Marsha tak langsung merespon ucapan Zie. Ia berpikir sejenak sebelum menjawab,”Kalau begitu kita harus mengawasi mereka, aku yakin bahwa semua tindakan buruk anak-anak, bisa kita cegah, jika kita memberikan pengawasan dengan sangat ketat.” “Ya … itu benar, tapi apa kamu pikir papa Daniel dan papaku tidak melakukan pengawasan dengan ketat?” Marsha hanya mengedipkan mata lantas diam, dia menggaruk leher karena bingung. Ia hampir mengiyakan ucapan Zie, tapi lebih memilih meyakini satu hal, jika sampai ruwatan benar digelar Ghea, maka semua energi buruk pasti akan musnah. “Aku akan meminta bibi Ghea untuk segera merealisasikan rencananya,”kata Marsha. Mereka masih asyik berbincang berdua, tak peduli dengan para suami yang sedang menjaga anak-anak mereka di luar. Jeremy membahas hal-hal random bersama Sean, salah satunya tentang pertandingan sepak bola. “Aku koma selama dua bulan, kakak mungkin lupa.” Jeremy yang sedang menyuapi Kenzio merasa sudah salah topik perbincangan, dia menole
“Kamu sebaiknya tidak perlu terlalu memikirkan ucapan Sera.” Marsha memberi nasihat ke Sean karena sepupunya itu terlihat emosi karena sang keponakan menangis seperti habis dipukuli.Zie tertawa geli, sadar Sean sedang meliriknya tapi dia berpura-pura tidak tahu. Entah benar atau mungkin perasaannya saja, sikap overprotective Sean seolah memberi tanda bahwa pria itu menginginkan anak perempuan.“Tapi tetap saja, kamu pasti suka memarahinya, jangan galak-galak, Sya! Nanti kamu cepat tua,”ucap Sean. Ia menasehati agar Marsha tidak terlalu keras ke Serafina.“Ayolah Sean, my kid is my rule, anakku aturanku.”Marsha berbicara sambil memutar bola matanya malas, sedangkan Jeremy sudah lanjut menyuapi Kenzio makan. Setiap hari libur dia memang memiliki tugas untuk menjaga anak-anaknya.“Iya, tapi tidak begitu juga Marsha.” Sean masih bersikukuh. Ia menunduk memandang Serafina yang masih memeluknya erat.“Oke, baiklah! Sera, kamu tahu ‘kan tadi hanya salah paham? Yang Mami minta buang itu mak
‘Setinggi apapun kedudukan orang, sekaya apapun mereka. Mereka tetap tidak bisa memiliki segalanya’. Sebuah kalimat yang terdengar sangat pas untuk menggambarkan kondisi keluarga Aris dan Daniel, juga perasaan Yura dan Raiga saat ini.Yura harus menerima kenyataan tidak akan ada pesta pernikahan yang mewah, seperti apa yang dia impikan karena kesalahannya sendiri.Begitu juga dengan Raiga, dia harus melewati hari ini dengan mengabaikan impiannya menikah di usia tiga puluh lima tahunan.Rumah Aris menjadi saksi betapa sederhananya pernikahan mereka hari itu, tak ada dekorasi, tak banyak orang yang hadir, juga tak ada gaun indah yang dikenakan oleh kedua pengantin.Raiga tahu, ini hanya sebuah pernikahan untuk sama-sama menutupi aib keluarga. Ia menoleh Yura, gadis itu terlihat diam sejak tadi mungkin karena grogi.“Kenapa rasanya mendebarkan seperti ini?” Yura bermonolog. Mencoba melawan kegelisahannya. Ia menguatkan diri agar yakin kalau ini pasti akan terlewati dan semua pasti akan b
Malam harinya, Yura datang bersama Raiga ke rumah Daniel. Mereka disambut dengan senyuman lebar dari Zie yang menggendong Keenan di depan. Wajah istri Sean itu semringah, dia yakin Raiga dan Yura pasti sudah membuka kado darinya dan Sean.“Halo Ken!” Yura menyapa dengan ramah, sedangkan Raiga langsung masuk ke dalam setelah berpura-pura ingin menggetok kepala kakak iparnya dengan tangan yang dikepalkan.Zie terkekeh, dia dengan jahilnya bertanya apakah Yura suka dengan hadiah yang diberikannya. Satu paket perlengkapan tempur dan sepasang dalaman yang senada.“Astaga Kak, kakak seharusnya tahu hubunganku dan kak Rai tidak sejauh itu,”ucap Yura. Ia buru-buru masuk ke dalam membuntuti sang suami, karena merasa hanya Raiga lah yang dia kenal dekat di sana.Yura menundukkan kepala melihat Ghea dan Daniel yang ada di ruang tengah, dia bingung dan canggung, sampai Sean memintanya untuk duduk sambil menunggu keluarga yang lain datang.Yura mengangguk mengiyakan ucapan sang kakak ipar, untuk m
Selang satu jam kemudian, satu persatu keluarga dekat Daniel datang ke rumah. Raiga yang sejak tadi memilih berada di ruang kerjanya melihat dari lantai atas, semua orang sedang bercengkerama. Raiga tak langsung turun menyapa tapi memilih ke kamar untuk membangunkan Yura yang dia pikir sedang tidur.Tanpa mengetuk pintu, Raiga masuk ke dalam. Namun, dia tak mendapati istrinya itu di atas ranjang, hingga sedikit panik dan memanggil namanya.“Yura! Ra, apa kamu di kamar mandi?”“Hem … iya.”Raiga lega, dia heran sendiri kenapa tiba-tiba merasakan cemas, saat tidak langsung melihat gadis itu setelah masuk.Yura keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan tangan dengan tisu, dia memandang Raiga yang nampak bingung bahkan tak mengedip menatapnya.“Apa saudara kakak sudah datang?” Alis Yura berkerut, dia sampai harus mengulangi pertanyaan karena sang suami tidak menjawab. “Kak Rai, kakak kenapa?”Raiga gelagapan, dia mengangguk sambil menunjuk ke arah pintu kamar. “Iya, mereka sudah datang,
Makan malam pun berlangsung dengan penuh kehangatan, Yura hanya mendengarkan orang-orang bicara tanpa ikut menyela. Sesekali Zie mengajaknya bicara, tapi dia hanya menjawab dengan kata ‘iya’ ‘tidak’ atau sekadar gelengan kepala. Sebenarnya Yura penasaran dengan sosok Serafina, bocah yang diceritakan orang-orang tadi. Ini sudah hampir setengah jam, tapi bocah itu belum juga datang. “Apa kalian ada rencana honeymoon? Paman akan memberikan kalian hadiah tiket dan akomodasi.” Richie bicara ke Yura dan Raiga. Sedangkan semua orang nampak mendengarkan dan ikut senang mendengar tawaran dari pria itu. Yura bingung untuk menjawab, dia menoleh suaminya yang masih sibuk menyuapkan makanan ke dalam mulut. Yura mengerutkan kening, heran apa mungkin Raiga berpura-pura tak merespon pertanyaan Richie. “Bagaimana?” tanya Richie. “Ah … kalau itu aku terserah kak Rai, karena dia harus bekerja, kalau aku kuliah tidak setiap hari, jadi lebih fleksibel,”jawab Yura. Ia sedikit kecewa karena Raiga masih
Sampai makan malam selesai, Marsha dan keluarganya belum juga datang. Richie bahkan meminta Kimi menghubungi putrinya, takut jika sampai sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Mereka semua kini berkumpul di ruang keluarga dan kembali membahas hal-hal random dari mulai perusahaan sampai dengan gosip artis yang sedang panas diperbincangan di media.“Bagaimana?” tanya Richie melihat sang istri baru saja selesai menghubungi Marsha.“Mereka sudah dekat, biasa cucu kesayanganmu itu rewel,”kata Kimi. Wanita itu duduk di sebelah suaminya lantas ikut mengomentari apa yang sedang dibicarakan oleh para iparnya.“Lalu, kapan Sean akan kembali lagi bekerja?”Pertanyaan yang dilontarkan Nic membuat Zie menoleh sang suami. Meski tahu harta yang dimiliki Sean sangat banyak, tapi jelas tidak mungkin dipakai sebagai biaya hidup terus menerus. Keenan semakin lama semakin besar, tidak mungkin memberi contoh yang kurang baik ke putranya itu. Sebisa mungkin Zie ingin mendidik Keenan mandiri, meski tahu ber
Semua orang terdiam karena tidak ada yang salah dari ucapan Yura. Hanya saja, sedikit terasa ada gesekan antara gadis itu dan Ghea. Serafina sendiri langsung diam melihat semua orang tidak ada yang membujuknya. Yura sendiri memilih untuk berdiri, dia meminta izin ke semua orang undur diri lebih dulu ke kamar. Gadis itu memandang sejenak Raiga, sebelum benar-benar pergi dari sana. “Aku tidak perlu menjadi orang lain hanya demi sebuah pengakuan atau kesan baik, aku adalah aku, aku akan tetap menjadi diriku,”gumam Yura di dalam hati. “Lihat! Gara-gara kamu merengek, tante Yura jadi tak enak hati,”ucap Marsha. Tidak ada satu orangpun yang berani membantah perkataannya ke Serafina, karena semua orang tahu bahwa ini adalah salah satu cara Marsha mendidik buah hatinya dan Jeremy. Marsha memiliki prinsip untuk tidak memanjakan sang putri. Serafina harus tahu dirinya salah, harus sadar bahwa karena sikap manjanya bisa menempatkan orang di posisi yang tidak nyaman. “Sudahlah! Mungkin Yura