“Dania, saya sangat menyesal karena harus mengatakan ini kepada kamu,” kata Pak Budi.
Dania semakin gelisah. “Ada apa, Pak?”
“Kemarin, kamu melakukan kesalahan salah menuliskan nominal saat mencetak cek,” kata Pak Budi.
Dania membelalakkan mata. “Benarkah, Pak?” tanyanya.
“Iya,” jawab Pak Budi, “kamu menulis satu juta, padahal seharusnya kamu menulis sepuluh juta. Tadi malam nasabah itu menghubungi customer service. Dia komplain.”
“Maafkan kecerobohan Dania, Pak,” kata Dania dengan wajah memelas.
“Saya tidak bisa menolerir lagi, Dania,” kata Pak Budi, “kamu sudah dua kali melakukan kesalahan seperti ini dan kali ini tergolong fatal. Nasabah itu nasabah prioritas. Maka dari itu, hari ini akan menjadi hari terakhir kamu bekerja.”
Dania membelalakkan mata lagi. “Dania mohon, Pak,” kata Dania. Dia terus berusaha mengambil hati Pak Budi, “Dania janji tidak akan melakukan kesalahan seperti itu lagi.”
“Tidak bisa, Dania,” kata Pak Budi, “saya sungguh menyesal mengatakannya. Tapi, benat-benar sudah tidak ada toleransi lagi untuk kamu.”
Dania lantas meninggalkan ruangan Pak Budi dengan wajah lesu. Hatinya diselimuti kegelisahan dan kesedihan. Apa yang harus dia katakan pada orangtuanya di rumah?
***
Dania turun dari mobil setelah memarkirkan kendaraan roda empatnya itu di garasi. Dengan langkah gontai dia lalu berjalan ke dalam rumah. Gadis itu sebenarnya belum siap bercerita dengan orangtuanya. Namun, di ruang keluarga dia melihat Talia. Wanita itu tengah menonton televisi sambil mengemil keripik.
“Eh, anak Ibuk sudah pulang,” kata Talia saat melihat Dania.
Dania tak menyahut. Dia hanya membalas Talia dengan senyum terpaksa.
Talia meletakkan toples di pangkuannya. Wnita itu lalu berdiri. “Loh kok senyumnya gitu sih?” katanya, “kamu kenapa?”
“Dania ... Dania ....” dalam hitungan detik, butiran bening keluar dari sudut-sudut mata Dania.
“Loh, kenapa nangis?” Talia memeluk Dania.
Tangis Dania makin parah. Pelukan Talia itu menenangkan dan menguatkan, tapi di saaat yang bersamaan juga membuka sisi lemah dalam diri Dania. Gadis itu seolah bisa menumpahkan rasa lelahnya kapan saja kalau Talia sudah mendekapnya dengan kedua tangan begitu.
“Dania dipecat, Bu,” kata Talia.
Talia membealalakkan mata. Dia melepaskan pelukannya.
“Sini ... sini kita duduk dulu,” katanya. Dia mengajak Dania duduk di sofa panjang yang ada di depan televisi.
“Bagaimana ceritanya?” tanya Talia setelah dia dan Dania duduk, “kenapa kok bisa dipecat? Setahu Ibu kan kamu rajin kerjanya. Nggak pernah terlambat. Bolos juga nggak pernah.”
Dania sesenggukan. Dia lalu mengambil selembar tisu dari atas meja untuk mengusap cairan kental yang keluar dari rongga hidungnya.
“Dania salah masukin nol waktu bikin cek, Buk,” kata Dania, “Dania udah mohon-mohon sama atasan Dania biar nggak dipecat, tapi dia nggak mau ngasih toleransi kesalahan Dania.”
Talia mengambil napas dalam. Dia lalu tersenyum simpul. “Ya sudah,” katanya, “sementara ini, sambil cari lowongan kerja baru, Dania di rumah dulu tidak apa-apa.”
“Maafin Dania ya, Bu,” kata Dania.
“Tidak apa-apa,” kata Talia. Dia lalu memeluk Dania lagi.
Rasa bersalah yang Dania rasakan bukan tanpa alasan. Dulu selepas kuliah, Dania kabur ke Jakarta bersama Rita hanya karena ingin mendapat karir yang bergengsi dan gaji yang besar. Dia meninggalkan orantuanya di Semarang bahkan tak meminta izin kepada mereka. Namun, dalam hitungan minggu, orangtuanya meneleponnya dan memaksa untuk menyusul ke Jakarta. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk membeli rumah dan pindah permanen ke Jakarta.
Dania merasa dia telah gagal dan mengecewakan orangtuanya. Seharusnya, dia tidak ceroboh sehingga dia tidak kehilangan karir impian yang selama ini dia kejar. Terlebih karir itu mengorbankan kedua orangtuanya.
***
Selepas diberhentikan dari tempatnya bekerja, secara otomatis Dania menjadi pengangguran. Kesibukan gadis itu sehari-hari hanya memantau layar laptop atau ponsel untuk melakukan recruitment online atau sekedar mengecek lamaran yang juga telah dia kirimkan secara online.
Apa yang Dania alami sekarang sebenarnya ada sisi baik dan buruknya. Sisi baiknya, Dania bisa jalan-jalan pagi setiap hari tanpa dihantui telat berangkat kerja. Dia bahkan bisa nongkrong di kafe atau menonton konser di hari apa pun tanpa perlu menunggu hari libur. Sementara itu sisi buruknya, Dania jadi kesepian. Dia yang biasanya merasa senang karena bisa bertemu temannya dan banyak nasabah di tempat kerja jadi lebih sering merasakan kekosongan kalau berdiam diri saja di rumah.
Seperti pagi-pagi biasanya, pagi ini Dania masih duduk di atas ranjangnya. Dia berkutat menekuri layar laptop untuk mencari lowongan pekerjaan. Gadis itu berselancar di internet dengan masih mengguakan pakaian tidur. Sedang fokus-fokusnya mengisi formulir lowongan pekerjaan di sebuah perusahaan, tiba-tiba ponsel Dania yang tergeletak di samping laptop berbunyi. Perhatian Dania lalu teralih ke benda pipih itu. Rupanya ada panggilan dari Rita.
“Halo, Ta. Ada apa?” kata Dania setelah menempelkan ponselnya ke telinga.
“Tumben lo angkatnya cepet,” kata Rita. Suaranya terdengar agak serak, “lagi nggak ada nasabah?”
Dania mengambil napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Gue dipecat,” jawabnya.
“Hah?” sahut Rita, “kok bisa sih?”
“Gue salah tulis nol pas mau bikin cek,” kata Dania.
“Terus sekarang lo jobless dong?” tanya Rita.
“Iya,” sahut Dania, “gabut banget gue di rumah.”
“Gue turut berduka cita deh, Dan.”
“Sialan,” sahut Dania cepat, “berduka cita apaan. Lo pikir gue mati?”
“Enggak,” sahut Rita, “maksud gue, gue ikut sedih dengernya.”
Dania menghembuskan nafas kasar. “Iya sudah,” katanya, “kayak apaan aja. Betewe, ini lo tumben amat nelfon gue pagi-pagi ada apa?”
“Gue mau curhat sebenernya sama lo,” sahut Rita, “tapi kalo lo lagi nggak kerja, alangkah baiknya lo ke sini biar kita bisa enak ngobrolnya.”
“Mager ah,” sahut Dania.
“Ya udah kalo nggak mau,” sahut Rita, “padahal gue punya iinfo bagus buat lo.”
Dania membelalakkan mata. “Info apaan?” tanyanya.
“Kemaren, gue denger kalo Evolution lagi cari asisten karena mereka sudah mulai sibuk dalam rangka persiapan album baru,” kata Rita, “barangkali kalo lo minat, gue bisa rekomendasiin lo di sana. Soalnya gue kenal manager Evolution.”
“Tapi kan gue nggak punya pengalaman dan nggak tau sama sekali tentang dunia keartisan,” baals Dania.
“Udahlah mending lo ke sini aja dulu biar ngobrolnya lebih enak,” kata Rita, “lagian kalo masalah kerjanya gimana entar juga lo pasti bakalan dikasih tau kok sama Sisil managernya Evolution.”
“Oke,” sahut Dania
Dania lalu memutuskan sambungan telepon. Usai mematikan laptopnya, dia lalu turun dari ranjang. Dia bergegas masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi.
Rita menarik kembennya yang sedikit melorot. Pemotretan untuk majalah tinggal satu sesi lagi dan gaun krem yang dia pakai saat ini adalah gaun terakhirnya. Setelah itu, dia bisa mengobrol puas dengan kekasihnya yang dari tadi menelepon. Ya, sudah lima panggilan dari Fathan tidak dia respo karena memang dari tadi dia tidak bisa mengangkat telfon. Tidak punya cukup waktu lebih tepatnya. “Rita,” terdengar suara Lea, manajer Rita memanggil. “Iya, Lea,” kata Rita. Gadis itu memejamkan mata karena ada MUA yang sedang melakukan retouch pada eye shadow-nya. Rita lalu masuk ke dalam ruang make-up. “Belum selesai?” tanyanya pada Rita. “Sudah kok, Mba,” kata MUA yang tadi memoles kelopak mata Rita. “Yaudah, kita ke studio yuk,” kata Lea. Dia lalu menggandeng Rita yang sudah berdiri. Rita melakukan pemotretan kurang lebih selama dua puluh menit. Selama sepuluh menit dia mengikuti arahan fotografer untuk pose berdiri, sementara sepuluh menit sisanya dia pose dengan duduk di lantai berselonjor
Rita membereskan beberapa perabotan yang berserakan di lantai kamarnya. Gadis itu menata kembali vas bunga dan bunga yang berantakan. Setelah itu, dia meletakkan vas bunga di atas nakas. Dia lalu mengambil tasnya yang juga berada di lantai. Dia letakkan tasnya itu di atas meja rias. Setelah itu, Rita duduk di depan meja rias. Dia menatap wajahnya di depan cermin. Tanpa perlu memperhatikan dengan teliti, warna ungu kehitaman di bawah tulang pipinya yang kanan terlihat jelas. Dalam hitungan detik, kedua rongga mata Rita dipenuhi cairan bening. Tak ingin cairan itu jatuh ke pipi, Rita mengusap cairan itu dengan kedua tangannya. Rita lalu kembali ke ranjang. Dia duduk di tepi ranjang itu. Beberapa detik kemudian rongga matanya penuh lagi oleh cairan bening. Seiring dengan terputarnya lagi kejadian semalam di pikirannya, tangis Rita pecah. Sepulang dari pemotretan, Fathan mengajak Rita ke sebuah restoran. Laki-laki itu tampak biasa saja. Sepanjang makan mereka mengobrol seperti biasa. Fa
“Endra udah selesai,” kata Endra ketika dia sudah usai dengan aktifitasnya. Dia lalu berdiri mendekati Fajar dan mendorong laki-laki itu dari belakang untuk keluar dari ruangan, seperti sedang main kereta-keretaan. “Sekarang mendingan Papa pulang terus tidur.” Melihat bosnya dan Fajar keluar ruangan, Kara pun ikut keluar ruangan. “Iya ... iya,” kata Fajar, “Papa tau kok kalau kalian mau pacaran.” Endra berdecak. “Jangan mulai deh,” kata Endra, “atau Papa mau ikut makan bareng kita. Entar pulangnya bareng Endra juga.” Fajar menggeleng. “Enggak ah, Papa bawa mobil sendiri kok tadi ke sini,” katanya, “Papa udah makan juga. Yaudah, papa balik deh.” Endra mengangguk. Usai Fajar menghilang dari pandanganya, Dia lalu berpaling pada Kara. “Makanan yang lo pesen mana?” tanya Endra. “Di rest area, Pak,” kata Kara. Keduanya lalu berjalan menuju rest area yang ada di balkon. Di atas salah satu meja ada sebuah tas dan di dekat tas itu ada dua kotak makanan. Mereka berjalan menuju meja itu.
Mobil Rita terhenti di depan gedung cukup tinggi. Gadis itu lalu mengajak Dania turun. Ketika masuk ke dalam gedung, mereka berdua langsung disambut dua orang kru. Mereka lalu diajak naik ke lantai empat gedung itu. Setibanya di lantai empat, mereka lalu memasuki sebuah studio foto. Bersamaan dengan menghilangnya dua orang kru tadi, seorang wanita menghampiri Rita. Dia lalu memeluk Rita dan bercipika-cipiki. “Lea mana?” tanya Sisil. “Dia bilang mau nyusul,” jawab Rita, “eh, kenalin ini teman gue, Dania. Dia yang mau ngelamar buat asisten Evolution.” Dania mengulurkan tangan. “Dania,” kata Dania. Sisil menyambut uluran tangan Dania. Wanita berambut hitam sebahu itu tersenyum ramah. “Sisil,” sahutnya, “cantik ya teman lo.” “Iya dong,” kata Rita. Dania hanya tersenyum menanggapinya. “Lo ke ruang ganti aja sudah,” kata Sisil, “gue mau ngobrol sendiri sama Dania.” Rita mengangkat jari jempolnya. “Oke ...oke,” katanya. Gadis itu lalu berjalan meninggalkan Dania dan Sisil. “Kita ngob
Crash Melody 6Dania menaikkan kedua kakinya di atas sofa. Di samping kanannya ada sebuah toples berisi cemilan kacang atom. Gadis itu menikmati menonton film sambil mengemil. Film yang ditontonnya adalah The Chronicles Of Narnia. Meski sudah pernah menonton seri film itu dari awal sampai akhir berkali-kali, Dania tak pernah bosan. Dia suka film yang bertema petualangan. Fokus dania terganggu saat Fathan masuk ruang keluarga. Laki-laki itu menghempaskan tubuhnya di samping Dania. Lalu tanpa izin dia mencomot cemilan dari toples. “Lo tuh udah nyelonong, ngambil makanan orang tanpa izin lagi,” kata Dania. “Nyelonong gimana,” protes Fathan, “orang gue sudah izin sama Paklek sama Bulek kok tadi di depan.”Dania geleng-geleng kepala. Dia lalu fokus menatap layar TV lagi. “Eh iya, gue keinget sesuatu,” kata Dania, “empat hari yang lalu kan gue ke apartemen Rita tuh. Nah dia kayaknya habis nangis deh. Lo apain anak orang sampai nangis gitu?”“Masak sih?” sahut Fathan. Dia terus memakan k
Saat ini Endra sedang berada di salah satu cabang hotel Bhima yang ada di kota Semarang. Hotel cabang di kota ini mengalami penurunan penjualan yang sangat signifikan. Maka dari itu, Endra datang untuk melakukan sidak. Seharian melakukan sidak bersama pimpinan cabang membuat dia kelelahan luar biasa. Padahal sebelumnya dia pikir bisa sedikit bersantai menikmati suasana kota Semarang. Tapi ternyata pemikiran Endra salah. Semarang tak jauh beda dari Jakarta. Sama-sama panas. Yang membedakan hanya tingkat polusinya saja. Ya, udara di semarang lebih ramah dibanding udara Jakarta. Karena tubuhnya sudah terasa pegal semua, Endra pun berjalan cepat mendekati ranjang setelah menutup pintu kamar hotel. Dia lalu melemparkan separuh tubuhnya ke atas ranjang. Kakinya dia biarkan menggantung. Bersamaan dengan rasa nyaman yang tubuhnya rasakan, Endra perlahan memejamkan mata.Namun baru beberapa menit memejamkan mata, Endra membuka matanya lagi karena mendengar surara ketukan pintu. Dia lalu turu
Rita berjalan mendekati Fathan yang duduk di sofa. Tangan kanannya membawa sebuah gelas berisi air putih. Setelah meletakkan gelas di meja, gadis itu lalu duduk di samping Fathan.“Kamu tumben pulangnya sore,” kata Rita. Dia lalu menyalakan televisi yang menempel pada tembok di depannya.Fathan meminum air yang diberikan Rita. Dia meneguk beberapa tegukan. “Kerjaan lagi nggak numpuk, jadi nggak lembur. Makanya aku bisa pulang sore,” jawab Fathan setelah meletakkan gelasnya ke meja lagi.“Besok aku ada fashion show di Bandung,” kata Rita, “mungkin kita bakalan nggak ketemu selama beberapa hari. Kamu nggak keberatan kan?”Fathan mengerutkan kening. “Jauh banget di Bandung,” katanya, “berapa hari?”“Paling tiga hari,” sahut Rita, “hari ini kan hari selasa, kalau besok pagi banget aku berangkat, paling nyampe di Jakarta Jumat malem sekitar jam delapan.”Fathan menyandarkan punggungnya ke sofa. Tangan kanannya mengusap rambut Rita. “Tiga hari tanpa nyentuh kamu pasti rasanya bakalan hampa
Kara merapikan semua dokumen yang ada di atas meja Endra. Saat ini jam di dinding ruangan Endra sudah menunjukkan jam sembilan malam. Mereka sudah mau pulang sebenarnya tapi Endra pergi ke toilet dulu. Karena lebih dari lima belas menit tak kembali, setelah memastikan ruangan Endra rapi, Kara pun menunggu bosnya itu sambil duduk dan melihat-lihat sosmednya.Fokus Kara teralihkan saat melihat ponsel Endra ada di atas sebuah map. Dia penasaran dengan isi ponsel Endra. Dia ingin mengecek apakah di galeri laki-laki iyu ada foto seorang gadis atau tidak. Dia masih tidak percaya kalau Endra tidak punya pacar. Saat melihat ponsel itu ketika beres-beres tadi, Kara belum memiliki keinginan untuk melihat isinya karena dia pikir Endra akan cepat kembali.Setelah melihat ke luar melalui cendela kaca dan memastikan Endra belum terlihat, Kara pun mengambil ponsel Endra. Dia tersenyum lega karena ponsel laki-laki itu ternyata tidak dikunci layarnya. Walpaper yang digunakan Endra adalah foto Hana dan