menyentuh bagian belakang punggu
Yura sengaja menunggu Raiga, dia berdiri di samping ranjang masih memegang kaus milik pria itu. Yura pikir jika Raiga berani mengajaknya bercinta, maka dia tidak perlu memakai baju. Seringai nakal terbit dari bibir Yura saat Raiga menyusul, suaminya itu mendekat dan menatap wajahnya lekat. Namun, bukan sentuhan atau ciuman yang Raiga lakukan, pria itu malah menyambar kausnya yang berada di dari tangan Yura, lalu mencari lubang kepala. “Pakai ini dan pergi tidur!” ucap Raiga sambil memakaikan kaus miliknya ke Yura. “Kak Rai, benar ‘kan kakak tidak berani melakukan itu.” Raiga bergeming, dia tidak peduli dengan cibiran Yura, lagipula dia punya senjata ampuh untuk membuat gadis itu mengurungkan niatnya. “Kita tidak bisa melakukan itu, kehamilan trimester pertama masih rawan, apa kamu mau terjadi hal yang buruk ke bayimu?” “Tapi kandunganku sudah hampir lima bulan.” “Apa?” Raiga kaget, bukan hanya karena fakta bahwa dia tidak mengingat usia kandungan sang istri, tapi juga karena mal
Terbangun di pagi hari, Raiga tak menyangka Yura masih terus memeluk. Bedanya kini dia dan gadis itu saling berhadapan. Raiga mengangkat kepala, berusaha memastikan kalau gadis yang wajahnya menempel ke dadanya itu masih terlelap tidur. Pelan-pelan dia menyingkirkan tangan Yura yang melingkar di pinggangnya, setelah berhasil lolos ia pun membuang napas lega. Kali ini Raiga tidak ingin sampai lupa membawa handuk dan baju ganti lagi, dia buru-buru menuju kamar gantinya untuk mencari baju yang pas digunakan pergi bekerja. Saat membuka lemari, tatapannya dibuat tertuju ke tas kertas berisi lingerie milik Yura yang dia amankan semalam. Penasaran, Raiga mencoba mengecek isi di dalamnya, sekadar hanya iseng, tapi malah membuat malu pada akhirnya. Tanpa Raiga sadari, Yura bangun dan kini menatapnya heran. Nyawa gadis itu masih belum terkumpul sempurna, tapi tetap saja dia sadar apa yang sedang dilakukan sang suami. “Kak Rai.” Panggilan Yura membuat Raiga kaget sampai satu lingerie di tanga
Karena dua adiknya ikut datang bersama sang mama, Zie memutuskan untuk tidak langsung pergi ke rumah mertuanya. Lagi pula ini masih pagi, Ghea pasti masih sibuk berolahraga dan merawat bunga-bunga kesayangannya di taman. Zie memilih menunggu Gani dan Miro agar puas bercengkerama dengan Keenan. Ia duduk di kursi ruang makan, mengupas beberapa buah untuk diberikan ke sang putra, sambil menemani Gia sarapan. “Mama memang tidak masak tadi?” “Masak, cuma Mama bosen sama masakan Mama sendiri,”jawab Gia. Ia begitu menikmati masakan Zie, meski hanya nasi goreng dengan telur dadar seadanya. “Kamu nggak mau cari pembantu yang full kerja dan tinggal di sini?” Gia memandang meja makan yang belum dibereskan oleh sang putri. Bekas piring Sean, juga mangkuk Keenan masih berserakan. “Tidak, aku takut, Ma. Lebih baik kami bertiga saja dan si mbak datang setiap sore untuk bersih-bersih. Tiga jam untuk membereskan rumah bagiku sudah cukup, tidak banyak kotoran juga, karena selalu dibersihkan,”jawab
“Jadi, apa sudah ada perkembangan?”Selepas Daniel dan Raiga berangkat kerja, Ghea mulai mengorek informasi ke Yura. Ia penasaran apakah baju kekurangan bahan yang dia belikan berhasil memikat Raiga.“Dia melarangku memakainya, kak Rai merampas lingerie itu dan menyimpannya di dalam lemari baju.” Yura menggelembungkan pipi, tapi mengingat bisa tidur memeluk sang suami, dia pun tersenyum sendiri.“Apa maksud senyuman anehmu itu?”Ghea penasaran, dia bertanya sambil menggunting tangkai-tangkai bunga yang baru saja diantar ke rumahnya. Pagi itu, Ghea mengajak Yura merangkai bunga di vas, kegiatan yang biasa dia lakukan seminggu sekali.“Aku tidur sambil memeluk kak Rai,”ucap Yura dengan suara lirih.Ghea tersenyum geli membayangkan bagaimana ekspresi putra bungsunya saat diperlakukan seperti itu oleh Yura.“Bagus, itu sebuah kemajuan.” Ghea kembali ke tangkai-tangkai mawar yang harus disusun sedemikian rupa di vas. Sesekali dia memberitahu Yura bagaimana cara merangkai bunga yang estetik
Mungkin Zie memiliki rasa hutang budi ke Bagus, yang awalnya menjadi alat untuk membuatnya terjebak dalam skandal plus dua satu, tapi pada akhirnya malah menyatukan dirinya dan Sean. Setelah menitipkan Keenan ke rumah sang mama, Zie membawa mobil pergi ke butik tempat Bagus bekerja. Sudah lama dia tidak ke sana semenjak Sean sakit. Jangankan memikirkan membeli baju baru, untuk merawat diri saja dia hampir lupa jika Gia tidak berkali-kali mengingatkan. Zie memarkirkan mobilnya di depan butik, seperti biasa dia disambut ramah oleh pelayan di sana, lantas ditanya apa tujuannya datang. Zie memulas senyum tipis, dia menjawab tidak ingin mengepas atau memesan baju, melainkan menemui Bagus. “Ah … Pak Bagus, dia sudah tiga hari tidak masuk kerja.” “Apa dia sakit?” Zie bertanya dengan nada cemas. Pikiran negatif menggelayuti benaknya mengingat apa pekerjaan yang dijalani pria itu selama ini. Namun, dugaan Zie salah. Sebuah kabar yang sangat menyesakkan hati dia dengar dari karyawan butik,
Zie dengan sabar menunggu Bagus menjawab, pria itu nampak berpikir sambil menggerakkan jari kanannya seolah sedang berhitung. Sejenak Bagus diam, kemudian menjawab dengan nada frustasi.“Entahlah! Mungkin saat berumur dua puluh tahun.”“Tapi kamu benar-benar sudah bertobat ‘kan?” selidik Zie, dia menyipitkan mata curiga.“Iya, aku sudah tidak bekerja seperti itu lagi setelah menyelamatkanmu hari itu. Aku bertemu dengan seorang wanita yang sangat baik hati, tapi sayang Tuhan lebih sayang padanya dan dia dipanggil lebih dulu.”Zie merasa prihatin, dia tepuk pundak Bagus untuk menguatkan setelah itu kembali ke pembahasan mereka di awal.“Jadi bagaimana? Kamu mau tidak menjadi sekretaris suamiku?”“Berapa gajinya? Kalau cocok aku mau.”“Aku akan mengabarimu nanti, entah kenapa aku lebih percaya padamu ketimbang orang lain, mungkin karena kamu adalah cupid (dewa cinta) kami.” Zie tertawa, dia membuat Bagus membuang muka karena kesal.“Dewa cinta apa? Nasib percintaanku saja sungguh menyesa