“Terima kasih atas bantuan Anda, saya sangat berhutang budi.”Daniel kembali mendatangi Aris, mengucapkan terima kasih dan juga membicarakan pernikahan putra dan putri pria itu yang rencananya akan digelar beberapa hari lagi.Aris diam sambil melihat berkas milik Raiga yang harus dilengkapi sebagai syarat pendaftaran pernikahan. Pria itu memberikan berkas itu ke sang ajudan baru kemudian membalas ucapan Daniel.“Ya, simpan hutang budi itu dan saya akan menagihnya nanti saat butuh,”jawab Aris.Mirna dan Ghea yang juga berada di tempat yang sama pun saling pandang. Mirna tersenyum sungkan sedangkan Ghea terpaksa memulas tawa, dia tidak mungkin menunjukkan rasa kesal karena sejatinya tak merestui pernikahan Raiga dan Yura.Namun, mau bagaimana lagi. Ghea juga tidak bisa egois, semua sudah terjadi dan Raiga juga terlihat lengket ke Yura. Mereka datang ke rumah Aris bersama, tapi putra bungsunya itu entah pergi ke mana bersama gadis itu.“Silahkan diminum tehnya bu Ghea,”ucap Mirna.Ghea y
"Apa kamu tahu kenapa mama bersikap seperti tidak menyukai Yura?"Zie sedang berada dalam dekapan hangat Sean. Pria itu tak menjawab dan malah menghidu aroma rambutnya lantas mencium lembut."Sayang!" rengek Zie merasa Sean sedang mengabaikan dirinya. Ia hampir menjauhkan badan, tapi Sean lebih dulu mendekapnya erat."Jangan marah! Kenapa sih perempuan yang PMS dan hamil muda menjadi gampang emosi." Sean seketika mengunci mulutnya mendapati ekspresi Zie yang masam mendengar ucapannya."Ah... Aku tahu, itu hormonal." Sean bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri. Dia hendak menyentuh pipi Zie, tapi wanita itu langsung menjauhkan wajah."Maaf, jangan marah!" Sean menarik paksa sang istri sampai kembali jatuh ke dalam pelukannya.Sean menepuk lembut punggung Zie, menenangkan wanita yang sedang mengandung buah cinta keduanya itu, kemudian menjawab apa yang ingin dibahas oleh Zie."Menurutku Mama sedang kecewa, dia mungkin sedang tertekan dengan pikiran kenapa tak berhenti di aku, kenap
"Mamamu belum bangun, dia lelah bermain kuda-kudaan dengan Papa semalam." Sean berbicara pada Keenan yang duduk di kursi makannya sambil menggigiti wortel kukus yang dibuatkan olehnya. Pria itu tak merasa sungkan bicara seperti itu karena tahu Keenan belum mengerti dengan apa yang dia ucapkan. "Jadi hari ini kita makan berdua oke, Bro!" Mendengar sang Papa memanggilnya seperti itu Keenan pun tertawa. Pagi itu terasa lebih damai dari hari sebelumnya. Pembantu rumah sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Sean dan Zie. Pria itu tidak meminta pembantunya menyiapkan makanan untuk Keenan, karena dia yang ingin menyiapkannya sendiri, Sean bahkan memandikan Keenan tadi. "Ken, Papa membuat potato mashed untukmu, coba makan ini," kata Sean. Ia bahkan ikut membuka mulut saat putranya itu menerima suapan darinya. Sean merasa senang melihat ekspresi putranya yang seolah menikmati makanan itu. "Nak... " Celoteh Keenan. "Apa? Apa tadi kamu bilang? Enak?" Layaknya orangtua pada umumnya
Layaknya sahabat yang sudah tidak bertemu sekian lama.Setibanya di rumah Marsha, Zie langsung melompat ke pelukan ibunda Serafina itu. Marsha menggendongnya sambil berputar-putar, membuat Sean berteriak untuk meminta keduanya menghentikan tingkah konyol itu. “Zie! Ingat kamu itu sedang hamil.” Jeremy – suami Marsha yang mendengar lantas menoleh. Ia memandang dengan tatapan menggoda lantas berkata,”Kalian kejar setoran?” “Memang aku kondektur angkutan?” Sewot Sean. Ia menurunkan Keenan yang ada di gendongan agar putranya itu bisa berbaur bersama Kenzio dan Serafina yang sedang bermain di atas karpet. “Aku senang kamu datang, aku akan menyiapkan makanan kesukaanmu nanti,”ucap Marsha. Dia menepuk-nepuk lengan Zie sambil tertawa bahagia. “Memang kamu bisa masak? Masak air saja berujung gosongin panci.” Sean mencibir. Ia tersenyum menghina sang sepupu lalu duduk dengan santai di sofa. “Sepertinya setelah sembuh dan bisa berjalan lagi dia sombong,”gerutu Marsha. Zie hanya tertawa, dia
Marsha tak langsung merespon ucapan Zie. Ia berpikir sejenak sebelum menjawab,”Kalau begitu kita harus mengawasi mereka, aku yakin bahwa semua tindakan buruk anak-anak, bisa kita cegah, jika kita memberikan pengawasan dengan sangat ketat.” “Ya … itu benar, tapi apa kamu pikir papa Daniel dan papaku tidak melakukan pengawasan dengan ketat?” Marsha hanya mengedipkan mata lantas diam, dia menggaruk leher karena bingung. Ia hampir mengiyakan ucapan Zie, tapi lebih memilih meyakini satu hal, jika sampai ruwatan benar digelar Ghea, maka semua energi buruk pasti akan musnah. “Aku akan meminta bibi Ghea untuk segera merealisasikan rencananya,”kata Marsha. Mereka masih asyik berbincang berdua, tak peduli dengan para suami yang sedang menjaga anak-anak mereka di luar. Jeremy membahas hal-hal random bersama Sean, salah satunya tentang pertandingan sepak bola. “Aku koma selama dua bulan, kakak mungkin lupa.” Jeremy yang sedang menyuapi Kenzio merasa sudah salah topik perbincangan, dia menole
“Kamu sebaiknya tidak perlu terlalu memikirkan ucapan Sera.” Marsha memberi nasihat ke Sean karena sepupunya itu terlihat emosi karena sang keponakan menangis seperti habis dipukuli.Zie tertawa geli, sadar Sean sedang meliriknya tapi dia berpura-pura tidak tahu. Entah benar atau mungkin perasaannya saja, sikap overprotective Sean seolah memberi tanda bahwa pria itu menginginkan anak perempuan.“Tapi tetap saja, kamu pasti suka memarahinya, jangan galak-galak, Sya! Nanti kamu cepat tua,”ucap Sean. Ia menasehati agar Marsha tidak terlalu keras ke Serafina.“Ayolah Sean, my kid is my rule, anakku aturanku.”Marsha berbicara sambil memutar bola matanya malas, sedangkan Jeremy sudah lanjut menyuapi Kenzio makan. Setiap hari libur dia memang memiliki tugas untuk menjaga anak-anaknya.“Iya, tapi tidak begitu juga Marsha.” Sean masih bersikukuh. Ia menunduk memandang Serafina yang masih memeluknya erat.“Oke, baiklah! Sera, kamu tahu ‘kan tadi hanya salah paham? Yang Mami minta buang itu mak
‘Setinggi apapun kedudukan orang, sekaya apapun mereka. Mereka tetap tidak bisa memiliki segalanya’. Sebuah kalimat yang terdengar sangat pas untuk menggambarkan kondisi keluarga Aris dan Daniel, juga perasaan Yura dan Raiga saat ini.Yura harus menerima kenyataan tidak akan ada pesta pernikahan yang mewah, seperti apa yang dia impikan karena kesalahannya sendiri.Begitu juga dengan Raiga, dia harus melewati hari ini dengan mengabaikan impiannya menikah di usia tiga puluh lima tahunan.Rumah Aris menjadi saksi betapa sederhananya pernikahan mereka hari itu, tak ada dekorasi, tak banyak orang yang hadir, juga tak ada gaun indah yang dikenakan oleh kedua pengantin.Raiga tahu, ini hanya sebuah pernikahan untuk sama-sama menutupi aib keluarga. Ia menoleh Yura, gadis itu terlihat diam sejak tadi mungkin karena grogi.“Kenapa rasanya mendebarkan seperti ini?” Yura bermonolog. Mencoba melawan kegelisahannya. Ia menguatkan diri agar yakin kalau ini pasti akan terlewati dan semua pasti akan b
Malam harinya, Yura datang bersama Raiga ke rumah Daniel. Mereka disambut dengan senyuman lebar dari Zie yang menggendong Keenan di depan. Wajah istri Sean itu semringah, dia yakin Raiga dan Yura pasti sudah membuka kado darinya dan Sean.“Halo Ken!” Yura menyapa dengan ramah, sedangkan Raiga langsung masuk ke dalam setelah berpura-pura ingin menggetok kepala kakak iparnya dengan tangan yang dikepalkan.Zie terkekeh, dia dengan jahilnya bertanya apakah Yura suka dengan hadiah yang diberikannya. Satu paket perlengkapan tempur dan sepasang dalaman yang senada.“Astaga Kak, kakak seharusnya tahu hubunganku dan kak Rai tidak sejauh itu,”ucap Yura. Ia buru-buru masuk ke dalam membuntuti sang suami, karena merasa hanya Raiga lah yang dia kenal dekat di sana.Yura menundukkan kepala melihat Ghea dan Daniel yang ada di ruang tengah, dia bingung dan canggung, sampai Sean memintanya untuk duduk sambil menunggu keluarga yang lain datang.Yura mengangguk mengiyakan ucapan sang kakak ipar, untuk m