Mungkin Zie memiliki rasa hutang budi ke Bagus, yang awalnya menjadi alat untuk membuatnya terjebak dalam skandal plus dua satu, tapi pada akhirnya malah menyatukan dirinya dan Sean. Setelah menitipkan Keenan ke rumah sang mama, Zie membawa mobil pergi ke butik tempat Bagus bekerja. Sudah lama dia tidak ke sana semenjak Sean sakit. Jangankan memikirkan membeli baju baru, untuk merawat diri saja dia hampir lupa jika Gia tidak berkali-kali mengingatkan. Zie memarkirkan mobilnya di depan butik, seperti biasa dia disambut ramah oleh pelayan di sana, lantas ditanya apa tujuannya datang. Zie memulas senyum tipis, dia menjawab tidak ingin mengepas atau memesan baju, melainkan menemui Bagus. “Ah … Pak Bagus, dia sudah tiga hari tidak masuk kerja.” “Apa dia sakit?” Zie bertanya dengan nada cemas. Pikiran negatif menggelayuti benaknya mengingat apa pekerjaan yang dijalani pria itu selama ini. Namun, dugaan Zie salah. Sebuah kabar yang sangat menyesakkan hati dia dengar dari karyawan butik,
Zie dengan sabar menunggu Bagus menjawab, pria itu nampak berpikir sambil menggerakkan jari kanannya seolah sedang berhitung. Sejenak Bagus diam, kemudian menjawab dengan nada frustasi.“Entahlah! Mungkin saat berumur dua puluh tahun.”“Tapi kamu benar-benar sudah bertobat ‘kan?” selidik Zie, dia menyipitkan mata curiga.“Iya, aku sudah tidak bekerja seperti itu lagi setelah menyelamatkanmu hari itu. Aku bertemu dengan seorang wanita yang sangat baik hati, tapi sayang Tuhan lebih sayang padanya dan dia dipanggil lebih dulu.”Zie merasa prihatin, dia tepuk pundak Bagus untuk menguatkan setelah itu kembali ke pembahasan mereka di awal.“Jadi bagaimana? Kamu mau tidak menjadi sekretaris suamiku?”“Berapa gajinya? Kalau cocok aku mau.”“Aku akan mengabarimu nanti, entah kenapa aku lebih percaya padamu ketimbang orang lain, mungkin karena kamu adalah cupid (dewa cinta) kami.” Zie tertawa, dia membuat Bagus membuang muka karena kesal.“Dewa cinta apa? Nasib percintaanku saja sungguh menyesa
“Yura, kamu kenapa?”Gani panik, menoleh pria berbaju merah yang Yura bilang adalah pengawalnya. Ia memanggil pria itu dengan suara lantang agar bisa segera membantu Yura.Pengawal itu kaget dan bergegas mendekat, dia mengecek kondisi Yura lalu dengan gesit membopongnya menuju mobil.Gani yang tak mungkin meninggalkan gadis itu sendiran pun ikut naik ke mobil, dia bahkan tak peduli dengan minuman yang sudah dia cicipi tapi belum dibayar.“Apa maag mbak Yura kambuh?” tanya pengawal itu.Yura tak menjawab, dia hanya menggeleng karena merasakan perutnya terasa seperti diremas kuat.“Om cepetan! Aku takut ini bukan maag tapi kandunganku,”ucap Yura yang masih meringis menahan sakit.Gani bertambah panik, dia meraih tangan Yura yang sudah berkeringat dingin. “Tenang saja! kandunganmu pasti baik-baik saja,”ucapnya.Meski sangat menyukai Yura, tapi Gani tidak ingin berpikiran jahat, dia tahu Yura pasti akan sangat sedih jika sampai kehilangan calon bayinya.“Gan, aku takut. Tolong jangan perg
Raiga tertampar, dia tak percaya Gani bisa bicara sekasar itu padanya. Mungkin harga diri yang dimilikinya terluka, hingga dia tiba-tiba saja buka suara. "Sus Nia, apa kamar perawatan istriku belum siap? Segera pindahkan dia." Raiga bicara sambil menatap Gani. Jika saja laki-laki di depannya ini bukanlah adik dari Zie, mungkin saja dia akan memaki atau melayangkan bogem mentah karena kesal. "Cih … ternyata harus melukai harga dirimu dulu, agar kamu mau mengakui istri sendiri." Gani kembali menggunakan kalimat sarkas untuk bicara. Ia menarik sudut bibir, tatapannya tetap fokus ke wajah Raiga, meski tiga perawat nampak sibuk hendak memindahkan Yura ke kamar perawatan. Raiga bukanlah pria bodoh, dengan sangat jelas dia bisa melihat bahwa Gani memiliki perasaan ke Yura. Raiga mendekat beberapa langkah ke Gani, setelah itu bicara dengan nada ketus untuk memukul mundur. "Aku suaminya, aku pasti akan bertangungjawab padanya apapun yang terjadi. Maaf kalau kami berisik tadi," ucap Raiga.
Yura hanya diam saat diceramahi oleh Mirna. Tatapan matanya tertuju pada Raiga yang duduk sambil menyantap makan malam. Pria itu baru saja selesai membantu persalinan pasien, dan bukannya pulang Raiga malah datang dan bilang ingin menemani Yura. Ia sudah meminta Mirna pulang untuk istirahat sejak tadi, tapi wanita itu masih betah menasihati putrinya. “Jangan sampai kumat lagi maag kamu itu! Kasihan bayi kamu juga, pokoknya Mama tadi sudah sampaikan ke dokter, setelah ini kamu akan mendapat pendampingan dari ahli gizi.” “Iya, Ma. Jangan terus mengomel, nanti Mama darah tinggi,”jawab Yura. Meski gemas dengan sang putri, ternyata Mirna agak berat juga meninggalkan Yura. Ia menunggu sampai Raiga selesai makan dan mencuci tangan, setelah itu meminta bantuan menjaga sang putri. Raiga meminta Mirna untuk tidak mencemaskan Yura, dia bahkan mengantar sang mertua sampai ke depan sebelum kembali lagi ke kamar. “Kak Rai beneran mau tidur di sini?” Yura yang masih duduk bersandar pada kepala
Hari ulang tahun Keenan pun tiba, di rumahnya Zie sibuk memantau para pekerja yang sedang mempercantik halaman samping yang akan digunakan sebagai lokasi pesta. Meskipun hanya keluarga besar saja yang diundang, tapi dia ingin dekorasinya sempurna.Awalnya Sean heran, kenapa sang istri tak mengundang orang luar, jika hanya keluarga saja yang diundang menurutnya dekorasi tidak dibutuhkan. Namun, Zie bersikeras. Dekorasi itu untuk latar foto bersama sebagai kenang-kenangan untuk Keenan nantinya.Keluarga Zie sudah datang sejak pagi, pesta ulangtahun Keenan itu bertepatan dengan hari Minggu sehingga semua keluarga bisa meluangkan waktu."Kak, ponselmu bunyi!"Teriakan Gani membuat Zie berhenti berbicara ke pekerja dari jasa dekorasi. Ia menoleh sambil mengusap permukaan perutnya yang terasa gatal."Miro, tolong bawakan ponsel kakak ke sini!"Zie malas masuk ke dalam, dia meminta adik yang lebih cocok menjadi anaknya itu mengambilkan benda pipih miliknya.Miro berlari kecil mendekat dengan
Serafina akhirnya bisa melepaskan diri dari sang papa yang menahannya. Bocah yang sudah membintangi beberapa iklan dan sinetron sebagai pemeran pembantu itu pun berlari masuk ke mobil. Ia duduk di samping Marsha dan buru-buru memasang seat belt, lalu mengatur napasnya. "Papi bilang mau nyusul nggak ke rumah tante Zie?" tanya Marsha bahkan sebelum putrinya bisa menarik napas dengan normal. "Huh.... " Serafina membuang napas dari mulut, seperti biasa merapikan penampilannya dulu sebelum menjawab pertanyaan dari Marsha. "Aku tidak tanya ke Papi, aku tidak ingin terlibat dalam urusan rumah tangga kalian."Mulut Marsha menganga tak percaya, kalimat itu pasti putrinya dengar dari adegan sinetron yang dibintangi. Marsha pun tak mau bertanya lagi, jika Serafina sudah mengeluarkan penggalan dialog dari sinetron, itu artinya sang putri sedang tidak mood bicara atau memperpanjang percakapan. "Ya sudah kita berangkat, semoga kue Ken aman dibagasi," ujar Marsha. Ia memandang putranya yang duduk
"Kamu bisa tidak jangan membantahku?"Marsha mengulang perkataan Jeremy yang dianggap membentaknya. Padahal sebenarnya pria itu hanya bertanya tapi memang dengan nada bicara yang naik beberapa oktaf dari biasanya. "Apakah ini tanda-tanda kak Je sudah bosan denganku?" Marsha mulai berpikir berlebihan, dan Zie pun merespon dengan cara berlebihan juga, dia merengkuh bahu Masha dan menyandarkan ke pundaknya. "Sudah-sudah! Aku yakin ini pasti hanya kesalahpahaman biasa." Zie menepuk punggung Marsha secara konstan. Keduanya tidak sadar sedang dipantau oleh orang-orang, termasuk putri sulung Marsha. Serafina menyembul di antara Sean dan Airlangga yang sedang berdiri di depan dinding kaca yang membatasi antara ruang tengah dan halaman. Bocah itu berdecak beberapa kali sambil menggelengkan kepala. "Drama apa lagi ini? Hidupku terlalu banyak drama."Sontak saja Airlangga dan Sean menatap ke sumber suara. Mereka saling lirik dan Serafina pun membuang napas panjang sampai pundaknya turun. "In