Beranda / Romansa / Crash Melody / Crash Melody 2

Share

Crash Melody 2

Rita menarik kembennya yang sedikit melorot. Pemotretan untuk majalah tinggal satu sesi lagi dan gaun krem yang dia pakai saat ini adalah gaun terakhirnya. Setelah itu, dia bisa mengobrol puas dengan kekasihnya yang dari tadi menelepon. Ya, sudah lima panggilan dari Fathan tidak dia respo karena memang dari tadi dia tidak bisa mengangkat telfon. Tidak punya cukup waktu lebih tepatnya.

“Rita,” terdengar suara Lea, manajer Rita memanggil.

“Iya, Lea,” kata Rita. Gadis itu memejamkan mata karena ada MUA yang sedang melakukan retouch pada eye shadow-nya.

Rita lalu masuk ke dalam ruang make-up. “Belum selesai?” tanyanya pada Rita.

“Sudah kok, Mba,” kata MUA yang tadi memoles kelopak mata Rita.

“Yaudah, kita ke studio yuk,” kata Lea. Dia lalu menggandeng Rita yang sudah berdiri.

Rita melakukan pemotretan kurang lebih selama dua puluh menit. Selama sepuluh menit dia mengikuti arahan fotografer untuk pose berdiri, sementara sepuluh menit sisanya dia pose dengan duduk di lantai berselonjor.

Setelah proses pemotretan selesai, si fotografer menunjukkan hasil jepretannya pada Rita dan Lala. Mereka bertiga duduk di sebuah kursi panjang yang menempel di tembok studio.

“Foto yang selonjoran hasilnya bagus-bagus deh,” kata Lea, “iya nggak, Ta.”

“Yang duduk di kursi juga bagus, Lea,” kata Rita.

“Eh, tapi semuanya bagus deh,” kata Lea lagi.

“Iya dong,” sahut Rita. Dia mengembalikan kameranya kepada si fotografer, “siapa dulu modelnya.”

“Oh, fotografernya nggak dianggep nih,” si fotografer yang sudah memakai tas ranselnya, protes.

Rita dan Lea tertawa bersaman. “Yaampun, maaf,” kata Rita.

“Yee,” kata si fotografer, “yaudah gue balik dulu lah.” Dia lalu bergantian menyalami Rita dan Lea.

Setelah si fotografer pergi, Rita lalu menuju ruang ganti. Lala mengikutinya. Wanita itu menunggu di luar ruang ganti. Iseng, dia mengecek ponsel Rita yang tergeletak di atas meja rias. Dia geleng-geleng kepala melihat enam belas panggilan tak terjawab dari Fathan, kekasih Rita.

“Ta, cowok lo masih suka tantrum nggak jelas nggak kalo lo nggak respon telfonnya?” kata Lala setelah meletakkan ponsel Rita di meja rias lagi.

“Masih,” sahut Rita dari dalam ruang ganti, “kenapa emang?”

“Ini ada enam belas missed call dari dia,” kata Lea, “feeling gue bakalan tantrum deh entar cowok lo.”

Rita keluar dari ruang ganti dengan senyum miris tercetak di bibirnya. “Udah biasa, Lea,” katanya, “gue udah kebal.”

Raut wajah Lea terlihat kesal. “Lo tuh kenapa nggak putusin aja sih cowok lo yang sakit jiwa itu,” katanya. Wanita satu ini memang terkenal ceplas-ceplos. Lagi pula, dia sudah sepuluh tahun lebih menjadi manager Rita dan dia mengikuti perjalanan asmara Rita sejak masih pedekate dengan Fathan. Dia tahu betul kalau Rita tidak akan sakit hati dengan ucapannya karena sifat Fathan yang dia ucapkan itu memang benar adanya.

Rita duduk di kursi rias. “Gue sayang banget sama dia, Lea,” kata Rita, “lagian kan lo juga tahu kalo gue sama Fathan udah pacaran enam tahun lebih. Nggak semudah itu buat gue ngelepasin dia.”

“Gue mungkin bisa aja mutusin Fathan,” kata Rita lagi, “tapi setelah itu belum tentu gue bisa gampang move on.”

Lea tertawa sambil geleng-geleng kepala. “Iya gue tahu,” katanya, “apalagi kalo inget goyangan dia di atas ranjang, lo pasti makin susah move on.”

Rita terkekeh. “Dih apaan sih?” katanya, “udah ah, ayo balik. Gue mau istirahat.”

Baru saja Rita dan Lea akan keluar dari ruangan, orang yang daritadi dibicarakan datang. Fathan masuk ruangan dengan langkah-langkah lebar dan terburu-buru. Laki-laki berambut lurus dan tebal itu lalu meraih lengan Rita dengan posesif.

“Eh ... eh lo apaan sih. Jangan kasar dong,” kata Lea.

“Bukan urusan lo ya gimana gue mau memperlakukan cewek gue,” kata Fathan, “lagian pemotretannya ydah selesai kan? Jadi gue bisa ngajak Rita ke mana aja.”

Tanpa menunggu reaksi Lea, Fathan lalu mengajak Rita berjalan keluar ruangan. Dia menarik lengan gadis itu agar bisa berjalan lebih cepat mensejajari langkahnya.

“Yang, bisa pelan dikit nggak sih jalannya?” keluh Rita.

Fathan tidak merespon. Dia terus menarik tangan Rita. Bahkan langkahnya semakin lama semakin cepat. Baru setelah masuk ke dalam lift dia melepaskan cengkeramannya di pergelangan tangan Rita.

“Kamu kenepa nggak angkat telfonku dari tadi?” tanya Fathan. Nada suaranya meninggi dan penuh tekanan. Tatapannya tajam.

“Aku nggak ada waktu,” sahut Rita. Sebenarnya dia muak dengan sikap Fathan yang kekanak-kanakan begitu. Tanpa dijelaskan juga seharusnya Fathan tahu kalau saat bekerja, Rita tidak bisa diganggu. Malah sebenarnya Rita enggan menjawab pertanyaan Fathan. Kalau sedang bad mood gadis itu malas berbiicara. Tapi mau bagaimana lagi, fathan bisa makin murka kalau diabaikan.

“Alasan,” kata Fathan. Dia lalu menarik pinggul Rita dengan gesit sehingga Rita tak sempat menghindar meski pinggulnya terasa sakit. Seperti orang haus, bibir Fathan menyerang bibir Rita dengan kecupan-kecupan dalam. Ciumannya brutal, liar dan penuh dengan nafsu. Bersamaan dengan terbukanya pintu lift, Fathan baru mengakhiri serangannya.

Perempuan pada umumnya mungkin akan merasa bahagia dan berbunga-bunga kalau mendapat ciuman dari kekasihnya. Tapi, Rita tidak. Karena dia sama sekali tidak bisa merasakan kenikmatan cinta dari apa yang Fathan lakukan. Karena dia sadar selama ini dia dan tubuhnya hanyalah pelampiasan birahi.

***

Jam yang tergantung di dinding kantor sudah menunjukkan jam setengah sepuluh malam. Endra masih berkutat di depan komputer di meja kerjanya. Laki-laki yang rambutnya berwarna kecokelatan itu tampak serius melihat laporan data penjualan kamar hotel dari setiap cabang hotel di seluruh kota di Sumatra, Jawa dan Bali.

Saat Kara, asistennya, masuk pun dia masih fokus meneliti data yang dia lihat di layar komputer. Saat gadis bertubuh langsing itu memanggilnya, dia baru mendongak.

“Pak Endra nggak mau makan malam dulu?” tanya Kara. Wanita itu berdiri di dekat pintu.

“Lo udah beli?” tanya Endra.

Kara tersenyum tipis. “Sudah, Pak,” katanya, “dari tadi jam delapan.”

“Oh, lo makan dulu aja kalo gitu,” katanya, “entar gue nyusul. Ini bentar lagi kelar kok.”

“Kalo bentar lagi selesai, saya tunggu Pak Endra aja,” kata Kara.

“Atau kalo nggak suapin aja tuh anak, Kar.” Fajar, ayah Endra, tiba-tiba masuk ruangan. laki-laki yang kepalanya hampir dipenuhi uban itu memakai kaos dan kulot. Sepertinya dia datang dari rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status