Zie masuk kembali ke ruang ICU. Ia tanpa sadar memegang bagian perutnya sambil berjalan mendekat ke ranjang Sean. Bibirnya tersenyum tipis, antara haru dan sedih dia rasakan dalam satu waktu.Zie merasa de javu, dia seperti harus mengulang perasaannya. Bedanya, dulu dia dan Sean tidak memiliki hubungan dan pria itu bisa diajak bicara, sedangkan sekarang mereka adalah pasangan tapi Sean sedang dalam kondisi tak bisa diajak komunikasi.“Sean, aku baru saja ke dokter kandungan, kamu tahu? Ken, akan punya adik. Aku hamil,”bisik Zie di telinga Sean.Ia mengusap rambut sang suami lembut, membirkan saja air matanya menetes membasahi pipi karena rasa haru dan kesedihan yang dia rasakan.“Aku ingin kita mendengar detak jantungnya bersama, kamu mencintaiku ‘kan Sean? Bangun ya! aku dan anak-anak kita sangat membutuhkanmu,”ucap Zie lagi.Ia terdiam di sisi ranjang Sean dan berdoa. Setelah itu Zie mengambil buku yang hari itu dia bawa, lalu membacakannya untuk Sean seperti biasa. Zie memegang buk
Zie menunggu di dekat pintu, dia hanya bisa memandangi dokter Billy dan dua dokter lainnya yang memang bertanggungjawab terhadap kondisi Sean. Zie menyatukan dan sesekali meremas tangan, dia berharap apa yang dirasakannya tadi benar-benar sentuhan Sean."Bagaimana Dok?"Zie semakin cemas kala melihat gesture tiga dokter yang baru selesai memeriksa kondisi sang suami. Ia pun harus menelan kekecewaan karena dokter Billy menggeleng, menyimpulkan bahwa kondisi Sean masih sama."Maaf, sepertinya yang Anda lihat tadi bukan gerakan tangan pasien.""Apa Anda yakin, Dok?" tanya Zie memastikan."Iya," jawab dokter sambil menganggukkan kepala.Tak hanya kecewa, Zie juga merasa tak enak hati. Ia pasti dianggap berhalusinasi atau bahkan mengerjai dokter Billy.Zie masih berdiri di dekat pintu, matanya memandang Sean dan telinganya mendengar dokter meminta perawat untuk menambahkan beberapa obat yang dia sendiri tidak paham apa itu.Dokter pun berpamitan setelah memastikan kondisi Sean, membiarkan
Raiga bingung, dia tidak tahu harus mulai dari mana bicara ke papanya. Kenapa juga masalah datang di saat keluarga masih dalam suasana seperti ini, semua orang sudah dibuat cemas dengan kondisi Sean, dan dia yakin masalahnya ini malah akan semakin menjadi beban Daniel.Raiga duduk di kursi selasar depan, ucapan Yura kepadanya soal aborsi kembali terlintas. Ia tidak ingin juga menikah dengan gadis yang tidak dia suka, jika hanya tanggungjawab kenapa harus menikah?Pria itu menyugar rambutnya kasar. Ia merasa sangat kejam dan plin plan. Dulu saat tahu Zie hamil, dia menjadi salah satu orang yang menekan Sean untuk menikahi Zie. Namun, kenapa sekarang saat masalah yang serupa menimpa, dia ingin menghindar?“Jangan jadi pengecut. Rai!” ucapnya dalam hati. Ia pun memilih pergi dari rumah sakit itu untuk praktik. Raiga berjanji pada dirinya sendiri akan memberitahu papanya malam nanti._Zie sendiri masih tak percaya Sean menulis surat seperti itu ke Raiga. Dia duduk di samping Sean kembali
Semua keluarga jelas bahagia mendengar kabar Sean yang sudah sadar, mereka satu persatu melihat kondisi pria itu untuk memastikan.Ghea bahkan sejak datang terus duduk di sisi Sean dan tak ingin beranjak dari sana, dibelainya rambut sang putra sulung sambil melantunkan kalimat syukur berulang. Ghea menangis, tapi jelas bukan air mata kesedihan melainkan kebahagiaan.Dokter Billy sendiri menjelaskan bahwa Sean masih harus melewati tahap pemulihan. Ini karena selama dua bulan tubuh pria itu hanya terbaring lemah di atas ranjang pesakitan. Dokter Billy sedang membicarakan hal ini dengan Daniel dan Zie, menentukan penanganan selanjutnya agar Sean kembali pulih seperti sedia kala.“Kenapa dia belum bisa bicara?” tanya Zie bingung. “Maksud saya kenapa dia belum bisa lancar bicara?”“Ini karena operasi yang dijalani juga bukan operasi sembarangan, untuk saat ini pasien bisa sadar dan mengenali orang adalah satu bentuk keberhasilan, dan itu patut disyukuri. Mungkin dia akan pulih dalam bebera
Riaga yang sedang makan di kantin rumah sakit tempatnya praktik tiba-tiba mengaduh karena menggigit bagian dalam mulutnya. “Apa kamu tidak apa-apa?”tanya teman yang sedang bersamanya. “Tidak apa-apa, pasti ada yang sedang membicarakan aku,”tuduh Raiga. Pria itu seolah melupakan janjinya ke Mirna dan Yura untuk membawa Daniel menemui Aris. Padahal Raiga hanya butuh sedikit waktu lagi untuk memberitahu hal itu ke Daniel. Ia tidak ingin merusak suasana hati keluarga yang sedang bahagia karena Sean sudah sadarkan diri. Raiga melambaikan tangan saat berpisah dengan temannya. Ia berjalan menuju mobilnya setelah membantu seorang pasien melahirkan. Namun, tak diduga dua orang berbadan tegap menghampiri lalu menghadang langkahnya. “Anda harus ikut dengan kami!” “Siapa kalian?” “Pak Jenderal ingin bertemu,”jawab orang itu. “si-si-siapa?” Riaga ketakutan, mungkinkah Yura sudah memberitahu ini ke ayahnya. Raiga tak lantas ikut begitu saja, dia menggeleng menolak takut diculik atau dibawa
“Kakak dari mana? kenapa tidak bisa dihubungi? Rai sedang dalam masalah.”Richie datang untuk memberitahu Daniel yang baru saja sampai ke perusahaan. Pria itu heran dengan ucapan sang adik, keningnya berkerut terlihat gurat kecemasan yang kentara di wajahnya.“Masalah apa? kenapa dia?”“Dia baru saja menelepon dan meminta bantuan, dia bilang dikejar oleh orang tak dikenal.”Daniel ikut panik, tapi Richie menenangkan dengan berkata sudah mengirim anak buahnya untuk membantu.“Aku harus menyusul dia, Rich!”Richie mengangguk, dia mengekor Daniel untuk menemui sang keponakan yang sedang terlibat masalah.“Apa yang terjadi padanya?” tanya Daniel. Pria itu mengemudikan mobil dengan kencang, sambil mendengarkan sang adik menjelaskan di mana keberadaan sang putra.“Dia tidak menjelaskan, hanya berkata sedang dikejar dua orang tak dikenal dan minta bantuan.”“Coba telepon dia! dan tanyakan posisinya sekarang ada di mana!” titah Daniel.Baru saja merasa tenang karena sang putra sulung bangun d
“Wajahmu berseri-seri!”Sean memuji Zie, tanpa rasa malu meski di sana ada Ghea yang menemani. Ibundanya itu duduk di sofa sambil mengupaskan buah untuknya, sedangkan Zie sibuk merapikan barang-barang di nakas.“Ya, karena aku bahagia kamu bangun,”jawab Zie tanpa sedikitpun menutupi perasaannya.Sean tersenyum, sesekali dia mengusap kepala. Meskipun kesal karena rambutnya botak sebelah, tapi dia bersyukur bisa kembali melihat sang istri.“Ah … mumpung ada mama di sini, aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”Zie mendekat ke sofa, mengambil surat dari Sean untuk Raiga yang disimpan di dalam tasnya. Ghea bisa menebak dengan mudah kertas apa yang diambil menantunya. Ia pun tersenyum. Ghea memilih keluar dari kamar, berpikir bahwa akan terjadi pertengkaran yang manis antara dua orang itu.“Mama mau cari kue dan kopi ke bawah sebentar,”ucap Ghea menghindar.Zie mengangguk, dia memastikan pintu tertutup sempurna sebelum mendekat dan menunjukkan kertas itu ke depan muka Sean.“Ini! apa ini? me
“Ada apa Rai? Kenapa kamu sampai dikejar orang tak dikenal?”Daniel duduk di depan putra bungsunya, mencoba bicara dengan nada lembut agar Raiga tidak merasa diintimidasi.“Pa, sebenarnya aku tahu siapa yang mengejarku, dan aku memang kabur darinya.” Raiga memilih jujur. Lagipula ibarat bangkai, masalah ini pasti akan tercium juga oleh papanya meski disembunyikan.Daniel yang sudah tahu siapa yang mengejar sang putra pun terlibat saling pandang dengan Richie. Adiknya itu bahkan berniat untuk pergi, jika memang apa yang akan dibicarakan kakak dan keponakannya sebuah rahasia.“Tidak perlu! Paman tidak perlu pergi, hal ini juga nanti harus diketahui oleh semua keluarga.”Richie menelan ludah, meski sang keponakan mengizinkan tapi dia tetap butuh persetujuan Daniel. Pria itu berpikir pasti ada masalah serius yang mungkin saja tidak nyaman jika diobrolkan saat ada orang di luar keluarga inti.“Duduklah Rich! Kita bisa mendengarkan Raiga bersama.” Daniel mengangguk meyakinkan sang adik, hin