Zevan duduk di jendela kamarnya. Kakinya tergantung menyentuh lantai balkon. Dari lantai tiga rumahnya, dia bisa melihat pemandangan malam jalanan di depan rumahnya yang masih padat meski sudah jam sebelas lewat. Terjaga di malam hari seperti ini bukan hal yang baru bagi Zevan. Dia sering merasa susah tidur setiap kali selesai mengisi acara festival musik atau konser. Dia merasa hampa dan kesepian setiap kali haru berpisah dengan Evolutioner dari atas panggung. Orang-orang mungkin berpikir kalau hidup Zevan seru dan selalu menyenangkan. Tapi tidak juga. Dia sama seperti manusia-manusia lain yang bisa merasa sedih setelah merasa gembira. Dia juga bisa merasa kosong setelah merasa penuh. Lantaran mulai merasa jenuh, Zevan lalu turun dari jendela. Dia mnutup jendela lalu berjalan mendekati meja yang ada di samping ranjangnya. Dia berniat menulis lagu. Tapi setelah mengambil gitar dan duduk beberapa menit, dia tak bisa menulis satu kata pun. Dia tak punya inspirasi. Akhirnya Zevan mem
Zevan berdiri di belakang seorang komposer. Laki-laki itu tampak serius mengedit dan menambahkan efek suara di lagu-lagu yang akan dirilis untuk album ke tiga Evolution.“Eh kayaknya musiknya bagus yang lo edit kemaren deh,” kata Zevan setelah menempelkan headphone ke salah satu telinganya.“Yang mana?” kata Anto, “gue ngedit satu lagu nggak cuma sekali dua kali anjir.”Zevan tertawa. “Yang kemaren sore kalo nggak salah,” kata Zevan.Anto lalu mencari editan yang Zevan maksud di beberapa file yang dia simpan.“Kemaren sore ... kemaren sore,” gumam Anto pelan sambil menggerakkan mouse di tangan kanannya, “nah yang ini bukan?”Zevan mendengarkan lagi suara yang keluar dari headphone dengan seksama. Dia lalu mengangguk-angguk. “Iya yang ini nih,” katanya.“Oke, lo suka yang ini,” kata Anto, “tapi gue harus minta pendapat tiga personel yang lain nih.”“Oke,” sahut Zevan. Dia lalu lalu berjalan keluar ruangan untuk memanggil teman-temannya yang sibuk berkutat dengan alat-alat musik di stud
Rita dan Dania segera turun dari mobil setelah mobil diparkirkan. Keduanya lalu berjalan memasuki butik. Butik itu rupanya cukup luas. Agar prosesnya cepat, Dania dan Rita memutuskan untuk berpencar. Dania menyusuri sisi kanan butik, sementara Sisil menyusuri sisi kiri butik.Setelah mereka berjalan menyusuri butik selama hampir satu jam, mereka bertemu lagi di dekat kasir.“Lo dapet nggak?” tanya Sisil, “gue dapet satu.” Dia menunjukkan baju yang dia dapatkan ke hadapan Dania.“Gue juga dapet satu baju doang,” sahut Dania, “sama.”“Bawahannya nggak ada,” kata Dania.“Bawahannya tuh kayak kain batik itu nggak sih biasanya?” kata Sisil.“Iya bener,” sahut Dania, “semoga di butik kedua entar ada ya lengkap.”Setelah membayar semua pesanan di kasir, keduanya lalu kembali ke mobil.“Ini belangkonnya entar kita beli di Yogyanya aja deh kayaknya,” sahut Sisil sembari menyalakan mobil.“Kalian beneran mau pemotretan ke Yogya?” tanya Dania.Sisil mengangguk. “Iya dong,” sahut Sisil, “anak-ana
Dania duduk di meja riasnya sambil memandang fotonya dan Rita yang diambil ketika mereka masih SMA. Foto itu diambil di Lawang Sewu saat mereka sedang melakukan kunjungan wisata. Saat itu, Dania dan Rita masih sangat dekat. Mereka sering pergi ke mana-mana berdua. Bahkan tak jarang Dania menginap di rumah Rita dan juga sebaliknya. Tapi, sekarang semuanya berbeda. Untuk bertemu saja, Dania harus membuat janji.Saat itu, Rita masih menjadi gadis pemalu dan tidak mempunyai pacar. Dania tidak pernah membayangkan kalau lebih dari sepuluh tahun kemudian semua tentang Rita akan berubah seratus delapan puluh derajat. Jujur, saat melihat video di ponsel Fathan, Dania sangat terkejut. Dia tidak menyangka sahabatnya yang dulu pendiam bisa jadi seliar itu.Pikiran Dania buyar saat dia mendengar suara ponselnya. Dia lalu berjalan ke ranjang dan mengambil ponselnya yang tergeletak di atas sana. Rupanya ada chat dari Rita.Rita:Dan, lo lagi free nggak?IshaDania:Iya. Kenapa?Rita:Ngafe yuk!IshaD
Semalam Dania diingatkan Sisil kalau hari ini adalah jadwal pemotretan Evolution yang ada dilakukan di Yogya. Maka pagi setelah Subuh Dania bersiap-siap. Setelah menghabiskan waktu selama hampir satu jam untuk mandi, ganti baju dan sedikit memoles wajah, Dania lalu bergegas menuju garasi mobil.Dania sampai di kediaman Zevan sekitar pukul setengah delapan. Karena sudah terlambat, Dania segera membongkar koper Sisil dan segera memasukkan kostum satu-per satu ke dalam tas sesuai nama personel Evolution. Hal itu dilakukkan agar saat pemotretan nanti mereka tak ricuh karena saling berebut mengambil kostum.Dalam waktu hampir satu jam, Dania berhasil mengemasi semua barang kebutuhan personel Evolution untuk pemotretan. Karena begitu sampai Dania langsung bekerja, sekarang dia kelelahan dan haus.“Sil, gue haus nih,” kata Dania. Dia berbisik pada Sisil yang tengah memberi briefing pada personel Evolution, “dapurnya di sebelah mana ya?”Sisil menghentikan briefingnya sebentar. “Lo dari ruang
Setibanya di hotel, Sisil dan Dania segera meletakkan kopernya. Keduanya lalu kompak melemparkan tubuh di atas kasur.“The real definisi kerja sambil liburan sih ini,” kata Sisil. Dia telentang. Matanya menatap langit-langit hotel.“Oh iya, kan lo bilang ayah Zevan punya bisnis hotel dan properti, nama hotelnya apa?”Tanya Dania penasaran.“Nama hotelnya hotel Bhima,” sahut Sisil.“Kok selama ini kita nggak pernah nginep di hotel itu?” tanya Dania, “kan enak bisa gratis.”Sisil tertawa. “Zevan mana mau,” katanya, “tuh anak gengsinya gede. Dia mana mau pakai subsidi. Apalagi sejak yang mengelola hotel si Endra. Makin nggak mau lah si Zevan.”“Oh iya,” Dania bangkit, “gue tuh heran kenapa sih mereka sering banget ribut?”Sisil mengangkat bahu. “Biasalah dua sodara cowok ribut tuh,” balas Sisil, “anak tetangga gue laki dua juga hampir tiap hari adu jotos mulu.”Dania tak menyahut lagi. Apa yang Sisil katakan mungkin saja benar. Tapi, Dania pikir Zevan seolah seperti membatasi diri dengan
Dania lalu bangkit dan berjalan mendekati sebuah batu yang latar di belakangnya merupakan gedung Bank National Indonesia. Dia duduk di batu itu dan melakukan beberapa pose. Puas dengan pose duduk, dia lalu mencoba pose berdiri dan beberapa pose duduk di trotoar. Dia lalu bergantian memotret Sisil.Selain melakukan foto dengan latar belakang gedung bank BNI, mereka juga melakukan foto dengan latar belakang gedung Bank Indonesia dan juga gedung Pos Inonesia. Setelah foto bergantian, Sisil dan Dania lalu berjalan mendekati personel Evolution yang sedang duduk di sebuah kursi di trotoar. Mereka tampak berebut makan sesuatu.“Kalian tuh masing-masing udah punya gaji gede, udah bisa beli makanan sendiri-sendiri juga masih saja rebutan,” kata Sisil. Dia berkacak pinggang di depan personel Evolution.“Sensasinya enak kalo makan bareng-bareng rebutan gini tahu, Sil,” sahut Jojo. Dia makan sampai pipinya membulat karena penuh dengan makanan.“Bener tuh kata Jojo,” sahut Zevan, “enak makan baren
Jam di dinding ruangan Endra sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Pekerjaan laki-laki itu sebenarnya sudah selesai, tapi dia belum mau beranjak. Selagi menunggu Kara membawakan kopi yang dia pesan, dia malah memikirkan Dania.Entah mengapa meski barubertemu dua kali dengan gadis itu, Endra memilki rasa tertarik yang cukup besar. Seperti kebanyakan laki-laki lain yang tertarik dengan perempuan dari segi fisik dan wajah, Endra juga begitu.Dania memiliki postur tubuh yang ideal. Gadis itu tinggi, ramping, kakinya jenjang dan ya, dia memiliki aset yang cukup menggoda iman. Satu lagi, tentunya Dania cantik. Tapi yang paling membuat Endra tertarik bukan itu. Yang paling membuat Endra tertarik adalah bagaimana cara gadis itu bekerja. Gadis itu tampak ulet dan sepertinya pekerja keras. dia juga tampak baik, polos dan jujur. Kalau saja Endra belum punya sekertaris, dia tidak keberatan kalau Dania jadi sekertaris pribadinya.Pikiran Endra tentang Dania buyar saat ada seseorang yang mengetuk