Markonah : "Dilarang berpikiran yang bukan-bukan! " Mahahiya : "Mana bisa?" Markonah : "Sean cuma minta diambilin lotion di laci." Mahahiya : "Ah ... masa iya?" wkwkkwkwkwk
Terbangun di pagi hari, Raiga tak menyangka Yura masih terus memeluk. Bedanya kini dia dan gadis itu saling berhadapan. Raiga mengangkat kepala, berusaha memastikan kalau gadis yang wajahnya menempel ke dadanya itu masih terlelap tidur. Pelan-pelan dia menyingkirkan tangan Yura yang melingkar di pinggangnya, setelah berhasil lolos ia pun membuang napas lega. Kali ini Raiga tidak ingin sampai lupa membawa handuk dan baju ganti lagi, dia buru-buru menuju kamar gantinya untuk mencari baju yang pas digunakan pergi bekerja. Saat membuka lemari, tatapannya dibuat tertuju ke tas kertas berisi lingerie milik Yura yang dia amankan semalam. Penasaran, Raiga mencoba mengecek isi di dalamnya, sekadar hanya iseng, tapi malah membuat malu pada akhirnya. Tanpa Raiga sadari, Yura bangun dan kini menatapnya heran. Nyawa gadis itu masih belum terkumpul sempurna, tapi tetap saja dia sadar apa yang sedang dilakukan sang suami. “Kak Rai.” Panggilan Yura membuat Raiga kaget sampai satu lingerie di tanga
Karena dua adiknya ikut datang bersama sang mama, Zie memutuskan untuk tidak langsung pergi ke rumah mertuanya. Lagi pula ini masih pagi, Ghea pasti masih sibuk berolahraga dan merawat bunga-bunga kesayangannya di taman. Zie memilih menunggu Gani dan Miro agar puas bercengkerama dengan Keenan. Ia duduk di kursi ruang makan, mengupas beberapa buah untuk diberikan ke sang putra, sambil menemani Gia sarapan. “Mama memang tidak masak tadi?” “Masak, cuma Mama bosen sama masakan Mama sendiri,”jawab Gia. Ia begitu menikmati masakan Zie, meski hanya nasi goreng dengan telur dadar seadanya. “Kamu nggak mau cari pembantu yang full kerja dan tinggal di sini?” Gia memandang meja makan yang belum dibereskan oleh sang putri. Bekas piring Sean, juga mangkuk Keenan masih berserakan. “Tidak, aku takut, Ma. Lebih baik kami bertiga saja dan si mbak datang setiap sore untuk bersih-bersih. Tiga jam untuk membereskan rumah bagiku sudah cukup, tidak banyak kotoran juga, karena selalu dibersihkan,”jawab
“Jadi, apa sudah ada perkembangan?”Selepas Daniel dan Raiga berangkat kerja, Ghea mulai mengorek informasi ke Yura. Ia penasaran apakah baju kekurangan bahan yang dia belikan berhasil memikat Raiga.“Dia melarangku memakainya, kak Rai merampas lingerie itu dan menyimpannya di dalam lemari baju.” Yura menggelembungkan pipi, tapi mengingat bisa tidur memeluk sang suami, dia pun tersenyum sendiri.“Apa maksud senyuman anehmu itu?”Ghea penasaran, dia bertanya sambil menggunting tangkai-tangkai bunga yang baru saja diantar ke rumahnya. Pagi itu, Ghea mengajak Yura merangkai bunga di vas, kegiatan yang biasa dia lakukan seminggu sekali.“Aku tidur sambil memeluk kak Rai,”ucap Yura dengan suara lirih.Ghea tersenyum geli membayangkan bagaimana ekspresi putra bungsunya saat diperlakukan seperti itu oleh Yura.“Bagus, itu sebuah kemajuan.” Ghea kembali ke tangkai-tangkai mawar yang harus disusun sedemikian rupa di vas. Sesekali dia memberitahu Yura bagaimana cara merangkai bunga yang estetik
Mungkin Zie memiliki rasa hutang budi ke Bagus, yang awalnya menjadi alat untuk membuatnya terjebak dalam skandal plus dua satu, tapi pada akhirnya malah menyatukan dirinya dan Sean. Setelah menitipkan Keenan ke rumah sang mama, Zie membawa mobil pergi ke butik tempat Bagus bekerja. Sudah lama dia tidak ke sana semenjak Sean sakit. Jangankan memikirkan membeli baju baru, untuk merawat diri saja dia hampir lupa jika Gia tidak berkali-kali mengingatkan. Zie memarkirkan mobilnya di depan butik, seperti biasa dia disambut ramah oleh pelayan di sana, lantas ditanya apa tujuannya datang. Zie memulas senyum tipis, dia menjawab tidak ingin mengepas atau memesan baju, melainkan menemui Bagus. “Ah … Pak Bagus, dia sudah tiga hari tidak masuk kerja.” “Apa dia sakit?” Zie bertanya dengan nada cemas. Pikiran negatif menggelayuti benaknya mengingat apa pekerjaan yang dijalani pria itu selama ini. Namun, dugaan Zie salah. Sebuah kabar yang sangat menyesakkan hati dia dengar dari karyawan butik,
Zie dengan sabar menunggu Bagus menjawab, pria itu nampak berpikir sambil menggerakkan jari kanannya seolah sedang berhitung. Sejenak Bagus diam, kemudian menjawab dengan nada frustasi.“Entahlah! Mungkin saat berumur dua puluh tahun.”“Tapi kamu benar-benar sudah bertobat ‘kan?” selidik Zie, dia menyipitkan mata curiga.“Iya, aku sudah tidak bekerja seperti itu lagi setelah menyelamatkanmu hari itu. Aku bertemu dengan seorang wanita yang sangat baik hati, tapi sayang Tuhan lebih sayang padanya dan dia dipanggil lebih dulu.”Zie merasa prihatin, dia tepuk pundak Bagus untuk menguatkan setelah itu kembali ke pembahasan mereka di awal.“Jadi bagaimana? Kamu mau tidak menjadi sekretaris suamiku?”“Berapa gajinya? Kalau cocok aku mau.”“Aku akan mengabarimu nanti, entah kenapa aku lebih percaya padamu ketimbang orang lain, mungkin karena kamu adalah cupid (dewa cinta) kami.” Zie tertawa, dia membuat Bagus membuang muka karena kesal.“Dewa cinta apa? Nasib percintaanku saja sungguh menyesa
“Yura, kamu kenapa?”Gani panik, menoleh pria berbaju merah yang Yura bilang adalah pengawalnya. Ia memanggil pria itu dengan suara lantang agar bisa segera membantu Yura.Pengawal itu kaget dan bergegas mendekat, dia mengecek kondisi Yura lalu dengan gesit membopongnya menuju mobil.Gani yang tak mungkin meninggalkan gadis itu sendiran pun ikut naik ke mobil, dia bahkan tak peduli dengan minuman yang sudah dia cicipi tapi belum dibayar.“Apa maag mbak Yura kambuh?” tanya pengawal itu.Yura tak menjawab, dia hanya menggeleng karena merasakan perutnya terasa seperti diremas kuat.“Om cepetan! Aku takut ini bukan maag tapi kandunganku,”ucap Yura yang masih meringis menahan sakit.Gani bertambah panik, dia meraih tangan Yura yang sudah berkeringat dingin. “Tenang saja! kandunganmu pasti baik-baik saja,”ucapnya.Meski sangat menyukai Yura, tapi Gani tidak ingin berpikiran jahat, dia tahu Yura pasti akan sangat sedih jika sampai kehilangan calon bayinya.“Gan, aku takut. Tolong jangan perg
Raiga tertampar, dia tak percaya Gani bisa bicara sekasar itu padanya. Mungkin harga diri yang dimilikinya terluka, hingga dia tiba-tiba saja buka suara. "Sus Nia, apa kamar perawatan istriku belum siap? Segera pindahkan dia." Raiga bicara sambil menatap Gani. Jika saja laki-laki di depannya ini bukanlah adik dari Zie, mungkin saja dia akan memaki atau melayangkan bogem mentah karena kesal. "Cih … ternyata harus melukai harga dirimu dulu, agar kamu mau mengakui istri sendiri." Gani kembali menggunakan kalimat sarkas untuk bicara. Ia menarik sudut bibir, tatapannya tetap fokus ke wajah Raiga, meski tiga perawat nampak sibuk hendak memindahkan Yura ke kamar perawatan. Raiga bukanlah pria bodoh, dengan sangat jelas dia bisa melihat bahwa Gani memiliki perasaan ke Yura. Raiga mendekat beberapa langkah ke Gani, setelah itu bicara dengan nada ketus untuk memukul mundur. "Aku suaminya, aku pasti akan bertangungjawab padanya apapun yang terjadi. Maaf kalau kami berisik tadi," ucap Raiga.
Yura hanya diam saat diceramahi oleh Mirna. Tatapan matanya tertuju pada Raiga yang duduk sambil menyantap makan malam. Pria itu baru saja selesai membantu persalinan pasien, dan bukannya pulang Raiga malah datang dan bilang ingin menemani Yura. Ia sudah meminta Mirna pulang untuk istirahat sejak tadi, tapi wanita itu masih betah menasihati putrinya. “Jangan sampai kumat lagi maag kamu itu! Kasihan bayi kamu juga, pokoknya Mama tadi sudah sampaikan ke dokter, setelah ini kamu akan mendapat pendampingan dari ahli gizi.” “Iya, Ma. Jangan terus mengomel, nanti Mama darah tinggi,”jawab Yura. Meski gemas dengan sang putri, ternyata Mirna agak berat juga meninggalkan Yura. Ia menunggu sampai Raiga selesai makan dan mencuci tangan, setelah itu meminta bantuan menjaga sang putri. Raiga meminta Mirna untuk tidak mencemaskan Yura, dia bahkan mengantar sang mertua sampai ke depan sebelum kembali lagi ke kamar. “Kak Rai beneran mau tidur di sini?” Yura yang masih duduk bersandar pada kepala