Aruna kembali dilanda keterkejutan, ketika masuk Arga yang tadinya terlihat duduk diam. Langsung mendekat dan berkata, persis dengan yang lebih dulu diucapkan Arsen tadi."Sebelum menemuimu dan mengantar pulang, Arsen lebih dulu ke sini dan menjelaskan semuanya." Arga masih tidak menyangka, Ardian selaku ayah Arsen melakukan hal itu.Hanya karena menginginkan kepuasan dan tidak mau dibantah, mengekang kehidupan Arsen. Mulai dari kehidupan, dan lebih lagi perempuan.Pantas saja, Aruna selalu curhat pada Arina soal perubahan Arsen. Itu karena, kekangan Ardian."Dia pergi."Aruna menghela napas sejenak. "Aku tau." Setelahnya, masuk kamar. Mendadak lelah dan ingin istirahat. Lebih tepatnya sih, Aruna belum rela Arsen pergi entah ke mana.Hubungan asmara amat rumit, itu yang Aruna anggap. Habisnya, terus ada masalah dan penuh emosi. Ternyata, dalangnya dari orang tua kekasihnya sendiri."Lagi-lagi, dia tidak mengatakan putus." Aruna kembali sadar, tidak pernah mendengar kata itu terlontar d
"Aruna!"Yang dipanggil tersentak, bahkan modul yang sedari tadi menjadi objek fokusnya terjatuh. Beruntung tidak kotor dan rusak.Aruna melirik sebal. "Apa sih?" Temannya ini berisik, meski begitu menyenangkan dan selalu ada untuknya."Kau beneran dapet pekerjaan?" Tania masih tidak percaya, meski semalam mengobrol lewat ponsel."Iya." Aruna membalas dengan nada agak malas, memilih melanjutkan kegiatannya tadi. "Sepertinya, kita akan sekelas di pelajaran tertentu aja. Atau kalo lagi ketinggalan, bisa ikut kelas denganmu."Tania berdecak. "Iya ya, kau jadi kelas karyawan." Seketika sumringah lagi. "Ya, nggak apa lah. Yang penting tetep saling kabar dan ketemu loh!"Aruna mengangguk, itu pun masih fokus pada modul. Hingga terusik, dengan pertanyaan Tania. Jujur, berhasil membuatnya sadar."Halo? Kau dengar nggak sih?" Tania memgibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Aruna. "Kau pastinya akan menetap di luar kota. Kan kau bilang ditempatin di perusahaan cabang lain. Nah, itu Brian udah
Aruna setelah berkeliling perusahaan milik Pak Nuga. Sekaligus, berkenalan dengan karyawan lagi. Juga, memahami SOP (Standard Operating Procedure) perusahaan, intinya apapun yang baru sebagian dikerjakan oleh sekretaris sebelumnya. Aruna mulai mencari tahu dan mencoba dilanjutkan dari sekarang, dan bertahap.Memang, belum dimulai. Hanya perkenalan seminggu. Setelahnya, dibebaskan. Minggu depannya lagi, Aruna akan lebih berada di luar kota dan ikut kuliah kelas karyawan.Kini ada di kafetaria. Di salah satu restoran besar berdekatan dengan perusahaan milik Pak Nuga. Kebetulan, sampai di detik jam istirahat tiba.Aruna memindai sekitar, hingga terusik pada Arsen tengah melangkah pergi. Memang diajak Pak Nuga untuk ikut makan siang bersama, tetapi memilih pergi duluan. Seakan tidak ada niat untuk ngobrol."Boleh tanya sesuatu?" Ada hal yang mengusik Aruna sedari tadi.Pak Nuga mengernyit heran. "Masih kurang mengerti?" Menganggap kalau Aruna bertanya soal pekerjaan, atau apapun mengenai p
Aruna meregangkan ototnya sejenak, baru saja mengatur ulang jadwal rapat atau lainnya buat Arsen. Tadi setelah kepergiaan Arsen setelah menanyakan keberadaan Daffa. Anetta—sekretaris sebelumnya mendadak muncul dan mengatakan hal penting, yaitu meneruskan pembuatan jadwal baru bagi Arsen.Itu sebabnya, kerja besok nyatanya dari sekarang. Meski baru pertama, belum bisa dikatakan mudah—baru membuat jadwal. Sulit loh! Harus memperhitungkan agar tidak bentrok bila ada pergantian atau pertemuan yang lebih penting—urgent untuk diubah.Sedari tadi pergi untuk menemui Daffa, sekarang baru menampakkan diri. Terbukti, Arsen datang bersama Daffa yang berlari kecil mengekor. Sesekali terlihat minta digendong, tetapi sengaja ditolak. Arsen tidak akan terlalu memanjakan Daffa, mengingat anak lelaki. Bukan berarti tidak akan menyayangi seperti biasa. Di waktu tertentu saja, akan memanjakan si anak.“Apa?”Aruna tersentak, baru sadar sedari tadi mengamati kelakuan Arsen dan lebih lagi Daffa masih memak
Keheningan terus mendominasi mereka berdua, sejak perdebatan kecil tadi. Tepatnya, setelah Brian memutuskan panggilan efek kemunculan Arsen.Kini, Aruna bingung Arsen mengajaknya ke mana. Ingin bertanya seketika diurungkan, pasti berujung emosi. Makanya, memilih diam dan sesekali melirik Arsen fokus menyetir.Pada akhirnya, Aruna mendapatkan jawaban tanpa diberitahu oleh Arsen. Mulai ikut menulusuri jalan setapak, cukup jauh. Suasananya amat sepi, tidak ada orang lain yang berlalu lalang.Aruna paham, karena yang didatangi Arsen adalah pemakaman. Hingga menduga, kalau Arsen ingin ziarah ke makam ibunya yang telah meninggal.Diam, itu yang terus dilakukan Aruna. Mengamati Arsen, duduk termenung menatap batu nisan bertuliskan nama ibu kandung Arsen, yaitu Seina."Jadi, ke makam ibumu kah?" Aruna sengaja memulai obrolan. Meski tahu tidak akan direspon. Alasan berkata, karena bergidik efek terus diam lebih lagi berada di pemakaman.Arsen hanya mendengkus, beranjak dari duduknya dan menepuk
Arsen mengelus sejenak pucuk kepala Daffa, kemudian menyuruhnya masuk. Ya, selalu menyempatkan diri untuk mengantar Daffa ke TK. Bila semakin mendapatkan waktu luang, mungkin akan menjemput juga.Sayangnya, sulit. Itu sebabnya, selalu menyuruh supir pribadi untuk menjemput dan mengantarkan Daffa ke kantor."Kenapa, hm?" Arsen menyamakan tingginya dengan Daffa.Daffa tidak menjawab, melainkan memeluk erat leher Arsen. Sepertinya, ingin digendong dan terkesan tidak mau ditinggal.Arsen menghela napas sejenak, sepertinya kali ini harus mengabaikan pekerjaan. "Ayo masuk, papa nggak pergi kok." Terus melangkah dengan Daffa di gendongannya.Benar saja, Daffa terlihat anteng dengan anak-anak lain. Agak lega, perlahan Daffa membiasakan diri dengan orang asing.Arsen terus mengamati Daffa dari bangku, yang dikhususkan untuk orang tua yang menunggu anaknya. Sesekali teralih pada ponsel, terdapat balasan dari Aruna. Ya, Arsen mengirim pesan singkat untuk mengerjakan semuanya. Selagi, dirinya tida
Arsen terus mengikuti ke manapun Daffa melangkah sedari tadi sudah ke berbagai macam wahana, terkadang berlari kecil dan akan berhenti dan melendot lagi padanya, bila ada orang asing mendekat sekadar menyapa karena gemas, atau tanpa sengaja hampir menabrak."Papa!"Seketika tersentak, efek melamun mendadak. Menggelengkan kepala sejenak, kemudian menyamakan tingginya dengan Daffa."Mau naik wahana apa lagi, hm? Atau laper?" Arsen memutuskan menggendong Daffa."Nggak! Maunya ice cream cokelat!" pinta Daffa, sembari menunjuk ke arah stand ice cream berbagai macam rasa dan toping."Oke." Mulai melangkah kakinya ke stand ice cream, beruntung di sebelahnya terdapat stand makanan persis sebuah kafe tetapi lebih mini.Arsen sibuk melahap habis makanan, sekaligus menyuapi Daffa juga. Memang akan dibelikan ice cream, setelah makan. Kalau tidak, pasti Daffa menolak untuk makan. Meski, tadi agak ngambek sejenak."Udah!" Daffa memalingkan wajah, saat Arsen ingin memberi suapan lagi. "Mau ice cream
Di kegelapan malam, Arsen melangkah santai keluar dari sebuah gang. Itu cukup jauh dari penginapan. Sepertinya, Arsen habis meluapkan emosi. Niat awal, tidak mencari korban untuk pelampiasan.Sayangnya, gagal. Emosinya semakin memuncak dan meledak, karena pertemuan kedua kalinya dengan Brian. Jika saja, Aruna tidak keluar dari penginapannya. Mungkin, Arsen akan kalap.Beruntung, tepat waktu.Kini, Arsen baru selesai melampiaskan. Kondisinya berantakan, terlihat babak belur. Bisa dibilang, hampir setiap malam mencari korban pelampiasan. Kemarin tidak, karena bertemu Aruna di minimarket dan berakhir meluapkan perasaannya."Lupakan semuanya." Arsen terus bergumam.Sesekali mengusap wajahnya, terlihat jelas bercak darah. Meski memulai dan mudah melakukan penyerangan, sekaligus perlawanan, tetap saja tidak luput terkena serangan goresan atau apapun, intinya menyebabkan memar dan luka berdarah.Langkah kakinya terhenti sejenak, manik hitamnya tertuju pada jam dinding dalam minimarket. Sudah