Seketika tersentak saat Aruna meletakan secangkir kopi hitam—panas di hadapannya, Brian mendadak sebal sendiri malah melamun. Takut, gelagatnya ini malah membingungkan bagi Aruna.“Kenapa sih?” Benar saja, Aruna terusik dan menyipitkan matanya. “Melamun terus kesambet loh!”“Dih apa sih!” Brian terkekeh pelan. “Dah, lanjut kerja sana. Aku akan menunggu sampai selesai—di sini.”Aruna hanya memberi kode ‘oke’ setelahnya pergi melayani pelanggan lain. Sebenarnya, Aruna heran lagi. Tadi merasa kosong, mendadak tidak lagi saat Brian datang.Apa mungkin, aku mulai menerima perlakuan lembutnya? Ibarat, proses mencoba membalas perasaannya?Aruna senang bisa kenal dengan Brian, hanya saja takut—takut membuatnya menjadi pelampiasan apa lagi setelah berhasil bebas dari Arsen. Itu sebabnya, Aruna memilih belum menjawab. Lagi pula, pusing memikirkan soal cinta.Tidak terasa waktu part time, telah usai. Sesuai janji, Aruna menerima ajakan Brian. Kini, tengah berjalan berdua entah ke mana. Hingga akh
Tidak terasa telah di penghujung kegiatan sekolah. Tetapi, Aruna terlihat sendirian dan kini masih menunggu angkutan umum. Kebetulan hari ini bukan jadwal part time-nya, sesekali mengaktifkan sejenak ponsel untuk melihat jam, kemudian menonaktifkan dan menyimpannya lagi.Hingga terusik sesuatu hal, melihat Arsen melintas entah ke mana. Aruna agak heran, tumben Arsen tidak membawa kendaraan pribadi?Apa sih! Kenapa memikirkan lagi?Aruna pusing sendiri, mencoba melupakan tetap saja kembali terusik saat melihat keberadaan Arsen. “Ah lupakan! Ingat ke tujuan barumu mencoba menerima Brian!”Arsen sadar akan keberadaan Aruna, yang pasti memang tidak ada niat mendekat. Kakinya terus melangkah, menuju tempat—sarang sekumpulan orang bermasalah. Ya, Arsen ingin melampiaskan emosi.Bisa dikatakan, ini pertama kalinya Arsen ingin mengacau. Selebihnya, hanya melintas dan mendadak bergabung dengan mereka.“Apa-apaan ka—” Wajahnya lebih dulu terhantam tinjuan amat keras, dan serangan beruntun lainny
Arsen terbangun dari tidurnya, kini tengah duduk di tepi ranjang sembari memijit pelipis—terkadang berdecih kesal. Muak karena demam dadakan, lalu terusik saat ada semangkuk makanan di atas meja, obat, dan juga setumpuk tugas dari wali kelas.Aruna? Setelah melihat Arsen terlelap, langsung melepaskan diri dan pulang.“Dia benar-benar bahagia ya?” Arsen tersenyum getir, mulai melangkah lambat menuju meja belajar. Menatap sejenak, ke arah makanan yang dibuat Aruna. Tetap akan dimakan, lagi pun semenjak Bi Asti izin jarang sekali makan—tepatnya lupa atau mungkin yang lebih parah nafsu makannya lenyap.Arsen menarik napas dan membuangnya perlahan, yang dilakukannya saat ini kembali meringkuk.Sementara itu, Aruna terlihat sudah berada di rumah. Agak kikuk, saat pulang tadi mendapat tatapan selidik. Karena pulang terlambat dan itu sendirian, sudah gitu dirinya saat ini memang tidak ada jadwal part time. Jadi, sulit untuk memberi alasan.Hingga akhirnya, Aruna mengatakan dengan jujur. Diberi
Aruna mendadak badmood, meski sadar kelakuannya saat di sekolah tadi egois. Lagi pun, memang sulit sekali melupakannya. Kemudian menggeleng dan menepuk kencang kedua pipinya, lalu menghela napas sejenak. Fokus lagi, pada pekerjaan.“Kau bimbang kah?” Tania sedari tadi ikut restoran, karena bosan di rumah sendirian—orang tuanya berada di luar kota. Juga, sedang menunggu Devan datang.Aruna mendengkus. “Ya.” Kemudian melirik bingung Tania. “Aku terlalu bucin ya?”Tania dalam sekejap ikutan pusing dengan kisah asmara Aruna. “Betul, tapi kau begini karena dari awal hanya mengenal—bahkan sampai menjalin hubungan—itu dengan Arsen saja. Jadi, wajar efeknya seperti ini.”Tania selalu mengamati hubungan mereka berdua, awalnya biasa dan baik-baik saja. Dalam sekejap berubah, Arsen kasar lambat laun mendekati perempuan lain, tetapi masih mengekang Aruna. Hal aneh selanjutnya, saat Aruna meminta putus—Arsen tidak terima ataupun menjawab.Bipolar kah?Entah kenapa, Tania berpikiran kalau Arsen bipo
Aruna terpaku sejenak di ambang pintu kamar. Kedua manik indahnya, kembali melirik sendu Arsen. Untuk pertama kalinya dan yakin, kalau penyebab sifat emosian dan kasar faktor masalah pribadi. Entah apa itu, karena sulit dicari tahu.Keadaan begitu buruk, cocok bagi Arsen. Kini terlihat, duduk termenung di lantai kamar dengan satu jendela kamar yang sengaja dibiarkan terbuka. Arsen tertunduk, sekali mendongak dan menatap. Manik hitamnya begitu hampa, seakan binarnya benar-benar lenyap.Aruna menghela napas sejenak, lagi-lagi rasa bimbang menyerang. Ingin ada di dekatnya sekaligus mencari tahu permasalahan yang dialami Arsen, di satu sisi takut. Ah tepatnya, mendadak trauma dengan perlakuan kasarnya."Kalo kau jujur, mungkin aku akan paham." Aruna sudah tidak peduli lagi kalau kembali dijadikan pelampiasan, kini ikut duduk dan satu tangannya terulur untuk mengelus lembut, sesekali menyisir surai Arsen yang berantakan. "Aku tau, terkesan ikut campur."Arsen hanya bergeming, manik hitamnya
Aruna kepikiran lagi, setelah Brian berkata kalau Arsen sebenarnya—sangat menyukai ah mencintainya. Sadar akan perlakuan kasar dan emosiannya.Yang membuat Aruna tidak habis pikir, kenapa setiap kali berhadapannya langsung Arsen tidak pernah jujur. Justru, selalu melontarkan kata yang berefek membuat luka baginya."Sebenernya masalah apa sih?" Aruna dilanda penasaran teramat besar, sesekali memijit pelipis—mendadak pusing mendera. Kemudian melirik jam dinding, ternyata sebentar lagi waktu part time—habis.Aruna melanjutkan pekerjaan, sampai waktu pulanh tiba. Agak terusik, saat ada pelanggan datang. Tidak menyangka, orang itu Arsen dan bersama Desty.Seingatnya, Arsen sakit. Aruna heran, juga mendadak bimbang dengan perkataan Brian, soal Arsen masih mencintainya. Tetapi, kenapa sekarang terlihat bersama Desty lagi?Ah lupakan! Bikin pusing aja!Aruna malas memikirkan lagi, memilih bersiap pulang. Lega, karena mereka datang di saat jam part time-nya usai. Kalau tidak, semakin sakit hati
Arsen merespon dengan lirikan datar, sedikit pun enggan untuk melontarkan kata—sebagai balasan. Terlebih lagi, cukup lama lelaki paruh baya di hadapannya ini asik dengan kebahagiaan barunya sendiri. Melupakan dirinya, si anak malang—nyatanya kandung. Buktinya, dibiarkan hidup sendiri dalam rumah mewah. Kehangatan keluarga tidak ada sama sekali, karena telah lama lenyap.Sekalinya ada, Arsen hanya merasakan dari Bi Asti dan suaminya. Menyedihkan, sekaligus sebuah kebahagiaan kecil bagi Arsen—sempat mengira kehilangan ibu akan membuat hidupnya benar-benar hampa. Namun, kehadiran Bi Asti dan suaminya membuat semua itu lenyap.“Arsen!”Yang dipanggil terkesan bentakan, hanya terkekeh. Kemudian terhenti dan manik hitamnya semakin menyorot dingin—juga hampa. “Ah masalah buatmu kah?” Dengan nada santai mulai membalas. “Sayangnya, bagiku tidak.” Berpikir sejenak, kemudian melirik serius lelaki paruh baya—ayahnya—Ardian. “Juga, aku tidak peduli dengan ancamanmu.” Setelahnya pergi.“Kalau kau me
Brian melirik heran, tidak biasanya Arsen muncul. Bahkan, mendadak bergabung dengannya. Seakan tidak sadar, kelakuan anehnya ini menjadi objek menarik bagi semua siswa yang melintas."Apa?" Brian melirik serius, untuk saat ini suasana hatinya masih buruk. Lebih lagi, orang yang menjadi perhatian penuh dari perempuan yang disukainya muncul.Mulai menganggap, kalau Arsen sengaja. Meski begitu, Brian tetap berusaha untuk bersikap biasa. Karena enggan, dianggap sama seperti Arsen."Kau membeberkannya ya?" Arsen melirik datar.Brian menaikkan satu alis, kemudian terkekeh sejenak. "Bukannya bagus untukmu ya? Buktinya, Aruna tidak takut lagi bahkan masih memilihmu." Kemudian berdecih, sedang malas membicarakan soal itu lagi. Kini terpaksa, karena Arsen muncul.Arsen berdeham, kemudian melirik serius. "Kau benar-benar menyukainya kah?"Brian terpaku, saat Arsen bertanya hal itu. Di satu sisi, agak terusik saat sorot mata Arsen terlihat serius. Akan tetapi, hampa secara bersamaan."Atau kau awa
Masih dalam hari bebas, tetapi satu dari pasangan baru. Memilih menyibukkan diri, bukan berarti tidak mau menyenangkan diri, mengingat harusnya bulan madu—eh!Arsen ke kantor untuk mengurus sesuatu, sedangkan Aruna berdiam diri. Sekaligus, ikut jemput dan mengajak jalan Daffa."Mau ke mana lagi, hm?"Yang ditanya tidak menjawab, justru terus menarik Aruna. Intinya sih, Daffa yang menjadi penunjuk."Papa masih lama ya?" Daffa benar-benar masih ketergantungan terhadap Arsen.Aruna tidak mempermasalahkan, justru menerima dan memahami. Cuma, juga mau membiasakan Daffa agar mengurangi rasa takut terhadap orang lain. Mengingat, mulai tumbuh dewasa. Sebentar lagi, masuk sekolah dasar."Lagi dijalan, oh iya kan belum makan. Sekarang, berenti dulu mainnya, oke?"Daffa menggeleng. "Nanti!"Aruna gemas sendiri, bukan berarti akan menuruti. Buktinya, langsung menggendong. "Yok, makan dulu.""Mamah!"Awalnya aneh, tetapi membiasakan. Mengingat, Daffa anak Arsen walau hanya anak angkat. Otomatis, an
Di saat membuka mata, yang menjadi objek utama wajah terlelap Arsen. Aruna iseng mencubit tanpa peduli mengganggu, yang dipikirannya saat ini.Masih mimpi, atau nyata?Terkadang, selalu berakhir halusinasi. Seakan memang belum waktunya untuk semua keinginannya terkabulkan."Apa sih?" Arsen terusik, karena masih ngantuk memilih berhenti bertanya alasan, dirinya menjadi korban pencubitan.Aruna tidak menjawab, bahkan tidak merasa bersalah karena sudah mengusik tidur Arsen."Ng—"Tidak menyangka akan mendapat serangan di pagi hari, ah sebenarnya sih sudah siang. Mengingat, mereka berdua diberi waktu bebas. Yap, bebas—alias bulan madu abal-abal—eh!Karena tidak pergi ke manapun, hanya di penginapan saja. Intinya, mereka berdua malas."Kau masih mengira mimpi kah?""Kau sendiri, bukannya duluan yang menganggap begitu?" Aruna tidak mau kalah, di satu sisi berusaha menyingkirkan Arsen masih betah menindihnya. "Minggir! Aku mau mandi!""Nggak!" Arsen bebal, ah lebih tepat sih ingin memanfaatka
Arsen mematung sejenak di ambang pintu kamar, pandangannya terus tertuju pada interaksi Daffa bersama Aruna. Sebenarnya, merasa tidak percaya juga kalau sedikit lagi bisa bersama. Memang perlahan bisa, akan tetapi kenapa terasa sulit.“Kenapa?”Arsen tersentak, tidak menyadari Aruna sudah berada di hadapannya. Efek terkejut, dalam sekejap sulit untuk berkata sekadar membalas. Pada akhirnya, hanya menggeleng dan memilih mendekati Daffa yang sibuk sendiri.“Kau aneh.” Aruna berkata sembari mengekor. “Nggak lagi ‘kan?” Walau tidak to the point, Aruna yakin Arsen paham maksud dari pertanyaannya ini.Sebelum mendapat balasan, lebih dulu terganggu oleh suara bel penginapan. Arsen sudah duluan untuk melihat siapa yang datang dan ternyata Pak Nuga.“Sungguhan bersama kah?” Nyatanya, Pak Nuga tidak tahu apapun soal Arsen akan mengajak Aruna menjadi satu penginapan.“Siapa suruh lupa.” Arsen membalas cepat dan terkesan santai, kembali mendekati Daffa.Pak Nuga terkekeh, merasakan perbedaan dari
"Papa mana?" Daffa baru saja dijemput supir pribadi, pulang dari TK ya ke kantor. Tidak mungkin dibiarkan sendiri di penginapan."Lagi pergi sebentar, nggak lama lagi ke sini kok." Aruna masih tidak menyangka, Arsen mengurus anak.Daffa mengembungkan pipi, tak lama melendot pada Aruna. Yap, benar-benar terbiasa."Laper?" Aruna sengaja bertanya, kebetulan jam istirahat hampir tiba. Arsen belum balik.Daffa mengangguk, semakin melendot hingga minta digendong. Seakan tidak mau diturunkan, buktinya memeluk erat leher Aruna. Bahkan, iseng mendusel."Kenapa, hm?" Setiap kali bersama Daffa, teringat Arya saat masih kecil sering manja padanya. "Ngantuk?"Daffa menggeleng."Terus kenapa?""Mama?" Daffa mendadak mempertanyakan soal itu lagi, kali ini Aruna yang menjadi target. "Tante punya mama?"Aruna mendadak kikuk. "Y-ya." Aneh dan tertegun, Daffa dari kecil sudah ditinggal kedua orang tuanya, bahkan diabaikan kerabat. "Nggak ada mama, tapi ada papa yang sayang Daffa 'kan?""Iya, tapi mau mam
Arsen semakin emosian, semenjak pengakuan sekaligus permintaan maaf Ardian. Terus memanas, karena berita megenai Ardian menyerahkan diri dan menjelaskan semua perbuatannya. Banyak rekan atau pun karyawan yang menjadikan bahan gunjingan.Arsen membiarkan, karena memang kenyataan. Oh iya, ada satu hal yang tidak pernah diduga. Tepat sebelum Ardian ditangkap, ini hanya karena kasus penculikan Daffa. Kalau kematian ibunya, memang karena bunuh diri. Kesalahan Ardian, karena suka melakukan hal kasar dan memberi tekanan terhadap ibunya. Memang menjadi kasus. Intinya berlapis."Kalo belum tenang, yang ada malah membuat Daffa takut loh." Aruna sedari tadi berada di ruang kerja Arsen, tepatnya sih mengawasi dan membantu.Pasalnya, konsentrasi Arsen buyar dalam pekerjaan. Jadi, harus dipantau dan dibantu."Ayahmu benar-benar menyesal." Aruna sengaja meyakinkan, berharap juga Arsen membaik dengan Ardian.Arsen tersenyum getir. "Kenapa baru sekarang dia mengakui dan menyerahkan diri? Kau tau? Saat
Pukul sepuluh malam, kala itu Aruna masih belum mengantuk. Makanya, memilih santai dengan camilan dan fokus siaran di televisi.Seketika terusik, kala ada yang membunyikan bel penginapannya. Akan tetapi, tidak berlangsung lama. Aruna hafal si pelaku adalah pemilik penginapan sebelah, siapa lagi kalau bukan Arsen."Kau kenapa?" Aruna heran, habisnya Arsen muncul wajahnya kusut sekali.Arsen tidak menjawab, malah mendekatkan diri pada Aruna dan meringkuk. Bahkan, sudah merangkul erat pinggang Aruna.Racauan aneh, tidak begitu jelas mulai dilontarkan Arsen. Saat itu juga, Aruna merasa Arsen kacau persis dulu."Kenapa, hm?" Aruna benar-benar mengurus Arsen lagi.Arsen belum mau menjelaskan kekacauan mendadaknya ini. Aruna sendiri pasrah, membiarkan Arsen terus saja meringkuk dan melesak di dekapannya."Daffa sama siapa?" Takutnya, kalau Arsen di sini. Nanti Daffa sendirian."Paman." Arsen kali ini menjawab, kemudian meringkuk lagi. Hingga menuturkan sesuatu yang berhasil membuat Aruna paha
Kata bahagia, selalu mengusik benak keduanya, bisa dibilang satu dari mereka yang seakan terus diatur kehidupannya. Setiap ingin berbahagia harus sesuai, tanpa sedikit pun diperbolehkan mencari kebahagiaannya sendiri.Arsen, orang lain menganggapnya serba kecukupan, sombong, mengerikan, dan banyak lagi. Semua orang hanya melihat itu, tanpa tahu sudut pandang Arsen sendiri terbalik dari yang semua orang anggap.Hidup saja diatur, teman dekat, wanita, hingga apapun diatur. Seakan robot yang sudah dikendalikan untuk terus menurut. Sekalinya terlepas dari semua kendali, bukan berarti kehidupannya bebas.Nyatanya, semakin diusik. Seakan memang, tidak diperbolehkan bahagia atas keinginannya sendiri."Ayah."Ardian mematung, kalau diingatkan kembali. Cukup lama, tidak pernah mendengar panggilan itu dari anaknya."Menurut ayah, bahagia itu seperti apa?" Arsen berbicara santai, karena teringat sudah tidak pernah berinteraksi seperti biasa dengan ayah kandungnya, setelah kematian ibu.Walau kare
"Kau serius masih ingin bersamaku?" Entah kenapa, Arsen memastikan lagi. Sebenarnya senang, mendengar langsung dari Aruna. Walau ingatannya masih kacau, efek dari kecelakaan.Aruna mengerutkan kening. "Kau nggak percaya? Atau ....""Percaya, hanya saja aku takut akan menyakitimu dan meninggalkamu lagi." Arsen bimbang karena hal itu, terlebih lagi Ardian dan Desty masih saja mengusik kehidupannya.Berhasil lepas bukan berarti selesai semuanya.Aruna tidak merespon, antara senang sekaligus bingung. Karena saat ini paham sekali Arsen selalu berkata, tidak bisa seperti biasa. Ibarat, berteman layaknya pasangan."Bisa saja dilakukan, tapi aku mengurungkan niat karena nggak mau kau ikut kena risikonya."Aruna tersentak. "Maksudmu apa?"Sayangnya bukan jawaban yang didapat, melainkan serangan mendadak dari Arsen. Ah iya, mereka berdua berada di penginapan Aruna, yang cukup lama dibiarkan kosong. Arsen mendadak datang, lalu bertanya hal itu pada Aruna.Ingin berontak, tetapi merindukan perlaku
Dua minggu, Aruna izin untuk pemulihan. Kini sudah masu kerja, walau sempat kikuk. Ya, efek lupa meski tidak total. Tetap saja, terkesan karyawan baru yang hari ini diterima kerja."Jadi, aku sekretarismu?"Arsen yang ingin masuk ke ruangannya, terpaksa berhenti dan melirik datar Aruna."Ayolah! Aku cuma nanya!" Aruna sebal."Nanya, tapi beruntun dan terus nggak berenti!" Arsen ikutan kesal, langsung melengos tanpa menjawab pertanyaan retoris Aruna."Dih! Ngeselin!" Hendak berbalik ke meja kerjanya, seketika terusik kala muncul anak kecil berlarian dan sedikit menyenggolnya. "Siapa?"Terus mengamati, hingga melihat anak kecil tadi masuk ke ruangan Arsen. Juga, terdengar panggilan cukup kencang."Pa-papa?" Aruna bertemu lagi dengan Daffa, tetapi dengan kondisi berbeda. Yaitu, lupa sejenak dengan ingatan baru di mana perseteruan dengan Brian terjadi dan menyebabkannya kecelakaan.Ketika Arsen keluar bersama Daffa dalam gendongannya, terus mengamati. Anehnya sudah tidak ada rasa cemburu,