Tepat bel istirahat dibunyikan, Aruna niatnya terpejam sebentar malah kebablasan. Terbukti, Tania yang sedari tadi memastikan Aruna pingsan atau tidur. Nyatanya, tertidur dan sedikit pucat.
“Tuh ‘kan!”Tania langsung pergi membeli makanan untuknya dan Aruna, memutuskan makan di kelas. Tidak mungkin, membangunkan Aruna dan mengajaknya ke kantin. Bisa-bisa pingsan dalam perjalanan.Aruna masih terlelap begitu pulas, lambat laun terusik saat ada yang menyentuh keningnya. Namun, tidak terbangun. Hanya meracau pelan dan kembali tertidur, tetapi gagal dan terpaksa membuat Aruna bangun dan melirik ke arah si pengacau.“Makan dulu!” Tania sedari tadi berusaha membangunkan. “Habis ini kau di UKS saja. Nanti, aku izinkan saat jam terkahir.”“Maaf, merepotkan.” Aruna merasa bersalah, Tania kerepotan dengan kondisinya ini. Mulai memakan bubur yang dibelikan Tania. Beruntung, kantin sekolah bukan hanya menjual snack ringan, tetapi ada berbagai macam makanan yang cocok untuk sarapan pagi dan juga istirahat. Semisal, bubur, nasi goreng, dan lainnya.Aruna benar-benar lapar, terbukti sudah tandas. Bahkan, detik berikutnya segelas teh tawar hangat tandas juga. Tania yang sedari tadi mengamati, sembari makan yang dipesan untuknya sendiri. Lega, melihat Aruna lahap makannya.“Ke UKS yuk!” ajak Tania, setelah membuang bungkus makanan ke tong sampah.Aruna menurut saja, pusing yang dirasakan sedikit hilang. Tetapi, lemas di tubuhnya masih terasa. Di UKS, Aruna langsung tidur lagi. Tania langsung pergi, karena jam terakhir akan dimulai dan juga, memberitahu guru kalau Aruna berada di UKS.Tidak terasa telah di penghujung kegiatan sekolah, Aruna benar-benar terlelap hingga bel pulang dibunyikan. Tas sekolah dan juga buku pelajaran telah tersimpan rapi, ya Tania yang mengantarnya ke UKS dan menulis di secarik kertas karena tidak bisa mengantar Aruna pulang.Aruna akhirnya terbangun, benar-benar sudah enakkan. “Tania jadi kerepotan.” Setelah melihat secarik kertas, tertulis ‘pulang duluan’ sedikit ada tulisan lain yang menyuruhnya untuk tidak melupakan jam makan—sarapan pagi, terakhir tidur yang baik—sesuai jam biasa.Lalu melirik ada sebotol air mineral, yakin Tania yang membelikannya. Aruna langsung membuka tutupnya dan meminum hingga tersisa setengah, lalu memakai tasnya dan pulang. Sebelum benar-benar beranjak dari brankar, Aruna terkejut dan baru sadar ada orang lain di UKS.Aruna baru ingat, Arsen suka bolos dan memilih tidur di UKS. Namun, yang dilakukannya hanya melirik sejenak. Selebihnya, pergi duluan. Karena tidak mungkin, Arsen memahami keadaannya. Lagi juga, selalu bersama Desty.“Siapa yang menyuruhmu pergi, hah!” Aruna terpaku di tempat, sedikit pun tidak berjalan lagi. Karena tidak ingin, menjadi pelampiasan emosi Arsen.Arsen mendelik datar, sembari beranjak mendekati Aruna. Bahkan, langsung mencengkeram kasar pergelangan tangannya, kala melihat gelagat Aruna ingin melarikan diri. Benar-benar tidak peduli dengan ringisan, atau sadar kelakuannya membuat Aruna terluka lagi.Aruna berusaha melepas, yang ada semakin sakit karena Arsen sengaja memperkuat cengkeramannya.“Diam dan jangan melawan!” sentak Arsen, langsung melepas cengkeramannya dengan kasar. Namun, sorot matanya yang begitu membius tetapi bagi Aruna sungguh mengerikan. “Bawa dan pulang!”Aruna mengusap kasar wajahnya, bulir air mata mulai membasahi pipinya. Beruntung, setelah Arsen pergi duluan. Kalau tidak, nanti malah dianggap yang tidak-tidak oleh Arsen. Semakin menjadi pelampiasan emosi.Aruna langsung mengejar dan berusaha menyamakan langkah kakinya. Tetapi diurungkan, memilih berjalan di belakang. Aruna menatap hampa punggung tegap Arsen. Refleks berhenti melangkah kala Arsen berbalik, sembari menyodorkan tangan.Aruna paham, langsung mengambil kunci mobil dari tas dan memberikan dengan cepat pada Arsen. Karena tidak mungkin, Arsen berniat memperlakukan lembut. Walau sekadar, mengelus kepalanya atau menggandeng dengan penuh perhatian. Aruna tidak pernah mengharapkan secara langsung, semenjak Arsen berubah sikap.Sebelum disuruh Aruna lebih dulu masuk, tidak mau didorong kasar lagi.. “Apa aku berbuat salah?”Arsen tidak menoleh ataupun menjawab, manik hitamnya amat fokus ke depan.Keheningan semakin menyelimuti mereka, satu dari mereka kembali terpejam—tepatnya Aruna. Karena memang, masih kurang fit meskipun sudah istirahat di UKS. Lain halnya dengan Arsen, melirik sekilas dan kebetulan telah sampai rumah.Decakan kekesalan mulai terdengar, dengan sengaja memukul keras kemudi mobil. Berhasil membuat Aruna terbangun dengan terkejut. Detik itu juga, keluar duluan dan berlari ke kamar sendiri—menyempatkan diri ke kamar Arsen untuk menaruh tas sekolahnya. Kemudian, benar-benar mengurung diri.Lega, karena berhasil melarikan diri dari kemarahan Arsen.“Dia benar-benar berubah!”Aruna memeluk kedua kakinya, itu dalam kondisi terduduk di lantai. Bulir air mata, kembali membasahi pipi. Sejak tadi menahan, agar tidak terlihat oleh Arsen.Seketika tersentak, kala pintu kamar dibuka begitu kasar. Arsen masuk dan menyamakan tingginya dengan Aruna, tetapi respon Aruna semakin memeluk tubuh dan beringsut mundur. Aruna benar-benar mengalami ketakutan cukup besar terhadap Arsen.“Pilih menurut atau tidak?”“Aku lebih memilih pulang dan cari pekerjaan yang lain!” pinta Aruna dengan nada amat lirih. “Kau pikir aku tidak lelah, terus kau jadikan pelampiasan emosi! Aku bahkan bingung, masalah apa yang kuperbuat hingga membuatmu jadi kasar dan tidak menganggapku!” Pada akhirnya, Aruna berkata jujur.Arsen melirik datar.“Tolong, izinkan aku pulang.”Responnya benar-benar tidak sesuai dengan yang Aruna harapkan, Arsen melempar sebuah gelas kaca di lantai tepat di hadapan Aruna. Aruna dilanda keterkejutan teramat besar, semakin ketakutan dengan Arsen.“Kau tetap di sini!” bantah Arsen, kembali mncengkeram kasar wajah Aruna. “Kau tidak boleh pergi, paham!” Kembali mendorong Aruna.Aruna menahan sakit, karena sikunya terpentok kayu meja. Kemudian menggeleng cepat. “Aku mau pulang!”Arsen mengemertakan gigi, bangkit dan meninju keras cermin di kamar yang ditempati oleh Aruna. Hingga pecahannya berserakan di lantai. “Kau tidak tuli ‘kan!” Tangannya sudah menggenggam satu pecahan kaca, mengarahkannya pada Aruna.Aruna panik, bahkan gemetar dan dengan terpaksa menurut. “Y-ya a-aku tetap di sini, to-tolong tenang!” Amat takut, bila Arsen benar-benar ingin menikamnya dengan pecahan kaca. “Aku tidak akan pergi.” Perlahan Aruna menggenggam tangan Arsen dan mengambil pecahan kacanya, setelah itu menjauhkannya dari Arsen. “Kau tidak boleh pergi!” Aruna mengangguk cepat. “Y-ya aku tidak akan pergi.” Tanpa pikir panjang, langsung memeluk Arsen. Aruna tidak peduli, bila perlakuannya ini ditolak yang penting bisa membuat Arsen tenang dan tidak menghancurkan seisi kamar dan melukainya.Anehnya, Arsen tidak menolak. Aruna memanfaatkannya, semakin mempererat pelukannya pada Arsen. Agak tersentak, saat Arsen membalas tetapi mulai meracau ‘tidak boleh pergi’ terus seperti itu.Berhasil membuat Aruna kebingungan, untuk pertama kalinya melihat Arsen meracau dan mau kembali membalas dekapannya. “Ya, aku tidak pergi.” Sebenarnya apa alasannya?“Makanannya sudah kubuatkan.” Kemudian memilih kembali ke kamar, Aruna ingin mengobati siku kanannya tadi terpentok akibat didorong Arsen.Namun, sebelum benar-benar melangkah. Arsen lebih dulu keluar dan menghalangi jalan, sorot matanya masih sama datar dan mengerikan. “Bawa.” Setelahnya, masuk kembali ke kamar dan kali ini pintu kamarnya dibiarkan terbuka.Aruna terpaksa turun, kini sudah kembali dan melangkah masuk ke dalam kamar Arsen. Tetapi, Arsen hanya melirik sekilas dan asik berbaring telungkup di ranjang. Aruna meletakkan makanan di atas nakas.“Diam!”Aruna langsung terpaku di tempat, tersentak dan berhasil menangkap buku tulis yang dilempar Arsen. Tahu, kalau disuruh mengerjakan tugasnya. Aruna tidak satu kelas dengan Arsen, terpaksa mengerjakan meskipun enggan.Arsen mulai memakan habis, makanan yang dibawa Aruna. Aruna sendiri, mulai sibuk mengisi jawaban dengan teliti hingga selesai. “A-aku pergi ya?”Arsen berdecih. “Sudah tidak ada lagi ‘kan?” Aruna kembali bingung dengan gelagat Arsen, terkadang kasar dan ada masanya sulit ditebak.Sayangnya tidak dijawab, Aruna kembali terpaku di tempat. “Sudah habis ‘kan? Aku ke dap—”“Diam!” Arsen menendang kursi dari meja belajar hingga menghantam dinding kamar.Aruna menghela napas pasrah, lalu tersentak saat Arsen mengikis jarak. Secara tiba-tiba mendorongnya hingga berbaring di ranjang. “A-arsen!”“Kubilang diam ya diam!” desis Arsen, mulai membenamkan wajahnya di ceruk leher Aruna.Aruna mematung sejenak, lambat laun membiarkan. Sesekali melirik Arsen, kini sudah terlelap. Terkadang, Aruna lebih memilih bersama Arsen yang sedang terlelap dibandingkan Arsen terbangun. Kalau tidur, Arsen akan memperlihatkan raut wajah biasa dan tenang. Aruna akhirnya pasrah, jam makannya telat lagi. Karena Arsen menahan, bahkan dekapannya erat sekali. Keheningan kembali melanda, lambat laun terdengar dengkuran halus dari Arsen—terlelap begitu pulas.Lalu memberanikan diri untuk membalas, dan mengulurkan satu tangannya untuk mengelus lembut—sesekali menyisir surainya, lambat laun menjalar untuk menyentuh setiap lekuk wajah Arsen.Kau kenapa berubah?Aruna beranjak pelan, mengambil piring dan gelas kotor. Berlari ke dapur, tidak lupa menutup pintu dengan amat pelan. Tidak ingin, membuat Arsen terbangun. Rasa lapar melanda, tanpa peduli sudah tengah malam. Aruna benar-benar makan.“Sulit bagiku mengatur jam makan, kalau Arsen sulit dibantah.” Pergerakan Aruna selalu tersendat, karena Arsen terus memerintah.Kini sibuk mencuci semua piring dan gelas kotor, lalu kembali ke kamarnya sendiri. Aruna memilih melanjutkan tidurnya, beruntung tidak ada tugas. Jadi, sedikit bisa merasakan kebebasan dan memanfaatkan waktu luang untuk mengistirahatkan tubuh.Jarum jam, terus berputar hingga kini menunjukan pukul empat pagi. Biasanya, Aruna akan terbangun pukul lima. Kini sedikit lebih awal, bukan karena lapar lagi. Melainkan ada yang mendekap erat dari belakang. Aruna perlahan berbalik, ternyata Arsen.Baru sadar, lupa mengunci pintu kamar. Tetapi, seingatnya sudah. Atau mungkin saja, Arsen bisa masuk melalui kunci cadangan. Arsen sedikit terus
“Kenapa kau masih mengejar dan memaksanya agar mau menyelesaikan masalahnya?” Brian kembali merasa aneh dengan Aruna, langsung mengejar dan mengamati dari jauh. Jujur, kesal melihat Aruna dibalas dengan perlakuan kasar. Padahal, bermaksud baik.“Dia akan semakin bermasalah.” Aruna tidak mau Arsen terus bermasalah dan bisa mengancam kelulusannya, lebih lagi sering bolos dan tadi menyerang siswa lain tanpa alasan.Aruna berhasil menemukan keberadaan Arsen, ya di halaman belakang sekolah. Kini tengah duduk bersandar, sembari meremas kencang kepalanya sendiri—kalau diperhatikan sesekali menjambak kasar surainya.Mencoba mengikis jarak, berharap emosi Arsen sudah reda. Setidaknya, bisa membicarakan dengan baik agar Arsen mau menyelesaikan masalah. Menurutnya, terkesan sepele tetapi kenapa diperbesar. Lebih lagi, Arsen membalasnya begitu parah.Aruna membeku, kala Arsen meliriknya dengan sorot mata amat dingin. Detik itu juga tahu, emosi Arsen belum reda dan terakhir—tidak ingin diganggu.“S
Arsen seakan tahu kalau Aruna mencoba kabur darinya, ya sejak awal membuntuti Aruna yang menarik paksa Tania hingga benar-benar berhasil pulang.Arsen berdecih, juga memukul keras kemudi mobil.Terdiam sejenak, hingga berhasil tenang lagi. Kemudian menghidupkan mesin mobil dan memarkirkannya dekat rumah Aruna, Arsen entah ingin berbuat apa yang jelas sudah menapakkan kakinya di depan pintu rumah. Mulai mengetuk pintu.Arina yang menyambut kedatangannya. “Kalau boleh tau masalah kalian apa?” “Hanya masalah kecil.” Bagi Arina, jawaban Arsen terkesan santai sekali. Berbanding terbalik dengan kekacauan yang dialami Aruna, hingga menangis kencang dalam pelukannya.“Yakin?” Arina mulai menatap selidik. “Tapi, kenapa Aruna seperti lelah sendiri, sedangkan kau santai sekali.”Arsen terpaku sejenak, dan menghela napas perlahan. “Itu sebabnya, aku mencoba menyelesaikan masalahnya.”Arina masih menatap curiga, tetapi kali ini membiarkan Arsen menemui Aruna. “Boleh meminta satu hal?”Arsen menge
Keesokkan harinya, tepat di jam istirahat sekolah. Aruna kembali terlihat bersama Brian. Ya, pertama kalinya ada teman sehobi—kutu buku. Di satu sisi keberadaan Brian benar-benar bisa melupakan masalah yang dihadapinya saat ini.Lagi-lagi tidak disadari olehnya, meski belum lama kenal denan Brian—notabene sebagai murid baru dadakan. Obrolan kecil yang dimulai Brian berhasil membuat Aruna mengekspresikan keceriaannya.Habisnya, selalu saja berdiam diri di perpustakaan ataupun kelas—sendirian, apapun serba sendirian. Pengecualian, ada Tania. Sekalinya keluar, sekadar menghilangkan bosan karena sendirian. Sorot mata Aruna, terkesan selalu sendu dan hampa. Yang selalu dilihatnya tanpa sengaja—dan itu hampir di setiap harinya—keakraban Arsen dengan Desty.“Kok bengong?” Aruna tersentak, seingatnya tenggelam dalam obrolan kecil Brian yang begitu menghangatkan suasana. Entah kenapa, dalam sekejap tergantikan ingatan lebih tepatnya sih berharap, Arsen lah yang berada di sisinya dan melakukan
Lega, yang selama ini diharapkannya mulai terasa. Lebih lagi setelah meluapkan emosi—rasa sakit yang terpendam cukup lama pada orangnya langsung."Kayanya Brian benar, aku terlalu bucin pada Arsen."Setelah mengatakan, akhiri hubungan artinya putus. Rasa sakit yang berbeda mulai menyerangnya.Ya, Aruna masih mencintai Arsen. Namun, sadar lambat laun menjadi perasaan sepihak. Karena Arsen, akrab dengan Desty.Aruna berhenti melangkah, kala berpapasan dengan Brian. Bahkan, mengamati sejenak. Takutnya, Arsen berbuat buruk. Mengingat, tadi dirinya langsung berlari dan menemui Tania."Sudah selesai berantemnya?" Brian malah iseng."Nggak lucu!" Aruna sebal dengan Brian, padahal khawatir kalau Arsen akan melukai Brian.Brian tertawa sejenak. "Pacarmu itu, nggak melalukan apapun kok." Seakan tahu, apa yang ingin dipastikan oleh Aruna terhadapnya. "Jadi, gimana? Makin belibet, atau mulai membaik?"Aruna berdecak kesal. "Dua-duanya mungkin!"Brian menggelengkan kepala sejenak, berusaha menahan
Tidak terasa waktu part time Aruna hampir habis, kini masih sibuk membersihkan meja kotor dan lainnya. Kemudian berganti pakaian dan bersiap untuk pulang. Mendadak terpaku, karena menemukan keberadaan seseorang—yang saat ini sangat tidak ingin ditemui Aruna.Arsen lagi, Aruna lega tidak didekati—ralat—dipaksa lagi. Lantas, kenapa malah menjadi diawasi?“Ah ini memuakkan!” Aruna pergi begitu saja, setelah tanpa sengaja melakukan kontak mata langsung dengan Arsen di seberang. Seketika tersentak, karena mendapati Arsen ada di hadapannya!Tunggu sejak kapan?Aruna ribet sendiri, tetapi langsung memberi jarak. Namun, ada hal lain yang menarik perhatiannya. Ada bau tembakau dari Arsen, mengingat Aruna benci dengan rokok.“Kau sepertinya, merasa sudah lepas dariku ya?” Arsen mulai berbicara, bahkan mengeluarkan kembali sebatang rokok dan menyalakannya. “Terlihat ingin sekali lepas kah?”Aruna sempat terpaku, sesekali menutup hidung karena benci asap rokok. “Tentu aja, mana ada orang tahan den
Seketika tersentak saat Aruna meletakan secangkir kopi hitam—panas di hadapannya, Brian mendadak sebal sendiri malah melamun. Takut, gelagatnya ini malah membingungkan bagi Aruna.“Kenapa sih?” Benar saja, Aruna terusik dan menyipitkan matanya. “Melamun terus kesambet loh!”“Dih apa sih!” Brian terkekeh pelan. “Dah, lanjut kerja sana. Aku akan menunggu sampai selesai—di sini.”Aruna hanya memberi kode ‘oke’ setelahnya pergi melayani pelanggan lain. Sebenarnya, Aruna heran lagi. Tadi merasa kosong, mendadak tidak lagi saat Brian datang.Apa mungkin, aku mulai menerima perlakuan lembutnya? Ibarat, proses mencoba membalas perasaannya?Aruna senang bisa kenal dengan Brian, hanya saja takut—takut membuatnya menjadi pelampiasan apa lagi setelah berhasil bebas dari Arsen. Itu sebabnya, Aruna memilih belum menjawab. Lagi pula, pusing memikirkan soal cinta.Tidak terasa waktu part time, telah usai. Sesuai janji, Aruna menerima ajakan Brian. Kini, tengah berjalan berdua entah ke mana. Hingga akh
Tidak terasa telah di penghujung kegiatan sekolah. Tetapi, Aruna terlihat sendirian dan kini masih menunggu angkutan umum. Kebetulan hari ini bukan jadwal part time-nya, sesekali mengaktifkan sejenak ponsel untuk melihat jam, kemudian menonaktifkan dan menyimpannya lagi.Hingga terusik sesuatu hal, melihat Arsen melintas entah ke mana. Aruna agak heran, tumben Arsen tidak membawa kendaraan pribadi?Apa sih! Kenapa memikirkan lagi?Aruna pusing sendiri, mencoba melupakan tetap saja kembali terusik saat melihat keberadaan Arsen. “Ah lupakan! Ingat ke tujuan barumu mencoba menerima Brian!”Arsen sadar akan keberadaan Aruna, yang pasti memang tidak ada niat mendekat. Kakinya terus melangkah, menuju tempat—sarang sekumpulan orang bermasalah. Ya, Arsen ingin melampiaskan emosi.Bisa dikatakan, ini pertama kalinya Arsen ingin mengacau. Selebihnya, hanya melintas dan mendadak bergabung dengan mereka.“Apa-apaan ka—” Wajahnya lebih dulu terhantam tinjuan amat keras, dan serangan beruntun lainny
Masih dalam hari bebas, tetapi satu dari pasangan baru. Memilih menyibukkan diri, bukan berarti tidak mau menyenangkan diri, mengingat harusnya bulan madu—eh!Arsen ke kantor untuk mengurus sesuatu, sedangkan Aruna berdiam diri. Sekaligus, ikut jemput dan mengajak jalan Daffa."Mau ke mana lagi, hm?"Yang ditanya tidak menjawab, justru terus menarik Aruna. Intinya sih, Daffa yang menjadi penunjuk."Papa masih lama ya?" Daffa benar-benar masih ketergantungan terhadap Arsen.Aruna tidak mempermasalahkan, justru menerima dan memahami. Cuma, juga mau membiasakan Daffa agar mengurangi rasa takut terhadap orang lain. Mengingat, mulai tumbuh dewasa. Sebentar lagi, masuk sekolah dasar."Lagi dijalan, oh iya kan belum makan. Sekarang, berenti dulu mainnya, oke?"Daffa menggeleng. "Nanti!"Aruna gemas sendiri, bukan berarti akan menuruti. Buktinya, langsung menggendong. "Yok, makan dulu.""Mamah!"Awalnya aneh, tetapi membiasakan. Mengingat, Daffa anak Arsen walau hanya anak angkat. Otomatis, an
Di saat membuka mata, yang menjadi objek utama wajah terlelap Arsen. Aruna iseng mencubit tanpa peduli mengganggu, yang dipikirannya saat ini.Masih mimpi, atau nyata?Terkadang, selalu berakhir halusinasi. Seakan memang belum waktunya untuk semua keinginannya terkabulkan."Apa sih?" Arsen terusik, karena masih ngantuk memilih berhenti bertanya alasan, dirinya menjadi korban pencubitan.Aruna tidak menjawab, bahkan tidak merasa bersalah karena sudah mengusik tidur Arsen."Ng—"Tidak menyangka akan mendapat serangan di pagi hari, ah sebenarnya sih sudah siang. Mengingat, mereka berdua diberi waktu bebas. Yap, bebas—alias bulan madu abal-abal—eh!Karena tidak pergi ke manapun, hanya di penginapan saja. Intinya, mereka berdua malas."Kau masih mengira mimpi kah?""Kau sendiri, bukannya duluan yang menganggap begitu?" Aruna tidak mau kalah, di satu sisi berusaha menyingkirkan Arsen masih betah menindihnya. "Minggir! Aku mau mandi!""Nggak!" Arsen bebal, ah lebih tepat sih ingin memanfaatka
Arsen mematung sejenak di ambang pintu kamar, pandangannya terus tertuju pada interaksi Daffa bersama Aruna. Sebenarnya, merasa tidak percaya juga kalau sedikit lagi bisa bersama. Memang perlahan bisa, akan tetapi kenapa terasa sulit.“Kenapa?”Arsen tersentak, tidak menyadari Aruna sudah berada di hadapannya. Efek terkejut, dalam sekejap sulit untuk berkata sekadar membalas. Pada akhirnya, hanya menggeleng dan memilih mendekati Daffa yang sibuk sendiri.“Kau aneh.” Aruna berkata sembari mengekor. “Nggak lagi ‘kan?” Walau tidak to the point, Aruna yakin Arsen paham maksud dari pertanyaannya ini.Sebelum mendapat balasan, lebih dulu terganggu oleh suara bel penginapan. Arsen sudah duluan untuk melihat siapa yang datang dan ternyata Pak Nuga.“Sungguhan bersama kah?” Nyatanya, Pak Nuga tidak tahu apapun soal Arsen akan mengajak Aruna menjadi satu penginapan.“Siapa suruh lupa.” Arsen membalas cepat dan terkesan santai, kembali mendekati Daffa.Pak Nuga terkekeh, merasakan perbedaan dari
"Papa mana?" Daffa baru saja dijemput supir pribadi, pulang dari TK ya ke kantor. Tidak mungkin dibiarkan sendiri di penginapan."Lagi pergi sebentar, nggak lama lagi ke sini kok." Aruna masih tidak menyangka, Arsen mengurus anak.Daffa mengembungkan pipi, tak lama melendot pada Aruna. Yap, benar-benar terbiasa."Laper?" Aruna sengaja bertanya, kebetulan jam istirahat hampir tiba. Arsen belum balik.Daffa mengangguk, semakin melendot hingga minta digendong. Seakan tidak mau diturunkan, buktinya memeluk erat leher Aruna. Bahkan, iseng mendusel."Kenapa, hm?" Setiap kali bersama Daffa, teringat Arya saat masih kecil sering manja padanya. "Ngantuk?"Daffa menggeleng."Terus kenapa?""Mama?" Daffa mendadak mempertanyakan soal itu lagi, kali ini Aruna yang menjadi target. "Tante punya mama?"Aruna mendadak kikuk. "Y-ya." Aneh dan tertegun, Daffa dari kecil sudah ditinggal kedua orang tuanya, bahkan diabaikan kerabat. "Nggak ada mama, tapi ada papa yang sayang Daffa 'kan?""Iya, tapi mau mam
Arsen semakin emosian, semenjak pengakuan sekaligus permintaan maaf Ardian. Terus memanas, karena berita megenai Ardian menyerahkan diri dan menjelaskan semua perbuatannya. Banyak rekan atau pun karyawan yang menjadikan bahan gunjingan.Arsen membiarkan, karena memang kenyataan. Oh iya, ada satu hal yang tidak pernah diduga. Tepat sebelum Ardian ditangkap, ini hanya karena kasus penculikan Daffa. Kalau kematian ibunya, memang karena bunuh diri. Kesalahan Ardian, karena suka melakukan hal kasar dan memberi tekanan terhadap ibunya. Memang menjadi kasus. Intinya berlapis."Kalo belum tenang, yang ada malah membuat Daffa takut loh." Aruna sedari tadi berada di ruang kerja Arsen, tepatnya sih mengawasi dan membantu.Pasalnya, konsentrasi Arsen buyar dalam pekerjaan. Jadi, harus dipantau dan dibantu."Ayahmu benar-benar menyesal." Aruna sengaja meyakinkan, berharap juga Arsen membaik dengan Ardian.Arsen tersenyum getir. "Kenapa baru sekarang dia mengakui dan menyerahkan diri? Kau tau? Saat
Pukul sepuluh malam, kala itu Aruna masih belum mengantuk. Makanya, memilih santai dengan camilan dan fokus siaran di televisi.Seketika terusik, kala ada yang membunyikan bel penginapannya. Akan tetapi, tidak berlangsung lama. Aruna hafal si pelaku adalah pemilik penginapan sebelah, siapa lagi kalau bukan Arsen."Kau kenapa?" Aruna heran, habisnya Arsen muncul wajahnya kusut sekali.Arsen tidak menjawab, malah mendekatkan diri pada Aruna dan meringkuk. Bahkan, sudah merangkul erat pinggang Aruna.Racauan aneh, tidak begitu jelas mulai dilontarkan Arsen. Saat itu juga, Aruna merasa Arsen kacau persis dulu."Kenapa, hm?" Aruna benar-benar mengurus Arsen lagi.Arsen belum mau menjelaskan kekacauan mendadaknya ini. Aruna sendiri pasrah, membiarkan Arsen terus saja meringkuk dan melesak di dekapannya."Daffa sama siapa?" Takutnya, kalau Arsen di sini. Nanti Daffa sendirian."Paman." Arsen kali ini menjawab, kemudian meringkuk lagi. Hingga menuturkan sesuatu yang berhasil membuat Aruna paha
Kata bahagia, selalu mengusik benak keduanya, bisa dibilang satu dari mereka yang seakan terus diatur kehidupannya. Setiap ingin berbahagia harus sesuai, tanpa sedikit pun diperbolehkan mencari kebahagiaannya sendiri.Arsen, orang lain menganggapnya serba kecukupan, sombong, mengerikan, dan banyak lagi. Semua orang hanya melihat itu, tanpa tahu sudut pandang Arsen sendiri terbalik dari yang semua orang anggap.Hidup saja diatur, teman dekat, wanita, hingga apapun diatur. Seakan robot yang sudah dikendalikan untuk terus menurut. Sekalinya terlepas dari semua kendali, bukan berarti kehidupannya bebas.Nyatanya, semakin diusik. Seakan memang, tidak diperbolehkan bahagia atas keinginannya sendiri."Ayah."Ardian mematung, kalau diingatkan kembali. Cukup lama, tidak pernah mendengar panggilan itu dari anaknya."Menurut ayah, bahagia itu seperti apa?" Arsen berbicara santai, karena teringat sudah tidak pernah berinteraksi seperti biasa dengan ayah kandungnya, setelah kematian ibu.Walau kare
"Kau serius masih ingin bersamaku?" Entah kenapa, Arsen memastikan lagi. Sebenarnya senang, mendengar langsung dari Aruna. Walau ingatannya masih kacau, efek dari kecelakaan.Aruna mengerutkan kening. "Kau nggak percaya? Atau ....""Percaya, hanya saja aku takut akan menyakitimu dan meninggalkamu lagi." Arsen bimbang karena hal itu, terlebih lagi Ardian dan Desty masih saja mengusik kehidupannya.Berhasil lepas bukan berarti selesai semuanya.Aruna tidak merespon, antara senang sekaligus bingung. Karena saat ini paham sekali Arsen selalu berkata, tidak bisa seperti biasa. Ibarat, berteman layaknya pasangan."Bisa saja dilakukan, tapi aku mengurungkan niat karena nggak mau kau ikut kena risikonya."Aruna tersentak. "Maksudmu apa?"Sayangnya bukan jawaban yang didapat, melainkan serangan mendadak dari Arsen. Ah iya, mereka berdua berada di penginapan Aruna, yang cukup lama dibiarkan kosong. Arsen mendadak datang, lalu bertanya hal itu pada Aruna.Ingin berontak, tetapi merindukan perlaku
Dua minggu, Aruna izin untuk pemulihan. Kini sudah masu kerja, walau sempat kikuk. Ya, efek lupa meski tidak total. Tetap saja, terkesan karyawan baru yang hari ini diterima kerja."Jadi, aku sekretarismu?"Arsen yang ingin masuk ke ruangannya, terpaksa berhenti dan melirik datar Aruna."Ayolah! Aku cuma nanya!" Aruna sebal."Nanya, tapi beruntun dan terus nggak berenti!" Arsen ikutan kesal, langsung melengos tanpa menjawab pertanyaan retoris Aruna."Dih! Ngeselin!" Hendak berbalik ke meja kerjanya, seketika terusik kala muncul anak kecil berlarian dan sedikit menyenggolnya. "Siapa?"Terus mengamati, hingga melihat anak kecil tadi masuk ke ruangan Arsen. Juga, terdengar panggilan cukup kencang."Pa-papa?" Aruna bertemu lagi dengan Daffa, tetapi dengan kondisi berbeda. Yaitu, lupa sejenak dengan ingatan baru di mana perseteruan dengan Brian terjadi dan menyebabkannya kecelakaan.Ketika Arsen keluar bersama Daffa dalam gendongannya, terus mengamati. Anehnya sudah tidak ada rasa cemburu,