Kara merapikan semua dokumen yang ada di atas meja Endra. Saat ini jam di dinding ruangan Endra sudah menunjukkan jam sembilan malam. Mereka sudah mau pulang sebenarnya tapi Endra pergi ke toilet dulu. Karena lebih dari lima belas menit tak kembali, setelah memastikan ruangan Endra rapi, Kara pun menunggu bosnya itu sambil duduk dan melihat-lihat sosmednya.Fokus Kara teralihkan saat melihat ponsel Endra ada di atas sebuah map. Dia penasaran dengan isi ponsel Endra. Dia ingin mengecek apakah di galeri laki-laki iyu ada foto seorang gadis atau tidak. Dia masih tidak percaya kalau Endra tidak punya pacar. Saat melihat ponsel itu ketika beres-beres tadi, Kara belum memiliki keinginan untuk melihat isinya karena dia pikir Endra akan cepat kembali.Setelah melihat ke luar melalui cendela kaca dan memastikan Endra belum terlihat, Kara pun mengambil ponsel Endra. Dia tersenyum lega karena ponsel laki-laki itu ternyata tidak dikunci layarnya. Walpaper yang digunakan Endra adalah foto Hana dan
Zevan menulis beberapa baris lirik lagu di atas sebuah note book. Di pangkuannya ada sebuah gitar yang dia pegang dengan tangan kiri. Besok, Evolution akan tampil di festival musik yang digelar di Stadion Siliwangi. Besok pagi-pagi sekali, dia harus bersiap karena sekitar jam delapan pesawat yang dipesan untuknya harus sudah take off dari Soekarno Hatta. Tapi bukannya beristirahat, Zevan malah menulis lagu.Suara ketukan di pintu membuat Ezra menghentikan tangannya yang bergerak lincah di atas kertas. Usai meletakkan gitar, dia lalu mendekati pintu. Usai membuka pintu, raut wajahnya seketika berubah karena melihat Hana.“Mama ada perlu apa?” kata Zevan.“Kamu belum tidur?” tanya Hana, “boleh Mama masuk?”Zevan tak menyahut. Dia lalu berbalik dan duduk di tempatnya semula dan mulai mencorat-coret kertas lagi.“Mama minta maaf kalau selama ini Mama belum bisa menjadi ibu yang baik untuk kamu, Zevan,” kata Hana.Zevan tak menyahut. Permintaan maaf Hana bagi Zevan sudah terlambat. Saat Ze
Di belakang panggung dipasang semacam tenda untuk beberapa artis. Evolution diberi dua tenda. Satu tenda untuk personel Evolution, sementara lainnya untuk manager dan crew, termasuk Dania. “Sekarang ada siapa yang lagi latihan, Van,” tanya Raden pada Zevan yang baru datang dari luar tenda. Di tanganya ada sebuah kemasan snack.“Ada penyanyi cewek lokal,” sahut Zevan. Dia lalu duduk di kursi panjang yang ada di tengah tenda bersama tiga personel yang lain, “nggak tahu gue namanya siapa.”Jojo yang duduk di sebelah kanan Zevan, mengambil ikut mengambil snack dari tangan Zevan. “Betewe, asisten baru kita caantik juga ya, Van,” katanya.Zevan berdecak. “Kebiasaan lo,” katanya, “lo mah ada kambing dikasih gincu juga bakal lo bilang cantik.”Okan dan Raden kompak tertawa mendengar ucapan Zevan. “Eh, tapi kali ini dia nggak ngasal tahu, Van,” kata Raden setelah tawanya reda, “si siapa ...,”“Dania,” sahut Okan.“Iya Dania emang cantik,” lanjut Raden.“Ya lo pacarin aja sih sana kalo menurut
Acara festival musik berakhir sekitar pukul sebelas malam. Semua personel Evolution kembali ke hotel segera setelah mereka berkemas-kemas. Setibanya di hotel, Dania segera menuju ke kamar mandi. Badannya terasa pegal sekali dan kulitnya juga lengket semua. Dia memutuskan untuk mandi air hangat.Ketika keluar dari kamar mandi, Dania tidak melihat Sisil. Karena penasaran ke mana perginya Sisil, usai ganti pakaian Dania lalu mencari wanita itu. Dia berjalan keluar kamar dan menyusuri koridor. Lelah berjalan, Dania pun lalu memutuskan untuk menelepon Sisil.“Sil , lo ada di mana?” tanya Dania setelah suara nada sambung dari seberang terhenti.“Gue ada di kolam renang,” sahut Sisil.“Malem-malem gini berenang?’ tanya Dania.Terdengar suara tawa Sisil. “Nggak lah,” katanya setelah tawanya reda, “gue nongkrong aja.”“Boleh gue gabung?” tanya Dania, “kolam renangnya di bagian mana sih?”“Boleh,” sahut Sisil, “di lantai dua puluh. Entar lo habis keluar dari lift jalan ke kanan aja.”Dania berg
Setibanya di Jakarta, Dania tak langsung pulang. Dia bergegas menuju apartemen Rita. Dia sangat khawatir karena sejak malam itu, dia tak mendapatkan kabar apa pun dari sahabatnya itu. Rita tidak menelfon balik. Dan sekarang, ketika Dania tengah berada di dalam mobilnya untuk menuju ke apartemen gadis itu pun, Rita masih tidak bisa dihubungi. Dania bersyukur karena selama perjalanan menuju ke apartemen Rita dia tidak terjebak macet. Setelah memarkirkan mobil, Dania buru-buru berjalan memasuki gedung apartemen. Dengan cepat dia berjalan menuju lift. Setelah keluar dari lift, dia setengah berlari menyusuri koridor. Di depan pintu apartemen Rita, dia menghentikan langkah. Meski harapannya tipis, Dania tetap mengeluarkan ponselnya. Dia mencoba menghubungi Rita. Percobaan pertama dan kedua Dania gagal. Dia menghembuskan napas lega saat akhirnya Rita meresponnya di panggilan ketiga. “Gue ada di depan,” kata Dania, “buruan bukain pintunya.” Kurang dari lima menit menunggu, pintu apartemen
Zevan duduk di jendela kamarnya. Kakinya tergantung menyentuh lantai balkon. Dari lantai tiga rumahnya, dia bisa melihat pemandangan malam jalanan di depan rumahnya yang masih padat meski sudah jam sebelas lewat. Terjaga di malam hari seperti ini bukan hal yang baru bagi Zevan. Dia sering merasa susah tidur setiap kali selesai mengisi acara festival musik atau konser. Dia merasa hampa dan kesepian setiap kali haru berpisah dengan Evolutioner dari atas panggung. Orang-orang mungkin berpikir kalau hidup Zevan seru dan selalu menyenangkan. Tapi tidak juga. Dia sama seperti manusia-manusia lain yang bisa merasa sedih setelah merasa gembira. Dia juga bisa merasa kosong setelah merasa penuh. Lantaran mulai merasa jenuh, Zevan lalu turun dari jendela. Dia mnutup jendela lalu berjalan mendekati meja yang ada di samping ranjangnya. Dia berniat menulis lagu. Tapi setelah mengambil gitar dan duduk beberapa menit, dia tak bisa menulis satu kata pun. Dia tak punya inspirasi. Akhirnya Zevan mem
Zevan berdiri di belakang seorang komposer. Laki-laki itu tampak serius mengedit dan menambahkan efek suara di lagu-lagu yang akan dirilis untuk album ke tiga Evolution.“Eh kayaknya musiknya bagus yang lo edit kemaren deh,” kata Zevan setelah menempelkan headphone ke salah satu telinganya.“Yang mana?” kata Anto, “gue ngedit satu lagu nggak cuma sekali dua kali anjir.”Zevan tertawa. “Yang kemaren sore kalo nggak salah,” kata Zevan.Anto lalu mencari editan yang Zevan maksud di beberapa file yang dia simpan.“Kemaren sore ... kemaren sore,” gumam Anto pelan sambil menggerakkan mouse di tangan kanannya, “nah yang ini bukan?”Zevan mendengarkan lagi suara yang keluar dari headphone dengan seksama. Dia lalu mengangguk-angguk. “Iya yang ini nih,” katanya.“Oke, lo suka yang ini,” kata Anto, “tapi gue harus minta pendapat tiga personel yang lain nih.”“Oke,” sahut Zevan. Dia lalu lalu berjalan keluar ruangan untuk memanggil teman-temannya yang sibuk berkutat dengan alat-alat musik di stud
Rita dan Dania segera turun dari mobil setelah mobil diparkirkan. Keduanya lalu berjalan memasuki butik. Butik itu rupanya cukup luas. Agar prosesnya cepat, Dania dan Rita memutuskan untuk berpencar. Dania menyusuri sisi kanan butik, sementara Sisil menyusuri sisi kiri butik.Setelah mereka berjalan menyusuri butik selama hampir satu jam, mereka bertemu lagi di dekat kasir.“Lo dapet nggak?” tanya Sisil, “gue dapet satu.” Dia menunjukkan baju yang dia dapatkan ke hadapan Dania.“Gue juga dapet satu baju doang,” sahut Dania, “sama.”“Bawahannya nggak ada,” kata Dania.“Bawahannya tuh kayak kain batik itu nggak sih biasanya?” kata Sisil.“Iya bener,” sahut Dania, “semoga di butik kedua entar ada ya lengkap.”Setelah membayar semua pesanan di kasir, keduanya lalu kembali ke mobil.“Ini belangkonnya entar kita beli di Yogyanya aja deh kayaknya,” sahut Sisil sembari menyalakan mobil.“Kalian beneran mau pemotretan ke Yogya?” tanya Dania.Sisil mengangguk. “Iya dong,” sahut Sisil, “anak-ana