Aruna beranjak pelan, mengambil piring dan gelas kotor. Berlari ke dapur, tidak lupa menutup pintu dengan amat pelan. Tidak ingin, membuat Arsen terbangun. Rasa lapar melanda, tanpa peduli sudah tengah malam. Aruna benar-benar makan.
“Sulit bagiku mengatur jam makan, kalau Arsen sulit dibantah.” Pergerakan Aruna selalu tersendat, karena Arsen terus memerintah.Kini sibuk mencuci semua piring dan gelas kotor, lalu kembali ke kamarnya sendiri. Aruna memilih melanjutkan tidurnya, beruntung tidak ada tugas. Jadi, sedikit bisa merasakan kebebasan dan memanfaatkan waktu luang untuk mengistirahatkan tubuh.Jarum jam, terus berputar hingga kini menunjukan pukul empat pagi. Biasanya, Aruna akan terbangun pukul lima. Kini sedikit lebih awal, bukan karena lapar lagi. Melainkan ada yang mendekap erat dari belakang. Aruna perlahan berbalik, ternyata Arsen.Baru sadar, lupa mengunci pintu kamar. Tetapi, seingatnya sudah. Atau mungkin saja, Arsen bisa masuk melalui kunci cadangan. Arsen sedikit terusik, tetapi kembali terlelap dan membenamkan wajahnya di ceruk leher Aruna.Aruna kembali pasrah, juga membingungkan. Bahkan, kembali terulur untuk mengelus lembut wajah Arsen.“Terkadang kau sulit dimengerti.”Aruna masih menatap lekat Arsen begitu pulas tidurnya, lalu teralihkan pada jam dinding tidak terasa sudah menunjukan pukul lima. Dengan perlahan, melepaskan diri dari pelukan Arsen. Untung saja berhasil, tetapi ada sesuatu yang membuat Aruna kikuk.Mengingat selalu membangunkan Arsen setiap pagi, Aruna yakin Bi Asti kebingungan karena keberadaan Arsen lenyap. Nyatanya, pindah.“Se-Sejak kapan?” Bi Asti menyipitkan matanya. “Kalian tidak melakukan sesuatu ‘kan!” Walau mereka selalu berseteru—lebih lagi Arsen suka sekali berlaku kasar. Nyatanya, memang menjalin hubungan—alias—pacaran, bukan berarti bisa seenaknya tidur bersama. Aruna menggeleng cepat. “Aku tidak tau, kapan dia menyelinap masuk. Intinya, saat bangun sudah tidur di sampingku.” Baru Bi Asti saja, sudah menganggap yang tidak-tidak. Apa lagi kalau ada tamu asing dadakan, bisa-bisa semakin kacau. “Bi, mau anggap Aruna sebagai anak atau keponakan gitu? Tau ‘kan? Arsen memaksaku bekerja seperti yang Bi Asti lakukan, ehm ....” Mendadak sulit melanjutkan maksud dari ucapannya.Bi Asti menghela napas sejenak. “Bibi paham kok.” Mulai memperlihatkan senyuman tulus. “Tanpa diminta, Aruna juga sudah dianggap sebagai anak loh.”Aruna lega mendengarnyaArsen baru terbangun dan hendak keluar dari kamarnya—sementara waktu. Aruna pikir, Arsen langsung bangun dan pindah. Nyatanya, tidak. Aruna bergeser, mengambil cepat seragam sekolah dan masuk ke toilet.Namun, terpaksa diurungkan saat tangannya dicekal kuat. “A-Apa?” Aruna bingung, karena Arsen menahannya.“Jangan coba-coba pergi duluan!” Setelahnya, kembali ke kamar sendiri.Aruna senang mendengarnya, kala maksud Arsen mengajak berangkat bersama. Di satu sisi, kembali tidak berharap lebih. Karena tidak mungkin seorang Arsen selalu kasar padanya, mau mengajak berangkat bersama ke sekolah dengan tulus.Terbukti, selama perjalanan menuju sekolah. Keheningan lah yang menguasai, dugaan lain berhasil ditebak dengan benar. Kala Arsen menurunkannya di halte yang berdekatan dengan sekolah.Aruna terus melangkah hingga sudah memasuki area sekolah, ketika ingin pergi ke kelas. Langsung teralihkan sejenak, kala menangkap siluet siswa asing.“Kau siswa baru?” Siswa asing yang mengusik Aruna pun menoleh, mulai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ya, meski terkesan dadakan. Ehm, bisa bantu mencari ruangan kepsek?”Aruna tertawa sejenak. “Ayo.” Entah apa alasannya. Tetapi, melihat perangainya berhasil membuat Aruna melupakan sejenak masalah—lebih lagi dengan Arsen. Dalam sekejap, Aruna seperti mendapatkan obat penenang secara gratis. “Maaf merepotkan,” sahutnya lagi.Aruna menoleh sembari tersneyum simpul. “Nggak kok, kau kenapa mendadak pindah? Bukannya tanggung ya?” Rasa penasaran mulai menguasai Aruna. “Oh iya, aku Aruna.”“Brian. Sebenarnya, aku juga berpikir tanggung. Tapi, orang tua dimutasi dadakan mau tidak mau ya ikut pindah.” Terlahir dengan orang tua sibuk kerja, dan selalu dimutasi terus membuat Brian ikut pindah—entah sudah terhitung berapa kali. Beruntung, orang tuanya selalu bisa meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya. Jadi, Brian tidak kesepian—lebih lagi korban broken home.“Hee gitu.” Aruna berhenti melangkah, karena sudah sampai di ruang kepala sekolah. “Aku ke kelas ya.” Tanpa menunggu balasan dari Brian, Aruna langsung melangkah cepat menuju kelas. Baru sadar, semua siswa sudah berdatangan dan sudah mendekati waktunya bel masuk dibunyikan. “Tumben baru nongol?” Tania melirik heran, ditambah lagi tidak menemukan Aruna di perpustakaan. Biasanya, selalu ke sana sebelum ke kelas. Namun sekarang, tidak. “Kesiangan kah?”Aruna menggeleng. “Tadi mengantar siswa baru dulu.”Tania mengerutkan kening. “Siswa baru? Di tahun akhir? Dadakan sekali.”“Iya, aku sempat berbincang kecil. Dia pindah dadakan, karena orang tuanya juga dimutasi dadakan.”Tania mengangguk saja, langsung duduk kala melihat guru datang.“Mau temani keliling, sekalian ke kantin?” Brian belum mengenal akrab siswa lain, karena ini hari pertamanya pindah.Aruna sebenarnya malas, bisa dikatakan efek keseringan di perpustakaan. Demi menghindari Arsen terus saja bertingkah layaknya kekasih pada Desty. Kalau dipikirkan kembali, tidak buruk juga menemani Brian.Lagi pula, kedatangan Brian menjadi siswa pindahan. Berhasil membuat Aruna yakin, mendapatkan teman baru selain Tania. “Oke.”Aruna kini berjalan bersama dengan Brian, sesekali menjelaskan—memberitahu sesuatu pada Brian. Lambat laun pembicaraan mereka keluar jalur, niatnya memberitahu soal sekolah dalam sekejap menjadi obrolan seru sebagai teman.“Kenapa?” Brian merasa, gelagat Aruna mendadak berubah. Padahal tadi, saat menemaninya berkeliling bersikap biasa tanpa ada masalah apapun. Namun sekarang, raut wajahnya seperti memperlihatkan ekspresi ketakutan.Takut apa?Aruna menggeleng cepat. “Ayo di sana saja!” ajaknya, sembari mendorong pelan Brian agar cepat sampai di meja paling ujung. Kebetulan di sana satu-satunya meja kosong, beruntung jauh sekali dari tempat Arsen berada—tentunya bersama DestyHal yang membuat Aruna terpaku sejenak, tanpa sadar memperlihatkan reaksi ketakutan. Saat memasuki area kantin, tanpa sengaja Aruna melakukan kontak mata langsung dengan Arsen.“Arsen stop!” Aruna panik melihat Arsen tidak mempedulikan peringatan guru BK yang sudah berhasil menahan Arsen. Bukannya menurut perintah guru BK, Arsen langsung pergi dan Aruna bisa melihat jelas raut wajah Arsen amat emosi.Aruna langsung mengekor, dan memaksa Arsen untuk menemui guru BK dan menyelesaikan masalahnnya. “Kenapa kau menyerangnya!” Mencoba menghentikan Arsen yang melangkah begitu cepat, dengan mencekal.Sayangnya, tangannya langsung ditepis kasar sekali oleh Arsen. Namun, tidak mengurungkan niat Aruna. “Arsen!”“Diam!” bentak Arsen. “Nggak usah ikut campur sialan!” Mendorong kasar Aruna agar menjauh, tidak peduli tatapan siswa lain yang secara langsung melihat perlakuan kasarnya pada Aruna.Aruna meringis kala bahunya sedikit menghantam dinding, anehnya kembali mengejar Arsen. “Kau harus selesaikan masalahnya!” Arsen menulikan diri, terus melangkah cepat. Sepertinya semakin emosi, dan berbalik langsung menepis kasar tangan Aruna lagi. “Kau dengar tidak? Nggak usah ikut campur masalahku!”“Ta—”Arsen kembali mendorong kasar Aruna hingga tersudut pada dinding. “Kubilang diam ya diam!” Arsen meninju keras dinding.Namun, yang Aruna rasakan kalau Arsen memang berniat meninjunya. Selalu saja, berakhir dindin lain tepat di sebelah kepalanya. Takut? Tentu saja, apa lagi Arsen kembali menjadikan pelampiasan emosinya saat di sekolah.Aruna benar-benar berhasil melupakan masalah yang tiba-tiba melanda. Sepertinya, tidak berlangsung lama. Kala ponselnya bergetar, Aruna terpaku sejenak setelah melihat pesan singkat.Lalu menoleh kikuk pada Brian. “Aku ke kelas ya?”Lagi-lagi tanpa menunggu jawaban Brian, Aruna sudah lebih dulu pergi. Nyatanya bukan ke kelas, melainkan halaman belakang sekolah. Aruna mendapatkan pesan singkat dari Tania yang sibuk dengan Devan—sang kekasih. Mendadak melihat Arsen terlibat perseteruan dengan siswa kelas lain.Alasannya benar-benar tidak masuk akal. Tania mengatakan, ada siswa yang tidak sengaja menabrak. Ya menabrak, tetapi reaksi Arsen emosi sekali. Benar saja, saat sampai siswa yang tidak memiliki kesalahan apapun babak belur.“Salahkah? Aku hanya mau mengingatkanmu untuk menyelesaikan masalah! Lagi juga, dia tidak sengaja menabrakmu malah dihajar hingga babak belur!”Arsen mencengkeram kuat wajah Aruna. “Kau tidak tuli ‘kan?” Tanpa mempedulikan ringisan Aruna. “Sekali kubilang jangan ikut campur, kau harus mendengarnya!” Kembali mendorong kasar Aruna dan pergi begitu saja.“Kenapa kau masih mengejar dan memaksanya agar mau menyelesaikan masalahnya?” Brian kembali merasa aneh dengan Aruna, langsung mengejar dan mengamati dari jauh. Jujur, kesal melihat Aruna dibalas dengan perlakuan kasar. Padahal, bermaksud baik.“Dia akan semakin bermasalah.” Aruna tidak mau Arsen terus bermasalah dan bisa mengancam kelulusannya, lebih lagi sering bolos dan tadi menyerang siswa lain tanpa alasan.Aruna berhasil menemukan keberadaan Arsen, ya di halaman belakang sekolah. Kini tengah duduk bersandar, sembari meremas kencang kepalanya sendiri—kalau diperhatikan sesekali menjambak kasar surainya.Mencoba mengikis jarak, berharap emosi Arsen sudah reda. Setidaknya, bisa membicarakan dengan baik agar Arsen mau menyelesaikan masalah. Menurutnya, terkesan sepele tetapi kenapa diperbesar. Lebih lagi, Arsen membalasnya begitu parah.Aruna membeku, kala Arsen meliriknya dengan sorot mata amat dingin. Detik itu juga tahu, emosi Arsen belum reda dan terakhir—tidak ingin diganggu.“S
Arsen seakan tahu kalau Aruna mencoba kabur darinya, ya sejak awal membuntuti Aruna yang menarik paksa Tania hingga benar-benar berhasil pulang.Arsen berdecih, juga memukul keras kemudi mobil.Terdiam sejenak, hingga berhasil tenang lagi. Kemudian menghidupkan mesin mobil dan memarkirkannya dekat rumah Aruna, Arsen entah ingin berbuat apa yang jelas sudah menapakkan kakinya di depan pintu rumah. Mulai mengetuk pintu.Arina yang menyambut kedatangannya. “Kalau boleh tau masalah kalian apa?” “Hanya masalah kecil.” Bagi Arina, jawaban Arsen terkesan santai sekali. Berbanding terbalik dengan kekacauan yang dialami Aruna, hingga menangis kencang dalam pelukannya.“Yakin?” Arina mulai menatap selidik. “Tapi, kenapa Aruna seperti lelah sendiri, sedangkan kau santai sekali.”Arsen terpaku sejenak, dan menghela napas perlahan. “Itu sebabnya, aku mencoba menyelesaikan masalahnya.”Arina masih menatap curiga, tetapi kali ini membiarkan Arsen menemui Aruna. “Boleh meminta satu hal?”Arsen menge
Keesokkan harinya, tepat di jam istirahat sekolah. Aruna kembali terlihat bersama Brian. Ya, pertama kalinya ada teman sehobi—kutu buku. Di satu sisi keberadaan Brian benar-benar bisa melupakan masalah yang dihadapinya saat ini.Lagi-lagi tidak disadari olehnya, meski belum lama kenal denan Brian—notabene sebagai murid baru dadakan. Obrolan kecil yang dimulai Brian berhasil membuat Aruna mengekspresikan keceriaannya.Habisnya, selalu saja berdiam diri di perpustakaan ataupun kelas—sendirian, apapun serba sendirian. Pengecualian, ada Tania. Sekalinya keluar, sekadar menghilangkan bosan karena sendirian. Sorot mata Aruna, terkesan selalu sendu dan hampa. Yang selalu dilihatnya tanpa sengaja—dan itu hampir di setiap harinya—keakraban Arsen dengan Desty.“Kok bengong?” Aruna tersentak, seingatnya tenggelam dalam obrolan kecil Brian yang begitu menghangatkan suasana. Entah kenapa, dalam sekejap tergantikan ingatan lebih tepatnya sih berharap, Arsen lah yang berada di sisinya dan melakukan
Lega, yang selama ini diharapkannya mulai terasa. Lebih lagi setelah meluapkan emosi—rasa sakit yang terpendam cukup lama pada orangnya langsung."Kayanya Brian benar, aku terlalu bucin pada Arsen."Setelah mengatakan, akhiri hubungan artinya putus. Rasa sakit yang berbeda mulai menyerangnya.Ya, Aruna masih mencintai Arsen. Namun, sadar lambat laun menjadi perasaan sepihak. Karena Arsen, akrab dengan Desty.Aruna berhenti melangkah, kala berpapasan dengan Brian. Bahkan, mengamati sejenak. Takutnya, Arsen berbuat buruk. Mengingat, tadi dirinya langsung berlari dan menemui Tania."Sudah selesai berantemnya?" Brian malah iseng."Nggak lucu!" Aruna sebal dengan Brian, padahal khawatir kalau Arsen akan melukai Brian.Brian tertawa sejenak. "Pacarmu itu, nggak melalukan apapun kok." Seakan tahu, apa yang ingin dipastikan oleh Aruna terhadapnya. "Jadi, gimana? Makin belibet, atau mulai membaik?"Aruna berdecak kesal. "Dua-duanya mungkin!"Brian menggelengkan kepala sejenak, berusaha menahan
Tidak terasa waktu part time Aruna hampir habis, kini masih sibuk membersihkan meja kotor dan lainnya. Kemudian berganti pakaian dan bersiap untuk pulang. Mendadak terpaku, karena menemukan keberadaan seseorang—yang saat ini sangat tidak ingin ditemui Aruna.Arsen lagi, Aruna lega tidak didekati—ralat—dipaksa lagi. Lantas, kenapa malah menjadi diawasi?“Ah ini memuakkan!” Aruna pergi begitu saja, setelah tanpa sengaja melakukan kontak mata langsung dengan Arsen di seberang. Seketika tersentak, karena mendapati Arsen ada di hadapannya!Tunggu sejak kapan?Aruna ribet sendiri, tetapi langsung memberi jarak. Namun, ada hal lain yang menarik perhatiannya. Ada bau tembakau dari Arsen, mengingat Aruna benci dengan rokok.“Kau sepertinya, merasa sudah lepas dariku ya?” Arsen mulai berbicara, bahkan mengeluarkan kembali sebatang rokok dan menyalakannya. “Terlihat ingin sekali lepas kah?”Aruna sempat terpaku, sesekali menutup hidung karena benci asap rokok. “Tentu aja, mana ada orang tahan den
Seketika tersentak saat Aruna meletakan secangkir kopi hitam—panas di hadapannya, Brian mendadak sebal sendiri malah melamun. Takut, gelagatnya ini malah membingungkan bagi Aruna.“Kenapa sih?” Benar saja, Aruna terusik dan menyipitkan matanya. “Melamun terus kesambet loh!”“Dih apa sih!” Brian terkekeh pelan. “Dah, lanjut kerja sana. Aku akan menunggu sampai selesai—di sini.”Aruna hanya memberi kode ‘oke’ setelahnya pergi melayani pelanggan lain. Sebenarnya, Aruna heran lagi. Tadi merasa kosong, mendadak tidak lagi saat Brian datang.Apa mungkin, aku mulai menerima perlakuan lembutnya? Ibarat, proses mencoba membalas perasaannya?Aruna senang bisa kenal dengan Brian, hanya saja takut—takut membuatnya menjadi pelampiasan apa lagi setelah berhasil bebas dari Arsen. Itu sebabnya, Aruna memilih belum menjawab. Lagi pula, pusing memikirkan soal cinta.Tidak terasa waktu part time, telah usai. Sesuai janji, Aruna menerima ajakan Brian. Kini, tengah berjalan berdua entah ke mana. Hingga akh
Tidak terasa telah di penghujung kegiatan sekolah. Tetapi, Aruna terlihat sendirian dan kini masih menunggu angkutan umum. Kebetulan hari ini bukan jadwal part time-nya, sesekali mengaktifkan sejenak ponsel untuk melihat jam, kemudian menonaktifkan dan menyimpannya lagi.Hingga terusik sesuatu hal, melihat Arsen melintas entah ke mana. Aruna agak heran, tumben Arsen tidak membawa kendaraan pribadi?Apa sih! Kenapa memikirkan lagi?Aruna pusing sendiri, mencoba melupakan tetap saja kembali terusik saat melihat keberadaan Arsen. “Ah lupakan! Ingat ke tujuan barumu mencoba menerima Brian!”Arsen sadar akan keberadaan Aruna, yang pasti memang tidak ada niat mendekat. Kakinya terus melangkah, menuju tempat—sarang sekumpulan orang bermasalah. Ya, Arsen ingin melampiaskan emosi.Bisa dikatakan, ini pertama kalinya Arsen ingin mengacau. Selebihnya, hanya melintas dan mendadak bergabung dengan mereka.“Apa-apaan ka—” Wajahnya lebih dulu terhantam tinjuan amat keras, dan serangan beruntun lainny
Arsen terbangun dari tidurnya, kini tengah duduk di tepi ranjang sembari memijit pelipis—terkadang berdecih kesal. Muak karena demam dadakan, lalu terusik saat ada semangkuk makanan di atas meja, obat, dan juga setumpuk tugas dari wali kelas.Aruna? Setelah melihat Arsen terlelap, langsung melepaskan diri dan pulang.“Dia benar-benar bahagia ya?” Arsen tersenyum getir, mulai melangkah lambat menuju meja belajar. Menatap sejenak, ke arah makanan yang dibuat Aruna. Tetap akan dimakan, lagi pun semenjak Bi Asti izin jarang sekali makan—tepatnya lupa atau mungkin yang lebih parah nafsu makannya lenyap.Arsen menarik napas dan membuangnya perlahan, yang dilakukannya saat ini kembali meringkuk.Sementara itu, Aruna terlihat sudah berada di rumah. Agak kikuk, saat pulang tadi mendapat tatapan selidik. Karena pulang terlambat dan itu sendirian, sudah gitu dirinya saat ini memang tidak ada jadwal part time. Jadi, sulit untuk memberi alasan.Hingga akhirnya, Aruna mengatakan dengan jujur. Diberi