Beranda / Romansa / Crash Melody / Crash Melody 1

Share

Crash Melody
Crash Melody
Penulis: Rani Giza

Crash Melody 1

“Dania, saya sangat menyesal karena harus mengatakan ini kepada kamu,” kata Pak Budi.

Dania semakin gelisah. “Ada apa, Pak?”

“Kemarin, kamu melakukan kesalahan salah menuliskan nominal saat mencetak cek,” kata Pak Budi.

Dania membelalakkan mata. “Benarkah, Pak?” tanyanya.

“Iya,” jawab Pak Budi, “kamu menulis satu juta, padahal seharusnya kamu menulis sepuluh juta. Tadi malam nasabah itu menghubungi customer service. Dia komplain.”

“Maafkan kecerobohan Dania, Pak,” kata Dania dengan wajah memelas.

“Saya tidak bisa menolerir lagi, Dania,” kata Pak Budi, “kamu sudah dua kali melakukan kesalahan seperti ini dan kali ini tergolong fatal. Nasabah itu nasabah prioritas. Maka dari itu, hari ini akan menjadi hari terakhir kamu bekerja.”

Dania membelalakkan mata lagi. “Dania mohon, Pak,” kata Dania. Dia terus berusaha mengambil hati Pak Budi, “Dania janji tidak akan melakukan kesalahan seperti itu lagi.”

“Tidak bisa, Dania,” kata Pak Budi, “saya sungguh menyesal mengatakannya. Tapi, benat-benar sudah tidak ada toleransi lagi untuk kamu.”

Dania lantas meninggalkan ruangan Pak Budi dengan wajah lesu. Hatinya diselimuti kegelisahan dan kesedihan. Apa yang harus dia katakan pada orangtuanya di rumah?

***

Dania turun dari mobil setelah memarkirkan kendaraan roda empatnya itu di garasi. Dengan langkah gontai dia lalu berjalan ke dalam rumah. Gadis itu sebenarnya belum siap bercerita dengan orangtuanya. Namun, di ruang keluarga dia melihat Talia. Wanita itu tengah menonton televisi sambil mengemil keripik.

“Eh, anak Ibuk sudah pulang,” kata Talia saat melihat Dania.

Dania tak menyahut. Dia hanya membalas Talia dengan senyum terpaksa.

 Talia meletakkan toples di pangkuannya. Wnita itu lalu berdiri. “Loh kok senyumnya gitu sih?” katanya, “kamu kenapa?”

“Dania ... Dania ....” dalam hitungan detik, butiran bening keluar dari sudut-sudut mata Dania.

“Loh, kenapa nangis?” Talia memeluk Dania.

Tangis Dania makin parah. Pelukan Talia itu menenangkan dan menguatkan, tapi di saaat yang bersamaan juga membuka sisi lemah dalam diri Dania. Gadis itu seolah bisa menumpahkan rasa lelahnya kapan saja kalau Talia sudah mendekapnya dengan kedua tangan begitu.

“Dania dipecat, Bu,” kata Talia.

Talia membealalakkan mata. Dia melepaskan pelukannya.

“Sini ... sini kita duduk dulu,” katanya. Dia mengajak Dania duduk di sofa panjang yang ada di depan televisi.

“Bagaimana ceritanya?” tanya Talia setelah dia dan Dania duduk, “kenapa kok bisa dipecat? Setahu Ibu kan kamu rajin kerjanya. Nggak pernah terlambat. Bolos juga nggak pernah.”

Dania sesenggukan. Dia lalu mengambil selembar tisu dari atas meja untuk mengusap cairan kental yang keluar dari rongga hidungnya.

“Dania salah masukin nol waktu bikin cek, Buk,” kata Dania, “Dania udah mohon-mohon sama atasan Dania biar nggak dipecat, tapi dia nggak mau ngasih toleransi kesalahan Dania.”

Talia mengambil napas dalam. Dia lalu tersenyum simpul. “Ya sudah,” katanya, “sementara ini, sambil cari lowongan kerja baru, Dania di rumah dulu tidak apa-apa.”

“Maafin Dania ya, Bu,” kata Dania.

“Tidak apa-apa,” kata Talia. Dia lalu memeluk Dania lagi.

Rasa bersalah yang Dania rasakan bukan tanpa alasan. Dulu selepas kuliah, Dania kabur ke Jakarta bersama Rita hanya karena ingin mendapat karir yang bergengsi dan gaji yang besar. Dia meninggalkan orantuanya di Semarang bahkan tak meminta izin kepada mereka. Namun, dalam hitungan minggu, orangtuanya meneleponnya dan memaksa untuk menyusul ke Jakarta. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk membeli rumah dan pindah permanen ke Jakarta.

Dania merasa dia telah gagal dan mengecewakan orangtuanya. Seharusnya, dia tidak ceroboh sehingga dia tidak kehilangan karir impian yang selama ini dia kejar. Terlebih karir itu mengorbankan kedua orangtuanya.

***

Selepas diberhentikan dari tempatnya bekerja, secara otomatis Dania menjadi pengangguran. Kesibukan gadis itu sehari-hari hanya memantau layar laptop atau ponsel untuk melakukan recruitment online atau sekedar mengecek lamaran yang juga telah dia kirimkan secara online.

Apa yang Dania alami sekarang sebenarnya ada sisi baik dan buruknya. Sisi baiknya, Dania bisa jalan-jalan pagi setiap hari tanpa dihantui telat berangkat kerja. Dia bahkan bisa nongkrong di kafe atau menonton konser di hari apa pun tanpa perlu menunggu hari libur. Sementara itu sisi buruknya, Dania jadi kesepian. Dia yang biasanya merasa senang karena  bisa bertemu temannya dan banyak nasabah di tempat kerja jadi lebih sering merasakan kekosongan kalau berdiam diri saja di rumah.

Seperti pagi-pagi biasanya, pagi ini Dania masih duduk di atas ranjangnya. Dia berkutat menekuri layar laptop untuk mencari lowongan pekerjaan. Gadis itu berselancar di internet dengan masih mengguakan pakaian tidur. Sedang fokus-fokusnya mengisi formulir lowongan pekerjaan di sebuah perusahaan, tiba-tiba ponsel Dania yang tergeletak di samping laptop berbunyi. Perhatian Dania lalu teralih ke benda pipih itu. Rupanya ada panggilan dari Rita.

“Halo, Ta. Ada apa?” kata Dania setelah menempelkan ponselnya ke telinga.

“Tumben lo angkatnya cepet,” kata Rita. Suaranya terdengar agak serak, “lagi nggak ada nasabah?”

Dania mengambil napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Gue dipecat,” jawabnya.

“Hah?” sahut Rita, “kok bisa sih?”

“Gue salah tulis nol pas mau bikin cek,” kata Dania.

“Terus sekarang lo jobless dong?” tanya Rita.

“Iya,” sahut Dania, “gabut banget gue di rumah.”

“Gue turut berduka cita deh, Dan.”

“Sialan,” sahut Dania cepat, “berduka cita apaan. Lo pikir gue mati?”

“Enggak,” sahut Rita, “maksud gue, gue ikut sedih dengernya.”

Dania menghembuskan nafas kasar. “Iya sudah,” katanya, “kayak apaan aja. Betewe, ini lo tumben amat nelfon gue pagi-pagi ada apa?”

“Gue mau curhat sebenernya sama lo,” sahut Rita, “tapi kalo lo lagi nggak kerja, alangkah baiknya lo ke sini biar kita bisa enak ngobrolnya.”

“Mager ah,” sahut Dania.

“Ya udah kalo nggak mau,” sahut Rita, “padahal gue punya iinfo bagus buat lo.”

Dania membelalakkan mata. “Info apaan?” tanyanya.

“Kemaren, gue denger kalo Evolution lagi cari asisten karena mereka sudah mulai sibuk dalam rangka persiapan album baru,” kata Rita, “barangkali kalo lo minat, gue bisa rekomendasiin lo di sana. Soalnya gue kenal manager Evolution.”

“Tapi kan gue nggak punya pengalaman dan nggak tau sama sekali tentang dunia keartisan,” baals Dania.

“Udahlah mending lo ke sini aja dulu biar ngobrolnya lebih enak,” kata Rita, “lagian kalo masalah kerjanya gimana entar juga lo pasti bakalan dikasih tau kok sama Sisil managernya Evolution.”

“Oke,” sahut Dania

Dania lalu memutuskan sambungan telepon. Usai mematikan laptopnya, dia lalu turun dari ranjang. Dia bergegas masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status