Vintari menghela napas panjang setelah menutup pintu kamarnya. Dia masih berdiri, bersandar pada pintu, sambil mendekap tasnya di dada. Ucapan Zeus tadi membuat hati dan pikirannya menjadi terusik. Sialnya, kata-kata Zeus sangat melekat padanya—seolah bagaikan magnet yang menempel.
'Seks tidak harus saling mencintai. Di luar sana, banyak sekali pernikahan bisnis tanpa didasari cinta. Kita hidup di dunia nyata, Vintari, bukan di negeri dongeng seperti pemikiranmu.'
Semakin dipikir, logikanya semakin menampik kalimat itu. Demi apa pun, dia tidak akan pernah bisa berhubungan seks tanpa cinta. Baginya, semua hal intim harus didasari oleh cinta. Pemikiran yang sangat kuno. Namun, itulah Vintari.
“Pria itu memang sudah gila karena menganggap menikah dan seks adalah sebuah pekerjaan. Kenapa bisa pria gila itu menjadi seorang dokter?” gumamnya, sambil melempar tas ke atas sofa yang terletak di ujung tempat tidurnya. Dia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Kedua tangannya terentang lebar, dengan sorot matanya yang lekat mengarah pada langit-langit kamar.
“Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Itu berarti, aku harus bersama dengan suamiku seumur hidup. Tapi, bagaimana aku bisa hidup selamanya dengan Zeus yang tanpa cinta? Aku harus bagaimana?” rengeknya, dengan menahan air mata yang hampir menetes.
Dalam hati, Vintari terus memutar pertanyaan yang tak mungkin dia ungkapkan. Haruskah dia menerima perjodohan ini? Haruskah dia mengorbankan kehidupan percintaannya, tak bisakah dia memilih jalan hidupnya sendiri? Vintari bagaikan terbelenggu di dalam sebuah penjara.
Helaan napas kasar kembali terdengar. Memikirkan hal itu, membuat dadanya semakin sesak. Meskipun enggan, dia memaksa berdiri dan berjalan malas menuju kamar mandi. Berendam adalah pilihan yang terbaik demi menyegarkan pikirannya.
***
Sorot matahari pagi yang menerobos jendela kamar membuat Vintari mengerjap pelan. Sebelah tangannya mengulur ke atas nakas untuk meraih ponselnya. Setelah melihat jam di layar ponsel—dia kembali bergelung di bawah selimut sambil mengerang. Badannya sakit semua, ditambah dengan perutnya yang mendadak terasa nyeri.
“Ugh! Maagku sepertinya kambuh karena semalam lupa makan,” erangnya, mencoba untuk menahan rasa nyeri ketika duduk. “Zeus, sialan! Ini semua gara-gara dia yang tidak peduli dengan nasib perutku!” umpatnya.
Sebenarnya, Vintari tidak ingin mempermasalahkan sikap Zeus semalam. Akan tetapi, setiap kali dipikirkan lagi, semua hal yang pria itu lakukan selalu membuatnya kesal. Jika dia adalah lelaki yang bertanggung jawab, dia pasti telah mengajaknya untuk mampir ke restoran sebelum pulang. Apalagi, Vintari sudah menunggu Zeus lama di ruangan yang bahkan tak ada sebotol pun air minum.
Vintari terdiam sebentar di depan pintu sambil mencengkeram gagangnya sebelum keluar. Badannya benar-benar tak bisa dikompromi. Bahkan setelah dia mandi, badannya justru semakin sakit. Sialnya, mau tidak mau dia harus tetap berangkat ke kampus karena mata kuliah hari ini milik dosen killer yang tak ada kata ampun.
Di ruang makan, Jenny melihat putrinya yang berjalan lunglai. “Kau kenapa, Sweetheart? Mukamu pucat sekali. Hari ini di rumah saja, jangan keluar rumah,” ucap Jenny sambil menyodorkan segelas susu pada Vintari.
Vintari ingin sekali mengatakan ini ulah Zeus karena semalam tidak bertanggung jawab pada kesejahteraan perutnya. Namun, mana mungkin dia mengatakannya. Ibunya justru pasti akan menyalahkan dirinya.
“I'm okay, Mom. Hanya kelelahan saja. Hari ini aku tidak boleh bolos. Aku tidak ingin mengulang kelas dosen killer itu di semester selanjutnya,” jawab Vintari, mencoba untuk menyembunyikan rasa nyeri perutnya yang semakin intens.
“Kau yakin, Honey? Pakai sopir saja, ya?” tawar Jenny khawatir.
Vintari menggelengkan kepalanya. “No, Mom. I'm good. Aku bisa sendiri.”
Jenny masih memandang putrinya dengan cemas. Namun, pada akhirnya, dia memilih untuk tidak mendebat lagi. “Baiklah, tapi habiskan dulu sarapanmu dan segera hubungi Mommy jika ada apa-apa.”
Vintari mengangguk, sambil menyuap sandwich isi sayur dan telur mayo dalam gigitan besar. “Siap, Mom. Jangan mengkhawatirkanku.”
***
Zeus melangkah keluar dari ruang rektor Manhattan of University. Langkah gagahnya berhasil mencuri banyak tatapan dari para mahasiswi yang sedang duduk bergerombol di taman kampus. Para mahasiwi berbisik, mereka mengagumi sosok Zeus, tapi tentu saja pria itu tak peduli sama sekali.
Sorot matanya yang tajam terarah lurus ke parkiran yang tidak jauh dari tempatnya sekarang. Dalam hati, dia merasa puas karena pembicaraannya tentang rencana investasi pada pada fakultas kedokteran di kampus ini berjalan dengan lancar.
Keluarga Ducan yang terkenal dengan dedikasinya di dunia kesehatan, selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi para calon dokter untuk bisa menempuh kuliahnya dengan baik. Investasi peremajaan alat penunjang pengajaran adalah salah satunya.
Di sisi lain, Vintari yang juga seorang mahasiswi management di kampus itu terlihat berjalan lunglai menuju parkiran. Perutnya yang dari tadi sudah terasa nyeri, saat ini semakin menyiksanya sampai dia harus sedikit membungkuk saat berjalan.
Jaraknya dengan mobil yang terparkir tinggal beberapa langkah lagi. Satu tangannya memegang perut, dan sebelahnya lagi menekan dahinya karena pandangannya mulai kabur.
“Shit!” umpat Vintari sambil berusaha untuk melangkah lebih cepat lagi.
Kepalanya semakin berputar. Keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya, dan kedua tangannya telah kesemutan ringan. Tepat ketika dia menarik pintu mobil, pandangannya telah menggelap sepenuhnya. Dia terjatuh tak sadarkan diri—dan beruntung gadis itu jatuh pada pelukan seseorang pria.
***
Aroma obat yang menyengat mulai menyeruak pada indra penciuman Vintari saat kesadarannya perlahan kembali. Manik ambernya mengerjap pelan, berusaha untuk mencerna keadaan saat dia tiba-tiba terbangun di ruangan serba putih.
Tubuhnya masih terasa lemas. Dia hanya bisa mengedarkan pandangannya, dan akhirnya menemukan sosok yang membuatnya menjadi seperti ini. Zeus, sedang berdiri tidak jauh dari tempatnya, sambil memeriksa lembaran rekam medis milik Vintari. Dari sisi Vintari saat ini, siluet wajah Zeus terlihat sempurna. Apalagi ketika dia fokus, tenggelam pada informasi medis yang dia baca.
“Z-Zeus ...,” panggil Vintari, lirih.
Zeus menoleh, berjalan menghampiri Vintari. “Bagaimana keadaanmu? Apa yang kau rasakan sekarang?” tanyanya, dengan nada datar dan dingin.
“A-aku di mana?” tanya Vintari lemah.
“Kau lupa tadi kau pingsan?” balas Zeus dengan nada yang masih sama.
Vintari terdiam sejenak mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Dalam hitungan detik, dia mengingat dirinya yang pingsan di kampus. Namun tunggu! Kenapa bisa ada Zeus di sini?
“A-aku pingsan di kampus,” ucap Vintari mengingat. “T-tapi kenapa kau bisa ada di sini?” tanyanya bingung, dan tak mengerti.
“Kau tidak ingat siapa yang membawamu ke rumah sakit?”
Lagi. Vintari terdiam mendengar pertanyaan Zeus. Seketika gadis itu teringat bahwa ada seseorang pria yang menangkap tubuhnya di kala pingsan!
“K-kau yang membawaku ke rumah sakit?”
“Menurutmu?”
Vintari menjadi bingung. “Aku yakin pasti kau yang membawaku ke rumah sakit. Tapi kenapa kau bisa ada di kampusku?”
“Ada urusan,” jawab Zeus dingin. “Bagaimana keadaanmu?”
Vintari ingin bertanya urusan apa yang dimaksud oleh Zeus, tapi dia mengurungkan niatnya. Terlalu lancang jika dirinya ingin tahu lebih dalam lagi. Padahal ditolong saja, itu sudah harus membuatnya bersyukur.
“Jauh lebih baik, hanya masih sedikit pusing,” jawab Vintari pelan.
Zeus menatap Vintari, mengecek aliran cairan infus dan kembali memandang gadis itu sambil berkata, “Kukira, kau hanya seorang gadis yang ceroboh. Tapi ternyata, kau juga tidak pandai mengurus dirimu sendiri.”
Vintari mendelik tajam mendengar sindiran Zeus. Refleks, dia langsung duduk. Tak peduli dengan kepalanya yang masih sedikit berputar. “Hei! Aku hanya lupa makan semalam! Tak ada kaitannya dengan tidak pandai mengurus diri. Menyebalkan!”
Raut Zeus tetap datar walaupun mendengar bentakan Vintari. Dengan santai, dia membantu Vintari untuk kembali rebahan, membenarkan posisi selimut sampai batas perut. “Istirahatlah.”
“Tidak usah pedulikanku. Lebih baik kau pergi saja. Melihat wajahmu membuatku tambah sakit!” ketus Vintari.
Alih-alih pergi, Zeus justru menyeringai, duduk di sofa yang terletak di sisi kanan ranjang rawat Vintari. Kaki jenjangnya menyilang, punggungnya yang tegap bersandar pada sandaran sofa dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Aku akan tetap di sini sampai infusmu habis. Setelah itu, baru aku akan pergi dan kau boleh pulang,” ucap Zeus santai.
Vintari mendengkus kesal. “Kukira seorang Dokter akan sibuk dengan pasiennya. Kenapa kau malah bersantai di sini? Pergilah!”
Zeus masih tetap dalam posisinya, dan menatap Vintari. “Hari ini, pasienku hanya dirimu. Jadi, tenanglah dan bersikap baik. Aku akan tetap di sini.”
Vintari mengerjap tak percaya. Manik ambernya tetap memperhatikan Zeus yang saat ini tengah memainkan ponselnya. Sangat aneh ketika melihat seorang pria yang biasanya selalu bersikap angkuh, kini mendadak menjadi baik.
Pikiran Vintari masih mencari tahu jawaban dari semua pertanyaannya. Apa ada yang salah dengan Zeus? Kenapa dia menjadi sedikit baik? Kenapa pria itu peduli padanya? Apa pria itu mengalami benturan di kepala? Jutaan pertanyaan yang tak terucap muncul di dalam benak Vintari.
Vintari meringis menahan nyeri saat perawat mencabut selang infus dari tangannya. Matanya terpejam rapat karena tak ingin melihat darahnya yang sedikit naik pada ujung selang dekat jarum. Hal itu membuat Zeus memicingkan matanya, heran dengan sikap Vintari yang menurutnya terlalu berlebihan.Setelah perawat tadi keluar dari kamar rawat, Zeus menyilangkan tangannya di depan dada, sambil bersandar pada dinding dekat sofa. “Ceroboh, tak bisa merawat diri sendiri, dan takut dengan jarum. Benar-benar ciri khas dari gadis kecil,” ucapnya sinis.Vintari menoleh sambil mengerutkan keningnya. Sorot matanya terlihat ganas, seakan ingin menelan pria yang terus-terusan membuatnya kesal. “Sebagai informasi, aku tidak takut jarum, ya!” sanggahnya.Zeus menyeringai tak percaya, lalu menurunkan kedua tangannya dan berjalan menuju pintu. “Cuci muka dan rapikan rambutmu. Setelah ini, aku akan mengantarmu pulang,” ucapnya, sesaat sebelum dia benar-benar menutup pintu kamar.Vintari mengerang sambil mere
Langkah kaki Jenny yang telah bersiap untuk masuk rumah tertahan karena deru pelan dari mobil milik Zeus yang berhenti di depan rumah. Senyum lebar tersungging di bibirnya saat melihat Vintari turun dari sisi lain mobil itu.“Wow, kalian hari ini juga berdua?” sapa Jenny riang bahagia.Vintari mendesah pasrah saat melihat ibunya berjalan menghampiri mereka. Dia berharap ibunya tak melihat dirinya bersama dengan Zeus, tapi sayangnya malah ibunya melihat. Jika sudah seperti ini, makai bunya pasti akan berpikir dirinya mulai membuka hati untuk Zeus. Ah menyebalkan sekali!Zeus yang menyadari situasi itu, segera turun dari mobil dan memberi salam pada Jenny. “Selamat malam, Nyonya Rivers.”‘Kenapa pria itu ramah sekali pada Mom? Ah! Harusnya dia menunjukkan sifat buruk, agar Mom tidak suka padanya,’ gerutu Vintari dalam hati.Vintari ingin Zeus bersikap dingin, angkuh, dan tak ramah pada ibunya, agar ibunya tak suka pada pria itu. Jika Zeus menunjukkan sifat buruk, pastinya ibunya akan me
Keheningan membentang di balik suasana canggung. Dua insan yang berada dalam posisi intim masih belum menyadari posisinya. Mereka seakan hanyut akan kecelakaan tersebut. Namun dalam hitungan detik keduanya sadar bahwa ini adalah sebuah hal yang tidak benar.Manik amber Vintari terbelalak saat menyadari posisi intim itu. Secepat kilat, gadis itu bangkit berdiri susah payah. Dia merapikan gaun yang dipakainya. Pun Zeus juga melakukan hal yang sama. Mereka saling memalingkan pandangan saat mata mereka beradu.Kecanggungan terjadi di antara keduanya. Bibir Vintari menempel tak sengaja ke bibir Zeus. Debar jantung gadis itu berpacu kencang seolah ingin berhenti berdetak. Ya Tuhan! Sangat memalukan! Vintari rasanya ingin bersembunyi di kutub utara.“Pilih saja gaun itu. Itu cocok di tubuhmu,” ucap Zeus tanpa melihat Vintari. Pria itu seolah bersikap acuh dan tak peduli tentang apa yang terjadi.Vintari berusaha mengabaikan apa yang telah terjadi, sama seperti Zeus. Dia melihat pantulannya d
Pelukan hangat berhasil memberikan ketenangan dalam diri Vintari. Gadis itu meringkuk dalam pelukan Zeus seperti anak kecil yang ingin dilindungi. Lalu secara perlahan Vintari melepaskan pelukan itu.“Kau baik-baik saja, kan?” tanya Zeus memastikan.Vintari mengangguk merespon ucapan Zeus. “A-aku permisi. Aku ingin ke toko buku.”Tanpa menunggu respon dari Zeus lagi, Vintari memutuskan untuk berbalik ke arah toko buku. Rasa cemasnya telah berkurang berkat pelukan Zeus yang menenangkan. Namun, tubuhnya tak bisa berbohong. Lututnya masih terasa lemas saat melangkah, membuatnya berjalan sempoyongan seperti ingin pingsan. Detik selanjutnya, tiba-tiba gadis itu telah berada di gendongan Zeus yang berjalan santai menuju mobilnya.“Zeus, turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri!” protes Vintari sambil berusaha untuk mendorong dada pria itu dari tubunya.Alih-alih menuruti ucapan Vintari, Zeus justru semakin mengeratkan gendongannya dan membuat gadis itu susah untuk bergerak.“Zeus, please. Turun
Vintari menghentikan kakinya secara otomatis saat melihat sosok yang dia kenal sedang berjalan keluar dari fakultas kedokteran. Niatnya untuk masuk ke perpustakaan langsung dialihkan dengan mengejar sosok itu.“Zeus!” teriak Vintari cukup keras memanggil Zeus.Zeus menoleh, dan mendapati Vintari yang sedang berlari kecil menuju tempatnya berdiri. Pria itu menghela napas panjang, tapi tetap menunggu sampai gadis itu berdiri di depannya.“Kebetulan sekali melihatmu di sini. Aku ingin membicarakan masalah persiapan pernikahan kita. Kau ada waktu, kan?” tanya Vintari cepat.Zeus tak menjawab. Dia hanya melihat Vintari selama beberapa detik, lalu melengos begitu saja, meninggalkan Vintari yang sedang terbengong karena sikap tidak sopannya. Tampak mata gadis itu melebar tak percaya melihat Zeus yang pergi begitu saja. Demi menjaga harga dirinya yang semakin terluka, Vintari akhirnya membiarkan Zeus pergi. Pandangannya masih tertuju pada pria itu dengan segudang pertanyaan yang belum terjawa
Zeus membiarkan Vintari untuk melepas genggamannya. Dia tidak marah karena tamparan itu dan justru berusaha untuk maklum karena telah membiarkan Vintari menunggunya selama lima jam.“Kau sengaja melakukan ini semua padaku, kan? Kau senang melihatku seperti ini!?” teriak Vintari, sambil memukul dada bidang Zeus berkali-kali. “Apa aku terlihat murahan di matamu? Sialan kau, Zeus! Jika boleh memilih, aku juga tidak akan pernah mau menikah dengan lelaki seperti dirimu!”Vintari meledakkan kemarahannya akibat dibuat menunggu lima jam. Semua perempuan di belahan dunia mana pun akan melakukan kemarahan seperti Vintari, jika dibuat menunggu berjam-jam, dan tanpa kabar sama sekali.Zeus hanya diam dengan eskpresi datar tanpa melawan sedikit pun. Semua kecewa dan kemarahan Vintari dia telan bulat-bulat. Pun dia mengerti kenapa sampai Vintari semarah ini padanya. Penyebab utama memang salah dirinya.“Kau benar-benar jahat. Bahkan setelah aku memakimu seperti ini, kau tetap bersikap dingin dan di
Seketika raut wajah Vintari berubah mendengar apa yang dikatakan oleh Zeus. Sepasang iris mata ambernya menunjukkan keterkejutan nyata. Gadis itu panik sekaligus takut mendengar permintaan gila dari Zeus Ducan.“Kau mau apa?!” Vintari berteriak, kembali menyilangkan kedua tangannya di dada. Setelah terpaksa menerima situasi dirinya harus berbagi kamar malam ini dengan Zeus, dan sekarang dengan entengnya pria itu menyuruhnya untuk membuka pakaian. Tentu saja Vintari tak bisa lagi berpikir positif.Zeus memijit pelipisnya karena lagi-lagi Vintari menyalah artikan ucapannya. “Kau pikir aku mau apa? Aku menyuruhmu untuk ganti pakaianmu. Memangnya kau mau semalaman pakai gaun itu?” balasnya jengkel. Jika bukan karena adanya badai salju yang lebat, sudah pasti Zeus ingin sekali segera memulangkan gadis itu ke rumahnya.Vintari menunduk, memindai dirinya sendiri dan menghela napas. Semburat merah seketika menyebar pada wajahnya. Di depannya, Zeus berjalan pelan lalu menyentil dahi Vintari pe
Zeus memeriksa fungsi fisik dari Vintari yang telah terkulai tak sadarkan diri. Suhu tubuh gadis itu turun secara drastis, jelas karena seharian ini telah terpapar suhu dingin yang ekstrim. Kulitnya pucat dan sedingin es, bahkan saat Zeus mencubit kencang pada lengan Vintari, gadis itu tak merespon apa-apa. Dalam keadaan panik, Zeus meraba denyut nadi di pergelangan tangan Vintari. Denyutnya cepat, tidak teratur, dan lemah.“Shit!” umpat Zeus.Melihat gejalanya, Zeus yakin kalau Vintari mengalami hipotermia. Jika mengingat semua kejadian hari ini, kondisi gadis itu menjadi wajar. Dari pagi terpapar udara dingin dengan baju tipis, dan sekarang terkena badai salju.Zeus tak bisa menyembunyikannya kepanikannya. Apalagi, tas medisnya yang berharga berada di hotel. Dia tak memiliki peralatan apa pun saat ini. Dengan sangat hati-hati, Zeus memindahkan Vintari untuk lebih dekat api unggun. Gerakannya dilakukan sehalus mungkin agar tidak memicu denyut jantung berhenti.Setelah Zeus melepas co