Rita membereskan beberapa perabotan yang berserakan di lantai kamarnya. Gadis itu menata kembali vas bunga dan bunga yang berantakan. Setelah itu, dia meletakkan vas bunga di atas nakas. Dia lalu mengambil tasnya yang juga berada di lantai. Dia letakkan tasnya itu di atas meja rias. Setelah itu, Rita duduk di depan meja rias. Dia menatap wajahnya di depan cermin.
Tanpa perlu memperhatikan dengan teliti, warna ungu kehitaman di bawah tulang pipinya yang kanan terlihat jelas. Dalam hitungan detik, kedua rongga mata Rita dipenuhi cairan bening. Tak ingin cairan itu jatuh ke pipi, Rita mengusap cairan itu dengan kedua tangannya.
Rita lalu kembali ke ranjang. Dia duduk di tepi ranjang itu. Beberapa detik kemudian rongga matanya penuh lagi oleh cairan bening. Seiring dengan terputarnya lagi kejadian semalam di pikirannya, tangis Rita pecah.
Sepulang dari pemotretan, Fathan mengajak Rita ke sebuah restoran. Laki-laki itu tampak biasa saja. Sepanjang makan mereka mengobrol seperti biasa. Fathan bahkan tertawa-tawa. Segalanya berubah suram saat Fathan berada di apartemen Rita. Laki-laki itu mengamuk seperti orang kesetanan. Bahkan tak sekali, dua kali laki-laki itu melayangkan pukulannya ke tubuh Rita.
Meski pada akhirnya keributan itu berakhir di ranjang dengan percintaan yang panas, Rita sama sekali tidak mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan dari sana. Setiap sentuhan Fathan hanya membuatnya semakin sadar kalau dia hanyalah pemuas birahi laki-laki itu. Tidak pernah ada cinta. Hanya Ritalah yang terjebak dalam perasaanya sendiri.
Lamunan rita terbuyar saat mendengar dering ponsel. Ada panggilan dari dania. Rita buru-buru mengusap air matanya lalu menggeser gambar telepon berwarna hijau yang ada di layar ponselnya.
“Gue udah di depan nih,” terdengar suara Dania dari seberang, “lo bukain pintu dong.”
“Oke,” sahut Rita, “gue ke depan sekarang.”
Sebelum berjalan ke pintu apartemennya, Rita bergegas ke kamar mandi dulu. Dia mencuci muka sebentar. Setelah itu dia mengambil air minum dari dispenser. Setelah menghabiskan segelas air putih dia baru berjalan keluar kamar.
“Lama banget lo, Bu ...,” Dania tak melanjutkan kata-katanya. Dia tertegun saat melihat mata sembab Rita.
“Lo abis nangis ya?” tanya Dania. Dia mengikuti Rita yang berjalan mendekati sofa.
Rita menghempaskan tubuhnya ke sofa panjang. “Enggak kok,” jawabnya.
Dania ikut duduk di sifa, di samping Rita. “Ih, boong,” katanya, “bocil TK juga tau kalo lo abis nangis, Ta, mata lo itu sembab banget. Eh, itu pipi lo gosong? Lo diapain sama Fathan?”
Tangis Rita pecah lagi akhirnya. Dia lalu menghambur memeluk Dania. “Gue berantem sama, Fathan?” katanya.
Dania berdecak. Pertengkaran dalam sebuah hubungan itu normal. Tapi bukan berarti Fathan harus main tangan kan? Bocah itu tabiatnya tidak pernah berubah.
“Gue udah bilang dari dulu kan sama lo,” kata Dania, “sepupu gue satu itu emang rada sedeng. Dari awal dia nyusul gue ke Jakarta, gue udah wanti-wanti dia biar nggak deket-deket sama gue. Bukannya apa-apa, kelakuannya bikin malu. Lah lo malah segala naksir sama dia.”
“Gue nggak nyangka kalau dia bakal sejauh ini,” kata Rita. Dia mundur dan melepaskan pelukannya.
“Terus rencana lo apa?” tanya Dania, “lo nggak pengen gitu mutusin dia?”
Rita menggeleng. Dia lalu mengambil tisu yang ada di meja untuk mengusap air matanya. “Nggak segampang itu, Dan,” balasnya, “gue udah terlanjur nyaman sama Fathan. Dan gue masih berharap suatu hari nanti dia bakalan berubah.”
Dania tidak menyahut lagi. Dia menghembuskan napas panjang. Membuka mata orang yang sedang buta karena cinta itu sia-sia. Buang-buang energi belaka.
“Oh iya, aku mau bahas tentang lowongan kerjaan sebagai asisten Evolution ya,” kata Rita, mengalihkan pembicaraan.
Dania mengangguk. “Lo serius nyuruh gue kerja jadi asisten artis?” kata Dania, “gue nggak ada pengalaman sama sekali loh.”
Rita tertawa. “Nggak apa-apa lah,” sahut Rita. Entar juga diajarin job desc lo apa aja. Lagian bukannya waktu sekolah lo suka banget akting ya. Dari SMP sampe SMA kan lo selalu ikut kelas drama. Siapa tau dengan jadi asiten Evolution entar lo kecipratan terkenal. Itu bisa jadi batu loncatan lo buat terjun ke dunia seni peran.”
Dania menghembuskan napas panjang. Apa yang Rita katakan benar. Dia tergila-gila dengan seni peran sejak sekolah dasar sebenarnya. Dania suka seni peran karena dengan berakting dia bisa menjadi karakter apa pun yang dia mau. Karena dengan berakting dia bisa menjadi orang lain dan mengabaikan sejenak fakta bahwa dia adalah murid yang cupu dan sering di-bully. Fakta yang selalu membuat Dania benci dengan dirinya sendiri. Singkatnya, dengan berperan menjadi orang lain yang bukan dirinya, Dania tersembuhkan walau hanya sejenak.
Setelah lulus sekolah dan awal-awal pindah ke Jakarta, Dania sempat mengikuti casting di beberapa rumah produksi sinetron. Tapi tak satupun dari puluhan usaha yang Dania lakukan berhasil. Tak ingin terus membuang waktu, akhirnya Dania fokus mencari pekerjaan dan mengabaikan mimpinya itu. Dia lalu berakhir menjadi teller dan sejak saat itu juga mimpinya dia kubur dalam-dalam.
“Yaudahlah lo atur aja,” kata Dania. Dia lalu berjalan meninggalkan ruang tamu.
“Mau ke mana lo?” tanya Rita.
Dania menjawab tanpa menoleh. “Cari cemilan di kulkas,” katanya, “gue laper belum sarapan.”
“Eh, sori ya,” kata Rita, “gue kelupaan nyiapin cemilan buat lo gara-gara nangis.”
“Nggak apa-apa,” sahut rita dari ruang sebelah, “malah enak gue bisa ngejarah kulkas lo dengan leluasa kalo ambil-ambil sendiri gini.”
Rita terbahak mendengar kata-kata Dania.
***
Endra melirik ke arah datangnya suara Fajar sebentar lalu menatap layar komputer lagi, memastikan kalau yang datang memanglah ayahnya. “Papa ngapain lagi ke kantor malem-malem gini,” katanya, “bukannya enak nonton film sambil nyantai sama Mama di ruang keluarga.”
Fajar tertawa. “Kamu kenapa sih kelihatan nggak seneng gitu Papa dateng?” katanya usai tawanya reda, “Papa cuma mau mastiin kamu baik-baik aja, nggak keteteran dan pastinya nggak telat makan. Lagian, Papa juga sedikit kangen sama suasana di tempat ini. Jadi, sekalian sama jalan-jalan tadi.”
Sejak Fajar memasuki usia pertengahan kepala lima, segala urusan bisnisnya dan segala hal yang ada di kantor memang di-handle Endra. Dia diminta anak laki-lakinya itu untuk beristirahat dan fokus menikmati masa tua. Namun dasarnya Fajar tidak suka duduk diam berlama-lama di rumah. Dia masih sering datang ke kantor meski dalam waktu malam-malam seperti sekarang. Kalau sedang benar-benar jenuh, dia kadang tak hanya datang ke kantor pusat yang ada di Jakarta.
“Endra udah selesai,” kata Endra ketika dia sudah usai dengan aktifitasnya. Dia lalu berdiri mendekati Fajar dan mendorong laki-laki itu dari belakang untuk keluar dari ruangan, seperti sedang main kereta-keretaan. “Sekarang mendingan Papa pulang terus tidur.” Melihat bosnya dan Fajar keluar ruangan, Kara pun ikut keluar ruangan. “Iya ... iya,” kata Fajar, “Papa tau kok kalau kalian mau pacaran.” Endra berdecak. “Jangan mulai deh,” kata Endra, “atau Papa mau ikut makan bareng kita. Entar pulangnya bareng Endra juga.” Fajar menggeleng. “Enggak ah, Papa bawa mobil sendiri kok tadi ke sini,” katanya, “Papa udah makan juga. Yaudah, papa balik deh.” Endra mengangguk. Usai Fajar menghilang dari pandanganya, Dia lalu berpaling pada Kara. “Makanan yang lo pesen mana?” tanya Endra. “Di rest area, Pak,” kata Kara. Keduanya lalu berjalan menuju rest area yang ada di balkon. Di atas salah satu meja ada sebuah tas dan di dekat tas itu ada dua kotak makanan. Mereka berjalan menuju meja itu.
Mobil Rita terhenti di depan gedung cukup tinggi. Gadis itu lalu mengajak Dania turun. Ketika masuk ke dalam gedung, mereka berdua langsung disambut dua orang kru. Mereka lalu diajak naik ke lantai empat gedung itu. Setibanya di lantai empat, mereka lalu memasuki sebuah studio foto. Bersamaan dengan menghilangnya dua orang kru tadi, seorang wanita menghampiri Rita. Dia lalu memeluk Rita dan bercipika-cipiki. “Lea mana?” tanya Sisil. “Dia bilang mau nyusul,” jawab Rita, “eh, kenalin ini teman gue, Dania. Dia yang mau ngelamar buat asisten Evolution.” Dania mengulurkan tangan. “Dania,” kata Dania. Sisil menyambut uluran tangan Dania. Wanita berambut hitam sebahu itu tersenyum ramah. “Sisil,” sahutnya, “cantik ya teman lo.” “Iya dong,” kata Rita. Dania hanya tersenyum menanggapinya. “Lo ke ruang ganti aja sudah,” kata Sisil, “gue mau ngobrol sendiri sama Dania.” Rita mengangkat jari jempolnya. “Oke ...oke,” katanya. Gadis itu lalu berjalan meninggalkan Dania dan Sisil. “Kita ngob
Crash Melody 6Dania menaikkan kedua kakinya di atas sofa. Di samping kanannya ada sebuah toples berisi cemilan kacang atom. Gadis itu menikmati menonton film sambil mengemil. Film yang ditontonnya adalah The Chronicles Of Narnia. Meski sudah pernah menonton seri film itu dari awal sampai akhir berkali-kali, Dania tak pernah bosan. Dia suka film yang bertema petualangan. Fokus dania terganggu saat Fathan masuk ruang keluarga. Laki-laki itu menghempaskan tubuhnya di samping Dania. Lalu tanpa izin dia mencomot cemilan dari toples. “Lo tuh udah nyelonong, ngambil makanan orang tanpa izin lagi,” kata Dania. “Nyelonong gimana,” protes Fathan, “orang gue sudah izin sama Paklek sama Bulek kok tadi di depan.”Dania geleng-geleng kepala. Dia lalu fokus menatap layar TV lagi. “Eh iya, gue keinget sesuatu,” kata Dania, “empat hari yang lalu kan gue ke apartemen Rita tuh. Nah dia kayaknya habis nangis deh. Lo apain anak orang sampai nangis gitu?”“Masak sih?” sahut Fathan. Dia terus memakan k
Saat ini Endra sedang berada di salah satu cabang hotel Bhima yang ada di kota Semarang. Hotel cabang di kota ini mengalami penurunan penjualan yang sangat signifikan. Maka dari itu, Endra datang untuk melakukan sidak. Seharian melakukan sidak bersama pimpinan cabang membuat dia kelelahan luar biasa. Padahal sebelumnya dia pikir bisa sedikit bersantai menikmati suasana kota Semarang. Tapi ternyata pemikiran Endra salah. Semarang tak jauh beda dari Jakarta. Sama-sama panas. Yang membedakan hanya tingkat polusinya saja. Ya, udara di semarang lebih ramah dibanding udara Jakarta. Karena tubuhnya sudah terasa pegal semua, Endra pun berjalan cepat mendekati ranjang setelah menutup pintu kamar hotel. Dia lalu melemparkan separuh tubuhnya ke atas ranjang. Kakinya dia biarkan menggantung. Bersamaan dengan rasa nyaman yang tubuhnya rasakan, Endra perlahan memejamkan mata.Namun baru beberapa menit memejamkan mata, Endra membuka matanya lagi karena mendengar surara ketukan pintu. Dia lalu turu
Rita berjalan mendekati Fathan yang duduk di sofa. Tangan kanannya membawa sebuah gelas berisi air putih. Setelah meletakkan gelas di meja, gadis itu lalu duduk di samping Fathan.“Kamu tumben pulangnya sore,” kata Rita. Dia lalu menyalakan televisi yang menempel pada tembok di depannya.Fathan meminum air yang diberikan Rita. Dia meneguk beberapa tegukan. “Kerjaan lagi nggak numpuk, jadi nggak lembur. Makanya aku bisa pulang sore,” jawab Fathan setelah meletakkan gelasnya ke meja lagi.“Besok aku ada fashion show di Bandung,” kata Rita, “mungkin kita bakalan nggak ketemu selama beberapa hari. Kamu nggak keberatan kan?”Fathan mengerutkan kening. “Jauh banget di Bandung,” katanya, “berapa hari?”“Paling tiga hari,” sahut Rita, “hari ini kan hari selasa, kalau besok pagi banget aku berangkat, paling nyampe di Jakarta Jumat malem sekitar jam delapan.”Fathan menyandarkan punggungnya ke sofa. Tangan kanannya mengusap rambut Rita. “Tiga hari tanpa nyentuh kamu pasti rasanya bakalan hampa
Kara merapikan semua dokumen yang ada di atas meja Endra. Saat ini jam di dinding ruangan Endra sudah menunjukkan jam sembilan malam. Mereka sudah mau pulang sebenarnya tapi Endra pergi ke toilet dulu. Karena lebih dari lima belas menit tak kembali, setelah memastikan ruangan Endra rapi, Kara pun menunggu bosnya itu sambil duduk dan melihat-lihat sosmednya.Fokus Kara teralihkan saat melihat ponsel Endra ada di atas sebuah map. Dia penasaran dengan isi ponsel Endra. Dia ingin mengecek apakah di galeri laki-laki iyu ada foto seorang gadis atau tidak. Dia masih tidak percaya kalau Endra tidak punya pacar. Saat melihat ponsel itu ketika beres-beres tadi, Kara belum memiliki keinginan untuk melihat isinya karena dia pikir Endra akan cepat kembali.Setelah melihat ke luar melalui cendela kaca dan memastikan Endra belum terlihat, Kara pun mengambil ponsel Endra. Dia tersenyum lega karena ponsel laki-laki itu ternyata tidak dikunci layarnya. Walpaper yang digunakan Endra adalah foto Hana dan
Zevan menulis beberapa baris lirik lagu di atas sebuah note book. Di pangkuannya ada sebuah gitar yang dia pegang dengan tangan kiri. Besok, Evolution akan tampil di festival musik yang digelar di Stadion Siliwangi. Besok pagi-pagi sekali, dia harus bersiap karena sekitar jam delapan pesawat yang dipesan untuknya harus sudah take off dari Soekarno Hatta. Tapi bukannya beristirahat, Zevan malah menulis lagu.Suara ketukan di pintu membuat Ezra menghentikan tangannya yang bergerak lincah di atas kertas. Usai meletakkan gitar, dia lalu mendekati pintu. Usai membuka pintu, raut wajahnya seketika berubah karena melihat Hana.“Mama ada perlu apa?” kata Zevan.“Kamu belum tidur?” tanya Hana, “boleh Mama masuk?”Zevan tak menyahut. Dia lalu berbalik dan duduk di tempatnya semula dan mulai mencorat-coret kertas lagi.“Mama minta maaf kalau selama ini Mama belum bisa menjadi ibu yang baik untuk kamu, Zevan,” kata Hana.Zevan tak menyahut. Permintaan maaf Hana bagi Zevan sudah terlambat. Saat Ze
Di belakang panggung dipasang semacam tenda untuk beberapa artis. Evolution diberi dua tenda. Satu tenda untuk personel Evolution, sementara lainnya untuk manager dan crew, termasuk Dania. “Sekarang ada siapa yang lagi latihan, Van,” tanya Raden pada Zevan yang baru datang dari luar tenda. Di tanganya ada sebuah kemasan snack.“Ada penyanyi cewek lokal,” sahut Zevan. Dia lalu duduk di kursi panjang yang ada di tengah tenda bersama tiga personel yang lain, “nggak tahu gue namanya siapa.”Jojo yang duduk di sebelah kanan Zevan, mengambil ikut mengambil snack dari tangan Zevan. “Betewe, asisten baru kita caantik juga ya, Van,” katanya.Zevan berdecak. “Kebiasaan lo,” katanya, “lo mah ada kambing dikasih gincu juga bakal lo bilang cantik.”Okan dan Raden kompak tertawa mendengar ucapan Zevan. “Eh, tapi kali ini dia nggak ngasal tahu, Van,” kata Raden setelah tawanya reda, “si siapa ...,”“Dania,” sahut Okan.“Iya Dania emang cantik,” lanjut Raden.“Ya lo pacarin aja sih sana kalo menurut