“Sya, apa-apaan sih kamu?”Zie bingung meladeni sang sahabat. Bukannya berbelok ke kantin, Marsha malah mengajaknya ke poli kandungan untuk mendaftar.“Tenang saja! kita bisa makan sambil menunggu,”jawab Marsha. Ia menarik lengan Zie ke meja pendaftaran dengan tergesa-gesa.“Astaga, Marsha!”Zie akhirnya mengalah. Dia memilih mendaftar seperti apa yang Marsha inginkan, lalu menatap sahabatnya itu dengan raut muka cemberut. Marsha sepertinya senang, dia tertawa-tawa meski Zie mengayunkan tangan dan memukul lengannya karena gemas.“Sudah Zie! Banyak orang,”ucap Marsha untuk menghindari serangan dari istri sepupunya itu.Saat masih bercanda dengan Marsha, Zie melihat Yura dan seorang wanita yang tak lain adalah Mirna seperti disambut oleh seorang dokter. Ketiganya pun berjalan beriringan menuju lift lantas masuk.“Ada apa?” Marsha mencoba melihat ke arah Zie memandang, sayangnya dia tak melihat apa-apa. “Kamu lihat apa sih?”“Aku tidak yakin, tapi sepertinya aku melihat gadis pemilik hel
"Sudah ayo makan! Jangan pikirkan gadis itu dulu, nanti kita datangi rumahnya untuk mengucapkan terima kasih."Marsha sampai menghalangi pandangan Zie yang duduk di sebelahnya, karena sejak tadi Zie terus memandang ke arah lift seolah menunggu Yura muncul dari sana."Iya... Iya aku makan," ucap Zie yang masih saja menoleh. Sedangkan Marsha langsung menahan pipi sahabatnya itu.Di ruangan dokter Woro, Yura dan Mirna masih duduk dan sama-sama terdiam. Beberapa saat yang lalu Yura menceritakan semuanya ke dua wanita yang sedang bersamanya ini. Ia bahkan dengan polosnya berkata tidak menyangka bisa hamil padahal baru sekali melakukan itu.“Begitulah Tuhan kalau ingin menegur hambanya, kamu itu nakal, tidak pernah beribadah. Lihat di luaran sana! banyak pasangan suami istri yang sudah lama menikah tapi belum juga mendapat keturunan,”amuk Mirna. Ia baru saja menenggak obat sakit kepala karena pening memikirkan nasib putri kesayangannya.“Kamu membuat aib Yura,”imbuhnya.Yura diam seribu bah
Zie galau, dia keluar dari ruang pemeriksaan dengan wajah murung. Entah kenapa suasana hatinya berubah, bukankah seharusnya dia bahagia karena hasil USG yang baru saja dia lakukan, menunjukkan ada kantung janin di rahimnya.“Zie, kenapa kamu malah lemas seperti ini? apa kamu tidak senang mengandung adik Ken?”Marsha merasa bersalah, ini karena dia lah yang memaksa Zie melakukan pemeriksaan tadi. Wajahnya yang ceria pun seketika ikut murung. Menyadari hal ini, Zie pun mencoba menenangkan.“Aku senang, Sya. Aku juga bersyukur karena akan mendapat anak lagi, hanya saja aku sedikit menyayangkan, kenapa anak di antara aku dan Sean selalu hadir di saat yang tidak tepat,”ucap Zie. Ia memaksakan senyuman, sedangkan Marsha hanya bisa memandang iba.Dua wanita itu masih dia di sekitar area poli kandungan, hingga Zie melihat Yura dan Mirna yang berjalan menuju pintu keluar. Zie bergegas mengejar, dia benar-benar ingin mengucapkan terima kasih ke Yura karena bantuannya dua bulan yang lalu.“Maaf!
“Saya akan turun, Anda di mana? saya akan menemui Anda,”ucap Raiga. Meski masih bingung, tapi menyadari ponsel Zie berada di tangan wanita itu membuatnya merasa cemas.Mirna mengembalikan ponsel Zie, dia tak mengucapkan sepatah katapun dan membiarkan Zie kebingungan dengan sikapnya. Sementara itu, Yura tidak berkutik. Ia hanya bisa pasrah, memikirkan perbuatannya dan Raiga yang dia yakini hanyalah sebuah kecelakaan.Mirna dan Yura masih berada di lobi menunggu Raiga, sedangkan Zie langsung kembali ke ruang ICU bersama Marsha karena tidak ingin meninggalkan sang suami terlalu lama sendiri.“Aku harus menjemput Sera di sekolah, kamu tidak apa-apa ‘kan balik sendiri?” tanya Marsha setelah mereka agak menjauh dari Yura dan ibunya.“Hem, aku sudah biasa sendiri menemani Sean, jadi jangan cemas!” Zie menepuk lembut lengan Marsha, mengucapkan terima kasih karena sahabatnya itu membawakan makanan yang enak untuk mengisi perut dan bahkan menemaninya memeriksakan kandungan.Zie melambaikan tang
Zie masuk kembali ke ruang ICU. Ia tanpa sadar memegang bagian perutnya sambil berjalan mendekat ke ranjang Sean. Bibirnya tersenyum tipis, antara haru dan sedih dia rasakan dalam satu waktu.Zie merasa de javu, dia seperti harus mengulang perasaannya. Bedanya, dulu dia dan Sean tidak memiliki hubungan dan pria itu bisa diajak bicara, sedangkan sekarang mereka adalah pasangan tapi Sean sedang dalam kondisi tak bisa diajak komunikasi.“Sean, aku baru saja ke dokter kandungan, kamu tahu? Ken, akan punya adik. Aku hamil,”bisik Zie di telinga Sean.Ia mengusap rambut sang suami lembut, membirkan saja air matanya menetes membasahi pipi karena rasa haru dan kesedihan yang dia rasakan.“Aku ingin kita mendengar detak jantungnya bersama, kamu mencintaiku ‘kan Sean? Bangun ya! aku dan anak-anak kita sangat membutuhkanmu,”ucap Zie lagi.Ia terdiam di sisi ranjang Sean dan berdoa. Setelah itu Zie mengambil buku yang hari itu dia bawa, lalu membacakannya untuk Sean seperti biasa. Zie memegang buk
Zie menunggu di dekat pintu, dia hanya bisa memandangi dokter Billy dan dua dokter lainnya yang memang bertanggungjawab terhadap kondisi Sean. Zie menyatukan dan sesekali meremas tangan, dia berharap apa yang dirasakannya tadi benar-benar sentuhan Sean."Bagaimana Dok?"Zie semakin cemas kala melihat gesture tiga dokter yang baru selesai memeriksa kondisi sang suami. Ia pun harus menelan kekecewaan karena dokter Billy menggeleng, menyimpulkan bahwa kondisi Sean masih sama."Maaf, sepertinya yang Anda lihat tadi bukan gerakan tangan pasien.""Apa Anda yakin, Dok?" tanya Zie memastikan."Iya," jawab dokter sambil menganggukkan kepala.Tak hanya kecewa, Zie juga merasa tak enak hati. Ia pasti dianggap berhalusinasi atau bahkan mengerjai dokter Billy.Zie masih berdiri di dekat pintu, matanya memandang Sean dan telinganya mendengar dokter meminta perawat untuk menambahkan beberapa obat yang dia sendiri tidak paham apa itu.Dokter pun berpamitan setelah memastikan kondisi Sean, membiarkan
Raiga bingung, dia tidak tahu harus mulai dari mana bicara ke papanya. Kenapa juga masalah datang di saat keluarga masih dalam suasana seperti ini, semua orang sudah dibuat cemas dengan kondisi Sean, dan dia yakin masalahnya ini malah akan semakin menjadi beban Daniel.Raiga duduk di kursi selasar depan, ucapan Yura kepadanya soal aborsi kembali terlintas. Ia tidak ingin juga menikah dengan gadis yang tidak dia suka, jika hanya tanggungjawab kenapa harus menikah?Pria itu menyugar rambutnya kasar. Ia merasa sangat kejam dan plin plan. Dulu saat tahu Zie hamil, dia menjadi salah satu orang yang menekan Sean untuk menikahi Zie. Namun, kenapa sekarang saat masalah yang serupa menimpa, dia ingin menghindar?“Jangan jadi pengecut. Rai!” ucapnya dalam hati. Ia pun memilih pergi dari rumah sakit itu untuk praktik. Raiga berjanji pada dirinya sendiri akan memberitahu papanya malam nanti._Zie sendiri masih tak percaya Sean menulis surat seperti itu ke Raiga. Dia duduk di samping Sean kembali
Semua keluarga jelas bahagia mendengar kabar Sean yang sudah sadar, mereka satu persatu melihat kondisi pria itu untuk memastikan.Ghea bahkan sejak datang terus duduk di sisi Sean dan tak ingin beranjak dari sana, dibelainya rambut sang putra sulung sambil melantunkan kalimat syukur berulang. Ghea menangis, tapi jelas bukan air mata kesedihan melainkan kebahagiaan.Dokter Billy sendiri menjelaskan bahwa Sean masih harus melewati tahap pemulihan. Ini karena selama dua bulan tubuh pria itu hanya terbaring lemah di atas ranjang pesakitan. Dokter Billy sedang membicarakan hal ini dengan Daniel dan Zie, menentukan penanganan selanjutnya agar Sean kembali pulih seperti sedia kala.“Kenapa dia belum bisa bicara?” tanya Zie bingung. “Maksud saya kenapa dia belum bisa lancar bicara?”“Ini karena operasi yang dijalani juga bukan operasi sembarangan, untuk saat ini pasien bisa sadar dan mengenali orang adalah satu bentuk keberhasilan, dan itu patut disyukuri. Mungkin dia akan pulih dalam bebera