Brian melirik heran, tidak biasanya Arsen muncul. Bahkan, mendadak bergabung dengannya. Seakan tidak sadar, kelakuan anehnya ini menjadi objek menarik bagi semua siswa yang melintas."Apa?" Brian melirik serius, untuk saat ini suasana hatinya masih buruk. Lebih lagi, orang yang menjadi perhatian penuh dari perempuan yang disukainya muncul.Mulai menganggap, kalau Arsen sengaja. Meski begitu, Brian tetap berusaha untuk bersikap biasa. Karena enggan, dianggap sama seperti Arsen."Kau membeberkannya ya?" Arsen melirik datar.Brian menaikkan satu alis, kemudian terkekeh sejenak. "Bukannya bagus untukmu ya? Buktinya, Aruna tidak takut lagi bahkan masih memilihmu." Kemudian berdecih, sedang malas membicarakan soal itu lagi. Kini terpaksa, karena Arsen muncul.Arsen berdeham, kemudian melirik serius. "Kau benar-benar menyukainya kah?"Brian terpaku, saat Arsen bertanya hal itu. Di satu sisi, agak terusik saat sorot mata Arsen terlihat serius. Akan tetapi, hampa secara bersamaan."Atau kau awa
Aruna kembali dilanda keterkejutan, ketika masuk Arga yang tadinya terlihat duduk diam. Langsung mendekat dan berkata, persis dengan yang lebih dulu diucapkan Arsen tadi."Sebelum menemuimu dan mengantar pulang, Arsen lebih dulu ke sini dan menjelaskan semuanya." Arga masih tidak menyangka, Ardian selaku ayah Arsen melakukan hal itu.Hanya karena menginginkan kepuasan dan tidak mau dibantah, mengekang kehidupan Arsen. Mulai dari kehidupan, dan lebih lagi perempuan.Pantas saja, Aruna selalu curhat pada Arina soal perubahan Arsen. Itu karena, kekangan Ardian."Dia pergi."Aruna menghela napas sejenak. "Aku tau." Setelahnya, masuk kamar. Mendadak lelah dan ingin istirahat. Lebih tepatnya sih, Aruna belum rela Arsen pergi entah ke mana.Hubungan asmara amat rumit, itu yang Aruna anggap. Habisnya, terus ada masalah dan penuh emosi. Ternyata, dalangnya dari orang tua kekasihnya sendiri."Lagi-lagi, dia tidak mengatakan putus." Aruna kembali sadar, tidak pernah mendengar kata itu terlontar d
"Aruna!"Yang dipanggil tersentak, bahkan modul yang sedari tadi menjadi objek fokusnya terjatuh. Beruntung tidak kotor dan rusak.Aruna melirik sebal. "Apa sih?" Temannya ini berisik, meski begitu menyenangkan dan selalu ada untuknya."Kau beneran dapet pekerjaan?" Tania masih tidak percaya, meski semalam mengobrol lewat ponsel."Iya." Aruna membalas dengan nada agak malas, memilih melanjutkan kegiatannya tadi. "Sepertinya, kita akan sekelas di pelajaran tertentu aja. Atau kalo lagi ketinggalan, bisa ikut kelas denganmu."Tania berdecak. "Iya ya, kau jadi kelas karyawan." Seketika sumringah lagi. "Ya, nggak apa lah. Yang penting tetep saling kabar dan ketemu loh!"Aruna mengangguk, itu pun masih fokus pada modul. Hingga terusik, dengan pertanyaan Tania. Jujur, berhasil membuatnya sadar."Halo? Kau dengar nggak sih?" Tania memgibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Aruna. "Kau pastinya akan menetap di luar kota. Kan kau bilang ditempatin di perusahaan cabang lain. Nah, itu Brian udah
Aruna setelah berkeliling perusahaan milik Pak Nuga. Sekaligus, berkenalan dengan karyawan lagi. Juga, memahami SOP (Standard Operating Procedure) perusahaan, intinya apapun yang baru sebagian dikerjakan oleh sekretaris sebelumnya. Aruna mulai mencari tahu dan mencoba dilanjutkan dari sekarang, dan bertahap.Memang, belum dimulai. Hanya perkenalan seminggu. Setelahnya, dibebaskan. Minggu depannya lagi, Aruna akan lebih berada di luar kota dan ikut kuliah kelas karyawan.Kini ada di kafetaria. Di salah satu restoran besar berdekatan dengan perusahaan milik Pak Nuga. Kebetulan, sampai di detik jam istirahat tiba.Aruna memindai sekitar, hingga terusik pada Arsen tengah melangkah pergi. Memang diajak Pak Nuga untuk ikut makan siang bersama, tetapi memilih pergi duluan. Seakan tidak ada niat untuk ngobrol."Boleh tanya sesuatu?" Ada hal yang mengusik Aruna sedari tadi.Pak Nuga mengernyit heran. "Masih kurang mengerti?" Menganggap kalau Aruna bertanya soal pekerjaan, atau apapun mengenai p
Aruna meregangkan ototnya sejenak, baru saja mengatur ulang jadwal rapat atau lainnya buat Arsen. Tadi setelah kepergiaan Arsen setelah menanyakan keberadaan Daffa. Anetta—sekretaris sebelumnya mendadak muncul dan mengatakan hal penting, yaitu meneruskan pembuatan jadwal baru bagi Arsen.Itu sebabnya, kerja besok nyatanya dari sekarang. Meski baru pertama, belum bisa dikatakan mudah—baru membuat jadwal. Sulit loh! Harus memperhitungkan agar tidak bentrok bila ada pergantian atau pertemuan yang lebih penting—urgent untuk diubah.Sedari tadi pergi untuk menemui Daffa, sekarang baru menampakkan diri. Terbukti, Arsen datang bersama Daffa yang berlari kecil mengekor. Sesekali terlihat minta digendong, tetapi sengaja ditolak. Arsen tidak akan terlalu memanjakan Daffa, mengingat anak lelaki. Bukan berarti tidak akan menyayangi seperti biasa. Di waktu tertentu saja, akan memanjakan si anak.“Apa?”Aruna tersentak, baru sadar sedari tadi mengamati kelakuan Arsen dan lebih lagi Daffa masih memak
Keheningan terus mendominasi mereka berdua, sejak perdebatan kecil tadi. Tepatnya, setelah Brian memutuskan panggilan efek kemunculan Arsen.Kini, Aruna bingung Arsen mengajaknya ke mana. Ingin bertanya seketika diurungkan, pasti berujung emosi. Makanya, memilih diam dan sesekali melirik Arsen fokus menyetir.Pada akhirnya, Aruna mendapatkan jawaban tanpa diberitahu oleh Arsen. Mulai ikut menulusuri jalan setapak, cukup jauh. Suasananya amat sepi, tidak ada orang lain yang berlalu lalang.Aruna paham, karena yang didatangi Arsen adalah pemakaman. Hingga menduga, kalau Arsen ingin ziarah ke makam ibunya yang telah meninggal.Diam, itu yang terus dilakukan Aruna. Mengamati Arsen, duduk termenung menatap batu nisan bertuliskan nama ibu kandung Arsen, yaitu Seina."Jadi, ke makam ibumu kah?" Aruna sengaja memulai obrolan. Meski tahu tidak akan direspon. Alasan berkata, karena bergidik efek terus diam lebih lagi berada di pemakaman.Arsen hanya mendengkus, beranjak dari duduknya dan menepuk
Arsen mengelus sejenak pucuk kepala Daffa, kemudian menyuruhnya masuk. Ya, selalu menyempatkan diri untuk mengantar Daffa ke TK. Bila semakin mendapatkan waktu luang, mungkin akan menjemput juga.Sayangnya, sulit. Itu sebabnya, selalu menyuruh supir pribadi untuk menjemput dan mengantarkan Daffa ke kantor."Kenapa, hm?" Arsen menyamakan tingginya dengan Daffa.Daffa tidak menjawab, melainkan memeluk erat leher Arsen. Sepertinya, ingin digendong dan terkesan tidak mau ditinggal.Arsen menghela napas sejenak, sepertinya kali ini harus mengabaikan pekerjaan. "Ayo masuk, papa nggak pergi kok." Terus melangkah dengan Daffa di gendongannya.Benar saja, Daffa terlihat anteng dengan anak-anak lain. Agak lega, perlahan Daffa membiasakan diri dengan orang asing.Arsen terus mengamati Daffa dari bangku, yang dikhususkan untuk orang tua yang menunggu anaknya. Sesekali teralih pada ponsel, terdapat balasan dari Aruna. Ya, Arsen mengirim pesan singkat untuk mengerjakan semuanya. Selagi, dirinya tida
Arsen terus mengikuti ke manapun Daffa melangkah sedari tadi sudah ke berbagai macam wahana, terkadang berlari kecil dan akan berhenti dan melendot lagi padanya, bila ada orang asing mendekat sekadar menyapa karena gemas, atau tanpa sengaja hampir menabrak."Papa!"Seketika tersentak, efek melamun mendadak. Menggelengkan kepala sejenak, kemudian menyamakan tingginya dengan Daffa."Mau naik wahana apa lagi, hm? Atau laper?" Arsen memutuskan menggendong Daffa."Nggak! Maunya ice cream cokelat!" pinta Daffa, sembari menunjuk ke arah stand ice cream berbagai macam rasa dan toping."Oke." Mulai melangkah kakinya ke stand ice cream, beruntung di sebelahnya terdapat stand makanan persis sebuah kafe tetapi lebih mini.Arsen sibuk melahap habis makanan, sekaligus menyuapi Daffa juga. Memang akan dibelikan ice cream, setelah makan. Kalau tidak, pasti Daffa menolak untuk makan. Meski, tadi agak ngambek sejenak."Udah!" Daffa memalingkan wajah, saat Arsen ingin memberi suapan lagi. "Mau ice cream
Masih dalam hari bebas, tetapi satu dari pasangan baru. Memilih menyibukkan diri, bukan berarti tidak mau menyenangkan diri, mengingat harusnya bulan madu—eh!Arsen ke kantor untuk mengurus sesuatu, sedangkan Aruna berdiam diri. Sekaligus, ikut jemput dan mengajak jalan Daffa."Mau ke mana lagi, hm?"Yang ditanya tidak menjawab, justru terus menarik Aruna. Intinya sih, Daffa yang menjadi penunjuk."Papa masih lama ya?" Daffa benar-benar masih ketergantungan terhadap Arsen.Aruna tidak mempermasalahkan, justru menerima dan memahami. Cuma, juga mau membiasakan Daffa agar mengurangi rasa takut terhadap orang lain. Mengingat, mulai tumbuh dewasa. Sebentar lagi, masuk sekolah dasar."Lagi dijalan, oh iya kan belum makan. Sekarang, berenti dulu mainnya, oke?"Daffa menggeleng. "Nanti!"Aruna gemas sendiri, bukan berarti akan menuruti. Buktinya, langsung menggendong. "Yok, makan dulu.""Mamah!"Awalnya aneh, tetapi membiasakan. Mengingat, Daffa anak Arsen walau hanya anak angkat. Otomatis, an
Di saat membuka mata, yang menjadi objek utama wajah terlelap Arsen. Aruna iseng mencubit tanpa peduli mengganggu, yang dipikirannya saat ini.Masih mimpi, atau nyata?Terkadang, selalu berakhir halusinasi. Seakan memang belum waktunya untuk semua keinginannya terkabulkan."Apa sih?" Arsen terusik, karena masih ngantuk memilih berhenti bertanya alasan, dirinya menjadi korban pencubitan.Aruna tidak menjawab, bahkan tidak merasa bersalah karena sudah mengusik tidur Arsen."Ng—"Tidak menyangka akan mendapat serangan di pagi hari, ah sebenarnya sih sudah siang. Mengingat, mereka berdua diberi waktu bebas. Yap, bebas—alias bulan madu abal-abal—eh!Karena tidak pergi ke manapun, hanya di penginapan saja. Intinya, mereka berdua malas."Kau masih mengira mimpi kah?""Kau sendiri, bukannya duluan yang menganggap begitu?" Aruna tidak mau kalah, di satu sisi berusaha menyingkirkan Arsen masih betah menindihnya. "Minggir! Aku mau mandi!""Nggak!" Arsen bebal, ah lebih tepat sih ingin memanfaatka
Arsen mematung sejenak di ambang pintu kamar, pandangannya terus tertuju pada interaksi Daffa bersama Aruna. Sebenarnya, merasa tidak percaya juga kalau sedikit lagi bisa bersama. Memang perlahan bisa, akan tetapi kenapa terasa sulit.“Kenapa?”Arsen tersentak, tidak menyadari Aruna sudah berada di hadapannya. Efek terkejut, dalam sekejap sulit untuk berkata sekadar membalas. Pada akhirnya, hanya menggeleng dan memilih mendekati Daffa yang sibuk sendiri.“Kau aneh.” Aruna berkata sembari mengekor. “Nggak lagi ‘kan?” Walau tidak to the point, Aruna yakin Arsen paham maksud dari pertanyaannya ini.Sebelum mendapat balasan, lebih dulu terganggu oleh suara bel penginapan. Arsen sudah duluan untuk melihat siapa yang datang dan ternyata Pak Nuga.“Sungguhan bersama kah?” Nyatanya, Pak Nuga tidak tahu apapun soal Arsen akan mengajak Aruna menjadi satu penginapan.“Siapa suruh lupa.” Arsen membalas cepat dan terkesan santai, kembali mendekati Daffa.Pak Nuga terkekeh, merasakan perbedaan dari
"Papa mana?" Daffa baru saja dijemput supir pribadi, pulang dari TK ya ke kantor. Tidak mungkin dibiarkan sendiri di penginapan."Lagi pergi sebentar, nggak lama lagi ke sini kok." Aruna masih tidak menyangka, Arsen mengurus anak.Daffa mengembungkan pipi, tak lama melendot pada Aruna. Yap, benar-benar terbiasa."Laper?" Aruna sengaja bertanya, kebetulan jam istirahat hampir tiba. Arsen belum balik.Daffa mengangguk, semakin melendot hingga minta digendong. Seakan tidak mau diturunkan, buktinya memeluk erat leher Aruna. Bahkan, iseng mendusel."Kenapa, hm?" Setiap kali bersama Daffa, teringat Arya saat masih kecil sering manja padanya. "Ngantuk?"Daffa menggeleng."Terus kenapa?""Mama?" Daffa mendadak mempertanyakan soal itu lagi, kali ini Aruna yang menjadi target. "Tante punya mama?"Aruna mendadak kikuk. "Y-ya." Aneh dan tertegun, Daffa dari kecil sudah ditinggal kedua orang tuanya, bahkan diabaikan kerabat. "Nggak ada mama, tapi ada papa yang sayang Daffa 'kan?""Iya, tapi mau mam
Arsen semakin emosian, semenjak pengakuan sekaligus permintaan maaf Ardian. Terus memanas, karena berita megenai Ardian menyerahkan diri dan menjelaskan semua perbuatannya. Banyak rekan atau pun karyawan yang menjadikan bahan gunjingan.Arsen membiarkan, karena memang kenyataan. Oh iya, ada satu hal yang tidak pernah diduga. Tepat sebelum Ardian ditangkap, ini hanya karena kasus penculikan Daffa. Kalau kematian ibunya, memang karena bunuh diri. Kesalahan Ardian, karena suka melakukan hal kasar dan memberi tekanan terhadap ibunya. Memang menjadi kasus. Intinya berlapis."Kalo belum tenang, yang ada malah membuat Daffa takut loh." Aruna sedari tadi berada di ruang kerja Arsen, tepatnya sih mengawasi dan membantu.Pasalnya, konsentrasi Arsen buyar dalam pekerjaan. Jadi, harus dipantau dan dibantu."Ayahmu benar-benar menyesal." Aruna sengaja meyakinkan, berharap juga Arsen membaik dengan Ardian.Arsen tersenyum getir. "Kenapa baru sekarang dia mengakui dan menyerahkan diri? Kau tau? Saat
Pukul sepuluh malam, kala itu Aruna masih belum mengantuk. Makanya, memilih santai dengan camilan dan fokus siaran di televisi.Seketika terusik, kala ada yang membunyikan bel penginapannya. Akan tetapi, tidak berlangsung lama. Aruna hafal si pelaku adalah pemilik penginapan sebelah, siapa lagi kalau bukan Arsen."Kau kenapa?" Aruna heran, habisnya Arsen muncul wajahnya kusut sekali.Arsen tidak menjawab, malah mendekatkan diri pada Aruna dan meringkuk. Bahkan, sudah merangkul erat pinggang Aruna.Racauan aneh, tidak begitu jelas mulai dilontarkan Arsen. Saat itu juga, Aruna merasa Arsen kacau persis dulu."Kenapa, hm?" Aruna benar-benar mengurus Arsen lagi.Arsen belum mau menjelaskan kekacauan mendadaknya ini. Aruna sendiri pasrah, membiarkan Arsen terus saja meringkuk dan melesak di dekapannya."Daffa sama siapa?" Takutnya, kalau Arsen di sini. Nanti Daffa sendirian."Paman." Arsen kali ini menjawab, kemudian meringkuk lagi. Hingga menuturkan sesuatu yang berhasil membuat Aruna paha
Kata bahagia, selalu mengusik benak keduanya, bisa dibilang satu dari mereka yang seakan terus diatur kehidupannya. Setiap ingin berbahagia harus sesuai, tanpa sedikit pun diperbolehkan mencari kebahagiaannya sendiri.Arsen, orang lain menganggapnya serba kecukupan, sombong, mengerikan, dan banyak lagi. Semua orang hanya melihat itu, tanpa tahu sudut pandang Arsen sendiri terbalik dari yang semua orang anggap.Hidup saja diatur, teman dekat, wanita, hingga apapun diatur. Seakan robot yang sudah dikendalikan untuk terus menurut. Sekalinya terlepas dari semua kendali, bukan berarti kehidupannya bebas.Nyatanya, semakin diusik. Seakan memang, tidak diperbolehkan bahagia atas keinginannya sendiri."Ayah."Ardian mematung, kalau diingatkan kembali. Cukup lama, tidak pernah mendengar panggilan itu dari anaknya."Menurut ayah, bahagia itu seperti apa?" Arsen berbicara santai, karena teringat sudah tidak pernah berinteraksi seperti biasa dengan ayah kandungnya, setelah kematian ibu.Walau kare
"Kau serius masih ingin bersamaku?" Entah kenapa, Arsen memastikan lagi. Sebenarnya senang, mendengar langsung dari Aruna. Walau ingatannya masih kacau, efek dari kecelakaan.Aruna mengerutkan kening. "Kau nggak percaya? Atau ....""Percaya, hanya saja aku takut akan menyakitimu dan meninggalkamu lagi." Arsen bimbang karena hal itu, terlebih lagi Ardian dan Desty masih saja mengusik kehidupannya.Berhasil lepas bukan berarti selesai semuanya.Aruna tidak merespon, antara senang sekaligus bingung. Karena saat ini paham sekali Arsen selalu berkata, tidak bisa seperti biasa. Ibarat, berteman layaknya pasangan."Bisa saja dilakukan, tapi aku mengurungkan niat karena nggak mau kau ikut kena risikonya."Aruna tersentak. "Maksudmu apa?"Sayangnya bukan jawaban yang didapat, melainkan serangan mendadak dari Arsen. Ah iya, mereka berdua berada di penginapan Aruna, yang cukup lama dibiarkan kosong. Arsen mendadak datang, lalu bertanya hal itu pada Aruna.Ingin berontak, tetapi merindukan perlaku
Dua minggu, Aruna izin untuk pemulihan. Kini sudah masu kerja, walau sempat kikuk. Ya, efek lupa meski tidak total. Tetap saja, terkesan karyawan baru yang hari ini diterima kerja."Jadi, aku sekretarismu?"Arsen yang ingin masuk ke ruangannya, terpaksa berhenti dan melirik datar Aruna."Ayolah! Aku cuma nanya!" Aruna sebal."Nanya, tapi beruntun dan terus nggak berenti!" Arsen ikutan kesal, langsung melengos tanpa menjawab pertanyaan retoris Aruna."Dih! Ngeselin!" Hendak berbalik ke meja kerjanya, seketika terusik kala muncul anak kecil berlarian dan sedikit menyenggolnya. "Siapa?"Terus mengamati, hingga melihat anak kecil tadi masuk ke ruangan Arsen. Juga, terdengar panggilan cukup kencang."Pa-papa?" Aruna bertemu lagi dengan Daffa, tetapi dengan kondisi berbeda. Yaitu, lupa sejenak dengan ingatan baru di mana perseteruan dengan Brian terjadi dan menyebabkannya kecelakaan.Ketika Arsen keluar bersama Daffa dalam gendongannya, terus mengamati. Anehnya sudah tidak ada rasa cemburu,