“Vintari, antarkan dokumen ini pada Zeus. Dokumen ini milik Paman David, tapi kau berikan saja pada Zeus.” Jenny memberikan dokumen yang ada di tangannya, pada Vintari. Tampak raut wajah gadis itu berubah jengkel. Baru saja gadis itu pulang kuliah, tapi malah sudah disuruh hal yang menyebalkan.
“Mom, kau bisa meminta sopir untuk mengantarkan pada Zeus.” Vintari memberi saran, sekaligus tersirat menolak. Gadis itu enggan untuk bertemu dengan pria menyebalkan.
Jenny melipat tangan di depan dada. “Mommy ingin kau yang mengantar ini pada Zeus. Ini dokumen penting. Kau tidak usah menyetir. Kau bersama sopir saja. Nanti pulangnya, biar Zeus yang mengantarmu pulang.”
Vintari berdecak pelan. “Mom—”
“Vintari, Mommy dengar dari sopir kalau mobilmu masuk bengkel, karena menabrak. Apa itu benar?” Jenny langsung memotong ucapan Vintari, dan sontak membaut raut wajah Vintari memucat panik.
“Ah, itu. A-aku menabrak mobil teman kampusku, tapi aku sudah menyelesaikannya. Kau tidak usah khawatir, Mom,” ucap Vintari cepat berdusta. Tak mungkin dirinya menceritakan pertemuan menyebalkannya dengan Zeus. Bisa-bisa, ibunya akan menyangka kalau dirinya memang benar berjodoh dengan Zeus.
Jenny mengangguk-anggukan kepalanya. “Kalau begitu anggap saja ini hukuman dari Mommy.”
“What?” Kening Vintari mengerut, menatap bingung ibunya.
Jenny mendekat. “Ya, hukumannya adalah kau harus mengantarkan dokumen ini untuk Zeus. Tidak ada penolakan, karena ini hukuman untukmu.”
Mata Vintari melebar. “Oh, Mom. Please.”
“Vintari, hukumanmu bisa jauh lebih berat kalau kau melawan. Sekarang cepat antar dokumen ini pada Zeus,” ucap Jenny yang tak ingin dibantah.
Vintari mencebikkan bibirnya kesal pada sang ibu. “Ke mana aku harus mengantar dokumen ini?” tanyanya menahan kesal. Terpaksa, dia harus mengikuti apa yang diinginkan oleh ibunya.
“Ke rumah sakit. Jam seperti ini pasti Zeus masih ada di rumah sakit.” Jenny membelai pipi Vintari, dan memberikan kecupan di sana.
Vintari mengangguk dengan wajah yang masih kesal. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan ibunya tanpa mengatakan apa pun. Terlihat senyuman di wajah Jenny terlukis melihat Vintari patuh padanya.
***
Vintari turun dari mobil di kala sopirnya sudah mengantarkan ke lobi rumah sakit. Gadis itu langsung masuk ke dalam lobi, hendak menuju ruang kerja Zeus. Namun, tiba-tiba tatapan Vintari menatap terkejut Zeus bersama dengan perawat tengah mendorong brankar. Raut wajah Vintari nampak memucat melihat di atas brankar terbaring pasien yang berlumuran darah.
“Siapkan ruang operasi,” seru Zeus seraya berlari mendorong brankar.
“Baik, Dok,” jawab sang perawat.
“Zeus—” Vintari mengejar Zeus, lalu pria itu pun sempat melirik Vintari sekilas, tapi sayangnya Zeus tak mengatakan apa pun. Zeus yang begitu terburu-buru segera masuk ke dalam ruang operasi bersama dengan pasien dan para perawat.
Vintari mendesah panjang menatap ruang operasi yang sudah tertutup. Dia duduk di kursi yang ada di sana sambil menatap dokumen yang ada di tangannya. Entah apa isi dokumen ini. Harusnya jika dokumen ini untuk ayah Zeus, maka dirinya mengantar pada ayah Zeus, bukan pada Zeus. Sungguh, dia tak mengerti dengan cara pikir ibunya.
“Nona Vintari Rivers?” seorang pria melangkah menghampiri Vintari.
Vintari mengalihkan pandangannya, menatap bingung pria itu. “Ya? Kau siapa?”
“Nona, perkenalkan saya Evan, asisten Tuan Zeus Ducan. Beliau berpesan pada saya, meminta Anda untuk menunggu beliau di ruang kerjanya,” jawab pria bernama Evan memberi tahu.
Vintari mengangguk. “Thanks, aku akan ke ruang kerjanya.”
“Silakan, Nona.” Evan tersenyum sopan.
Vintari membalas senyuman Evan, lalu bangkit berdiri, dan melangkah menuju ke ruang kerja Zeus. Setibanya di ruang kerja Zeus, dia duduk di sofa dan meletakan dokumen di tangannya di sampingnya. Gadis itu menguap beberapa kali di kala rasa ngantuk menyerang. Pulang dari kampus langsung menuju ke rumah sakit. Wajar saja jika sekarang Vintari mengantuk.
Perlahan, Vintari membaringkan tubuhnya di sofa. Sayup-sayup, mata Vintari mulai terpejam ketika dia tak sanggup lagi menahan kantuknya. Gadis itu benar-benar tertidur pulas, sampai lupa di mana dirinya berada.
Beberapa jam berlalu …
Zeus melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya, mendapati Vintari yang tertidur pulas di sofa. Pria itu meletakan stetoskop ke atas meja, lalu mendekat pada Vintari yang terlelap. Zeus menggelengkan kepalanya melihat Vintari begitu terlelap.
“Vintari.” Zeus menepuk bahu Vintari, membangunkan gadis itu, tapi sayangnya gadis itu tak kunjung bangun. Malah yang ada gadis itu menjadikan tangan Zeus seperti guling.
Zeus berdecak kesal. “Vintari, bangun!” serunya dengan nada sedikit keras.
Vintari tersentak terkejut. Gadis itu mengendarkan matanya ke sekitar menatap dirinya berada di ruang kerja Zeus. Dalam hitungan detik, ingatan Vintari tergali bahwa dia diminta ibunya untuk mengantarkan dokumen pada Zeus. Namun, sialnya dirinya malah tertidur di ruang kerja pria itu. Benar-benar memalukan!
Vintari menatap sedikit malu Zeus. “Maaf, aku tertidur di kantormu.”
“Kenapa kau ke sini?” tanya Zeus tanpa mengindahkan ucapan maaf Vintari.
Vintari memberikan dokumen di tangannya pada Zeus. “Ibuku memintaku mengantarkan dokumen ini untukmu. Ibuku bilang dokumen ini untuk ayahmu.”
Zeus mengambil dokumen itu, dan membaca sekilas. “Aku akan memberikan pada ayahku. Dia sekarang sedang pergi ke Chicago.”
Vintari menganggukan kepalanya. “Oke, hm, kau bisa antar aku pulang atau tidak? Aku tidak menyetir mobil. Aku diantar sopir. Ibuku bilang, aku harus meminta antar kau untuk pulang, tapi kalau kau sibuk, aku akan naik taksi saja.”
Zeus mengembuskan napas panjang, lalu bangkit berdiri. “Tunggu lima menit. Aku harus mengganti pakaianku. Nanti aku akan mengantarmu pulang.”
Vintari kembali menganggukan kepalanya. Kemudian, Zeus masuk ke dalam ruang ganti.
Tak selang lama, ketika Zeus sudah selesai mengganti pakaiannya, dia mengajak Vintari pergi meninggalkan ruang kerjanya, menuju mobilnya. Terlihat Vintari menurut dan memilih untuk tak mengatakan apa pun.
Sepanjang perjalanan, Vintari melirik Zeus yang begitu serius tengah mengemudikan mobil. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu hal yang ingin Vintari katakan, tapi dirinya masih belum berani berbicara.
“Bagaimana operasi tadi? Apa berjalan lancar?” tanya Vintari ingin tahu.
“Ya, semua berjalan lancar,” jawab Zeus datar.
Zeus terdiam sebentar. “Zeus, aku ingin membahas tentang perjodohan kita. Menurutku—”
“Siapa pria yang kau sukai?” Zeus melirik Vintari sekilas, memotong ucapan gadis itu.
“Hm?” Mata Vintari sedikit melebar, menatap bingung Zeus.
“Kau bilang padaku kemarin, ada pria yang kau sukai,” ucap Zeus dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Vintari mendesah pelan. “Dia adalah seniorku di kampusku. Aku sangat mencintai dia, Zeus.”
“Kau dan dia sepasang kekasih?”
“Tidak, kami belum menjalin hubungan.”
“Jadi maksudmu, kau diam-diam menyukai dia?”
“Iya, dia tidak tahu perasaanku. Aku selama ini diam-diam mengamatinya dari kejauhan.”
Zeus melirik sekilas tak peduli pada Vintari. “Kalau begitu, kau bisa dengan mudah melupakannya, dan jalani perjodohan ini sesuai yang diinginkan orang tuamu dan orang tuaku.”
Vintari mendecakkan lidahnya. “Zeus, kau tidak bisa menyamakan pernikahan layaknya pekerjaan.”
Zeus tersenyum tipis. “Menikah, dan memiliki anak. Semua orang di dunia ini menginginkan pola kehidupan seperti itu, kan? Jadi cukup anggap ini pekerjaan.”
Vintari mendengkus tak suka. “Zeus, menikah itu tetap harus saling mencintai. Bagaimana bisa punya anak kalau tidak saling mencintai.”
Zeus menepikan mobilnya, dia mendekatkan wajahnya pada wajah Vintari. Sontak, tindakan pria itu membuat Vintari menjadi salah tingkah. Jarak yang begitu dekat dan intim membuat saraf di dalam tubuh Vintari tak berfungsi dengan baik. Aroma parfume maskulin pria itu menyeruak ke indra penciuman Vintari.
“Z-Zeus—” Vintari menjadi gugup dan salah tingkah.
Zeus menarik dagu Vintari, menatap tajam gadis itu, dan berdesis, “Seks tidak harus saling mencintai. Di luar sana, banyak sekali pernikahan bisnis tanpa didasari cinta. Kita hidup di dunia nyata, Vintari, bukan di negeri dongeng seperti pemikiranmu.”
Vintari meneguk saliva-nya susah payah mendengar ucapan Zeus yang menusuk.
Vintari menghela napas panjang setelah menutup pintu kamarnya. Dia masih berdiri, bersandar pada pintu, sambil mendekap tasnya di dada. Ucapan Zeus tadi membuat hati dan pikirannya menjadi terusik. Sialnya, kata-kata Zeus sangat melekat padanya—seolah bagaikan magnet yang menempel.'Seks tidak harus saling mencintai. Di luar sana, banyak sekali pernikahan bisnis tanpa didasari cinta. Kita hidup di dunia nyata, Vintari, bukan di negeri dongeng seperti pemikiranmu.'Semakin dipikir, logikanya semakin menampik kalimat itu. Demi apa pun, dia tidak akan pernah bisa berhubungan seks tanpa cinta. Baginya, semua hal intim harus didasari oleh cinta. Pemikiran yang sangat kuno. Namun, itulah Vintari.“Pria itu memang sudah gila karena menganggap menikah dan seks adalah sebuah pekerjaan. Kenapa bisa pria gila itu menjadi seorang dokter?” gumamnya, sambil melempar tas ke atas sofa yang terletak di ujung tempat tidurnya. Dia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Kedua tangannya terentang lebar, deng
Vintari meringis menahan nyeri saat perawat mencabut selang infus dari tangannya. Matanya terpejam rapat karena tak ingin melihat darahnya yang sedikit naik pada ujung selang dekat jarum. Hal itu membuat Zeus memicingkan matanya, heran dengan sikap Vintari yang menurutnya terlalu berlebihan.Setelah perawat tadi keluar dari kamar rawat, Zeus menyilangkan tangannya di depan dada, sambil bersandar pada dinding dekat sofa. “Ceroboh, tak bisa merawat diri sendiri, dan takut dengan jarum. Benar-benar ciri khas dari gadis kecil,” ucapnya sinis.Vintari menoleh sambil mengerutkan keningnya. Sorot matanya terlihat ganas, seakan ingin menelan pria yang terus-terusan membuatnya kesal. “Sebagai informasi, aku tidak takut jarum, ya!” sanggahnya.Zeus menyeringai tak percaya, lalu menurunkan kedua tangannya dan berjalan menuju pintu. “Cuci muka dan rapikan rambutmu. Setelah ini, aku akan mengantarmu pulang,” ucapnya, sesaat sebelum dia benar-benar menutup pintu kamar.Vintari mengerang sambil mere
Langkah kaki Jenny yang telah bersiap untuk masuk rumah tertahan karena deru pelan dari mobil milik Zeus yang berhenti di depan rumah. Senyum lebar tersungging di bibirnya saat melihat Vintari turun dari sisi lain mobil itu.“Wow, kalian hari ini juga berdua?” sapa Jenny riang bahagia.Vintari mendesah pasrah saat melihat ibunya berjalan menghampiri mereka. Dia berharap ibunya tak melihat dirinya bersama dengan Zeus, tapi sayangnya malah ibunya melihat. Jika sudah seperti ini, makai bunya pasti akan berpikir dirinya mulai membuka hati untuk Zeus. Ah menyebalkan sekali!Zeus yang menyadari situasi itu, segera turun dari mobil dan memberi salam pada Jenny. “Selamat malam, Nyonya Rivers.”‘Kenapa pria itu ramah sekali pada Mom? Ah! Harusnya dia menunjukkan sifat buruk, agar Mom tidak suka padanya,’ gerutu Vintari dalam hati.Vintari ingin Zeus bersikap dingin, angkuh, dan tak ramah pada ibunya, agar ibunya tak suka pada pria itu. Jika Zeus menunjukkan sifat buruk, pastinya ibunya akan me
Keheningan membentang di balik suasana canggung. Dua insan yang berada dalam posisi intim masih belum menyadari posisinya. Mereka seakan hanyut akan kecelakaan tersebut. Namun dalam hitungan detik keduanya sadar bahwa ini adalah sebuah hal yang tidak benar.Manik amber Vintari terbelalak saat menyadari posisi intim itu. Secepat kilat, gadis itu bangkit berdiri susah payah. Dia merapikan gaun yang dipakainya. Pun Zeus juga melakukan hal yang sama. Mereka saling memalingkan pandangan saat mata mereka beradu.Kecanggungan terjadi di antara keduanya. Bibir Vintari menempel tak sengaja ke bibir Zeus. Debar jantung gadis itu berpacu kencang seolah ingin berhenti berdetak. Ya Tuhan! Sangat memalukan! Vintari rasanya ingin bersembunyi di kutub utara.“Pilih saja gaun itu. Itu cocok di tubuhmu,” ucap Zeus tanpa melihat Vintari. Pria itu seolah bersikap acuh dan tak peduli tentang apa yang terjadi.Vintari berusaha mengabaikan apa yang telah terjadi, sama seperti Zeus. Dia melihat pantulannya d
Pelukan hangat berhasil memberikan ketenangan dalam diri Vintari. Gadis itu meringkuk dalam pelukan Zeus seperti anak kecil yang ingin dilindungi. Lalu secara perlahan Vintari melepaskan pelukan itu.“Kau baik-baik saja, kan?” tanya Zeus memastikan.Vintari mengangguk merespon ucapan Zeus. “A-aku permisi. Aku ingin ke toko buku.”Tanpa menunggu respon dari Zeus lagi, Vintari memutuskan untuk berbalik ke arah toko buku. Rasa cemasnya telah berkurang berkat pelukan Zeus yang menenangkan. Namun, tubuhnya tak bisa berbohong. Lututnya masih terasa lemas saat melangkah, membuatnya berjalan sempoyongan seperti ingin pingsan. Detik selanjutnya, tiba-tiba gadis itu telah berada di gendongan Zeus yang berjalan santai menuju mobilnya.“Zeus, turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri!” protes Vintari sambil berusaha untuk mendorong dada pria itu dari tubunya.Alih-alih menuruti ucapan Vintari, Zeus justru semakin mengeratkan gendongannya dan membuat gadis itu susah untuk bergerak.“Zeus, please. Turun
Vintari menghentikan kakinya secara otomatis saat melihat sosok yang dia kenal sedang berjalan keluar dari fakultas kedokteran. Niatnya untuk masuk ke perpustakaan langsung dialihkan dengan mengejar sosok itu.“Zeus!” teriak Vintari cukup keras memanggil Zeus.Zeus menoleh, dan mendapati Vintari yang sedang berlari kecil menuju tempatnya berdiri. Pria itu menghela napas panjang, tapi tetap menunggu sampai gadis itu berdiri di depannya.“Kebetulan sekali melihatmu di sini. Aku ingin membicarakan masalah persiapan pernikahan kita. Kau ada waktu, kan?” tanya Vintari cepat.Zeus tak menjawab. Dia hanya melihat Vintari selama beberapa detik, lalu melengos begitu saja, meninggalkan Vintari yang sedang terbengong karena sikap tidak sopannya. Tampak mata gadis itu melebar tak percaya melihat Zeus yang pergi begitu saja. Demi menjaga harga dirinya yang semakin terluka, Vintari akhirnya membiarkan Zeus pergi. Pandangannya masih tertuju pada pria itu dengan segudang pertanyaan yang belum terjawa
Zeus membiarkan Vintari untuk melepas genggamannya. Dia tidak marah karena tamparan itu dan justru berusaha untuk maklum karena telah membiarkan Vintari menunggunya selama lima jam.“Kau sengaja melakukan ini semua padaku, kan? Kau senang melihatku seperti ini!?” teriak Vintari, sambil memukul dada bidang Zeus berkali-kali. “Apa aku terlihat murahan di matamu? Sialan kau, Zeus! Jika boleh memilih, aku juga tidak akan pernah mau menikah dengan lelaki seperti dirimu!”Vintari meledakkan kemarahannya akibat dibuat menunggu lima jam. Semua perempuan di belahan dunia mana pun akan melakukan kemarahan seperti Vintari, jika dibuat menunggu berjam-jam, dan tanpa kabar sama sekali.Zeus hanya diam dengan eskpresi datar tanpa melawan sedikit pun. Semua kecewa dan kemarahan Vintari dia telan bulat-bulat. Pun dia mengerti kenapa sampai Vintari semarah ini padanya. Penyebab utama memang salah dirinya.“Kau benar-benar jahat. Bahkan setelah aku memakimu seperti ini, kau tetap bersikap dingin dan di
Seketika raut wajah Vintari berubah mendengar apa yang dikatakan oleh Zeus. Sepasang iris mata ambernya menunjukkan keterkejutan nyata. Gadis itu panik sekaligus takut mendengar permintaan gila dari Zeus Ducan.“Kau mau apa?!” Vintari berteriak, kembali menyilangkan kedua tangannya di dada. Setelah terpaksa menerima situasi dirinya harus berbagi kamar malam ini dengan Zeus, dan sekarang dengan entengnya pria itu menyuruhnya untuk membuka pakaian. Tentu saja Vintari tak bisa lagi berpikir positif.Zeus memijit pelipisnya karena lagi-lagi Vintari menyalah artikan ucapannya. “Kau pikir aku mau apa? Aku menyuruhmu untuk ganti pakaianmu. Memangnya kau mau semalaman pakai gaun itu?” balasnya jengkel. Jika bukan karena adanya badai salju yang lebat, sudah pasti Zeus ingin sekali segera memulangkan gadis itu ke rumahnya.Vintari menunduk, memindai dirinya sendiri dan menghela napas. Semburat merah seketika menyebar pada wajahnya. Di depannya, Zeus berjalan pelan lalu menyentil dahi Vintari pe