Share

Bab 04

Author: Nurul Haruna
last update Last Updated: 2021-05-08 07:44:33

Aruna beranjak pelan, mengambil piring dan gelas kotor. Berlari ke dapur, tidak lupa menutup pintu dengan amat pelan. Tidak ingin, membuat Arsen terbangun. Rasa lapar melanda, tanpa peduli sudah tengah malam. Aruna benar-benar makan.

“Sulit bagiku mengatur jam makan, kalau Arsen sulit dibantah.” Pergerakan Aruna selalu tersendat, karena Arsen terus memerintah.

Kini sibuk mencuci semua piring dan gelas kotor, lalu kembali ke kamarnya sendiri. Aruna memilih melanjutkan tidurnya, beruntung tidak ada tugas. Jadi, sedikit bisa merasakan kebebasan dan memanfaatkan waktu luang untuk mengistirahatkan tubuh.

Jarum jam, terus berputar hingga kini menunjukan pukul empat pagi. Biasanya, Aruna akan terbangun pukul lima. Kini sedikit lebih awal, bukan karena lapar lagi. Melainkan ada yang mendekap erat dari belakang. Aruna perlahan berbalik, ternyata Arsen.

Baru sadar, lupa mengunci pintu kamar. Tetapi, seingatnya sudah. Atau mungkin saja, Arsen bisa masuk melalui kunci cadangan. Arsen sedikit terusik, tetapi kembali terlelap dan membenamkan wajahnya di ceruk leher Aruna.

Aruna kembali pasrah, juga membingungkan. Bahkan, kembali terulur untuk mengelus lembut wajah Arsen.

“Terkadang kau sulit dimengerti.”

Aruna masih menatap lekat Arsen begitu pulas tidurnya, lalu teralihkan pada jam dinding tidak terasa sudah menunjukan pukul lima. Dengan perlahan, melepaskan diri dari pelukan Arsen. Untung saja berhasil, tetapi ada sesuatu yang membuat Aruna kikuk.

Mengingat selalu membangunkan Arsen setiap pagi, Aruna yakin Bi Asti kebingungan karena keberadaan Arsen lenyap. Nyatanya, pindah.

“Se-Sejak kapan?” Bi Asti menyipitkan matanya. “Kalian tidak melakukan sesuatu ‘kan!” Walau mereka selalu berseteru—lebih lagi Arsen suka sekali berlaku kasar. Nyatanya, memang menjalin hubungan—alias—pacaran, bukan berarti bisa seenaknya tidur bersama. 

Aruna menggeleng cepat. “Aku tidak tau, kapan dia menyelinap masuk. Intinya, saat bangun sudah tidur di sampingku.” Baru Bi Asti saja, sudah menganggap yang tidak-tidak. Apa lagi kalau ada tamu asing dadakan, bisa-bisa semakin kacau. “Bi, mau anggap Aruna sebagai anak atau keponakan gitu? Tau ‘kan? Arsen memaksaku bekerja seperti yang Bi Asti lakukan, ehm ....” Mendadak sulit melanjutkan maksud dari ucapannya.

Bi Asti menghela napas sejenak. “Bibi paham kok.” Mulai memperlihatkan senyuman tulus. “Tanpa diminta, Aruna juga sudah dianggap sebagai anak loh.”

Aruna lega mendengarnya

Arsen baru terbangun dan hendak keluar dari kamarnya—sementara waktu. Aruna pikir, Arsen langsung bangun dan pindah. Nyatanya, tidak. Aruna bergeser, mengambil cepat seragam sekolah dan masuk ke toilet.

Namun, terpaksa diurungkan saat tangannya dicekal kuat. “A-Apa?” Aruna bingung, karena Arsen menahannya.

“Jangan coba-coba pergi duluan!” Setelahnya, kembali ke kamar sendiri.

Aruna senang mendengarnya, kala maksud Arsen mengajak berangkat bersama. Di satu sisi, kembali tidak berharap lebih. Karena tidak mungkin seorang Arsen selalu kasar padanya, mau mengajak berangkat bersama ke sekolah dengan tulus.

Terbukti, selama perjalanan menuju sekolah. Keheningan lah yang menguasai, dugaan lain berhasil ditebak dengan benar. Kala Arsen menurunkannya di halte yang berdekatan dengan sekolah.

Aruna terus melangkah hingga sudah memasuki area sekolah, ketika ingin pergi ke kelas. Langsung teralihkan sejenak, kala menangkap siluet siswa asing.

“Kau siswa baru?” 

Siswa asing yang mengusik Aruna pun menoleh, mulai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ya, meski terkesan dadakan. Ehm, bisa bantu mencari ruangan kepsek?”

Aruna tertawa sejenak. “Ayo.” Entah apa alasannya. Tetapi, melihat perangainya berhasil membuat Aruna melupakan sejenak masalah—lebih lagi dengan Arsen. Dalam sekejap, Aruna seperti mendapatkan obat penenang secara gratis. 

“Maaf merepotkan,” sahutnya lagi.

Aruna menoleh sembari tersneyum simpul. “Nggak kok, kau kenapa mendadak pindah? Bukannya tanggung ya?” Rasa penasaran mulai menguasai Aruna. “Oh iya, aku Aruna.”

“Brian. Sebenarnya, aku juga berpikir tanggung. Tapi, orang tua dimutasi dadakan mau tidak mau ya ikut pindah.” Terlahir dengan orang tua sibuk kerja, dan selalu dimutasi terus membuat Brian ikut pindah—entah sudah terhitung berapa kali. Beruntung, orang tuanya selalu bisa meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya. Jadi, Brian tidak kesepian—lebih lagi korban broken home.

“Hee gitu.” Aruna berhenti melangkah, karena sudah sampai di ruang kepala sekolah. “Aku ke kelas ya.” Tanpa menunggu balasan dari Brian, Aruna langsung melangkah cepat menuju kelas. Baru sadar, semua siswa sudah berdatangan dan sudah mendekati waktunya bel masuk dibunyikan. 

“Tumben baru nongol?” Tania melirik heran, ditambah lagi tidak menemukan Aruna di perpustakaan. Biasanya, selalu ke sana sebelum ke kelas. Namun sekarang, tidak. “Kesiangan kah?”

Aruna menggeleng. “Tadi mengantar siswa baru dulu.”

Tania mengerutkan kening. “Siswa baru? Di tahun akhir? Dadakan sekali.”

“Iya, aku sempat berbincang kecil. Dia pindah dadakan, karena orang tuanya juga dimutasi dadakan.”

Tania mengangguk saja, langsung duduk kala melihat guru datang.

“Mau temani keliling, sekalian ke kantin?” Brian belum mengenal akrab siswa lain, karena ini hari pertamanya pindah.

Aruna sebenarnya malas, bisa dikatakan efek keseringan di perpustakaan. Demi menghindari Arsen terus saja bertingkah layaknya kekasih pada Desty. Kalau dipikirkan kembali, tidak buruk juga menemani Brian.

Lagi pula, kedatangan Brian menjadi siswa pindahan. Berhasil membuat Aruna yakin, mendapatkan teman baru selain Tania. “Oke.”

Aruna kini berjalan bersama dengan Brian, sesekali menjelaskan—memberitahu sesuatu pada Brian. Lambat laun pembicaraan mereka keluar jalur, niatnya memberitahu soal sekolah dalam sekejap menjadi obrolan seru sebagai teman.

“Kenapa?” Brian merasa, gelagat Aruna mendadak berubah. Padahal tadi, saat menemaninya berkeliling bersikap biasa tanpa ada masalah apapun. Namun sekarang, raut wajahnya seperti memperlihatkan ekspresi ketakutan.

Takut apa?

Aruna menggeleng cepat. “Ayo di sana saja!” ajaknya, sembari mendorong pelan Brian agar cepat sampai di meja paling ujung. Kebetulan di sana satu-satunya meja kosong, beruntung jauh sekali dari tempat Arsen berada—tentunya bersama Desty

Hal yang membuat Aruna terpaku sejenak, tanpa sadar memperlihatkan reaksi ketakutan. Saat memasuki area kantin, tanpa sengaja Aruna melakukan kontak mata langsung dengan Arsen.

“Arsen stop!” Aruna panik melihat Arsen tidak mempedulikan peringatan guru BK yang sudah berhasil menahan Arsen. Bukannya menurut perintah guru BK, Arsen langsung pergi dan Aruna bisa melihat jelas raut wajah Arsen amat emosi.

Aruna langsung mengekor, dan memaksa Arsen untuk menemui guru BK dan menyelesaikan masalahnnya. “Kenapa kau menyerangnya!” Mencoba menghentikan Arsen yang melangkah begitu cepat, dengan mencekal.

Sayangnya, tangannya langsung ditepis kasar sekali oleh Arsen. Namun, tidak mengurungkan niat Aruna. “Arsen!”

“Diam!” bentak Arsen. “Nggak usah ikut campur sialan!” Mendorong kasar Aruna agar menjauh, tidak peduli tatapan siswa lain yang secara langsung melihat perlakuan kasarnya pada Aruna.

Aruna meringis kala bahunya sedikit menghantam dinding, anehnya kembali mengejar Arsen. “Kau harus selesaikan masalahnya!” 

Arsen menulikan diri, terus melangkah cepat. Sepertinya semakin emosi, dan berbalik langsung menepis kasar tangan Aruna lagi. “Kau dengar tidak? Nggak usah ikut campur masalahku!”

“Ta—”

Arsen kembali mendorong kasar Aruna hingga tersudut pada dinding. “Kubilang diam ya diam!” Arsen meninju keras dinding.

Namun, yang Aruna rasakan kalau Arsen memang berniat meninjunya. Selalu saja, berakhir dindin lain tepat di sebelah kepalanya. Takut? Tentu saja, apa lagi Arsen kembali menjadikan pelampiasan emosinya saat di sekolah.

Aruna benar-benar berhasil melupakan masalah yang tiba-tiba melanda. Sepertinya, tidak berlangsung lama. Kala ponselnya bergetar, Aruna terpaku sejenak setelah melihat pesan singkat.

Lalu menoleh kikuk pada Brian. “Aku ke kelas ya?”

Lagi-lagi tanpa menunggu jawaban Brian, Aruna sudah lebih dulu pergi. Nyatanya bukan ke kelas, melainkan halaman belakang sekolah. Aruna mendapatkan pesan singkat dari Tania yang sibuk dengan Devan—sang kekasih. Mendadak melihat Arsen terlibat perseteruan dengan siswa kelas lain.

Alasannya benar-benar tidak masuk akal. Tania mengatakan, ada siswa yang tidak sengaja menabrak. Ya menabrak, tetapi reaksi Arsen emosi sekali. Benar saja, saat sampai siswa yang tidak memiliki kesalahan apapun babak belur.

“Salahkah? Aku hanya mau mengingatkanmu untuk menyelesaikan masalah! Lagi juga, dia tidak sengaja menabrakmu malah dihajar hingga babak belur!”

Arsen mencengkeram kuat wajah Aruna. “Kau tidak tuli ‘kan?” Tanpa mempedulikan ringisan Aruna. “Sekali kubilang jangan ikut campur, kau harus mendengarnya!” Kembali mendorong kasar Aruna dan pergi begitu saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Contradiction   Bab 43 (END)

    Masih dalam hari bebas, tetapi satu dari pasangan baru. Memilih menyibukkan diri, bukan berarti tidak mau menyenangkan diri, mengingat harusnya bulan madu—eh!Arsen ke kantor untuk mengurus sesuatu, sedangkan Aruna berdiam diri. Sekaligus, ikut jemput dan mengajak jalan Daffa."Mau ke mana lagi, hm?"Yang ditanya tidak menjawab, justru terus menarik Aruna. Intinya sih, Daffa yang menjadi penunjuk."Papa masih lama ya?" Daffa benar-benar masih ketergantungan terhadap Arsen.Aruna tidak mempermasalahkan, justru menerima dan memahami. Cuma, juga mau membiasakan Daffa agar mengurangi rasa takut terhadap orang lain. Mengingat, mulai tumbuh dewasa. Sebentar lagi, masuk sekolah dasar."Lagi dijalan, oh iya kan belum makan. Sekarang, berenti dulu mainnya, oke?"Daffa menggeleng. "Nanti!"Aruna gemas sendiri, bukan berarti akan menuruti. Buktinya, langsung menggendong. "Yok, makan dulu.""Mamah!"Awalnya aneh, tetapi membiasakan. Mengingat, Daffa anak Arsen walau hanya anak angkat. Otomatis, an

  • Contradiction   Bab 42

    Di saat membuka mata, yang menjadi objek utama wajah terlelap Arsen. Aruna iseng mencubit tanpa peduli mengganggu, yang dipikirannya saat ini.Masih mimpi, atau nyata?Terkadang, selalu berakhir halusinasi. Seakan memang belum waktunya untuk semua keinginannya terkabulkan."Apa sih?" Arsen terusik, karena masih ngantuk memilih berhenti bertanya alasan, dirinya menjadi korban pencubitan.Aruna tidak menjawab, bahkan tidak merasa bersalah karena sudah mengusik tidur Arsen."Ng—"Tidak menyangka akan mendapat serangan di pagi hari, ah sebenarnya sih sudah siang. Mengingat, mereka berdua diberi waktu bebas. Yap, bebas—alias bulan madu abal-abal—eh!Karena tidak pergi ke manapun, hanya di penginapan saja. Intinya, mereka berdua malas."Kau masih mengira mimpi kah?""Kau sendiri, bukannya duluan yang menganggap begitu?" Aruna tidak mau kalah, di satu sisi berusaha menyingkirkan Arsen masih betah menindihnya. "Minggir! Aku mau mandi!""Nggak!" Arsen bebal, ah lebih tepat sih ingin memanfaatka

  • Contradiction   Bab 41

    Arsen mematung sejenak di ambang pintu kamar, pandangannya terus tertuju pada interaksi Daffa bersama Aruna. Sebenarnya, merasa tidak percaya juga kalau sedikit lagi bisa bersama. Memang perlahan bisa, akan tetapi kenapa terasa sulit.“Kenapa?”Arsen tersentak, tidak menyadari Aruna sudah berada di hadapannya. Efek terkejut, dalam sekejap sulit untuk berkata sekadar membalas. Pada akhirnya, hanya menggeleng dan memilih mendekati Daffa yang sibuk sendiri.“Kau aneh.” Aruna berkata sembari mengekor. “Nggak lagi ‘kan?” Walau tidak to the point, Aruna yakin Arsen paham maksud dari pertanyaannya ini.Sebelum mendapat balasan, lebih dulu terganggu oleh suara bel penginapan. Arsen sudah duluan untuk melihat siapa yang datang dan ternyata Pak Nuga.“Sungguhan bersama kah?” Nyatanya, Pak Nuga tidak tahu apapun soal Arsen akan mengajak Aruna menjadi satu penginapan.“Siapa suruh lupa.” Arsen membalas cepat dan terkesan santai, kembali mendekati Daffa.Pak Nuga terkekeh, merasakan perbedaan dari

  • Contradiction   Bab 40

    "Papa mana?" Daffa baru saja dijemput supir pribadi, pulang dari TK ya ke kantor. Tidak mungkin dibiarkan sendiri di penginapan."Lagi pergi sebentar, nggak lama lagi ke sini kok." Aruna masih tidak menyangka, Arsen mengurus anak.Daffa mengembungkan pipi, tak lama melendot pada Aruna. Yap, benar-benar terbiasa."Laper?" Aruna sengaja bertanya, kebetulan jam istirahat hampir tiba. Arsen belum balik.Daffa mengangguk, semakin melendot hingga minta digendong. Seakan tidak mau diturunkan, buktinya memeluk erat leher Aruna. Bahkan, iseng mendusel."Kenapa, hm?" Setiap kali bersama Daffa, teringat Arya saat masih kecil sering manja padanya. "Ngantuk?"Daffa menggeleng."Terus kenapa?""Mama?" Daffa mendadak mempertanyakan soal itu lagi, kali ini Aruna yang menjadi target. "Tante punya mama?"Aruna mendadak kikuk. "Y-ya." Aneh dan tertegun, Daffa dari kecil sudah ditinggal kedua orang tuanya, bahkan diabaikan kerabat. "Nggak ada mama, tapi ada papa yang sayang Daffa 'kan?""Iya, tapi mau mam

  • Contradiction   Bab 39

    Arsen semakin emosian, semenjak pengakuan sekaligus permintaan maaf Ardian. Terus memanas, karena berita megenai Ardian menyerahkan diri dan menjelaskan semua perbuatannya. Banyak rekan atau pun karyawan yang menjadikan bahan gunjingan.Arsen membiarkan, karena memang kenyataan. Oh iya, ada satu hal yang tidak pernah diduga. Tepat sebelum Ardian ditangkap, ini hanya karena kasus penculikan Daffa. Kalau kematian ibunya, memang karena bunuh diri. Kesalahan Ardian, karena suka melakukan hal kasar dan memberi tekanan terhadap ibunya. Memang menjadi kasus. Intinya berlapis."Kalo belum tenang, yang ada malah membuat Daffa takut loh." Aruna sedari tadi berada di ruang kerja Arsen, tepatnya sih mengawasi dan membantu.Pasalnya, konsentrasi Arsen buyar dalam pekerjaan. Jadi, harus dipantau dan dibantu."Ayahmu benar-benar menyesal." Aruna sengaja meyakinkan, berharap juga Arsen membaik dengan Ardian.Arsen tersenyum getir. "Kenapa baru sekarang dia mengakui dan menyerahkan diri? Kau tau? Saat

  • Contradiction   Bab 38

    Pukul sepuluh malam, kala itu Aruna masih belum mengantuk. Makanya, memilih santai dengan camilan dan fokus siaran di televisi.Seketika terusik, kala ada yang membunyikan bel penginapannya. Akan tetapi, tidak berlangsung lama. Aruna hafal si pelaku adalah pemilik penginapan sebelah, siapa lagi kalau bukan Arsen."Kau kenapa?" Aruna heran, habisnya Arsen muncul wajahnya kusut sekali.Arsen tidak menjawab, malah mendekatkan diri pada Aruna dan meringkuk. Bahkan, sudah merangkul erat pinggang Aruna.Racauan aneh, tidak begitu jelas mulai dilontarkan Arsen. Saat itu juga, Aruna merasa Arsen kacau persis dulu."Kenapa, hm?" Aruna benar-benar mengurus Arsen lagi.Arsen belum mau menjelaskan kekacauan mendadaknya ini. Aruna sendiri pasrah, membiarkan Arsen terus saja meringkuk dan melesak di dekapannya."Daffa sama siapa?" Takutnya, kalau Arsen di sini. Nanti Daffa sendirian."Paman." Arsen kali ini menjawab, kemudian meringkuk lagi. Hingga menuturkan sesuatu yang berhasil membuat Aruna paha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status