Di saat membuka mata, yang menjadi objek utama wajah terlelap Arsen. Aruna iseng mencubit tanpa peduli mengganggu, yang dipikirannya saat ini.Masih mimpi, atau nyata?Terkadang, selalu berakhir halusinasi. Seakan memang belum waktunya untuk semua keinginannya terkabulkan."Apa sih?" Arsen terusik, karena masih ngantuk memilih berhenti bertanya alasan, dirinya menjadi korban pencubitan.Aruna tidak menjawab, bahkan tidak merasa bersalah karena sudah mengusik tidur Arsen."Ng—"Tidak menyangka akan mendapat serangan di pagi hari, ah sebenarnya sih sudah siang. Mengingat, mereka berdua diberi waktu bebas. Yap, bebas—alias bulan madu abal-abal—eh!Karena tidak pergi ke manapun, hanya di penginapan saja. Intinya, mereka berdua malas."Kau masih mengira mimpi kah?""Kau sendiri, bukannya duluan yang menganggap begitu?" Aruna tidak mau kalah, di satu sisi berusaha menyingkirkan Arsen masih betah menindihnya. "Minggir! Aku mau mandi!""Nggak!" Arsen bebal, ah lebih tepat sih ingin memanfaatka
Masih dalam hari bebas, tetapi satu dari pasangan baru. Memilih menyibukkan diri, bukan berarti tidak mau menyenangkan diri, mengingat harusnya bulan madu—eh!Arsen ke kantor untuk mengurus sesuatu, sedangkan Aruna berdiam diri. Sekaligus, ikut jemput dan mengajak jalan Daffa."Mau ke mana lagi, hm?"Yang ditanya tidak menjawab, justru terus menarik Aruna. Intinya sih, Daffa yang menjadi penunjuk."Papa masih lama ya?" Daffa benar-benar masih ketergantungan terhadap Arsen.Aruna tidak mempermasalahkan, justru menerima dan memahami. Cuma, juga mau membiasakan Daffa agar mengurangi rasa takut terhadap orang lain. Mengingat, mulai tumbuh dewasa. Sebentar lagi, masuk sekolah dasar."Lagi dijalan, oh iya kan belum makan. Sekarang, berenti dulu mainnya, oke?"Daffa menggeleng. "Nanti!"Aruna gemas sendiri, bukan berarti akan menuruti. Buktinya, langsung menggendong. "Yok, makan dulu.""Mamah!"Awalnya aneh, tetapi membiasakan. Mengingat, Daffa anak Arsen walau hanya anak angkat. Otomatis, an
"Kau sepertinya, merasa sudah lepas dariku ya?" Arsen mulai berbicara, bahkan mengeluarkan kembali sebatang rokok dan menyalakannya. "Terlihat ingin sekali lepas kah?"Aruna sempat terpaku, sesekali menutup hidung karena benci asap rokok. "Tentu aja, mana ada orang tahan dengan kelakukan kasar dari lelaki sepertimu!"Arsen terkekeh, dan melirik sinis. "Nggak tahan, tapi kenapa kau suka denganku?"Lagi-lagi Aruna mematung, kemudian menggeleng dan mendorong kasar Arsen agar menyingkir. Namun, saat berhasil langkah kakinya tersendat saat ada satu tangan yang melingkarinya dengan erat."Kau mau bebas silahkan, tapi ada satu hal dan ini sekali aja.""Kau mau apa? Kenapa selalu aku yang dijadikan pelampiasan emosi?" Aruna berbalik dan memberanikan diri menatap Arsen secara langsung.Arsen belum mau menjawab, kembali menghirup rokok dan mengembuskan asapnya."Arsen!" Aruna muak."Karena aku suka melihatmu menderita mungkin." Arsen berkata santai, bahkan terkekeh.***Di mata semua orang, mere
“Sepertinya, bagiku memang sulit untuk mendapatkannya ya?” Aruna melirik sejenak ke arah Arsen, benar-benar tidak mempedulikan kehadirannya. Aruna tidak mengerti, Arsen seakan menganggap dirinya tidak ada. Lantas, kenapa dirinya dijadikan kekasih? Kalau terus saja diabaikan, dan memilih meluangkan waktu berdua dengan yang lain?Aruna menghela napas sejenak, mulai melangkah pergi dari tempat mereka berdua bercengkerama.Tenangkan dirimu, Aruna!Arsen siswa dengan temperamen buruk, selalu angkuh pada siapa pun. Tidak suka diatur, itu sebabnya mudah sekali membantah. Terkadang, ada masanya selalu bermasalah dengan siswa satu sekolah atau sekolah lain.Membuatnya dianggap siswa berbahaya, setiap kali diusik lebih lagi emosinya terpancing. Berakhir luka parah, yang paling buruk koma. Aruna sebagai status kekasih Arsen, meskipun hampir tidak pernah bersama dengan Arsen di sekolah. Ada masanya, satu guru meminta agar dirinya mengingatkan atau membantu mengubah Arsen—menjadi pribadi yang lebi
Aruna terbangun lebih dulu, ternyata sudah ada Bi Asti tengah sibuk membersihkan seisi rumah, sesekali menyempatkan diri untuk menyiapkan bahan makanan. “Tuan muda, masih kasar ya?” bisik Bi Asti.Aruna terpaku sejenak, tidak terkejut juga karena Bi Asti selalu melihat dirinya terlibat perseteruan dengan Arsen. Berakhir mengalah, dari pada emosi Arsen semaki meluap dan takut hal di luar akal kembali dilakukannya.“Ya, begitulah.” Aruna membalas dengan nada lirih. “Bi, terkadang aku berharap kalau Arsen tidak kasar dan emosian lagi.”Bi Asti tertegun mendengarnya, sengaja mengulurkan tangan untuk mengelus lembut kepala Aruna. “Berusaha, meski butuh waktu yang lama. Kalau memang Aruna lelah, tidak ada yang melarang untuk berhenti melakukannya.”“Memang tidak, tapi akunya yang tidak bisa menentang. Malah ketakutan duluan, Bi.” Sarapan sudah jadi, Aruna kembali ke kamar untuk bersiap. Aruna memilih makan di kantin sekolah, itu sebabnya memilih berangkat duluan sebelum Arsen keluar—waktu s
Tepat bel istirahat dibunyikan, Aruna niatnya terpejam sebentar malah kebablasan. Terbukti, Tania yang sedari tadi memastikan Aruna pingsan atau tidur. Nyatanya, tertidur dan sedikit pucat.“Tuh ‘kan!”Tania langsung pergi membeli makanan untuknya dan Aruna, memutuskan makan di kelas. Tidak mungkin, membangunkan Aruna dan mengajaknya ke kantin. Bisa-bisa pingsan dalam perjalanan.Aruna masih terlelap begitu pulas, lambat laun terusik saat ada yang menyentuh keningnya. Namun, tidak terbangun. Hanya meracau pelan dan kembali tertidur, tetapi gagal dan terpaksa membuat Aruna bangun dan melirik ke arah si pengacau.“Makan dulu!” Tania sedari tadi berusaha membangunkan. “Habis ini kau di UKS saja. Nanti, aku izinkan saat jam terkahir.”“Maaf, merepotkan.” Aruna merasa bersalah, Tania kerepotan dengan kondisinya ini. Mulai memakan bubur yang dibelikan Tania. Beruntung, kantin sekolah bukan hanya menjual snack ringan, tetapi ada berbagai macam makanan yang cocok untuk sarapan pagi dan juga is
Aruna beranjak pelan, mengambil piring dan gelas kotor. Berlari ke dapur, tidak lupa menutup pintu dengan amat pelan. Tidak ingin, membuat Arsen terbangun. Rasa lapar melanda, tanpa peduli sudah tengah malam. Aruna benar-benar makan.“Sulit bagiku mengatur jam makan, kalau Arsen sulit dibantah.” Pergerakan Aruna selalu tersendat, karena Arsen terus memerintah.Kini sibuk mencuci semua piring dan gelas kotor, lalu kembali ke kamarnya sendiri. Aruna memilih melanjutkan tidurnya, beruntung tidak ada tugas. Jadi, sedikit bisa merasakan kebebasan dan memanfaatkan waktu luang untuk mengistirahatkan tubuh.Jarum jam, terus berputar hingga kini menunjukan pukul empat pagi. Biasanya, Aruna akan terbangun pukul lima. Kini sedikit lebih awal, bukan karena lapar lagi. Melainkan ada yang mendekap erat dari belakang. Aruna perlahan berbalik, ternyata Arsen.Baru sadar, lupa mengunci pintu kamar. Tetapi, seingatnya sudah. Atau mungkin saja, Arsen bisa masuk melalui kunci cadangan. Arsen sedikit terus
“Kenapa kau masih mengejar dan memaksanya agar mau menyelesaikan masalahnya?” Brian kembali merasa aneh dengan Aruna, langsung mengejar dan mengamati dari jauh. Jujur, kesal melihat Aruna dibalas dengan perlakuan kasar. Padahal, bermaksud baik.“Dia akan semakin bermasalah.” Aruna tidak mau Arsen terus bermasalah dan bisa mengancam kelulusannya, lebih lagi sering bolos dan tadi menyerang siswa lain tanpa alasan.Aruna berhasil menemukan keberadaan Arsen, ya di halaman belakang sekolah. Kini tengah duduk bersandar, sembari meremas kencang kepalanya sendiri—kalau diperhatikan sesekali menjambak kasar surainya.Mencoba mengikis jarak, berharap emosi Arsen sudah reda. Setidaknya, bisa membicarakan dengan baik agar Arsen mau menyelesaikan masalah. Menurutnya, terkesan sepele tetapi kenapa diperbesar. Lebih lagi, Arsen membalasnya begitu parah.Aruna membeku, kala Arsen meliriknya dengan sorot mata amat dingin. Detik itu juga tahu, emosi Arsen belum reda dan terakhir—tidak ingin diganggu.“S